VONIS

1 Maret 2012 pukul 21:25
(Lama gak posting cerpen atau puisi. hari ini kubagikan cerpenku yang gak lolos dalam audisi bersama Perempuan Fiksi... dengan sedikit pembenahan)> Baca dan tinggalkan masukan ya....

Di hadapanku Mas Hanung duduk dengan wajah gelisah. Aku sudah dapat menebak berita apa yang hendak ia sampaikan padaku. Dadaku sesak. Beberapa saat kami hanya saling berdiam diri. Sipir tahanan yang berdiri tak jauh dari tempat kami duduk mengawasi kami dengan pandangan tajam . Kucoba menenangkan diri. Hasilnya aku malah terseret kegelisahannya.

Dinding-dinding ruang pengunjung yang terkelupas di sana sini, bangku-bangku kayu yang kusam memperkelam siang yang panas ini.

Akhirnya Mas Hanung menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.

“Permohonanku dikabulkan. Tanda tangani saja,”katanya dengan suara dan wajah datar.

Kata-kata Mas Hanung meluncur begitu saja. Tak ada keraguan. Tatapannya dingin. Tak ada lagi pancaran sayang atau rindu di mata yang dahulu selalu menatapku penuh kekaguman itu. Oh, kemana hilangnya kelembutan dan kemesraan dalam suara laki-laki yang selama 7 tahun ini mendampingiku.

“Tidak bisakah Mas menundanya? Setidaknya hingga kasusku diputuskan?”
“Tidak! Aku tak sanggup mendengar cemoohan orang-orang, terutama keluargaku. Kamu tahu kan, bagaimana kerasnya sikap keluarga besarku.”

Aku tertunduk kelu. Sulit membayangkan keluarga Mas Hanung yang dahulu begitu baik dan menghormatiku kini berubah drastis. Dahulu aku adalah menantu kesayangan dan kebanggaan. Tiap ada permasalahan, aku menjadi rujukan pertama pemecahannya, terutama masalah finansial. Dalam setiap pertemuan keluarga, pesta, dan segala pamer kemewahan aku dijadikan teladan. Dipuja dan dihormati. Kini, jangankan menjengukku di rumah tahanan ini, mengakui aku sebagai bagian dari keluarga besar mereka pun mereka malu. Aku yang bertahun-tahun menjadi pahlawan ekonomi bagi keluarga besarnya, kini menjadi seonggok sampah yang mengotori nama baik keluarganya.

“Siska, mengertilah. Aku tak bisa menunggumu. Keluarga besarku mendesakku terus,”pintanya setengah mendesakku.
“Lalu anak-anak?”

Terbayang dua wajah bocah mungil yang malang. Entah bagaimana nasib Bryan, 5 tahun, dan kakaknya Annetta, 8 tahun itu kini. Terakhir kali aku bertemu mereka adalah saat ibuku membawa keduanya menjengukku saat masih ditahan di mapolda.  Mereka tampak kurus dan tak terurus. Mata mereka kuyu. Sama seperti mata ibuku. Kehilangan cahaya. Saat itu, seandainya harus membunuh seribu orang sekali pun, aku akan melakukannya bila aku dapat kembali memeluk kedua buah hatiku, mengembalikan binar bahagia di mata ibu.

“Biarkan mereka ikut ibu. Ayah dan bunda tak tega memisahkan mereka dari ibu,”kata Mas Hanung dingin.
“Bukan ibu yang harus merawatnya. Tapi kamu, Mas!” kataku setengah menjerit.
“Tak mungkin! Itu sama saja dengan membuatku terus-menerus dikenal sebagai suami seorang koruptor! Aku tak sudi!”

Aku tergagap. Tak sanggup lagi berkata-kata. Percuma juga mempertahankan ikata perkawinan yang telah jadi remahan.

Tanpa berpikir lagi, kutanda tangani surat cerai yang sejak tadi kubiarkan tergeletak di meja kayu di depanku. Hari ini, dengan mata dan telingaku sendiri kutemukan kebenaran itu. Lelaki yang tujuh tahun menikahiku dan selalu membanggakanku itu ternyata seorang bajingan. Ia menikmati kemudaan tubuhku, ia menggerogoti isi dompetku, ia mendorongku untuk melakukan apa saja untuk memperkaya keluarga besarnya. Dan, aku tergila-gila pada pemujaan palsunya. Demi cinta yang membutakan mata hatiku.
***

“Berhati-hatilah! Jangan mengambil yang bukan hakmu!” nasihat ibu suatu kali.

Ah ibu terlalu naïf. Dunia berputar terlalu cepat. Kejujuran akan membuat kita hancur. Kelicikan sekarang jadi kunci keberhasilan. Bertahan dengan kejujuran tidak saja akan membuatku tersingkir seperti beberapa kolegaku.

Bermula hanya dari permainan kecil, aku mendapat uang jasa. Dari hanya beberapa ratus ribu hingga milyaran rupiah. Bermodal infomasi tentang lelang  pengadaan barang atau jasa di kantorku, aku mendapat komisi. Lalu keberanian dan kepiawaianku bertambah. Dengan posisi yang kumiliki sebagai sekretaris kepala bidang, aku bisa leluasa mengakses informasi apa pun. Aku bahkan bisa memberikan bocoran pada rekanan yang bersedia memberi imbalan paling besar tentang berapa harga penawaran yang diajukan para pesaingnya. Terakhir, aku malah telah mendirikan perusahaan  bekerja sama dengan temanku. Tidak tanggung-tanggung. Aku memiliki empat buah perusahaan bidang konstruksi dan pabrikan alat-alat perkantoran. Dengan ke empat perusahaanku, aku lebih bisa bermain dengan lincah. Aku tidak lagi memenangkan perusahaan orang lain, tetapi aku mengangkangi hampir sebagian proyek-proyek di departemen tempatku bekerja. Tentu saja dengan memberikan imbalan yang memuaskan pada para pimpinan. Tahu sendiri bukan, tak ada yang gratis di dunia ini.

Kemewahan yang kudapat membuatku  benar-benar menjadi pahlawan bagi keluarga besarku. Aku mampu membuat mereka kembali bangkit dari kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. Berkat aku, kini mereka dapat kembali bergaul dengan masyarakat kelas atas.

Sesungguhnya aku melakukannya semata-mata demi cinta. Bukan harta. Aku tidak dilahirkan dalam keluarga bergelimang harta. Almarhum bapakku hanya seorang  pensiunan pegawai negeri rendahan, ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Tetapi bapak dan ibu mendidikku dengan disiplin yang keras hingga aku bgerhasil meraih gelar sarjana dan mendapat pekerjaan yang mapan. Di tempat kerja itulah aku bertemu Mas Hanung. Saat itu ia ikut lelang pengadaan alat-alat perkantoran. Sayang, harga yang ditawarkan kalah dengan perusahaan lain meski kekalahannya sangat tipis. Lalu, krisis moneter membuat perusahaan keluarga Mas Hanung tak sanggup bertahan. Berkali-kali Mas Hanung menemuiku, memintaku membantunya agar mendapat satu atau dua saja pekerjaan dalam satu tahun anggaran.

“Setidaknya biar perusahaan kami bisa bertahan,” pinta Mas Hanung memelas.

Dari Mas Hanung aku belajar banyak bagaimana cara bermain cantik dan aman. Tak hanya bekerja sama, kedekatan
kami akhirnya menumbuhkan cinta. Tak butuh waktu lama, cukup dua bulan setelah jadian, Mas Hanung membawaku ke pelaminan. Hanya satu kata alasannya: cinta.

Awalnya keluarga besar Mas Hanung menolak kehadiranku karena aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berasal dari kelas atas seperti mereka. Demi mendapatkan cinta dan pengakuan dari keluarga Mas Hanung aku nekad melakukan semuanya. Cinta suamiku dan keluarga besarnya kuyakin akan menjadi kunci kebahagiaan dan keutuhan perkawinan kami.

Demi cinta, aku nekad melakukan semuanya. Tak peduli berkali-kali ibu mengingatkanku tentang dosa. Aku dibutakan oleh cinta. Cinta membuatku melakukan korupsi dan kolusi tanpa pernah ingat dosa. Nyatanya, ibu benar. Cinta yang kuagungkan itu jauh lebih menjijikkan dari seonggok tahi. Kini, mereka meludahiku. Meski, mereka tetap tidur nyenyak di atas ranjang yang dibeli dengan uang hasil keringatku.

Kesadaran itulah yang membuatku tadi siang dengan yakin menandatangani surat cerai itu. Tak ada lagi yang dapat kuharapkan dari Mas Hanung meski hanya ungkapan simpati. Surat cerai itu menjadi vonis pertama atas kesalahanku mengabaikan nasihat ibu.

Kini bukan soal perceraian itu yang membuatku gundah. Tapi nasib Bryan dan Annetta. Sanggupkah mereka bertahan hidup di bawah asuhan ibu yang semakin renta? Sanggupkah mereka menghadapi crmoohan masyarakat sepanjang hidupnya sebagai anak kandung seorang koruptor sepertiku?

Tiba-tiba aku sadar  telah sangat gagal menjadi ibu mereka. Tapi tidak, aku takkan menangis. Air mata tidak akan sanggup mengurangi penyesalanku.
***

Di hadapan hakim, di kursi terdakwa, tak ada lagi semangatku untuk membela diri. Pembelaan diri yang kulakukan takkan berhasil tanpa tipuan demi tipuan. Pembelaan itu hanya akan menambah tumpukan dosaku.

“Saya menarik semua kesaksian yang dibacakan Pembela saya, Bu Hakim.”
“Saudari Siskawati, Saudara sadar dengan pernyataan Saudari?”tanya hakim perempuan berambut sebahu itu dengan suara lantang.
“Ya. Saya sadar sesadar-sadarnya. Tanpa paksaan siapa pun,”jawabku mantap.

Beberapa saat ruangan sidang senyap. Hanya bisik-bisik hakim pemimpin sidang terdengar lirih.
“Sidang ditunda lima belas menit,” kata hakim memecah kesunyian.

Terdengar suara bisik-bisik.

Pembelaku menggamit tanganku dan menarikku ke ruang sebelah. Ia menutup pintu ruangan itu dengan keras.
“Ibu sadar apa yang telah ibu lakukan? Ini bisa membahayakan banyak pihak, Bu! Terlalu banyak yang akan kita pertaruhkan.”

Aku diam. Kupikir tak ada yang perlu diperdebatkan. Keputusanku sudah bulat. Akan kusampaikan kebenaran itu. Aku tak sanggup lagi membayangkan beban moral yang harus ditanggung kedua anakku. Bagaimana mereka sanggup menerima beban sebagai anak seorang koruptor sekaligus pembohong besar? Cukup sudah gelar koruptor ini membuat
anak-anakku kehilangan keceriaan masa kecilnya. Aku tak ingin mempermalukan diriku di hadapan Tuhan, Sang Khalik.

Biarlah vonis seberat-beratnya kuterima agar siksa neraka untukku nanti berkurang.
“Bos Besar menelpon, Bu. Pesannya, kedua anak ibu beserta neneknya ‘dalam perlindungan’ mereka,”kata pengacaraku sambil menekankan pengucapan frase “dalam perlindungan”.

Aku tahu artinya. Mereka mengancamku secara halus agar aku tak membongkar persekongkolan yang kami lakukan dalam pembangunan gedung pesta rakyat itu.

“Percayalah, Allah akan melindungi hamba-Nya yang berjalan di atas kebenaran,”kudengar bisikan ibu.

Maka, dengan mantap aku berkata.

“Keputusan saya sudah bulat.”
Wajah pengacaraku tiba-tiba basah oleh keringat meski kami kini berada di ruangan ber-AC.
“Tapi…”

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, seorang petugas memberitahukan bahwa sidang akan segera dimulai lagi. Bergegas aku menuju ruang sidang tanpa memedulikan kecemasan dan ketakutan pengacaraku.
***

Seusai sidang, tiga orang petugas menggelandangku masuk ke mobil tahanan. Sebelum pintu mobil dikunci sari luar, seorang perempuan  yang kutahu salah seorang anak buah rekananku menyerahkan selembar kertas kecil, tanpa berkata apa-apa.

Begitu pintu di tutup dari luar, kubuka lipatan kertas kecil itu. Sebuah pesan rahasia, penuh ancaman tertera di sana.

Sikap angkuh hanya akan membuat seorang ibu putus asa!

Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Tapi, aku sadar, pengakuanku atas semua kejahatan, kong kalingkong, dan kebusukan yang kulakukan bisa berarti bahaya bagi banyak orang. Kuyakin mereka semua takkan membiarkanku mengorek-orek aib mereka. Apalagi menyeret mereka menjadi pesakitan sepertiku kini.

Ya Tuhan, aku hanya sanggup menggumamkan nama-Nya. Tak ada lagi kesanggupanku memohon dan berdoa. Terlalu banyak dosa yang kulakukan demi meraih “cinta”. Dalam ketiadaberdayaan seperti ini wajah ibu yang teduh, senyumnya yang lembut terbayang.

“Bertahanlah! Sudah terlalu banyak kesalahan kau lakukan!” suara ibu kembali terngiang-ngiang.

Tiba-tiba mobil terhenti. Petugas yang duduk di samping sopir turun dan membuka pintu belakang.
“Bu, kita ke rumah ibu. Baru saja saya dapat telpon, ibunya Bu Siska sakit keras.”

Ya Tuhan, semoga tak terjadi apa-apa dengan ibu. Wajah tuanya yang makin renta kembali terbayang. Dan air matanya yang tak henti berderai ketika terakhir kali menjengukku serasa masih basah mengenai pipiku. Tuhan, kali ini aku bersungguh-sungguh, lindungi ibu. Semua ini salahku. Jangan kau biarkan orang-orang yang kucintai menanggung hukuman atas kesalahanku.

Mobil tahanan serasa berjalan teramat pelan. Beberapa kali aku berteriak pada sopir agar mempercepat laju mobil. Firasatku mengatakan sesuatu telah terjadi. Mereka, orang-orang yang merasa terancam dengan pengakuan jujurku pasti takkan diam. Dan ternyata benar. Di halaman rumah ibu, sebuah bendera putih bertanda palang hitam berkibar. Orang-orang sudah berkumpul untuk bertakziah.

Tak sabar, aku berlari masuk rumah.

“Ibu… ibu kenapa?”tanyaku pada Bu Lek Harti, tetanggaku yang sedang sibuk mengafani jasad ibu.
“Mbak Siska yang sabar ya. Tadi Anneta menemukan ibu tergantung di kamarnya.”
“Ibu… menggantung diri?”tanyaku tak percaya.
“Nenek malu … Nenek malu punya putri seorang koruptor!”teriak Anneta tiba-tiba menyadarkanku.
“Anne….,”aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

Anneta menatapku tajam. Kurentangkan kedua tanganku untuk memeluk tubuh bocah cantik yang sangat kurindukan itu. Tetapi… Anneta menghindar.

“Anneta benci sama Ibu! Benci! Anne gak mau punya ibu koruptor! Ibu yang membuat nenek bunuh diri!”teriaknya sambil
terisak-isak.

Di antara kerumunan orang-orang yang semakin banyak berdatangan untuk takziah, aku terkubur dalam penyesalan yang dalam. Aku yakin, seperti keyakinanku akan besarnya cinta ibu yang tak tertandingi. Ibu tak mungkin bunuh diri. Dia perempuan tegar yang teguh iman. Ada tangan-tangan durjana yang sengaja menerorku. Mereka mengancamku dengan ancaman paling keji.

Dan kini, Anneta, putriku sendiri menjatuhkan vonis paling berat untukku. Kemarahannya, kebenciannya, dan penolakannya padaku jauh lebih mematikan dibandingkan vonis hakim yang besok akan dibacakan.

Di hadapan jasad ibu yang masih terasa hangat, kini aku hanya dapat menangis tersedu.

The end