Mawar
VS Ilalang
“Mbak, ada kiriman,”kata si Mbok begitu aku
masuk ke rumah. Kuterima bingkisan itu.
Huft!
Mawar lagi, puisi lagi! Bosan rasanya tiap hari menerima kiriman yang sama. Tempat
sampahku pun sudah tak sudi lagi menampung kiriman-kiriman Bryan.
Sebenarnya
tak ada yang kurang dari dirinya. Ia cakep, atletis, humoris, tajir lagi.
Sayangnya aku sangat benci sikapnya yang terlalu romantis dan suka pamer
kekayaan bokapnya dengan bolak-balik ganti mobil baru. Yang paling membuatku
benar-benar bete sampai ke ubun-ubun adalah saat dua minggu yang lalu. Ia
mengganti mobil mewahnya jadi sama dengan mobilku. Tak hanya merknya, tetapi
juga tahun dan warnanya.
“Aku
akan belajar menyukai apa pun yang kau sukai,” bisiknya ngaco suatu kali. “Di
awal mungkin baru mobil kita yang berdampingan, akan tiba masanya, hati kita
akan bertaut.”
Ia
juga selalu mengirimiku SMS. Tak kurang dari sepuluh kali dalam sehari.
“Bila
dalam sehari kita shalat lima waktu agar hati selalu bersih dan ingat pada Tuhan,
maka untuk mengingatkanmu padaku, tak cukup sepuluh SMS sehari,” begitu
alasannya.
Aku
kehabisan akal menghadapi ulah gilanya. Aku tak mungkin mengharapkan masukan
dari Rossie, Dian, atau Mal. Sahabat-sahabat karibku itu bukannya membantuku
mencari cara jitu untuk membuat Bryan mundur mengejarku malah justru
mendorongku agar menerima Bryan jadi cowokku.
Siapa
sudi punya cowok model kayak Bryan? Bagiku ia tidak macho banget!
“Mbak
Irien, bunganya mau dibuang lagi?”tanya si Mbok mengagetkanku.
Ternyata
sejak tadi aku hanya berdiri bengong memutar kenangan tentang segala
kekesalanku pada Bryan. Si Mbok pasti
hafal dengan kebiasaanku membuang mawar dan lembaran puisi itu di tong sampah.
Biasanya ia akan memungutnya dan meletakkan di kamarnya. Moga-moga saja tak ada
jampi-jampi yang diletakkan Bryan pada mawar itu. Kalau iya bisa-bisa Si Mbok
bisa terkiwir-kiwir, jatuh hati, pada
Bryan. Membayangkan hal konyol itu aku tersenyum lebar.
“Kenapa,
Mbak?”tanya si Mbok tak mengerti.
“Nggak
papa, Mbok. Ambil saja ini,” kataku.
Si
Mbok menerimanya lalu menciumnya seakan-akan bunga itu kiriman dari kekasihnya.
Iseng-iseng
kubaca puisi kiriman Bryan kali ini. Kuyakin isinya pasti tentang mawar dan
cinta seperti biasanya. Dugaanku tak salah.
Purnama telah hampir beradu sejak
kutitipkan benih mawar itu padamu.
Apa kabarnya kini?
Harapku ketika bulan berganti
Telah dapat kuhirup wanginya dan
kubawa dalam mimpi.
Mawar? Kata mawar adalah kuncinya. Ia selalu
menggunakan kata itu untuk menyatakan rasa cintanya. Tiba-tiba kutemukan ide
cemerlang. Kuambil selembar kertas warna merah tua, dan kutuliskan sebait
puisi.
Semalam, kuambil sebatang ilalang kuikatkan
pada hatiku.
bagiku ilalang adalah tanda cinta
ia tak
mati meski bermusim kerontang
terus bertumbuh meski dibabat dan dibakar.
Maaf, Sayang... tak ada mawar
hanya ilalang.
Dengan
puas kumasukkan puisi itu dalam amplop kecil seukuran yang biasa dipakai si
Mbok untuk nyumbang hajatan tetangganya. Bukan hanya tak peduli dengan
keindahan puisi itu, aku bahkan tak peduli dengan amplopnya.
***
Di
pelataran parkir sekolah pagi itu, kuserahkan
surat itu padanya. Ia menerimanya dengan kening berkerut. Mungkin
terkejut melihat amplopnya.
“Terima
kasih,” jawabnya sambil melempar senyum andalannya.
Huft!
Kenapa wajahnya tak jadi masam? Tapi okelah. Tunggu saja saat ia membaca
isinya.
Saat
istirahat aku berencana membayar SPP ketika tiba-tiba kudengar suara
memanggilku.
“Rien…,”
sebuah suara mengagetkanku.
“Bila
harus menjadi ilalang atau belalang sekali pun, akan kulakukan. Asal dapat
kumiliki hatimu,” katanya lembut.
Ha????
Rasanya kali ini aku benar-benar kehilangan cara bagaimana mengusir cowok cakep
itu dari kehidupanku. Wajah lembutnya barusan mengingatkanku pada senyum manis
yang semalam kutemui dalam mimpiku.
Haruskah
kuterima cintanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar