Sabtu, 16 November 2013

THE SECRET ADMIRER

THE SECRET ADMIRER
: Faradina Izdhihary
“Mama apa kabar? ” sebuah pesan offline di akunt  yahoo masenger (YM)-ku pagi ini langsung terbuka saat kuaktifkan YM-ku. Pesan offline yang setiap hari kuterima dari seseorang yang mengaku bernama Prasetyo.
Dalam sehari tak kurang lima pesan offline akan ia kirimkan di YM-ku. Isinya macam-macam dari hal sepele dan remeh temeh sampai hal paling jorok. Mulai dari sekedar pertanyaan, “Sudah makan siang?”,  “Hm...., aku mencium aroma wangi tubuh mama. Pasti sudah mandi.”,  atau rayuan murahan semacam, “Mama... rasanya tak sanggup lagi aku menahan rindu untuk melumat bibir mama.” Hingga kata-kata mesum yang menuliskan saja aku tak sanggup apalagi mengucapkannya.
Entah sudah berapa ribu pesan yang ia kirimkan. Pesan-pesan yang membuatku muak. Muak? Tidak! Lebih tepatnya membuatku mabuk dan ketagihan. Bangun tidur, sebelum beraktivitas di dapur majikanku, membuka YM menjadi sarapan pagi. Hilang  gairahku bila belum membaca pesannya. Pesan yang membuatku merasa jadi perempuan sempurna. Perempuan yang dipuja dan dicintai seorang pria.
Lelaki itu, Prasetyo namanya. Pelan tapi pasti ia membuatku gila. Akhirnya aku menerima ungkapan cintanya.  Kami berpacaran di dunia maya. Berpacaran tanpa saling tahu secara pasti siapa sesungguhnya masing-masing kami. Aku tak pernah peduli, siapa sesungguhnya Prasetyo. Apakah dia nyata? Baginya, aku seorang janda yang kesepian. sama seperti dirinya yang mengaku telah menduda selama 10 tahun. Meski telah berulang kali kujelaskan aku istri orang, ia tak mau percaya. Setiap kali berbincang dan bercanda dengannya, aku lupa jati diriku sebenarnya. Prasetyo membuatku lupa segala-galanya. Kata-kata yang ia tuliskan tiap kali kami bercanda di jendela YM membuatku gila. Aku kasmaran. Padahal awal mulanya aku begitu membencinya. Bahkan, sempat di awal-awal mengenalnya aku memanggilnya setan.
Pertama kali dia menyapaku di wall YM. Saat itu aku baru saja menerima permintaan pertemanannya padaku. Kuterima tanpa berpikir apa pun. Aku memang selalu meneriuma permintaan teman dari siapa pun tanpa pernah curiga atau berpikir macam-macam.
Suatu hari, ada pesan kecil di layar laptopku. Kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan membuatku meng-klik oke pesan itu. Aku tak tahu bahwa yang kuklik itu permintaan Preasetyo untuk melihat webcamku. Padahal saat itu aku sedang asyik chatting dengan suami dan anak-anakku. Aku lupa sedang memakai baju tidur yang seksi. Potongan lehernya yang rendah memperlihatkan belahan dadaku.
“Wow...... Cantik!” Begitu pesan Prasetyo setelah kubukakan webcamku.
Karena sedang asyik bercanda dengan Mas Fandi, suamiku, aku tak peduli.
“Thx,” balasku singkat.
Esoknya kutemukan pesan offline di YM-ku.
“Thx telah mengizinkanku menikmati keindahan tubuhmu. Sangat cantik. Sempurna. Aku tak akan bisa melupakanmu.”
Ya Tuhan, saat itu aku baru sadar telah melakukan kesalahan besar. Padahal semalam aku tak hanya memakai baju tidur seksi. Sesaat setelah kedua anakku tidur, aku melepas semua penutup tubuhku agar Mas Fandi bisa menatap tubuhku sepuas hatinya. Setidaknya dengan cara itu, kerinduan Mas Fandi padaku akan dapat terobati.
“Katakan, apa maksudmu? Kamu siapa? Apa yang kamu lihat?” balasku di bawah pesan offline Prasetyo.
“Aku pengagummu. Aku melihat semuanya.”
Dia menjawab pesanku meski statusnya offline. Ternyata dia mengatur statusnya invisible.
“Kamu..... Bagaimana kamu melakukannya? Apa yang kamu lakukan padaku?”tulisku sambil mulai terisak.
Tidak! Ya Tuhan... Bagaimana ini terjadi. Tak seharusnya ada orang lain yang boleh melihat tubuh telanjangku. Kecuali Mas Fandi.
“Bukankah kau sendiri yang membukakan kamera itu?”
“Aku?”
“Ya. Aku meminta izin dan kau mengizinkanku melihatmu sedang show!”
“Show? Apa maksudmu?”
“Sudahlah, jangan berpura-pura. Kau sering melakukannya, bukan?”
“Maksudmu?”tanyaku makin tak mengerti.
“Sudahlah. Bukankah kau pun mencari kepuasan? Sama sepertiku. Aku senang melihatnya.”
Tangisku tak dapat kutahan. Lelaki ini menuduhku show. Artinya... Artinya ia menuduhku sebagai perempuan yang terbiasa mempertontonkan tubuh telanjangnya pada laki-laki iseng.
“Aku bukan perempuan seperti itu! Kamu kejam!”
“Berapa aku harus membayar untuk melihatmu show lagi?”
Jemariku gemetar. Ingin kutampar lelaki kurang ajar itu.
“Aku bukan pelacur! Aku istri orang! Aku melakukannya untuk suamiku!”
“Tak mungkin. Seorang istri takkan melakukan hal seperti itu. Kecuali kau seorang janda,” balasnya ngotot.
Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan kesabaran. Tak tahu lagi harus bagaimana. Kumatikan YM-ku dengan nafas sesak dan jantung berdebar keras.
***
            Kucoba melupakan kejadian itu dengan mengubah status YM ku selalu invisible. Aku tak mau ada yang tahu aku sedang online, kecuali suami dan anak-anakku. Aku takut kejadian itu akan terulang lagi.
Bukannya menghilang, menyadari aku mencoba menghindarinya, Prasetyo semakin gigih mengejarku. Pesan-pesan offline-nya semakin banyak ia kirim. Aku semakin ketakutan. Ia tak boleh tahu jati diriku yang sesungguhnya. Aku harus sembunyi.
Hingga suatu hari, ia mengirimkan email. Isinya: foto dan video. Tentu saja aku yang jadi bintangnya. Foto dan video tubuh telanjangku sangat jelas merekam wajahku. Siapa pun tak akan ragu mengatakan bahwa orang di foto dan video itu adalah aku.
“Hari Selasa malam kutunggu. Bila tak online, akan kusebar foto-foto dan video ini,” ancamnya di email.
Aku kalah. Tak ada yang bisa kuperbuat kecuali melakukan semua permintaannya. Sejak itu, tiap kali aku online di YM, dia terus memaksaku membuka kamera. Itu membuatku sangat tersiksa. Di saat aku bercanda dengan anak-anakku, dengan suami, dengan saudara-saudaraku, dia mengawasiku. Aku menjadi pesakitan yang selalu diawasi.
Percuma aku menangis di depan webcam. Percuma aku memohon belas kasihan. Percuma juga mengingatkannya pada dosa. Nafsu setan telah membutatulikan nuraninya.
Bila aku tak mau ia akan menyerangku. Ia mengirimkan puluhan, mungkin sekitar lima puluh pesan dengan ID YM yang berbeda. Hingga membuat laptopku hang. Aku selalu ketakutan hal itu akan membuat laptop yang kubeli dengan bersusah payah ini akan rusak. Bila itu terjadi, tak hanya rugi secara materi, aku juga tak akan lagi dapat melihat wajah polos dan senyum ceria anak-anakku di webcam YM. Bagaimana mungkin dapat kulampiaskan rasa rinduku pada anak-anak dan suamiku di tanah air?
Aku marah! Geram! Tapi apa yang bisa kulakukan. Sebagai seorang perempuan yang hanya berpendidikan SMP, tanpa bekal pemahaman IT yang memadai aku menggunakan internet asal pencet saja. Akibatnya, bila terjadi sedikit saja permasalahan dengan laptopku, aku selalu meminta bantuan teman-temanku. Tapi intuk masalah ini, jangankan untuk meminta tolong pada orang lain, menceritakan masalah ini pada orang lain pun aku tak sanggup. Aku malu.
Lelaki itu kini menjadi hantu dalam hari-hariku. Sebulan, dua bulan, hingga hampir delapan bulan, Setiap dua hari sekali aku harus membuka setiap lembar penutup tubuhku di depan webcam. Meski air mataku mengucur deras, mataku sembab memerah, lelaki biadab itu tak peduli. Ia menikmati setiap inchi tubuhku yang terbuka sempurna. Tak hanya itu, ia pun memaksaku memberikan nomor HP-ku. Bila aku tak menuruti keinginannya, ancamannya selalu sama. Ia akan menyebar foto-foto dan videoku di internet.
Aku benar-benar tak berdaya.
Demikian jauh ia menjadikanku sebagai budak nafsunya. Tak sekali pun aku berhasil membujuknya untuk membuka webcamnya dan menunjukkan wajahnya. Telah berulang kali kucoba melakukannya. Aku pun telah berpura-pura merindukan untuk dapat melihat wajahnya.
“Mas... aku ingin menatapmu, sekali saja. Please,” pintaku suatu kali memohon.
“Aku masih di kantor, Ma,” balasnya.
Ia terus menghindar dan mencari alasan dari masih di kantor, pinjam komputer teman, sampai pada masalah laptop yang tak ada webcamnya.
“Suatu saat mama pasti akan melihatku. Tidak hanya di webcam. Tapi aku akan langsung berdiri di depan mama. Memeluk dan mencium mama,” balasnya.
Mama? Ya ia selalu memanggilku mama. Ia juga selalu memujiku sebagai istrinya yang cantik.
Pelan-pelan, entah kapan mulainya, aku terhanyut rayuannya. Aku tergoda lelaki yang tak kuketahui siapa sesungguhnya dia.
****
Untunglah di tengah kegilaannya itu, ia masih memiliki kesadaran beragama. Setidaknya, ia tak pernah memaksaku telanjang saat bulan puasa. Hanya di awal bulan suci itu ia berkirim pesan offline.
“Selamat menjalankan ibadah puasa, Mam!”
Setelah itu selama sebulan penuh, ia tak pernah mengirim pesan offline. Ia tak pernah online. Aku bersyukur. Ia menghilang dari kehidupanku. Hingga saat aku mendapat cuti seminggu untuk pulang ke tanah air. Bertemu suami, anak-anak, dan keluarga besar membuatku nyaris melupakannya. 
Pada lebaran hari ke empat, kubuka YM-ku dan kutemukan pesan offline darinya.
 “Mama, kemana pun mama bersembunyi, aku akan tetap mencari. Tak ada malam tanpa memimpikan kehadiran mama dalam hidupku. Sepuluh tahun menduda aku masih bisa bertahan. Namun, memendam rindu pada mama selama bulan puasa ini sungguh jauh lebih menyiksa.”
Aku gemetar. Takut kalau-kalau suami atau anak-anakku melihat dan membaca pesan itu.
“Mas.... please! Aku bukan janda seperti yang Mas kira! Aku istri orang! Mas cari yang lain!”
“Tidak! Tak ada perempuan yang mampu membuatku greng kecuali mama! tak ada perempuan yang mampu menggetarkanku. Bagaimanapun caranya, Papa harus memiliki Mama!”
Of! Kumatikan YM-ku seketika. Keringat dingin mengucur deras dari dahiku.
Edan. Lelaki itu benar-benar gila.
“Dik, ada tamu tuh! Bu Lik Farida dan keluarganya,” kata suamiku mengagetkanku dari lamunan.
Bergegas aku menuju ruang tamu. Kutemui Bu Lek Farida dan keluarganya. Ternyata mereka hanya bertamu sebentar. Aku kembali ke kamar atas. Kulihat Mas Fandi duduk tercenung di depan laptop. Melihatku masuk, ia menatapku tajam.
“Mengapa kau tak jujur padaku, Dik?”tanya suamiku.
Matanya basah.
“Maksud Mas?” jawabku balik bertanya. Bingung.
“Semuanya. Semuanya tentang lelaki yang mengaku bernama Prasetyo itu! Siapa bajiangan itu?”
Kini matanya tak hanya berair tapi juga memerah. Aku gemetar. Bagaimana Mas Fandi mengetahuinya?
“Kau lupa mematikan YM-mu. Aku sudah membaca semuanya.”
Ya Tuhan. Aku tak sanggup menjawab. Duniaku seakan runtuh saat itu. Suamiku pasti akan marah. Dia pasti cemburu, kecewa, dan sakit hati. Pandanganku menjadi gelap.
Ketika aku sadar kembali, dengan air mata yang tak berhenti berderai kuceritakan semua. Kuceritakan bagaimana lelaki itu menerorku.
“Kau mencintainya?”tanya suamiku.
“Mas... di hatiku hanya ada engkau dan anak-anak,” kataku tulus.
 “Berjanjilah untuk tak menyembunyikan apa pun dariku. Aku suamimu, Dik! Aku akan menjagamu dengan nyawaku!” bisiknya lembut .
Masihkah kubutuhkan yang lain bila semua kebahagiaan itu telah kugenggam kini?
***
 Demi menolongku, suamiku meminta bantuan beberapa rekannya untuk melacak jejak lelaki itu. Tak hanya melalui email tetapi juga SMS dan panggilan yang dilakukan laki-laki itu. Aku memang tak sempat menghapusnya. Apalagi kebiasaan Prasetyo menelponku tengah malam. Semua itu membuat keberadaannya dengan mudah terlacak oleh suamiku yang kebetulan punya kenalan yang bekerja di provider yang menyediakan nomor telepon seluler yang kugunakan.
“Kalau lelaki itu berani macam-macam, aku bisa langsung berbuat nekad! Hentikan semua itu! Kamu tak usah menanggapi pesan apa pun darinya!” kata suamiku dengan suara datar.
Aku bergidik mendengarnya.
“Mas Fandi sudah menemukan jejaknya!”
“Siapa dan dimana dia, Mas?”tanyaku ingin tahu.
“Tidak perlu! Nanti kau malah mencarinya! Bukankah kau pun diam-diam merindukannya?” balas suamiku dengan tatapan dingin.
Tak ada yang sanggup kuucap. Suamiku benar. Kadangkala aku pun merindukannya. Sekali waktu, bila mungkin aku ingin menemuinya dan membuktikan bahwa Prasetyo benar-benar lelaki yang menawan dan layak membuatku tergoda. Uuft....! Sudah gilakah aku?
Semua yang dikatakan suamiku pun kusampaikan pada Prasetyo. Ada ketakutan sesuatu yang buruk akan menimpa Prasetyo bila Mas Fandi sampai nekad menemuinya. Mas Fandi tak pernah main-main.
Kutulis pesan di YM Prasetyo agar ia tak lagi menghubungiku.  
“Mas, aku tak ingin ada satu pun di antara kita yang tersakiti. Please, Mas, lupakan aku. Aku ingin hidup damai lagi. Apalagi bulan depan aku harus kembali ke Singapura. Anak-anakku butuh biaya sekolah seperti juga mereka butuh kedua orang tuanya. Kasihani anak-anakku.”
Belum puas menuliskan ancaman suamiku itu, kutambahkan pesan lagi.
“Bila sesuatu terjadi padaku, hal yang pertama kulakukan adalah: mengakhiri hidup. Aku tak main-main, Mas.”
Sehari, dua hari, hingga seminggu tak ada balasan darinya. Aku yakin aku berhasil. Semoga lelaki itu benar-benar menghilang dari hidupku. Ia tak lagi menerorku.
Kututup akunt YM-ku. Kuharap Prasetyo tak akan menemukanku lagi.
***
Karena masalah dengan Prasetyo, Mas Fandi melarangku kembali bekerja di Singapura. Meski berat hati, kuterima permintaannya. Kurasa ini pilihan yang terbaik. Bukankah tak akan ada gunanya aku bekerja keras bila akhirnya hanya akan membuatku kehilangan orang-orang tercinta? Kujalani hidupku sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anakku dengan bahagia.
Hingga suatu malam, kuterima sebuah email. Isinya: beberapa fotoku yang kuupload di FB. Prasetyo mengirimkannya. Dituliskannya sebuah pesan singkat. “Merinduimu.”
Prasetyo muncul lagi. Kuyakin ia akan membawakanku setumpuk rayuan. Tangannya belepotan kata-kata manis. Mendadak semua perbincanganku dengannya teringat kembali. Tentang janjinya untuk menemuiku, tentang mimpinya untuk memelukku, bahkan keinginannya menghabiskan malam-malam denganku. Semua debaran jantungku saat aku melepas setiap lembar kain penutup tubuhku terasa kembali.  Aku merasa ia tengah menatapku dengan tatapan tajam. Pandangannya  seolah-olah ingin melumat tubuhku hingga tak bersisa.
Jauh di lubuk hatiku harus kuakui. Aku terhanyut  rayuannya. Berbulan-bulan aku menikmati kelembutan dan kemanisan tutur katanya. Bermalam-malam kunikmati bisikan suara baritonnya bila ia menelponku. Suara yang membuat nafasku terengah-engah menahan kesepian jauh dari suamiku. Prasetyo memujiku, merayuku. Kekagumannya yang membabi buta padaku telah membuatnya seperti orang tak waras. Ia bersumpah akan mencariku, memburuku.
“Aku pasti akan menjadikanmu sebagai permaisuri di rumahku,” tulisnya suatu kali.
Ia tak pernah peduli pada statusku sebagai seorang istri, bahkan ibu dari ke empat anak-anakku. Ia tetap ngotot mengatakan bahwa aku seorang janda yang kesepian. Tak peduli berapa pun anakku, ia berjanji akan menerimaku. Katakan, perempuan mana yang takkan mabuk kepayang dipuja sedemikian rupa?
Email yang ia kirim hari itu membuat duniaku berguncang lagi. Aku sekarat.  Aku lupa menggunakan email YM-ku untuk membuka akunt FB. Aku lupa ia bisa saja menemukanku di FB. Segera kuketik alamat emailnya dan kucari di FB. Kutemukan sebentuk wajah yang tak asing bagiku. Prasetyo. Tulung Agung, Jawa Timur. Usia 51 tahun. Status: bercerai. Ya Tuhan, Prasetyo benar-benar ada. Kini dia dan aku sama-sama tahu, siapa kami sesungguhnya.
Saat itu ingin sekali aku menanyakan pada Mas Fandi dimana alamat Prasetyo. Aku ingin menemuinya. Mendampratnya.  
“Kamu tak perlu mengetahuinya. Aku tak yakin kau bisa nekad melakukan sesuatu bila  mengetahui siapa dia,” jawab suamiku suatu kali ketika kudesak .
Mas Fandi benar. Mungkin bila aku mengetahui siapa dan dimana Prasetyo berada, aku bisa nekad menemuinya. Tapi aku tak yakin apakah aku akan melabrak dan menampar wajahnya dengan penuh amarah dan kebencian, atau malah sebaliknya aku akan datang dan kemudian terhuyung-huyung jatuh cinta dalam pelukannya.
Kuputuskan menulis pesan offline di YM-nya.
“Sungguh, Mas. Lupakan aku. Izinkan aku memiliki kebahagiaanku seperti yang dulu.”
Esoknya kutemukan pesan offline-nya singkat.
“Sudah Mama terima foto-foto Mama? Gimana? Suka?”
Huh! Bagaimana mungkin dia tak merasa bahwa email yang ia kirimkan itu mampu membuat darahku mendidih. Tak hanya karena foto-fotoku dibingkainya dengan karangan bunga sehingga mirip foto-foto orang India yang telah mati, tetapi karena ia menjawab pesanku itu tanpa rasa bersalah.
“Apa maksud, Mas? Kenapa mengusikku lagi?”
Pesan itu ia jawab esok hari.
“Apa aku salah, Ma? Aku kan hanya merindukan Mama. Aku tak mengganggu Mama.”
Ya Tuhan, bahkan mengusik ketenanganku saja ia katakan tak menggangguku. Bukankah memujiku, merayuku, serta menyatakan mimpi-mimpinya tentangku jelas-jelas sebuah kesalahan? Aku menangis tersedu. Kutumpahkan apa yang kurasakan saat itu dalam status FB-ku.
Bila saja mampu, akan kugunting kenangan itu hingga saat sebelum perjumpaan itu. Mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan kita adalah gerbang neraka yang membuatku menyesal sepanjang sisa usiaku. Entah harus sampai di ribuan kali berapa aku memohon agar kau mengikhlaskanku menjemput cahaya di jalanku... Atau, membuatku menangis dan menyesali masa lalu sepanjang wakktu kau sebut wujud cinta dan rindu?

Aku tak peduli orang yang membaca statusku akan menilaiku seperti apa. Setidaknya dengan menulis pesan itu, perasaanku jauh lebih tenang.  Tak kupedulikan puluhan orang memberi tanda jempol dan beberapa memberikan komentar. Kujawab singkat, “Thx all.” Yang pasti perasaanku sedikit lega. Yang lebih penting, aku percaya ia akan membaca statusku itu.
Malam itu aku nyaris tak sanggup memejamkan mata. Rasa takutku akan kehadirannya membuat nafasku terengah-engah.
“Kau sakit?”tanya suamiku.
Kugelengkan kepala.
“Ada masalah?”
Aku menggeleng lagi. Suamiku  merengkuhku erat.
“Kamu masih ingat untuk tak merahasiakan apa pun dariku kan, Dik?”
Kutatap wajah suamiku yang penyabar itu dengan dada berdebar. Bukan karena aku takut kebohonganku terbongkar. Dadaku berdebar ketika di sudut hatiku tumbuh kesadaran bahwa aku adalah wanita paling beruntung. Wanita yang telah mendapatkan seorang suami yang baik dan penuh cinta.
Hampir dini hari kubuka YM di handphoneku. Kutemukan sebuah pesan offline.
“Melangkahlah di jalanmu. Aku takkan mengganggumu. Pegang janjiku, Mam. Tanggal 18 November ini aku pulang ke Indonesia. Seperti nasihatmu, akan kucoba melupakanmu dan mencari penggantimu.”
Haruskah aku bahagia mendengar janji itu?
Kutatap foto-fotoku yang dia bingkai dengan bunga-bunga . Kuyakin ia mengaambilnya dari album FB-ku. 
Kutulis status di FB-ku dengan jemari gemetar.
Seandainya kau bisa menatap mataku saat ini, lihatlah sungai air mata itu telah jadi danau. Tak hendak kutumpahkan.Janji yang kau tulis di dinding-dinding sepi jadi oase bagi rasa takut yang mencengkeram nafasku berbulan, bertahun. Ia menjelma jadi malaikat maut dalam mimpiku. Janjimu semalam, kuharap jadi selimut yang mengirim kembali mimpi-mimpiku yang lama tercerabut. Cemas dan harap berkejaran menuju muara akhir ketakutanku.

Dapatkah janjimu kupercaya?
***
Sungguh aku tak tahu, setan mana yang menuntun kakiku ke sini. Aku kini sedang duduk di terminal kedatangan luar negeri Bandara Juanda pada pagi hari Sabtu, 18 Oktober 2010. Niatku hanya satu. Menunggu pesawat paling pagi dari Korea. Aku benar-benar ingin menemuinya. Menemui Prasetyo.  Aku ingin lari dari hidupku yang berat. Tak ada yang pernah tahu betapa berat aku menjalani hidupku dengan Mas Fandi yang sehari-harinya hanya mengandalkan penghasilan dari menjadi tukang batu. Penghasilan yang tak menentu. Keadaan inilah yang membuatku terpaksa menjadi TKW di negeri singa. Bila kutemukan Prasetyo, kuingin ia membawaku pergi. Kuingin ia dapat mewujudkanku menjadi seorang istri yang bahagia. Istri yang semua kebutuhan dan keinginannya sebagai wanita dipenuhi suaminya.
Jatuh cintakah aku padamu, Pras? Atau aku benar-benar merindukan oase di trengah kegersangan kasih sayang suamiku. Semenjak kelahiran anak keempatku gairah malam di antara kami benar-benar padam.
Pras.... tiba-tiba aku sadar. Aku benar-benar  ingin kau memilikiku.
Pesawat pertama datang tepat jam 11 siang. Di antara barisan penumpang yang datang, tak satu pun lelaki yang berwajah mirip apalagi sama dengan Prasetyo. Pesawat kedua datang tepat jam lima saat menjelang senja. Tak kutemukan juga Prasetyo di antara barisan wajah-wajah lelah penumpang yang datang.
Setengah berlari, kutanyakan pada bagian informasi. Adakah penumpang pesawat dari Korea yang bernama Prasetyo? Bila tak ada, adakah yang berasal dari Tulung Agung? Tak ada, katanya. Aku kehilangan harapan. Aku pulang dengan kegagalan yang sempurna. Keinginan untuk menemui lelaki yang mampu membuat hatiku gundah sia-sia saja. 
Sesampainya di rumah kutemukan Mas Fandi sedang memasak di dapur.
“Darimana? Kenapa tak pamit?”tanyanya.
Aku diam. Rasa kecewa karena gagal bertemu Prasetyo membuat perasaanku dipenuhi amarah.
“Dik, darimana?”suara Mas Fandi sedikit meninggi.
Brak! Prang! Kulempar piring di atas meja makan ke dinding. Pecah. Belingnya hancur berkeping-keping di lantai. Persis seperti hatiku, harapanku.  
Aku kalap. Semua yang ada di dekatku kulempar. Kuhancurkan. Kuharap semua itu akan mengenai wajah Prasetyo. Aku ingin menghancurkannya! Hingga tak ada lagi bayangannya di mataku.
“Aku takkan mengganggumu lagi, Ma! Pegang janjiku!”
Janji Prasetyo di YM melintas-lintas di benakku. Aku benci!
“Pergi! Pergi!”
Prasetyo tak juga pergi. Ia berdiri teramat dekat denganku. Tatapan matanya tajam.
“Dik.... sadar! Sadar! Ingat Tuhan, ingat aku, ingat anak-anak!”kudengar suara suamiku terputus-putus. “Maafkan, aku.”
Sepasang tangan kekar memaksaku menenggak segelas air putih. Lamat-lamat kudengar suara orang membaca Al-Qur’an.
“Dia butuh pertolongan. Yang sabar, ya Mas,” kata sebuah suara pada suamiku.
Entah siapa dia.
Setelah hari itu orang-orang di rumah bertingkah aneh padaku. Tak ada lagi yang mengajakku bercanda atau berbincang. Ke empat anakku menatapku aneh, bahkan kurasa mereka kini takut padaku. Menjauhiku.
Si kecil bahkan menangis dan meraung-raung ketika kupeluk.
Orang-orang aneh semakin sering datang ke rumah ini. Mereka memberiku minuman aneh-aneh, bahkan kadang-kadang menyiramku dengan air kembang. Bukankah aku tak akan menikah? Entahlah, otakku tak sanggup menjawab teka-teki ini. Yang ada di otak dan lamunanku hanya satu nama: Prasetyo.
Ia kini menguasai otakku, hatiku, juga hari-hariku.
***
Sore ini kutemukan tubuhku di kamar ini. Kamar yang semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Tangan dan kakiku diikat erat di atas ranjang. Entah dimana? Berapa lama? Kusadari kini waktu bagiku menjelma malam selamanya.
Kutatap langit-langit kamar. Dan aku berbisik lirih,
“Tuhan... malam ini izinkan aku menemukannya. Setidaknya, izinkan kunikmati malam bersamanya. Semalam, dua malam, tiga malam, bahkan tujuh malam hingga luluh lantak tulang-tulangku. Hingga dia puas, aku puas. Karena jauh di lubuk hatiku, aku memujanya, merindukannya, dan tak terhitung berapa ratus kali memimpikannya.”
Dari balik jendela kaca, kulihat suamiku menggendong anakku yang terkecil. ia mengusap air matanya.

Faradina Izdhihary, cerpenis, penyair, tinggal di Malang. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa Media seperti Jurnal Bogor, Surabaya Pos, Malang Pos, Story, Hai, Suara Karya, dan Horison. Bulan Oktober 2010 lalu, cerpennya “Tempat terindah” masuk 15 besar dalam Lomba Menulis Cerpen untuk guru SMA/MA/SMK yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dari 1215 naskah yang masuk. Novel pertamanya yang berjudul “Seputih Cinta Hawna” baru saja terbit akhir Mei 2011. Kumcernya “membaca Hujan” memenangkan lomba penulisan kumcer di LeutikaPrio 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar