Senin, 18 November 2013

HUJAN DAN PERAWAN TUA

HUJAN DAN PERAWAN TUA

11 April 2011 pukul 18:46
"Hhhh, Bagaimana harus kukatakan resah ini padamu? Hujan selalu menenggelamkanku dalam bajir kenangan paling muram."

Rien mendekap jemarinya, menyusur jauh ke dalam dadanya. Sendirian ia mencari hangat pada tubuhnya yang menggigil. Sejak usai subuh tadi, hujan tak henti menderas. Barangkali hanya ketika ia menyempatkan diri mampir ke toilet sebuah POM bensin tadi, sekira pukul dua siang, hujan berhenti sejenak.

"Barangkali rintiknya malu bersaing dengan deras air yang mengalir di selokan toilet yang bau pete," rutuk Rien ketika ia terpaksa harus menahan nafas dalam toilet.

Hingga senja ketika ia kembali ke rumah, dengan setumpuk lelah dan gerah, hujan masih juga mendesah. Hujan menyisakan tanda keriput pada jemari, pada buku-buku jemari, dan memayatkan ruas-ruas kukunya. Rien menghabiskan sore dengan gigil tubuhnya yang jauh lebih dari sekedar guncangan tubuh saat tangis membuncah.

Dari jendela kamarnya, ia menatap selasar rumahnya. Seluruh daun-daun menunduk lelah diterpa air tanpa henti. Bebatang pohon membeku, menciptakan kegamangan dan kesenduan yang tiba-tiba merejam perasaan Rien.

Hujan senja hari selalu menacapkan luka di hati perawan yang bulan depan menggenapkan usiapaling rawan. 40 tahun. Telah empat lelaki memutuskan berbalik ketika telah sampai di serambi rumahnya tanpa pernah sempat mengucapkan rangkaian kata-kata manis pinangan untuknya. Lelaki-lelaki itu, berjatuhan di atas pangkuannya saat matahari menghangat, lalu menghilang seperti daun-daun terbawa arus hujan.

Yang tinggal adalah kenangan paling menenggelamkan.

Rien mengutuki hujan yang telah menenggelamkannya dalam dingin paling beku.

"Bukankah telah kusiapkan ranjang dan slimut paling hangat yang kurajut dari kesetiaan dan pengabdian untuk lelakiku, meski kau meminangku dalam hujan tanpa tepian. Ataukah harus kugadaikan lembar-lembar nafasku, kujahit dengan hela-hela nafasku, agar kau datang menjemputku? Apakah kesediaanku untuk kaubakar hingga mengabu masih belum cukup untuk membuatmu tak berpaling ketika sampai di serambi rumahku?"

Rien menatap serambi hatinya pada wajah sederhana. Sebiji kacang jerawat menyembul tepat di ujung hidungnya. Ia umpama simbol kesepian, rindunya pada lelaki yang akan menghapus kata perawan di depan namanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar