DI
POJOK JALAN KOTA ITU AKU MENUNGGUMU
(DImuat di Malang Pos, tapi lupa tanggalnya, tahun lalu)
Sebuah
pesan singkat masuk ke HP-ku tepat saat dosen Termodinamika yang berwajah jutek
itu mengucapkan salam, tanda perkuliahan hari ini selesai.
Aku
ke kotamu hari ini. Bila kau bisa, temui aku di rumah makan Ayam Goreng Jawa
pojokan Rampal jam 4 sore.
Gila.
Kamu baru menghubungiku dua minggu yang lalu setelah kita memutuskan berpisah 4
tahun yang lalu. Tiba-tiba kau memintaku untuk menemuimu.
Tak
bisa, aku ada kuliah sampai jam 5, balasku.
Mungkin
kau marah dengan SMS balasanku hingga kau menelponku.
"Apa
an?"tanyaku langsung jutek.
Kita
memang pernah berpacaran hampir dua tahun. Selama itu pula, ada satu hal yang
selalu kuingat. Setiap kali bertemu
denganmu, berbincang denganmu, menerima telepon darimu aku selalu ingin marah-marah
padamu. Namun, bila tak ada SMS dan telpon darimu sehari saja, aku pun bisa
uring-uringan.
"Beneran
gak mau ketemu?" tanyamu menyadarkanku dari lamunan.
"Emang
penting banget menemuimu?"balasku tanpa menjawab pertayaannya.
"Gak
nyesel nich?"
Aku
terdiam. Kesal.
Kenapa
sich kamu gak pernah membiarkanku
mendengar kalimatmu yang manis dan lembut seperti umumnya seorang cowok yang
sedang naksir seorang cewek. Aneh! Bisa jadi kamu tuh lagi gak waras. Katanya sayang, cinta, rindu, tapi tiap kalimat
yang kau ucapkan selalu membuatku sebal. Bete
banget!
"Fian,"
suaramu memotong lamunanku.
"Apaan?"
entah kenapa kini suaraku jadi lebih lunak.
"Kalau
kamu mau, aku bisa minta sopirku menjemputmu saat lunch nanti. Mau ya?"
Oho...
lunch dengan cowok jangkung dan
tampan? Sebuah tawaran yang menggiurkan.
"Gak
ah!"jawabku akhirnya.
"Beneran?"
"Iyaaaaaaa!"
Klik,
kumatikan HP-ku. Aku tak mau tergoda tawarannya. Aku yakin kalaupun aku
menemuinya, hal yang pasti aku terima darimu adalah ledekan-ledekanmu yang
bikin aku bete, sebel, dan pengin marah.
Kenapa sich tak kau biarkan kudengar
kalimat-kalimat romantis seperti yang kubayangkan dalam puisi-puisi cintaku.
****
Jarum
jam di tanganku menunjuk angka 12 lebih lima. SMS-mu lima menit lalu mengatakan
kau akan berada di rumah makan ayam bakar Jawa di pojok jalan dekat Dodikjur di
Rampal. Katamu kau sedang memberi materi pelatihan kepemimpinan untuk para
perwira di sana hingga pukul 13.00. Ya, aku yakin kau memang layak mendapatkan
kepercayaan seperti itu. Kau sudah kuliah semester 7 dan aku masih duduk di
kelas 3 SMA saat kita memutuskan berpisah. Seperti apakah kini engkau?
Tiba-tiba rasa rindu menyeruak di dadaku,
mengalahkan segala rasa sebal yang tadi sempat muncul. Ya… tak bisa kupungkiri.
Aku belum bisa melupakanmu. Takmampu menggantikan posisimu di hatiku dengan
yang lain. Yang juga pasti, ternyata rasa sebal dan rinduku padamu masih sama
persis seperti 4 tahun lalu. Kau memang tampan, tubuhmu atletis, pandai, jago
basket dan debat bahasa Inggris. Tapi kau juga narsis dan suka memamerkan
prestasimu padaku. Dan itulah yang membuatku sebal padamu.
Kulihat
arloji di tanganku. Kalau aku ke Rampal naik motor, mungkin cukup sepuluh
menit. Namun langit mendung seperti mengantung ribuan galon air yang bisa saja
tumpah sewaktu-waktu.
Tanpa
pikir panjang kutekan no telepon di HP-ku. 71-71-71.
Begitu
taksi datang, aku langsung meminta sopir mengantarkanku ke rumah makan yang kau
maksud. Sengaja tak kuberitahu engkau bahwa aku akan datang menemuimu. Setidaknya
ada dua alasan. Pertama, aku ingin memberi kejutan padamu. Kedua, bila pada
akhirnya aku tak yakin bahwa kau tak akan membuatku bete dan marah-marah, aku
akan langsung kabur dan tak jadi menemuimu. Ini lebih aman bagiku.
****
Lima
menit berdiri di pojok jalan ini belum juga kulihat kau masuk atau keluar dari
rumah makan itu. Sepuluh menit, lima belas menit, hingga satu jam, belum juga
kutemukan wajahmu di antara lalu lalang orang yang keluar masuk ke rumah makan
itu.
Aku
mengutuki diriku sendiri yang nyaris mirip orang gila yang kebetulan berdiri
tak jauh dariku. Apa bedanya aku dengan dia? Sama-sama terdampar di pinggir
jalan saat hari mulai gerimis. Bedanya, orang gila itu menikmati
keterdamparannya dengan riang, ia tertawa-tawa sambil sesekali melempari para
pejalan kaki dengan kerikil-kerikil kecil yang ada di dekatnya. Sedang aku?
Oh... aku berdiri di sini dengan ribuan kutukan pada diri sendiri dan padamu.
Aku mengutuki diriku sendiri yang sampai gila nekad hendak menemuimu meski tak
jelas kapan kau akan datang ke rumah makan itu. Aku pun menggunakan
kerikil-kerikil yang banyak terdapat di dekat tempatku berdiri. Tapi, aku tak
memungutinya. Aku menendangnya sejauh mungkin ke arah lapangan Rampal yang letaknya hanya
beberapa meter dari tempatku berdiri.
"Mbak...
Mbak, lagi nunggu siapa?" seorang ibu-ibu berseragam coklat keki
menegurku.
Aku
menggeleng.
Ya
ampuun, malu sekali rasanya. Aku berlari ke teras rumah makan ayam goreng Jawa
yang sejak tadi kuawasi. Kuambil cermin kecil yang biasa kubawa kemana-mana di
dalam tas. Kupandangi bayangan wajahku dalam cermin itu. Lelah, mengantuk,dan
menahan kemarahan.
Ya
Tuhan, benar-benar memelas penampilanku. Nyaris seperti tikus got yang kejebur air. Rambutku acak-acakan,
bibirku pias, dan pipiku terasa dingin.
"Apa
yang kau cari di sini Fian," pekikku dalam hati, mengutuki diriku sendiri.
Hujan
makin deras. Aku tak berani nekad pulang. Petir dan guruh bersahut-sahutan.
Biasanya jalan-jalan akan banjir dan macet. Tak jarang dahan bahkan batang
pohon bertumbangan di jalan-jalan. Lengkap sudah penderitaanku kini. Tak
berhasil menemuimu, basah kuyup, menggigil kedinginan, dan penampilan amburadul
tak karuwan. Gigi ku pun gemeletuk menahan dingin yang sangat.
"Kamu
dimana?" suaramu dari HP terdengar biasa saja.
Aku
sebal banget mendengar suaramu yang sangat tak peduli dengan kemelasan yang
kualami saat ini.
"Di
dekat tempatmu seminar,"jawabku tak mampu menyembunyikan gigilku.
"Kau
sakit?"
Aku
menggeleng. Saat sadar akan kebodohanku aku mengutuki sikapku. Pasti dia tak
tahu meski aku mengangguk hingga bungkuk sekalian.
"Kau
selesai jam berapa?"tanyaku.
"Jam
4. Kenapa? Mau menemuiku? Aku nanti akan ke rumah makan kesukaanmu dua tahun
lalu. Ingat kan? Rumah makan Oen?"
"Ya."
kugigit bibirku kuat-kuat, menahan kerinduan yang sampai di ubun-ubunku.
Ternyata
telah hampir 4 tahun kusekaprinduku padamu.
"Kalau
kau mau, aku tunggu di sana, ntar kita cari novel terbaru," bujuknya.
Ya
Tuhan... bahkan kau pun masih ingat betapa aku sangat hobi membeli, mengoleksi,
dan membaca novel. Hm...
Sebuah
taksi lewat dan kuminta membawaku kembali ke kampus. Ada kuliah Matriks. Mata
kuliah paling kubenci.
****
Masih
tak kuberitahukan padamu bahwa akhirnya aku memilih untuk kabur dari mata kuliah
Matrik yang menjemukan, dan memilih untuk sembunyi di pojok jalan pusat kota
Malang demi untuk menemuimu. Inikah salah satu bukti bahwa cinta itu buta? Baru saja aku tiba ke kampus setelah gagal
menemuimu, sekarang aku melarikan diri lagi dari kampus juga untuk menemuimu.
Kupilih
menunggumu di pojok jalan, dekat tukang kios majalah sambilmembaca-baca dan
membeli sebuah majalah wanita. Kurasa kau akan mengubah penilaianmu padaku begitu
kau melihat bacaanku kini sudah beralih ke bacaan orang dewasa. Ya, aku tak
lagi kanak-kanak seperti pendapatmu dulu.
Jam
di tanganku sudah menunjuk ke angka enam. Kau belum muncul. Jangan-jangan tadi
saat aku salat maghrib di Masjid Jami' kau masuk ke rumah makan Oen sebentar
kemudian langsung balik ke kotamu.
Hujan
kembali menderas. Aku makin memelas. Haruskah aku menelponmu dan mengatakan
padamu bahwa aku hampir membeku menunggumu di pojok jalan kota ini? Haruskah?
Itu berarti aku memberimu kesempatan yang kesekian kalinya untuk meledekku.
Terbayang senyum puasmu saat melihat penampilanku yang memilukan.
Dimana
Fian yang ceria? Dimana senyum Fian yang selalu mengembang itu? Oh, tragis. Tak
ada yang tersisa di wajahku kecuali kemelasan
sampai titik paling dasar. Apa yang terjadi padaku?
Jam
tujuh malam, kau belum juga muncul. Akhirnya kuputuskan menelponmu.
"Kau
dimana? Masih di Malang?" tanyaku langsung saat kau angkat teleponku.
"Aku
sedang karaoke di Fun Karaoke, sama teman-teman," jawabmu tanpa nada
bersalah.
Whaaaaat???
Berjam-jam aku setia menungguimu di pojok jalan di kotaku, di antara gerimis
juga deras hujan, diringi guruh yang berlomba dengan petir, dengan tubuh
menggigil; kau malah enak-enakan karaoke.
"Aku
di depan rumah makan Oen,"kataku.
"Kau
ke sini saja," jawabmu dingin.
Tuhaaan!
Betapa aku ingin mendengar tawaranmu mengirim sopir dan menjemputku. Air mataku
luruh. Lebih deras dari hujan yang mulai reda. Tapi gemuruh di dadaku jauh
lebih keras dibanding guruh di angkasa.
Aku
tahu tak mungkin menemuimu dengan baju basah kuyup seperti ini. Kau pasti akan
makin meledekku. Bahkan mungkin kau akan memarahiku karena malu dengan
penampilanku. Bergegas aku menyeberang jalan ke Sarinah Plaza. Kuputuskan
memilih sebuah gaun malam yang cantik yang matching dengan sepatu dan tasku.
Dengan
bedak tipis dan lipstik yang juga tipis serta gaun malam masih berbau toko,
kuputuskan berjalan ke Fun Karaoke. Hanya 400 meter dari tempatku berdiri
sekarang ini.
Di
Fun Karaoke tak kutemukan engkau. Kutanyakan pada resepsionis katanya baru
sepuluh menit yang lalu kau dan teman-temanmu meninggalkan tempat itu. Itu
berarti tepat saat kuusapkan lipstik merah jambu ke bibir bawahku di toilet
Sarinah Plaza.
Kutekan
nomor HP-mu.
"Haloo....,"
suaraku gemetar.
"Ya….
Kau dimana? Kenapa tak jadi datang?" tanyanmu tanpa menyembunyikan rasa
kecewa.
Lebih
baik tak kujawab.
"Kau
sendiri dimana sekarang?"
"Aku
sudah sampai Arjosari. Perjalanan pulang. Pesawatku landing jam 1 dini hari
nanti," jawabmu tanpa salah.
Tuhaaaaan....
Aku tak sanggup berkata-kata. Tak kujawab teriakan-teriakanmu memanggil-manggil
namaku.
Pandanganku
buram ke arah pojok jalan tempatku hampir 3 jam berdiri menunggumu. Kulihat
bayanganku terkapar di sana. Di antara genangan air hujan yang bercampur dengan
air mataku.
Aku
semakin yakin bahwa aku membencimu. Aku sebal padamu!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar