Sabtu, 16 November 2013

ILALANG (CERMIN)

Mawar VS Ilalang
 “Mbak, ada kiriman,”kata si Mbok begitu aku masuk ke rumah. Kuterima bingkisan itu.
Huft! Mawar lagi, puisi lagi! Bosan rasanya tiap hari menerima kiriman yang sama. Tempat sampahku pun sudah tak sudi lagi menampung kiriman-kiriman  Bryan.
Sebenarnya tak ada yang kurang dari dirinya. Ia cakep, atletis, humoris, tajir lagi. Sayangnya aku sangat benci sikapnya yang terlalu romantis dan suka pamer kekayaan bokapnya dengan bolak-balik ganti mobil baru. Yang paling membuatku benar-benar bete sampai ke ubun-ubun adalah saat dua minggu yang lalu. Ia mengganti mobil mewahnya jadi sama dengan mobilku. Tak hanya merknya, tetapi juga tahun dan warnanya.
“Aku akan belajar menyukai apa pun yang kau sukai,” bisiknya ngaco suatu kali. “Di awal mungkin baru mobil kita yang berdampingan, akan tiba masanya, hati kita akan bertaut.”
Ia juga selalu mengirimiku SMS. Tak kurang dari sepuluh kali dalam sehari.
“Bila dalam sehari kita shalat lima waktu agar hati selalu bersih dan ingat pada Tuhan, maka untuk mengingatkanmu padaku, tak cukup sepuluh SMS sehari,” begitu alasannya.
Aku kehabisan akal menghadapi ulah gilanya. Aku tak mungkin mengharapkan masukan dari Rossie, Dian, atau Mal. Sahabat-sahabat karibku itu bukannya membantuku mencari cara jitu untuk membuat Bryan mundur mengejarku malah justru mendorongku agar menerima Bryan jadi cowokku.
Siapa sudi punya cowok model kayak Bryan? Bagiku ia tidak macho banget!
“Mbak Irien, bunganya mau dibuang lagi?”tanya si Mbok mengagetkanku.
Ternyata sejak tadi aku hanya berdiri bengong memutar kenangan tentang segala kekesalanku pada Bryan.  Si Mbok pasti hafal dengan kebiasaanku membuang mawar dan lembaran puisi itu di tong sampah. Biasanya ia akan memungutnya dan meletakkan di kamarnya. Moga-moga saja tak ada jampi-jampi yang diletakkan Bryan pada mawar itu. Kalau iya bisa-bisa Si Mbok bisa terkiwir-kiwir, jatuh hati, pada Bryan. Membayangkan hal konyol itu aku tersenyum lebar.
“Kenapa, Mbak?”tanya si Mbok tak mengerti.
“Nggak papa, Mbok. Ambil saja ini,” kataku.
Si Mbok menerimanya lalu menciumnya seakan-akan bunga itu kiriman dari kekasihnya.
Iseng-iseng kubaca puisi kiriman Bryan kali ini. Kuyakin isinya pasti tentang mawar dan cinta seperti biasanya. Dugaanku tak salah.
Purnama telah hampir beradu sejak kutitipkan benih mawar itu padamu.
Apa kabarnya kini?
Harapku ketika bulan berganti
Telah dapat kuhirup wanginya dan kubawa dalam mimpi.
Mawar?  Kata mawar adalah kuncinya. Ia selalu menggunakan kata itu untuk menyatakan rasa cintanya. Tiba-tiba kutemukan ide cemerlang. Kuambil selembar kertas warna merah tua, dan kutuliskan sebait puisi.
Semalam, kuambil sebatang ilalang kuikatkan pada hatiku.
bagiku ilalang adalah tanda cinta
ia  tak mati meski bermusim kerontang
terus bertumbuh meski dibabat dan dibakar.
 Maaf, Sayang... tak ada mawar
hanya ilalang.
Dengan puas kumasukkan puisi itu dalam amplop kecil seukuran yang biasa dipakai si Mbok untuk nyumbang hajatan tetangganya. Bukan hanya tak peduli dengan keindahan puisi itu, aku bahkan tak peduli dengan amplopnya.
***
Di pelataran parkir sekolah pagi itu, kuserahkan  surat itu padanya. Ia menerimanya dengan kening berkerut. Mungkin terkejut melihat amplopnya.
“Terima kasih,” jawabnya sambil melempar senyum andalannya.
Huft! Kenapa wajahnya tak jadi masam? Tapi okelah. Tunggu saja saat ia membaca isinya.
Saat istirahat aku berencana membayar SPP ketika tiba-tiba kudengar suara memanggilku.
“Rien…,” sebuah suara mengagetkanku.
“Bila harus menjadi ilalang atau belalang sekali pun, akan kulakukan. Asal dapat kumiliki hatimu,” katanya lembut.
Ha???? Rasanya kali ini aku benar-benar kehilangan cara bagaimana mengusir cowok cakep itu dari kehidupanku. Wajah lembutnya barusan mengingatkanku pada senyum manis yang semalam kutemui dalam mimpiku.
Haruskah kuterima cintanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar