THE
SECRET ADMIRER
: Faradina Izdhihary
“Mama apa kabar? ” sebuah pesan offline
di akunt yahoo masenger (YM)-ku pagi ini
langsung terbuka saat kuaktifkan YM-ku. Pesan offline yang setiap hari kuterima
dari seseorang yang mengaku bernama Prasetyo.
Dalam sehari tak kurang lima pesan
offline akan ia kirimkan di YM-ku. Isinya macam-macam dari hal sepele dan remeh
temeh sampai hal paling jorok. Mulai dari sekedar pertanyaan, “Sudah makan
siang?”, “Hm...., aku mencium aroma
wangi tubuh mama. Pasti sudah mandi.”,
atau rayuan murahan semacam, “Mama... rasanya tak sanggup lagi aku
menahan rindu untuk melumat bibir mama.” Hingga kata-kata mesum yang menuliskan
saja aku tak sanggup apalagi mengucapkannya.
Entah sudah berapa ribu pesan yang ia
kirimkan. Pesan-pesan yang membuatku muak. Muak? Tidak! Lebih tepatnya
membuatku mabuk dan ketagihan. Bangun tidur, sebelum beraktivitas di dapur
majikanku, membuka YM menjadi sarapan pagi. Hilang gairahku bila belum membaca pesannya. Pesan
yang membuatku merasa jadi perempuan sempurna. Perempuan yang dipuja dan
dicintai seorang pria.
Lelaki itu, Prasetyo namanya. Pelan tapi
pasti ia membuatku gila. Akhirnya aku menerima ungkapan cintanya. Kami berpacaran di dunia maya. Berpacaran
tanpa saling tahu secara pasti siapa sesungguhnya masing-masing kami. Aku tak
pernah peduli, siapa sesungguhnya Prasetyo. Apakah dia nyata? Baginya, aku
seorang janda yang kesepian. sama seperti dirinya yang mengaku telah menduda
selama 10 tahun. Meski telah berulang kali kujelaskan aku istri orang, ia tak
mau percaya. Setiap kali berbincang dan bercanda dengannya, aku lupa jati
diriku sebenarnya. Prasetyo membuatku lupa segala-galanya. Kata-kata yang ia
tuliskan tiap kali kami bercanda di jendela YM membuatku gila. Aku kasmaran.
Padahal awal mulanya aku begitu membencinya. Bahkan, sempat di awal-awal
mengenalnya aku memanggilnya setan.
Pertama kali dia menyapaku di wall YM.
Saat itu aku baru saja menerima permintaan pertemanannya padaku. Kuterima tanpa
berpikir apa pun. Aku memang selalu meneriuma permintaan teman dari siapa pun
tanpa pernah curiga atau berpikir macam-macam.
Suatu hari, ada pesan kecil di layar
laptopku. Kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan membuatku meng-klik oke
pesan itu. Aku tak tahu bahwa yang kuklik itu permintaan Preasetyo untuk
melihat webcamku. Padahal saat itu aku sedang asyik chatting dengan suami dan anak-anakku. Aku lupa sedang memakai baju
tidur yang seksi. Potongan lehernya yang rendah memperlihatkan belahan dadaku.
“Wow...... Cantik!” Begitu pesan
Prasetyo setelah kubukakan webcamku.
Karena sedang asyik bercanda dengan Mas
Fandi, suamiku, aku tak peduli.
“Thx,” balasku singkat.
Esoknya kutemukan pesan offline di
YM-ku.
“Thx telah mengizinkanku menikmati
keindahan tubuhmu. Sangat cantik. Sempurna. Aku tak akan bisa melupakanmu.”
Ya Tuhan, saat itu aku baru sadar telah
melakukan kesalahan besar. Padahal semalam aku tak hanya memakai baju tidur
seksi. Sesaat setelah kedua anakku tidur, aku melepas semua penutup tubuhku
agar Mas Fandi bisa menatap tubuhku sepuas hatinya. Setidaknya dengan cara itu,
kerinduan Mas Fandi padaku akan dapat terobati.
“Katakan, apa maksudmu? Kamu siapa? Apa
yang kamu lihat?” balasku di bawah pesan offline Prasetyo.
“Aku pengagummu. Aku melihat semuanya.”
Dia menjawab pesanku meski statusnya offline. Ternyata dia mengatur statusnya
invisible.
“Kamu..... Bagaimana kamu melakukannya?
Apa yang kamu lakukan padaku?”tulisku sambil mulai terisak.
Tidak! Ya Tuhan... Bagaimana ini
terjadi. Tak seharusnya ada orang lain yang boleh melihat tubuh telanjangku.
Kecuali Mas Fandi.
“Bukankah kau sendiri yang membukakan
kamera itu?”
“Aku?”
“Ya. Aku meminta izin dan kau mengizinkanku
melihatmu sedang show!”
“Show? Apa maksudmu?”
“Sudahlah, jangan berpura-pura. Kau
sering melakukannya, bukan?”
“Maksudmu?”tanyaku makin tak mengerti.
“Sudahlah. Bukankah kau pun mencari
kepuasan? Sama sepertiku. Aku senang melihatnya.”
Tangisku tak dapat kutahan. Lelaki ini
menuduhku show. Artinya... Artinya ia
menuduhku sebagai perempuan yang terbiasa mempertontonkan tubuh telanjangnya
pada laki-laki iseng.
“Aku bukan perempuan seperti itu! Kamu
kejam!”
“Berapa aku harus membayar untuk
melihatmu show lagi?”
Jemariku gemetar. Ingin kutampar lelaki
kurang ajar itu.
“Aku bukan pelacur! Aku istri orang! Aku
melakukannya untuk suamiku!”
“Tak mungkin. Seorang istri takkan
melakukan hal seperti itu. Kecuali kau seorang janda,” balasnya ngotot.
Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan
kesabaran. Tak tahu lagi harus bagaimana. Kumatikan YM-ku dengan nafas sesak
dan jantung berdebar keras.
***
Kucoba melupakan kejadian itu dengan mengubah status YM ku selalu invisible. Aku tak mau ada yang tahu aku sedang online, kecuali suami dan anak-anakku. Aku takut kejadian itu akan terulang lagi.
Kucoba melupakan kejadian itu dengan mengubah status YM ku selalu invisible. Aku tak mau ada yang tahu aku sedang online, kecuali suami dan anak-anakku. Aku takut kejadian itu akan terulang lagi.
Bukannya menghilang, menyadari aku
mencoba menghindarinya, Prasetyo semakin gigih mengejarku. Pesan-pesan offline-nya semakin banyak ia kirim. Aku
semakin ketakutan. Ia tak boleh tahu jati diriku yang sesungguhnya. Aku harus
sembunyi.
Hingga suatu hari, ia mengirimkan email.
Isinya: foto dan video. Tentu saja aku yang jadi bintangnya. Foto dan video tubuh
telanjangku sangat jelas merekam wajahku. Siapa pun tak akan ragu mengatakan
bahwa orang di foto dan video itu adalah aku.
“Hari Selasa malam kutunggu. Bila tak online, akan kusebar foto-foto dan video
ini,” ancamnya di email.
Aku kalah. Tak ada yang bisa kuperbuat
kecuali melakukan semua permintaannya. Sejak itu, tiap kali aku online di YM,
dia terus memaksaku membuka kamera. Itu membuatku sangat tersiksa. Di saat aku
bercanda dengan anak-anakku, dengan suami, dengan saudara-saudaraku, dia
mengawasiku. Aku menjadi pesakitan yang selalu diawasi.
Percuma aku menangis di depan webcam.
Percuma aku memohon belas kasihan. Percuma juga mengingatkannya pada dosa. Nafsu
setan telah membutatulikan nuraninya.
Bila aku tak mau ia akan menyerangku. Ia
mengirimkan puluhan, mungkin sekitar lima puluh pesan dengan ID YM yang
berbeda. Hingga membuat laptopku hang.
Aku selalu ketakutan hal itu akan membuat laptop yang kubeli dengan bersusah
payah ini akan rusak. Bila itu terjadi, tak hanya rugi secara materi, aku juga
tak akan lagi dapat melihat wajah polos dan senyum ceria anak-anakku di webcam
YM. Bagaimana mungkin dapat kulampiaskan rasa rinduku pada anak-anak dan
suamiku di tanah air?
Aku marah! Geram! Tapi apa yang bisa
kulakukan. Sebagai seorang perempuan yang hanya berpendidikan SMP, tanpa bekal
pemahaman IT yang memadai aku menggunakan internet asal pencet saja. Akibatnya,
bila terjadi sedikit saja permasalahan dengan laptopku, aku selalu meminta
bantuan teman-temanku. Tapi intuk masalah ini, jangankan untuk meminta tolong
pada orang lain, menceritakan masalah ini pada orang lain pun aku tak sanggup.
Aku malu.
Lelaki itu kini menjadi hantu dalam
hari-hariku. Sebulan, dua bulan, hingga hampir delapan bulan, Setiap dua hari
sekali aku harus membuka setiap lembar penutup tubuhku di depan webcam. Meski
air mataku mengucur deras, mataku sembab memerah, lelaki biadab itu tak peduli.
Ia menikmati setiap inchi tubuhku yang terbuka sempurna. Tak hanya itu, ia pun
memaksaku memberikan nomor HP-ku. Bila aku tak menuruti keinginannya,
ancamannya selalu sama. Ia akan menyebar foto-foto dan videoku di internet.
Aku benar-benar tak berdaya.
Demikian jauh ia menjadikanku sebagai
budak nafsunya. Tak sekali pun aku berhasil membujuknya untuk membuka webcamnya
dan menunjukkan wajahnya. Telah berulang kali kucoba melakukannya. Aku pun telah
berpura-pura merindukan untuk dapat melihat wajahnya.
“Mas... aku ingin menatapmu, sekali
saja. Please,” pintaku suatu kali memohon.
“Aku masih di kantor, Ma,” balasnya.
Ia terus menghindar dan mencari alasan
dari masih di kantor, pinjam komputer teman, sampai pada masalah laptop yang
tak ada webcamnya.
“Suatu saat mama pasti akan melihatku.
Tidak hanya di webcam. Tapi aku akan langsung berdiri di depan mama. Memeluk
dan mencium mama,” balasnya.
Mama? Ya ia selalu memanggilku mama. Ia
juga selalu memujiku sebagai istrinya yang cantik.
Pelan-pelan, entah kapan mulainya, aku
terhanyut rayuannya. Aku tergoda lelaki yang tak kuketahui siapa sesungguhnya
dia.
****
Untunglah di tengah kegilaannya itu, ia
masih memiliki kesadaran beragama. Setidaknya, ia tak pernah memaksaku
telanjang saat bulan puasa. Hanya di awal bulan suci itu ia berkirim pesan offline.
“Selamat menjalankan ibadah puasa, Mam!”
Setelah itu selama sebulan penuh, ia tak
pernah mengirim pesan offline. Ia tak
pernah online. Aku bersyukur. Ia
menghilang dari kehidupanku. Hingga saat aku mendapat cuti seminggu untuk
pulang ke tanah air. Bertemu suami, anak-anak, dan keluarga besar membuatku
nyaris melupakannya.
Pada lebaran hari ke empat, kubuka YM-ku
dan kutemukan pesan offline darinya.
“Mama,
kemana pun mama bersembunyi, aku akan tetap mencari. Tak ada malam tanpa
memimpikan kehadiran mama dalam hidupku. Sepuluh tahun menduda aku masih bisa
bertahan. Namun, memendam rindu pada mama selama bulan puasa ini sungguh jauh
lebih menyiksa.”
Aku gemetar. Takut kalau-kalau suami
atau anak-anakku melihat dan membaca pesan itu.
“Mas.... please! Aku bukan janda seperti yang Mas kira! Aku istri orang! Mas
cari yang lain!”
“Tidak! Tak ada perempuan yang mampu
membuatku greng kecuali mama! tak ada
perempuan yang mampu menggetarkanku. Bagaimanapun caranya, Papa harus memiliki
Mama!”
Of! Kumatikan YM-ku seketika. Keringat
dingin mengucur deras dari dahiku.
Edan. Lelaki itu benar-benar gila.
“Dik, ada tamu tuh! Bu Lik Farida dan
keluarganya,” kata suamiku mengagetkanku dari lamunan.
Bergegas aku menuju ruang tamu. Kutemui
Bu Lek Farida dan keluarganya. Ternyata mereka hanya bertamu sebentar. Aku
kembali ke kamar atas. Kulihat Mas Fandi duduk tercenung di depan laptop.
Melihatku masuk, ia menatapku tajam.
“Mengapa kau tak jujur padaku,
Dik?”tanya suamiku.
Matanya basah.
“Maksud Mas?” jawabku balik bertanya. Bingung.
“Semuanya. Semuanya tentang lelaki yang
mengaku bernama Prasetyo itu! Siapa bajiangan itu?”
Kini matanya tak hanya berair tapi juga
memerah. Aku gemetar. Bagaimana Mas Fandi mengetahuinya?
“Kau lupa mematikan YM-mu. Aku sudah
membaca semuanya.”
Ya Tuhan. Aku tak sanggup menjawab.
Duniaku seakan runtuh saat itu. Suamiku pasti akan marah. Dia pasti cemburu,
kecewa, dan sakit hati. Pandanganku menjadi gelap.
Ketika aku sadar kembali, dengan air
mata yang tak berhenti berderai kuceritakan semua. Kuceritakan bagaimana lelaki
itu menerorku.
“Kau mencintainya?”tanya suamiku.
“Mas... di hatiku hanya ada engkau dan
anak-anak,” kataku tulus.
“Berjanjilah
untuk tak menyembunyikan apa pun dariku. Aku suamimu, Dik! Aku akan menjagamu
dengan nyawaku!” bisiknya lembut .
Masihkah kubutuhkan yang lain bila semua
kebahagiaan itu telah kugenggam kini?
***
Demi
menolongku, suamiku meminta bantuan beberapa rekannya untuk melacak jejak
lelaki itu. Tak hanya melalui email tetapi juga SMS dan panggilan yang
dilakukan laki-laki itu. Aku memang tak sempat menghapusnya. Apalagi kebiasaan
Prasetyo menelponku tengah malam. Semua itu membuat keberadaannya dengan mudah
terlacak oleh suamiku yang kebetulan punya kenalan yang bekerja di provider
yang menyediakan nomor telepon seluler yang kugunakan.
“Kalau lelaki itu berani macam-macam,
aku bisa langsung berbuat nekad! Hentikan semua itu! Kamu tak usah menanggapi
pesan apa pun darinya!” kata suamiku dengan suara datar.
Aku bergidik mendengarnya.
“Mas Fandi sudah menemukan jejaknya!”
“Siapa dan dimana dia, Mas?”tanyaku
ingin tahu.
“Tidak perlu! Nanti kau malah
mencarinya! Bukankah kau pun diam-diam merindukannya?” balas suamiku dengan
tatapan dingin.
Tak ada yang sanggup kuucap. Suamiku
benar. Kadangkala aku pun merindukannya. Sekali waktu, bila mungkin aku ingin
menemuinya dan membuktikan bahwa Prasetyo benar-benar lelaki yang menawan dan
layak membuatku tergoda. Uuft....! Sudah gilakah aku?
Semua yang dikatakan suamiku pun
kusampaikan pada Prasetyo. Ada ketakutan sesuatu yang buruk akan menimpa
Prasetyo bila Mas Fandi sampai nekad menemuinya. Mas Fandi tak pernah
main-main.
Kutulis pesan di YM Prasetyo agar ia tak
lagi menghubungiku.
“Mas, aku tak ingin ada satu pun di
antara kita yang tersakiti. Please, Mas, lupakan
aku. Aku ingin hidup damai lagi. Apalagi bulan depan aku harus kembali ke
Singapura. Anak-anakku butuh biaya sekolah seperti juga mereka butuh kedua
orang tuanya. Kasihani anak-anakku.”
Belum puas menuliskan ancaman suamiku
itu, kutambahkan pesan lagi.
“Bila sesuatu terjadi padaku, hal yang
pertama kulakukan adalah: mengakhiri hidup. Aku tak main-main, Mas.”
Sehari, dua hari, hingga seminggu tak
ada balasan darinya. Aku yakin aku berhasil. Semoga lelaki itu benar-benar menghilang
dari hidupku. Ia tak lagi menerorku.
Kututup akunt YM-ku. Kuharap Prasetyo
tak akan menemukanku lagi.
***
Karena masalah dengan Prasetyo, Mas
Fandi melarangku kembali bekerja di Singapura. Meski berat hati, kuterima
permintaannya. Kurasa ini pilihan yang terbaik. Bukankah tak akan ada gunanya
aku bekerja keras bila akhirnya hanya akan membuatku kehilangan orang-orang
tercinta? Kujalani hidupku sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anakku
dengan bahagia.
Hingga suatu malam, kuterima sebuah
email. Isinya: beberapa fotoku yang kuupload di FB. Prasetyo mengirimkannya.
Dituliskannya sebuah pesan singkat. “Merinduimu.”
Prasetyo muncul lagi. Kuyakin ia akan
membawakanku setumpuk rayuan. Tangannya belepotan kata-kata manis. Mendadak
semua perbincanganku dengannya teringat kembali. Tentang janjinya untuk
menemuiku, tentang mimpinya untuk memelukku, bahkan keinginannya menghabiskan
malam-malam denganku. Semua debaran jantungku saat aku melepas setiap lembar
kain penutup tubuhku terasa kembali. Aku
merasa ia tengah menatapku dengan tatapan tajam. Pandangannya seolah-olah ingin melumat tubuhku hingga tak
bersisa.
Jauh di lubuk hatiku harus kuakui. Aku terhanyut rayuannya. Berbulan-bulan aku menikmati
kelembutan dan kemanisan tutur katanya. Bermalam-malam kunikmati bisikan suara
baritonnya bila ia menelponku. Suara yang membuat nafasku terengah-engah
menahan kesepian jauh dari suamiku. Prasetyo memujiku, merayuku. Kekagumannya
yang membabi buta padaku telah membuatnya seperti orang tak waras. Ia bersumpah
akan mencariku, memburuku.
“Aku pasti akan menjadikanmu sebagai
permaisuri di rumahku,” tulisnya suatu kali.
Ia tak pernah peduli pada statusku
sebagai seorang istri, bahkan ibu dari ke empat anak-anakku. Ia tetap ngotot
mengatakan bahwa aku seorang janda yang kesepian. Tak peduli berapa pun anakku,
ia berjanji akan menerimaku. Katakan, perempuan mana yang takkan mabuk kepayang
dipuja sedemikian rupa?
Email yang ia kirim hari itu membuat duniaku
berguncang lagi. Aku sekarat. Aku lupa menggunakan
email YM-ku untuk membuka akunt FB. Aku lupa ia bisa saja menemukanku di FB. Segera
kuketik alamat emailnya dan kucari di FB. Kutemukan sebentuk wajah yang tak
asing bagiku. Prasetyo. Tulung Agung, Jawa Timur. Usia 51 tahun. Status:
bercerai. Ya Tuhan, Prasetyo benar-benar ada. Kini dia dan aku sama-sama tahu,
siapa kami sesungguhnya.
Saat itu ingin sekali aku menanyakan
pada Mas Fandi dimana alamat Prasetyo. Aku ingin menemuinya. Mendampratnya.
“Kamu tak perlu mengetahuinya. Aku tak
yakin kau bisa nekad melakukan sesuatu bila
mengetahui siapa dia,” jawab suamiku suatu kali ketika kudesak .
Mas Fandi benar. Mungkin bila aku
mengetahui siapa dan dimana Prasetyo berada, aku bisa nekad menemuinya. Tapi
aku tak yakin apakah aku akan melabrak dan menampar wajahnya dengan penuh
amarah dan kebencian, atau malah sebaliknya aku akan datang dan kemudian
terhuyung-huyung jatuh cinta dalam pelukannya.
Kuputuskan menulis pesan offline di YM-nya.
“Sungguh, Mas. Lupakan aku. Izinkan aku
memiliki kebahagiaanku seperti yang dulu.”
Esoknya kutemukan pesan offline-nya singkat.
“Sudah Mama terima foto-foto Mama?
Gimana? Suka?”
Huh! Bagaimana mungkin dia tak merasa
bahwa email yang ia kirimkan itu mampu membuat darahku mendidih. Tak hanya
karena foto-fotoku dibingkainya dengan karangan bunga sehingga mirip foto-foto
orang India yang telah mati, tetapi karena ia menjawab pesanku itu tanpa rasa
bersalah.
“Apa maksud, Mas? Kenapa mengusikku
lagi?”
Pesan itu ia jawab esok hari.
“Apa aku salah, Ma? Aku kan hanya
merindukan Mama. Aku tak mengganggu Mama.”
Ya Tuhan, bahkan mengusik ketenanganku
saja ia katakan tak menggangguku. Bukankah memujiku, merayuku, serta menyatakan
mimpi-mimpinya tentangku jelas-jelas sebuah kesalahan? Aku menangis tersedu. Kutumpahkan
apa yang kurasakan saat itu dalam status FB-ku.
Bila saja mampu, akan kugunting kenangan itu hingga saat sebelum
perjumpaan itu. Mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan kita adalah gerbang
neraka yang membuatku menyesal sepanjang sisa usiaku. Entah harus sampai di
ribuan kali berapa aku memohon agar kau mengikhlaskanku menjemput cahaya di
jalanku... Atau, membuatku menangis dan menyesali masa lalu sepanjang wakktu
kau sebut wujud cinta dan rindu?
Aku tak peduli orang yang membaca
statusku akan menilaiku seperti apa. Setidaknya dengan menulis pesan itu,
perasaanku jauh lebih tenang. Tak
kupedulikan puluhan orang memberi tanda jempol dan beberapa memberikan
komentar. Kujawab singkat, “Thx all.” Yang pasti perasaanku sedikit lega. Yang
lebih penting, aku percaya ia akan membaca statusku itu.
Malam itu aku nyaris tak sanggup
memejamkan mata. Rasa takutku akan kehadirannya membuat nafasku terengah-engah.
“Kau sakit?”tanya suamiku.
Kugelengkan kepala.
“Ada masalah?”
Aku menggeleng lagi. Suamiku merengkuhku erat.
“Kamu masih ingat untuk tak merahasiakan
apa pun dariku kan, Dik?”
Kutatap wajah suamiku yang penyabar itu dengan
dada berdebar. Bukan karena aku takut kebohonganku terbongkar. Dadaku berdebar
ketika di sudut hatiku tumbuh kesadaran bahwa aku adalah wanita paling
beruntung. Wanita yang telah mendapatkan seorang suami yang baik dan penuh
cinta.
Hampir dini hari kubuka YM di
handphoneku. Kutemukan sebuah pesan offline.
“Melangkahlah di jalanmu. Aku takkan
mengganggumu. Pegang janjiku, Mam. Tanggal 18 November ini aku pulang ke
Indonesia. Seperti nasihatmu, akan kucoba melupakanmu dan mencari penggantimu.”
Haruskah aku bahagia mendengar janji
itu?
Kutatap foto-fotoku yang dia bingkai
dengan bunga-bunga . Kuyakin ia mengaambilnya dari album FB-ku.
Kutulis status di FB-ku dengan jemari
gemetar.
Seandainya kau bisa menatap mataku saat ini, lihatlah sungai air
mata itu telah jadi danau. Tak hendak kutumpahkan.Janji yang kau tulis di
dinding-dinding sepi jadi oase bagi rasa takut yang mencengkeram nafasku
berbulan, bertahun. Ia menjelma jadi malaikat maut dalam mimpiku. Janjimu
semalam, kuharap jadi selimut yang mengirim kembali mimpi-mimpiku yang lama
tercerabut. Cemas dan harap berkejaran menuju muara akhir ketakutanku.
Dapatkah janjimu kupercaya?
***
Sungguh aku tak tahu, setan mana yang
menuntun kakiku ke sini. Aku kini sedang duduk di terminal kedatangan luar negeri
Bandara Juanda pada pagi hari Sabtu, 18 Oktober 2010. Niatku hanya satu. Menunggu
pesawat paling pagi dari Korea. Aku benar-benar ingin menemuinya. Menemui
Prasetyo. Aku ingin lari dari hidupku
yang berat. Tak ada yang pernah tahu betapa berat aku menjalani hidupku dengan
Mas Fandi yang sehari-harinya hanya mengandalkan penghasilan dari menjadi
tukang batu. Penghasilan yang tak menentu. Keadaan inilah yang membuatku
terpaksa menjadi TKW di negeri singa. Bila kutemukan Prasetyo, kuingin ia
membawaku pergi. Kuingin ia dapat mewujudkanku menjadi seorang istri yang
bahagia. Istri yang semua kebutuhan dan keinginannya sebagai wanita dipenuhi
suaminya.
Jatuh cintakah aku padamu, Pras? Atau
aku benar-benar merindukan oase di trengah kegersangan kasih sayang suamiku.
Semenjak kelahiran anak keempatku gairah malam di antara kami benar-benar
padam.
Pras.... tiba-tiba aku sadar. Aku
benar-benar ingin kau memilikiku.
Pesawat pertama datang tepat jam 11
siang. Di antara barisan penumpang yang datang, tak satu pun lelaki yang
berwajah mirip apalagi sama dengan Prasetyo. Pesawat kedua datang tepat jam
lima saat menjelang senja. Tak kutemukan juga Prasetyo di antara barisan
wajah-wajah lelah penumpang yang datang.
Setengah berlari, kutanyakan pada bagian
informasi. Adakah penumpang pesawat dari Korea yang bernama Prasetyo? Bila tak
ada, adakah yang berasal dari Tulung Agung? Tak ada, katanya. Aku kehilangan
harapan. Aku pulang dengan kegagalan yang sempurna. Keinginan untuk menemui
lelaki yang mampu membuat hatiku gundah sia-sia saja.
Sesampainya di rumah kutemukan Mas Fandi
sedang memasak di dapur.
“Darimana? Kenapa tak pamit?”tanyanya.
Aku diam. Rasa kecewa karena gagal
bertemu Prasetyo membuat perasaanku dipenuhi amarah.
“Dik, darimana?”suara Mas Fandi sedikit
meninggi.
Brak! Prang! Kulempar piring di atas
meja makan ke dinding. Pecah. Belingnya hancur berkeping-keping di lantai.
Persis seperti hatiku, harapanku.
Aku kalap. Semua yang ada di dekatku
kulempar. Kuhancurkan. Kuharap semua itu akan mengenai wajah Prasetyo. Aku
ingin menghancurkannya! Hingga tak ada lagi bayangannya di mataku.
“Aku takkan mengganggumu lagi, Ma!
Pegang janjiku!”
Janji Prasetyo di YM melintas-lintas di
benakku. Aku benci!
“Pergi! Pergi!”
Prasetyo tak juga pergi. Ia berdiri
teramat dekat denganku. Tatapan matanya tajam.
“Dik.... sadar! Sadar! Ingat Tuhan,
ingat aku, ingat anak-anak!”kudengar suara suamiku terputus-putus. “Maafkan,
aku.”
Sepasang tangan kekar memaksaku
menenggak segelas air putih. Lamat-lamat kudengar suara orang membaca
Al-Qur’an.
“Dia butuh pertolongan. Yang sabar, ya
Mas,” kata sebuah suara pada suamiku.
Entah siapa dia.
Setelah hari itu orang-orang di rumah
bertingkah aneh padaku. Tak ada lagi yang mengajakku bercanda atau berbincang.
Ke empat anakku menatapku aneh, bahkan kurasa mereka kini takut padaku.
Menjauhiku.
Si kecil bahkan menangis dan
meraung-raung ketika kupeluk.
Orang-orang aneh semakin sering datang
ke rumah ini. Mereka memberiku minuman aneh-aneh, bahkan kadang-kadang
menyiramku dengan air kembang. Bukankah aku tak akan menikah? Entahlah, otakku
tak sanggup menjawab teka-teki ini. Yang ada di otak dan lamunanku hanya satu
nama: Prasetyo.
Ia kini menguasai otakku, hatiku, juga
hari-hariku.
***
Sore ini kutemukan tubuhku di kamar ini.
Kamar yang semua pintu dan jendelanya tertutup rapat. Tangan dan kakiku diikat
erat di atas ranjang. Entah dimana? Berapa lama? Kusadari kini waktu bagiku
menjelma malam selamanya.
Kutatap langit-langit kamar. Dan aku
berbisik lirih,
“Tuhan... malam ini izinkan aku menemukannya.
Setidaknya, izinkan kunikmati malam bersamanya. Semalam, dua malam, tiga malam,
bahkan tujuh malam hingga luluh lantak tulang-tulangku. Hingga dia puas, aku
puas. Karena jauh di lubuk hatiku, aku memujanya, merindukannya, dan tak
terhitung berapa ratus kali memimpikannya.”
Dari balik jendela kaca, kulihat suamiku
menggendong anakku yang terkecil. ia mengusap air matanya.
Faradina Izdhihary, cerpenis, penyair,
tinggal di Malang. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa Media seperti Jurnal Bogor,
Surabaya Pos, Malang Pos, Story, Hai, Suara Karya, dan Horison. Bulan Oktober
2010 lalu, cerpennya “Tempat terindah” masuk 15 besar dalam Lomba Menulis
Cerpen untuk guru SMA/MA/SMK yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dari 1215
naskah yang masuk. Novel pertamanya yang berjudul “Seputih Cinta Hawna” baru
saja terbit akhir Mei 2011. Kumcernya “membaca Hujan” memenangkan lomba
penulisan kumcer di LeutikaPrio 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar