Sabtu, 11 Juni 2016

Tanggapan terhadap Postingan Tindakan Asusila Pelajar

APA YANG KITA CARI?
(Refleksi ...)

Entah kenapa saya selalu miris ketika melihat video atau foto kenakalan anak-anak disebarluaskan. Bukan hanya miris karena perilaku mereka yang acapkali melanggar norma sosial, moral dan agama mulai dari cara  berpakaian, gaya mulut atau tangan, pose yang seronok dan menjurus, merokok, minum-minuman keras, dan masih banyak hal negatif lainnya.

Foto-foto dan video-video tersebut diunggah tanpa sedikit pun ada upaya sensor misal dengan memburamkan wajah pelakunya.

Lalu ... pengunggah maupun komentator akan beramai-ramai memosisikan dirinya sebagai sosok suci atau hakim yang tegas. Sosok-sosok suci itu pun berlomba menyampaikan menyampaikan fatwa dan nasihat dengan menyitir teori-teori, pendapat para pakar, dan menyitir ayat-ayat. Lomba fatwa yang seolah sebuah pengibaran bendera bahwa yang menyampaikannya adalah benar-benar suci. Para hakim dadakan juga berlomba menyampaikan dakwaan dan tuntutan hukuman.

Sedikit sekali di antara mereka yang mau merefleksi diri. Adakah para pemgunggah foto dan video itu yang bukan orang tua? Yang kelak tidak akan jadi orang tua? Atau malah sangat mungkin di antara mereka adalah kita, para guru?

Takkah kita pernah berpikir bahwa setiap manusia itu wajar berbuat salah dalam hidupnya. Sama sangat wajar dan sangat mungkin bahwa suatu hari mereka akan sadar dan berbenah diri. Bukankah orang yang bejat sekali pun masih sangat terbuka kemungkinannya mati dalam keadaan khusnul khotimah? Pun sebaliknya, kita yang merasa suci dari perbuatan-perbuatan aib yang dilakukan anak-anak itu masih sangat mungkin meninggal dalam keadaan suul khotimah?
Kalau pun hari ini kita merasa sebagai orang baik yang tidak pernah melakukan perbuatan buruk itu, adakah kita menyadari bahwa bisa jadi kita jauh lebih buruk dari anak-anak tersebut. Takkah kita sadari bahwa 'kebaikan' atau 'kesucian' itu karena kasih sayang Allah yang menutup aib kita.

Mari berdiri di depan cermin sejenak. Pandangilah diri kita. Sungguh hanya Allah yang melindungi kita dari aib kita. Pernahkah kita berpikir sejenak bahwa tubuh kita pun bisa jadi pengingat bahwa Allah menutupi aib-aib kita seperti hebat-Nya Allah menutup bau kencing dan tinja yang kita bawa kemana-mana?

Allah begitu luar biasa mengajarkan pada kita untuk menutup aib kita. Namun, hari-hari ini kita seolah-olah bangga saat menebarkan aib anak-anak kita. Apakah dengan menebarkan aib mereka, maka anak-anak lainnya akan terhindar dari perbuatan buruk tersebut? Apakah dengan menebarkan foto dan video mereka ke media massa, sosial media, dan lainnya anak-anak itu akan sadar dan lalu menjadi baik?

Apa sejatinya yang kita cari?

Bagaimana kalau mereka itu murid-murid kita atau bahkan anak kita sendiri? Baiklah, mereka mungkin bukan murid atau anak kita. Tapi, kita tak pernah tahu hari esok. Kita bisa saja mendidik anak dengan sangat hati-hati, membimbing dan membekali anak dengan agama yang baik, memberikan teladan yang baik. Tapi, siapa yang dapat menjamin anak-anak kita mampu bertahan dari serbuan tindakan amoral di dunia luar?

Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari semua itu.

Rasanya ... saya bisa membayangkan malunya, sakitnya, para guru dan orang tua yang anak-anaknya adalah pelaku tindakan negatif dalam foto dan video-video itu. Entahlah ... Saya merasakan tindakan memgunggahnya ke media sosial itu sebagai hukuman yang sangat kejam. Seolah-olah mereka yang berbuat salah harus kita cerca habis-habisan selamanya. Ya ... habis-habisan karena semua orang tergerak untuk ikut mencerca. Selamanya karena selama foto dan video itu masih ada di sosial media atau di internet, kapan saja orang melihatnya, orang akan kembali mencerca. Bahkan mungkin ketika mereka sudah meninggal dunia.

Anak-anak itu adalah anak-anak kita juga. Mereka adalah masa depan kita. Tegakah kita menghukum dan menghancurkan mereka? Bila dakwah bisa dilakukan dengan kasih sayang dan dengan cara-cara yang baik, mengapa kita memilih cara-cara yang kejam?

Allah Maha Pengampun. Manusia adalah khalifah di muka bumi, wakil Allah di muka bumi. 'Tak ada maaf bagimu' jelas tak layak dilakukan oleh wakil Allah.

Subuh ini sungguh saya hanya ingin mengajak kita semua menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Meski sejatinya masih ratusan pertanyaan lain memenuhi kepala dan dada saya.

Jangankan untuk anak-anak yang masa depannya masih panjang, bagi kita yang dewasa bahkan tua renta pun masih terbuka kesempatan untuk menjadi baik kembali. Selalu terbuka pintu taubat sebelum maut menjemput kita.

#saveourchildren.
Colek Kreshna Aditya, Satria Dharma, Setiawan Agung Wibowo, Leck Murman, Choirur Rofiq.

Postingan senada saya kopas dari grup WA sekolah saya. (Saya edit tanpa mengubah pesan di dalamnya)

KETIKA ALLAH MENGINGATKAN MUSA AKAN AIBNYA

Pada zaman Nabi Musa 'alaihis salam, Bani Israel ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan.Mereka berkumpul mendatangi Nabi mereka, Musa 'alaihissalam...
Mereka berkata, "Ya Kaliimallah, berdoalah kepada Rabb-mu agar Dia menurunkan hujan kepada kami."

Maka berangkatlah Musa 'alaihis salam bersama kaumnya menuju padang yang luas.

Waktu itu mereka berjumlah lebih dari 70 ribu orang...
Mulailah mereka berdoa dengan keadaan yang lusuh dan kumuh penuh debu, haus, dan lapar...

Nabi Musa berdoa,

إلهي.... أسقنا غيثك... و انشر علينا رحمتك و ارحمنا بالأطفال الرضع... و البهائم الرتع و المشايخ الركع......

"Ilaahi....! Asqinaa ghaitsak...Wansyur 'alaina rahmatak.... warhamnaa bil athfaal ar rudhdha'...wal bahaaim ar rutta'...wal masyaayikh ar rukka"
"Tuhanku...! Turunkan hujan kepada kami... Tebarkanlah rahmat-Mu kepada kami, kasihilah kami demi anak-anak yangg msh menyusui, hewan ternak yg merumput, dan para orang tua yang ruku' kepada-Mu..."

Setelah itu langit tetap saja terang benderang. Matahari pun bersinar makin kemilau.

Nabi Musa berdoa lagi, "Ilaahi ... asqinaa...."

Allah pun berfirman kepada Musa,

يا موسىأني أكون بغيثكم و فيكم رجل يبارزني بالمعاصي أربعين عاما.. فليخرج حتى أغيثكم

"Wahai Musa...Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian..."

Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, "Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun… keluarlah ke hadapan kami... karena engkaulah hujan tak kunjung turun..."

Semua orang,saling melirik dan memandang penuh selidik pada orang di kanan  kirinya. Namun, tak seorang pun yang berdiri dan keluar dari majelis itu.

Saat itu pulalah, Nabi musa sadar kalau dirinyalah yang dimaksud Allah.

Ia berkata dalam hatinya, "Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku...Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun..."

Maka hatinya pun gundah gulana. Air matanya pun menetesmenyesali perbuatan maksiatnya.

Ia pun berkata lirih, "Ya Allah...Aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun... selama itu pula Engkau menutupi 'aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku..."

Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan. Semakin lama semakin tebal menghitam.

Akhirnya turunlah hujan...

Musa pun keheranan, "Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia."

Allah berfirman :

يا موسى لقد تاب وتبت عليه,, منعت عنكم الغيث بسببه,, وأمطرتكم بسببه

"Wahai Musa, dia telah bertaubat dan Aku telah menerima taubatnya, karena orang itu lah Aku menahan hujan kepada kalian, dan karena dia pula lah Aku menurunkan hujan..."

Musa berkata :

ربي أرني أنظر إليه,,ربي أرني ذلك الرجل

"Ya Allah...Tunjukkan padaku orang itu... Tunjukkan aku pada orang itu..."

Allah berfirman,

يا موسى.. لقد سترته وهو يعصيني؛

أفلا أستره وقد تــاب وعـــاد إلي؟؟
"Wahai Musa, Aku telah menutupi 'aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah sekarang Aku membuka 'aibnya sedangkan ia telah bertaubat dan kembali kepada-Ku...?!"

MasyaaAllaah
sungguh Maha Pengasih Engkau wahai Rabbi....
Kalaulah bukan karena Engkau yang menutupi aib-aib kami...
Tentulah kami akan sangat malu di hadapan para hamba-MU....

Engkau mengetahui dosa-dosa kami dan kemalasan kami dalam beribadah, padahal kami dilihat sebagai orang yg berTAQWA di pandangan para hamba-MU...

Engkau mengetahui kefakiran dan kebutuhan hajat kami, padahal kami dilihat sbg orang yg KAYA di pandangan para hamba-MU...

Engkau mengetahui kelemahan dan keluh kesah kami, padahal kami dilihat sbg orang yg KUAT di pandangan para hamba-MU...

Kawan....

# Jika Allah Ta'ala, Tuhan yg mengetahui segala perbendaharaan langit dan bumi saja menutupi segala aib hamba-NYA,

Lalu siapalah kita. Dan apa lah kita sehingga dengan entengnya menyebar luaskan aib dan keburukan saudara kita sendiri tanpa mashlahat.

Merasa seakan diri ini lebih suci, lebih alim, lebih hebat, dan lebih ahli dengan menyebarluaskan keburukan saudara kita....

Tak sadar bahwa ternyata aib kita sendiri sudah  tak terhingga....

Semoga kisah singkat ini bisa menjadi bahan renungan kita untuk selalu memperbaiki diri, SELAGI ALLAH MENUTUPI AIB KITA....

Sumber:
Kitab "Fii Bathni al-Huut" oleh Syaikh DR. Muhammad Al 'Ariifi.