Minggu, 17 November 2013

DI POJOK JALAN ITU AKU MENUNGGUMU

DI POJOK JALAN KOTA ITU AKU MENUNGGUMU
(DImuat di Malang Pos, tapi lupa tanggalnya, tahun lalu)
Sebuah pesan singkat masuk ke HP-ku tepat saat dosen Termodinamika yang berwajah jutek itu mengucapkan salam, tanda perkuliahan hari ini selesai.
Aku ke kotamu hari ini. Bila kau bisa, temui aku di rumah makan Ayam Goreng Jawa pojokan Rampal  jam 4 sore.
 Gila. Kamu baru menghubungiku dua minggu yang lalu setelah kita memutuskan berpisah 4 tahun yang lalu. Tiba-tiba kau memintaku untuk menemuimu.
 Tak bisa, aku ada kuliah sampai jam 5, balasku.
 Mungkin kau marah dengan SMS balasanku hingga kau menelponku.
 "Apa an?"tanyaku langsung jutek.
 Kita memang pernah berpacaran hampir dua tahun. Selama itu pula, ada satu hal yang selalu kuingat.  Setiap kali bertemu denganmu, berbincang denganmu, menerima telepon darimu aku selalu ingin marah-marah padamu. Namun, bila tak ada SMS dan telpon darimu sehari saja, aku pun bisa uring-uringan.
"Beneran gak mau ketemu?" tanyamu menyadarkanku dari lamunan.
"Emang penting banget menemuimu?"balasku tanpa menjawab pertayaannya.
"Gak nyesel nich?"
 Aku terdiam. Kesal.
Kenapa sich kamu gak pernah membiarkanku mendengar kalimatmu yang manis dan lembut seperti umumnya seorang cowok yang sedang naksir seorang cewek. Aneh! Bisa jadi kamu tuh lagi gak waras. Katanya sayang, cinta, rindu, tapi tiap kalimat yang kau ucapkan selalu membuatku sebal. Bete banget!
 "Fian," suaramu memotong lamunanku.
"Apaan?" entah kenapa kini suaraku jadi lebih lunak.
"Kalau kamu mau, aku bisa minta sopirku menjemputmu saat lunch nanti. Mau ya?"
 Oho... lunch dengan cowok jangkung dan tampan? Sebuah tawaran yang menggiurkan.
 "Gak ah!"jawabku akhirnya.
"Beneran?"
"Iyaaaaaaa!"
Klik, kumatikan HP-ku. Aku tak mau tergoda tawarannya. Aku yakin kalaupun aku menemuinya, hal yang pasti aku terima darimu adalah ledekan-ledekanmu yang bikin aku bete, sebel, dan pengin marah. Kenapa sich tak kau biarkan kudengar kalimat-kalimat romantis seperti yang kubayangkan dalam puisi-puisi cintaku.
 ****
Jarum jam di tanganku menunjuk angka 12 lebih lima. SMS-mu lima menit lalu mengatakan kau akan berada di rumah makan ayam bakar Jawa di pojok jalan dekat Dodikjur di Rampal. Katamu kau sedang memberi materi pelatihan kepemimpinan untuk para perwira di sana hingga pukul 13.00. Ya, aku yakin kau memang layak mendapatkan kepercayaan seperti itu. Kau sudah kuliah semester 7 dan aku masih duduk di kelas 3 SMA saat kita memutuskan berpisah. Seperti apakah kini engkau?
 Tiba-tiba rasa rindu menyeruak di dadaku, mengalahkan segala rasa sebal yang tadi sempat muncul. Ya… tak bisa kupungkiri. Aku belum bisa melupakanmu. Takmampu menggantikan posisimu di hatiku dengan yang lain. Yang juga pasti, ternyata rasa sebal dan rinduku padamu masih sama persis seperti 4 tahun lalu. Kau memang tampan, tubuhmu atletis, pandai, jago basket dan debat bahasa Inggris. Tapi kau juga narsis dan suka memamerkan prestasimu padaku. Dan itulah yang membuatku sebal padamu.
Kulihat arloji di tanganku. Kalau aku ke Rampal naik motor, mungkin cukup sepuluh menit. Namun langit mendung seperti mengantung ribuan galon air yang bisa saja tumpah sewaktu-waktu.
 Tanpa pikir panjang kutekan no telepon di HP-ku. 71-71-71.
 Begitu taksi datang, aku langsung meminta sopir mengantarkanku ke rumah makan yang kau maksud. Sengaja tak kuberitahu engkau bahwa aku akan datang menemuimu. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, aku ingin memberi kejutan padamu. Kedua, bila pada akhirnya aku tak yakin bahwa kau tak akan membuatku bete dan marah-marah, aku akan langsung kabur dan tak jadi menemuimu. Ini lebih aman bagiku. 
 ****
Lima menit berdiri di pojok jalan ini belum juga kulihat kau masuk atau keluar dari rumah makan itu. Sepuluh menit, lima belas menit, hingga satu jam, belum juga kutemukan wajahmu di antara lalu lalang orang yang keluar masuk ke rumah makan itu.
 Aku mengutuki diriku sendiri yang nyaris mirip orang gila yang kebetulan berdiri tak jauh dariku. Apa bedanya aku dengan dia? Sama-sama terdampar di pinggir jalan saat hari mulai gerimis. Bedanya, orang gila itu menikmati keterdamparannya dengan riang, ia tertawa-tawa sambil sesekali melempari para pejalan kaki dengan kerikil-kerikil kecil yang ada di dekatnya. Sedang aku? Oh... aku berdiri di sini dengan ribuan kutukan pada diri sendiri dan padamu. Aku mengutuki diriku sendiri yang sampai gila nekad hendak menemuimu meski tak jelas kapan kau akan datang ke rumah makan itu. Aku pun menggunakan kerikil-kerikil yang banyak terdapat di dekat tempatku berdiri. Tapi, aku tak memungutinya. Aku menendangnya sejauh mungkin  ke arah lapangan Rampal yang letaknya hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
 "Mbak... Mbak, lagi nunggu siapa?" seorang ibu-ibu berseragam coklat keki menegurku.
Aku menggeleng.
Ya ampuun, malu sekali rasanya. Aku berlari ke teras rumah makan ayam goreng Jawa yang sejak tadi kuawasi. Kuambil cermin kecil yang biasa kubawa kemana-mana di dalam tas. Kupandangi bayangan wajahku dalam cermin itu. Lelah, mengantuk,dan menahan kemarahan.
 Ya Tuhan, benar-benar memelas penampilanku. Nyaris seperti tikus got yang kejebur air. Rambutku acak-acakan, bibirku pias, dan pipiku terasa dingin.
 "Apa yang kau cari di sini Fian," pekikku dalam hati, mengutuki diriku sendiri.
Hujan makin deras. Aku tak berani nekad pulang. Petir dan guruh bersahut-sahutan. Biasanya jalan-jalan akan banjir dan macet. Tak jarang dahan bahkan batang pohon bertumbangan di jalan-jalan. Lengkap sudah penderitaanku kini. Tak berhasil menemuimu, basah kuyup, menggigil kedinginan, dan penampilan amburadul tak karuwan. Gigi ku pun gemeletuk menahan dingin yang sangat.
 "Kamu dimana?" suaramu dari HP terdengar biasa saja.
 Aku sebal banget mendengar suaramu yang sangat tak peduli dengan kemelasan yang kualami saat ini.
 "Di dekat tempatmu seminar,"jawabku tak mampu menyembunyikan gigilku.
 "Kau sakit?"
 Aku menggeleng. Saat sadar akan kebodohanku aku mengutuki sikapku. Pasti dia tak tahu meski aku mengangguk hingga bungkuk sekalian.
 "Kau selesai jam berapa?"tanyaku.
 "Jam 4. Kenapa? Mau menemuiku? Aku nanti akan ke rumah makan kesukaanmu dua tahun lalu. Ingat kan? Rumah makan Oen?"
 "Ya." kugigit bibirku kuat-kuat, menahan kerinduan yang sampai di ubun-ubunku.
Ternyata telah hampir 4 tahun kusekaprinduku padamu.
 "Kalau kau mau, aku tunggu di sana, ntar kita cari novel terbaru," bujuknya.
 Ya Tuhan... bahkan kau pun masih ingat betapa aku sangat hobi membeli, mengoleksi, dan membaca novel. Hm...
Sebuah taksi lewat dan kuminta membawaku kembali ke kampus. Ada kuliah Matriks. Mata kuliah paling kubenci.
 ****
Masih tak kuberitahukan padamu bahwa akhirnya aku memilih untuk kabur dari mata kuliah Matrik yang menjemukan, dan memilih untuk sembunyi di pojok jalan pusat kota Malang demi untuk menemuimu. Inikah salah satu bukti bahwa cinta itu buta?  Baru saja aku tiba ke kampus setelah gagal menemuimu, sekarang aku melarikan diri lagi dari kampus juga untuk menemuimu.
Kupilih menunggumu di pojok jalan, dekat tukang kios majalah sambilmembaca-baca dan membeli sebuah majalah wanita. Kurasa kau akan mengubah penilaianmu padaku begitu kau melihat bacaanku kini sudah beralih ke bacaan orang dewasa. Ya, aku tak lagi kanak-kanak seperti pendapatmu dulu.
 Jam di tanganku sudah menunjuk ke angka enam. Kau belum muncul. Jangan-jangan tadi saat aku salat maghrib di Masjid Jami' kau masuk ke rumah makan Oen sebentar kemudian langsung balik ke kotamu.
 Hujan kembali menderas. Aku makin memelas. Haruskah aku menelponmu dan mengatakan padamu bahwa aku hampir membeku menunggumu di pojok jalan kota ini? Haruskah? Itu berarti aku memberimu kesempatan yang kesekian kalinya untuk meledekku. Terbayang senyum puasmu saat melihat penampilanku yang memilukan.
 Dimana Fian yang ceria? Dimana senyum Fian yang selalu mengembang itu? Oh, tragis. Tak ada yang tersisa di wajahku kecuali kemelasan sampai titik paling dasar. Apa yang terjadi padaku?
Jam tujuh malam, kau belum juga muncul. Akhirnya kuputuskan menelponmu.
"Kau dimana? Masih di Malang?" tanyaku langsung saat kau angkat teleponku.
 "Aku sedang karaoke di Fun Karaoke, sama teman-teman," jawabmu tanpa nada bersalah.
 Whaaaaat??? Berjam-jam aku setia menungguimu di pojok jalan di kotaku, di antara gerimis juga deras hujan, diringi guruh yang berlomba dengan petir, dengan tubuh menggigil; kau malah enak-enakan karaoke.
 "Aku di depan rumah makan Oen,"kataku.
 "Kau ke sini saja," jawabmu dingin.
 Tuhaaan! Betapa aku ingin mendengar tawaranmu mengirim sopir dan menjemputku. Air mataku luruh. Lebih deras dari hujan yang mulai reda. Tapi gemuruh di dadaku jauh lebih keras dibanding guruh di angkasa.
 Aku tahu tak mungkin menemuimu dengan baju basah kuyup seperti ini. Kau pasti akan makin meledekku. Bahkan mungkin kau akan memarahiku karena malu dengan penampilanku. Bergegas aku menyeberang jalan ke Sarinah Plaza. Kuputuskan memilih sebuah gaun malam yang cantik yang matching dengan sepatu dan tasku.
 Dengan bedak tipis dan lipstik yang juga tipis serta gaun malam masih berbau toko, kuputuskan berjalan ke Fun Karaoke. Hanya 400 meter dari tempatku berdiri sekarang ini.
 Di Fun Karaoke tak kutemukan engkau. Kutanyakan pada resepsionis katanya baru sepuluh menit yang lalu kau dan teman-temanmu meninggalkan tempat itu. Itu berarti tepat saat kuusapkan lipstik merah jambu ke bibir bawahku di toilet Sarinah Plaza.
 Kutekan nomor HP-mu.
 "Haloo....," suaraku gemetar.
 "Ya…. Kau dimana? Kenapa tak jadi datang?" tanyanmu tanpa menyembunyikan rasa kecewa.
 Lebih baik tak kujawab.
 "Kau sendiri dimana sekarang?"
 "Aku sudah sampai Arjosari. Perjalanan pulang. Pesawatku landing jam 1 dini hari nanti," jawabmu tanpa salah.
 Tuhaaaaan.... Aku tak sanggup berkata-kata. Tak kujawab teriakan-teriakanmu memanggil-manggil namaku.
Pandanganku buram ke arah pojok jalan tempatku hampir 3 jam berdiri menunggumu. Kulihat bayanganku terkapar di sana. Di antara genangan air hujan yang bercampur dengan air mataku.

Aku semakin yakin bahwa aku membencimu. Aku sebal padamu!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar