Seorang teman malah sempat bertanya, "Apa kamu punya trauma, misal ayah, suami, atau saudara?" Jelas tidak. Bapakku dan suamiku adalah orang-orang baik yang sangat baik memperlakukan wanita. Wes lah embuuuh. heheheh Saat mempresentasikan cerpen ini di hadapan juri, seorang juri Bu Rayani mengatakan pada saya, "Saat baca cerpen ini, yang terlintas di pikiran saya, "Ini guru sakit jiwa! Berkepribadian ganda. masak guru nulis seperti ini."
heheheheh Entahlah ...
Malam ini dingin seperti biasa. Warung
Mpok Minah masih sepi. Hanya ada dua orang laki dan perempuan, mungkin sepasang
kekasih, mungkin suami istri. Atau mungkin… Sudahlah, untuk apa memedulikan
keduanya. Kuhisap lebih dalam rokokku, dan kuhembuskan kuat-kuat asapnya
seperti hendak kuenyahkan dingin yang menusuk tulangku.
Kulihat jarum jam di tanganku menunjuk
ke angka 9 lewat 10 menit. Belum ada satu pelanggan pun yang menyapaku. Kutelan
ludahku yang mendadak terasa pahit. Bang Madi sejak tadi mengawasiku
seakan-akan takut aku memasukkan sebatang dua batang rokok ke dalam saku
celanaku. Sialan. Di saku celanaku sama sekali sudah tak tertinggal duit
sekeping atau selembar pun. Beras di dapur habis, susu Reihan dan Lilian habis.
Rudi merengek minta sekolah.
Kepalaku mendadak pusing. Tangisan
Reihan dan Lilian sore tadi saat kutitipkan kepada Mbak Tarni terasa
mengiris-ngiris dadaku. Darah yang tercecer di lantai dari lengan kanan Rudi
tadi sore seperti belati yang mengiris jantungku. O, ibu macam apakah aku ini?
Saat anak-anakku menggigil kedinginan dan kelaparan aku kelayapan malam-malam,
menunggu malaikat mengantarkan impian.
Tiba-tiba beberapa orang polisi
mengepung warung Mpok Minah, tempatku kini sedang menenggak sisa anggur
kolesomku. Gelas terakhir. Sayup-sayup kudengar Mpok Minah memintaku segera
bersembunyi. Ada razia, teriaknya.
Aku tak bergeming. Dengan angkuh
kuselesaikan tenggakan terakhirku, hingga seorang polisi berteriak padaku
sambil mengacungkan senjatanya.
“Angkat tangan!”
Kesadaranku yang tak utuh membuatku
tertawa.
“Tangkap saja saya, Pak! Saya lelah. Tak
ada pelanggan untuk saya malam ini. Tak ada beras dan susu esok hari untuk
anak-anakku,’ kataku dengan suara parau.
“Ibu kami tangkap dengan….,’ entah apa
lanjutan kalimat polisi itu.
Aku tak terlalu paham benar. Yang kutahu
mereka kemudian memborgol tanganku.
Aku tersenyum dan pasrah saja. Bahkan, aku hampir saja
tertawa ngakak saat kusadari bahwa ada 12 orang berseragam polisi dan 4 orang
berpakaian sipil beramai-ramai menangkapku. Seakan-akan aku ini penjahat kelas
kakap. Mereka tidak tahu bahwa aku sungguh-sungguh menunggu saat ini. Saat
mereka mengambil kebebasanku dan memasukkanku ke penjara. Tempat terindah yang
kuimpikan. Tanpa nafsu, tanpa arak.Tak lagi tersiksa udara malam. Tak lagi
ketakutan memikirkan susu dan makan anak-anakku.
Aku tak peduli dengan tatapan penuh
kebencian dari orang-orang yang berkerumun melihat penangkapanku.
**
Polisi berwajah dingin, berambut cepak
itu menanyakan nama, alamat, dan tempat tanggal lahirku. Saat ia menanyakan
pekerjaanku, kujawab dengan tenang.
“Pelacur.”
Petugas itu mendelik. Aku cuek saja.
“Ibu tahu mengapa Ibu
ditangkap?”tanyanya lagi.
Aku menggeleng, masih tak yakin dengan
dugaanku. Sebab, sebagai pelacur tertangkap saat razia kemudian ditahan adalah
hal biasa. Resiko pekerjaan.
“Anak terkecil Ibu sekarang masuk rumah
sakit,” jelas seorang petugas yang sejak tadi berdiri tepat di sampingku.
Dheg! jantungku berdebum rasanya. Namun,
aku masih diam. Terbayang wajah Raehan, anak ketigaku yang masih berusia lima
bulan sedang tergolek di rumah sakit dengan kaki dan tangan dibebat kain putih.
Pasti ia seperti mumi. Membayangkan kondisi Raehan membuatku ingin tertawa.
Tentu saja kutahan.
“Bu… Tolong dijawab dengan jujur, apa
yang telah Ibu lakukan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Bu, jawab dengan jujur!” kata petugas
yang berdiri di sampingku dengan suara keras. Aku hampir terloncat karena
kaget. Namanya Adi Abdiawan.
“Ti.. tidak ada. Saya tidak melakukan
apa-apa pada mereka. Saya mencarikan nafkah untuk menghidupi mereka,” jawabku
dengan suara gemetar.
“Menganiaya anak sendiri hingga tangan
dan kakinya patah, Ibu katakan tidak melakukan apa-apa?” tanya Adi lagi dengan
suara tetap keras.
“Saya hanya melakukan apa yang
seharusnya dilakukan seorang ibu pada anak-anaknya,” akhirnya sanggup juga aku
menjawab dengan kalimat panjang.
“Saya tidak mengerti. Sungguh. Ibu macam
apa Ibu ini? Tanpa malu-malu mengakui pelacur sebagai pekerjaan, dan sekarang
menganiaya anak sendiri Ibu katakan melakukan apa yang seharusnya dilakukan
seorang Ibu?”dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kutundukkan kepalaku. Aku tak sanggup
menatap kemarahan dan kepedihan yang jelas tergambar di wajahnya.
“Dimana Reihan dan kedua kakaknya
sekarang?”tanyaku tak sanggup menahan rasa ingin tahu.
“Untuk apa Ibu menanyakan mereka?
Bukankah Ibu juga telah melukai putri Ibu?” kata Adi balik bertanya padaku.
“Tolong katakan, di mana anak-anak
saya?”tanyaku lagi.
“Reihan dan Lilian keduanya di rawat di
rumah sakit, sedang Rudi hingga saat ini masih kami cari,” jawab petugas yang
tadi menanyaiku.
“Oh… syukurlah,” seruku bahagia.
Kedua petugas itu berpandangan tak
mengerti. Aku tersenyum dalam hati. Separoh rencanaku berhasil dengan baik.
“Pemeriksaan hari ini cukup! Bawa Bu
Siswati ke tahanan kembali!”perintah Adi pada dua orang polisi yang sejak tadi
duduk tak jauh dari tempat kami.
***
Di balik jeruji besi aku sendirian
membayangkan wajah ketiga anak-anakku yang kurus. Anak-anak yang malang. Dua
tahun lalu kuputuskan untuk menjalani profesi ini setelah tak ada satupun
lowongan pekerjaan terbuka untuk perempuan malang sepertiku. Berijazah SMP dan
dibuntuti dua orang anak yang masih kecil. Dua tahun setelah bencana demi
bencana merengut kebahagiaan dan harapan hidup kami, hidupku bersama suami dan
anak-anakku.
Empat tahun lalu Lilian masih berumur
satu tahun, masih baru belajar berjalan. Ia masih membutuhkan asupan susu formula
sebab sejak melahirkan Rudi, anak pertamaku, payudaraku tak mau menghasilkan
setetes susu pun. Untunglah usaha Kang Jarwo, suamiku mulai berkembang. Dari
usaha tambal ban dan bensin literan, pelan-pelan Kang Jarwo menambah
dagangannya dengan menjual ban sepeda, motor, bahkan ban mobil. Suku cadang
sepeda dan motor pun melengkapi etalase toko dan bengkel Kang Jarwo.
Betapa bahagianya masa-masa itu. Di
pinggir jalan besar di kota kecil kami, Sidoarjo, hidup kami pelan-pelan mulai
tertata. Anak pertama kami, Rudi, lahir setahun setelah kami menikah. Dua tahun
kemudian lahir Lilian. Bengkel Kang Jarwo makin berkembang. Kami membangun
rumah persis di belakang bengkel kami.
Di rumah mungil itu, ibuku, satu-satunya
orang tua kami yang masih hidup menjadi tempat kami meminta restu dan doa.
Namun, kebahagiaan kami tiba-tiba saja
direngutkan. Subuh itu luapan lumpur menenggelamkan bengkel kami, rumah kami,
seluruh harta benda kami. Bahkan, lumpur itu pun mencabut nyawa ibuku yang tak
sanggup lari saat lumpur bercampur gas itu meledakkan kompor minyak di dapur
kami.
Tak hanya tak mampu menyelamatkan
selembar kain pun, kami juga tak mampu menyelamatkan jasad ibu. Lumpur itu
menguapkan kebahagiaan kami.
Masih kuingat bagaimana Kang Jarwo
berteriak-teriak putus asa.
“Gusti….
Nopo dosa kawula?”
Jeritan yang tak dipedulikan oleh
tetangga maupun saudara. Sebab, kami menangis dan menjerit sendiri-sendiri.
Menangisi kebahagiaan dan harapan kami yang direngut paksa tiba-tiba. Aku pun
menangis sambil memeluk kedua anakku yang mengigil ketakutaan sambil
menyaksikan pelan-pelan luapan lumpur celaka itu menenggelamkan semua harta
benda kami, hidup kami.
“Gusti,
nyuwun pangapunten,” tangisku kelu.
Setahun kami tinggal di pengungsian.
Tinggal di tenda-tenda plastik tanpa harapan kapan semua akan berakhir.
Anak-anakku semakin kurus dan tak terurus. Janji pembayaran ganti rugi semakin
menguap. Lenyap. Seperti bayangan kampung kami yang tak lagi tersisa. Pekerjaan Kang Jarwo sehari-hari hanya melamun
atau ikut demo menuntut ganti rugi asal ada yang membiayai.
Hingga suatu hari, kami diajak berdemo
ke ibu kota ini. Puluhan keluarga ikut dalam rombongan itu beserta anak-anak
kami. Sebenarnya aku enggan ikut demo, capek. Belum lagi bila nanti kami
ditangkap karena menimbulkan huru-hara. Tapi suamiku memaksa.
“Kamu ikut, Dik. Juga Lilian, dan Rudi. Siapa tahu saat melihat
anak-anak kita yang tak berdosa jadi korban, kurus kering dan tanpa masa depan,
Bapak-bapak yang terhormat di Jakarta lebih mudah kasihan dan segera memberi
ganti rugi,” bujuk Kang Jarwo setengah memaksa.
Ternyata semua pendemo membawa serta
semua keluarganya. Demi kekompakan dan keberhasilan tujuan kami semua:
mendapatkan ganti rugi yang memadai dan secepatnya, kuputuskan ikut ke ibu
kota.
Tapi nyatanya? Hingga serak suara kami,
hingga kering peluh kami, hingga habis uang saku kami, harapan yang kami
gantungkan itu tak segera menjadi kenyataan. Kami putus asa. Sebagian di antara
kami memilih pulang. Sebagian nekad bertahan di ibu kota. Sekalian cari
kerjaan, putus mereka yang memilih tinggal. Bukankah tak ada lagi harapan kami
di kampung halaman? Harta benda serta pekerjaan kami telah tenggelam sia-sia.
Kang Jarwo pun memilih bertahan.
“Setiap seminggu sekali kita akan
berdemo menuntut hak kita. Kita berkumpul lagi di sini. Sekarang kita berpisah.
Berjuang demi nasib kita sendiri-sendiri,” begitu pesan Kang Durrohim, mantan
ketua RT di lingkungan kami tinggal dulu.
Singkat kata, kami nekad hidup
menggelandang dari emperan toko satu ke toko lainnya, hingga di kolong-kolong
jembatan. Kang Jarwo tak juga mendapat pekerjaan yang mapan. Menjadi kuli
angkut di pasar Jatinegara, hanya itu pekerjaan yang tersedia. Aku sendiri tak
bisa berbuat apa-apa sebab Reihan dan Lilian masih belum bisa ditinggalkan,
begitupun Rudi. Tak ada siapa pun yang bisa kumintai bantuan untuk menjaga
kedua anakku bila aku nekad bekerja. Jadilah aku hanya mengandalkan upah suami
yang tak menentu.
Untunglah pada akhirnya kami mendapat
tempat tinggal yang lebih nyaman. Di bawah kolong jembatan. Itu pun atas
kebaikan Pak Hasan, teman Kang Jarwo sesama kuli angkut.
“Kita harus bersyukur, Dik. Meski hanya
gubuk kecil, namun kita bisa berlindung dari panas dan hujan,” hibur Kang Jarwo
saat pertama kali kami menghuni gubuk mungil kami.
Aku mengangguk. Mensyukuri pemberian
Tuhan yang besar ini. Sebuah gubuk berdinding kardus bekas, beratap jembatan.
Untung masih berpintu triplek meski mulai berlobang di sana-sini. Di gubuk
itulah hingga kini kami tinggal.
Ternyata Tuhan belum juga membukakan
jalan bagi kehidupan kami yang semakin tak berpengharapan. Atau mungkin juga
Tuhan telah menenggelamkan hak kebahagiaan pada kami bersama-sama seluruh harta
kami dulu hingga tak ada sisanya untuk kami nikmati di hari-hari mendatang? Gusti, kaningaya temen takdir ingkang kedah
kawulo lampahi, selalu begitu kutangiskan penderitaanku.
Bagaimana tidak? Tak hanya kehilangan
ibu, rumah dan semua harta benda kami, dua bulan kemudian, di ibu kota yang
kejam ini, aku kehilangan kewarasan suamiku. Kang Jarwo gendheng!
Aku masih ingat awal nasib tragis yang
menimpa Kang Jarwo. Hari itu, seperti biasanya selama kami di Jakarta, setiap Senin
pagi, Kang Jarwo pasti ke bundaran HI. Menepati janjinya bertemu dengan
teman-teman dari kampung halaman. Membicarakan langkah selanjutnya agar
tuntutan ganti rugi kami segera mendapat perhatian. Hari itu dia pulang sambil
ngomel-ngomel tak karuwan. Katanya, teman-teman tak lagi setia kawan.
“Mosok
wis ra ono sing peduli memperjuangkan nasib!” begitu berkali-kali Kang
Jarwo menggerutu.
Sejak pagi itu, Kang Jarwo tak lagi
pergi ke pasar. Ia lebih banyak duduk, merenung, lalu berdiri sambil
berteriak-teriak sambil mengacungkan kepalan tangannya. Pandangannya memerah
menatap langit!
“Kembalikan tanah kami! Kembalikan rumah
kami!”
Ia tak lagi peduli pada keluhanku
tentang beras yang tak bersisa di dapur, tentang susu Lilian yang tak berbekas,
tentang tetangga yang protes keras. Kang Jarwo lebih memilih melempar piring
dan panci-panci. Harta paling berharga yang sanggup kami beli. Sambil tetap
berteriak-teriak, “Kembalikan rumah dan harta kami! Kembalikan!”
Aku bisa saja bersabar menunggu Kang
Jarwo sadar, tapi perut anak-anakku tak mungkin menunggu. Seperti kesabaran
tetangga-tetanggaku yang telah tandas mendengar kegilaan Kang Jarwo. Mereka
melaporkan Kang Jarwo, entah kemana. Yang kutahu, beberapa orang petugas
berseragam putih-putih menjemput Kang Jarwo.
“Kami akan membantu penyembuhannya, Bu,”
kata salah seorang di antara mereka sebelum membawa pergi Kang jarwo dengan
mobil ambulan.
Sejak itu, aku kehilangan Kang Jarwo.
Demi perut anak-anakku kuikuti saran
tetangga: menjual satu-satunya harta yang tersisa. Harga diriku. Bukankah tanpa
harga diri aku masih bisa hidup?
Kudengar dentang jam satu kali. Tanpa
sadar aku telah tenggelam dalam kenangan pahit yang telah lama kuhapus dalam
kehidupanku. Sungguh, sejak kuputuskan bergelut dengan nafsu dan arak saat
dingin mendekap malam, aku tak sudi mengingat masa laluku. Kepedihan hanya akan
menggerogoti sinar ayu di wajahku. Dan itu membuatku dijauhi pelanggan.
Kupaksa memejamkan mata. Berharap bisa
kutemui anak-anakku dalam mimpi.
***
Hari ini genap 36 hari aku di tahanan.
Selama itu pula aku merasakan siksaan: merindukan anak-anakku, dan merindukan
keputusan hukuman untukku. Namun, aku tak ingin seorang pun tahu tentang
kerinduanku itu. Tak boleh. Atau segala pengorbananku akan sia-sia saja?
“Hari ini akan ada seorang psikolog yang
mewawancarai Ibu, sebelum minggu depan kasus Ibu disidangkan,” kata sipir saat
menjemputku dari kamar tahanan.
Aku mengangguk. Aku tahu hal ini sudah
pasti akan terjadi. Dulu, sebelum bencana itu menenggelamkan kebahagiaan
hidupku, aku sering melihat di TV atau membaca koran tentang perlakuan terhadap
para ibu yang menganiaya anaknya. Mereka pasti disangka sakit jiwa dan akan
diperiksa oleh seorang psikolog. Anak-anak mereka akan diambil alih oleh negara
sebab ibunya atau orang tuanya dianggap tidak mampu dan tidak bisa bertanggung
jawab memelihara anak-anaknya.
Beda sekali nasibnya dengan bayi yang
dibuang di tempat sampah. Mereka akan menjadi santapan anjing liar atau membusuk
dan dikerubungi lalat-lalat hijau. Meninggalkan rasa jijik.
Beda pula nasibnya dengan anak-anak yang
dibuang atau ditelantarkan orang tuanya di terminal atau stasiun. Kehidupan
jalanan akan merengut masa kanak-kanaknya. Dan anak-anak itu secara langsung
diterima di sekolah alam. Sekolah yang memberinya dua pilihan: jadi preman bagi
laki-laki atau pelacur bagi perempuan.
Aku sungguh tak ingin melihat nasib
anak-anakku tragis seperti itu.
Di ruang tunggu, kulihat seorang
perempuan berjas warna hitam dengan kemeja putih dan celana lurus hitam yang
rapi telah menungguku.
“Bu Siswati?”tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kenalkan, saya Herawati. Psikolog yang
akan mendampingi Ibu,”katanya memperkenalkan diri.
Perkenalan yang biasa saja. Tak
berkesan. Selanjutnya tanpa basa-basi, psikolog itu mengajukan padaku
pertanyaan-pertanyaan yang hampir sebagian telah pernah ditanyakan padaku oleh
para polisi.
“Apakah Ibu sadar saat menganiaya
anak-anak Ibu?” tanyanya.
Aku mengangguk. Mantap.
“Ibu tahu bahwa tindakan itu sangat
membahayakan nyawa anak-anak ibu?” tanyanya lagi.
Beberapa saat aku terdiam. Aku harus
mampu menjawab setiap pertanyaan ini dengan baik. Salah sedikit saja aku
menjawab mereka akan mengira akau gila dan membebaskan aku dari segala tuduhan.
Itu akan menggagalkan rencanaku.
“Ya. Saya sadar!” jawabku tegas.
Kutelan sisa air mata yang menetes
hingga mengalir di dadaku.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Mengapa Ibu melakukan semua itu?”
tanyanya lagi.
“Saya hanya tidak ingin lagi mereka
merepotkan saya, mengganggu hidup dan kebahagiaan saya,” jawabku dingin.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu?
Ibu tidak menyesal telah menyebabkan kedua tangan dan kaki Reihan yang masih
lima bulan itu patah, dan sekujur tubuh Lilian lebam bekas cubitan?” tanyanya
memberondongku.
“Tidak!”jawabku lebih dingin.
“Biadab,” kudengar suara lelaki,
ternyata petugas yang mengawasiku dari balik pintu mengumpat.
“Ibu macam apa Ibu ini? Di luar sana,
ratusan bahkan mungkin ribuan perempuan mati-matian berusaha mendapatkan
keturunan, sedang ibu yang telah dianugerahi anak-anak yang lucu itu tega
menyia-nyiakan bahkan menyiksa mereka!” suara laki-laki itu gemetar.
Siswati, kuatkan hatimu. Jangan sampai
air matamu runtuh di hadapan orang-orang ini, atau kamu akan menerima kegagalan
tas semua kegagalan itu, alarm di hatiku menyala-nyala saat air mata hampir
saja menitik di mataku.
“Apakah penghasilan Ibu cukup untuk
menghidupi ketiga anak ibu?” tanyanya.
“Cukup! Saya masih muda. Semalam saya
bisa melayani tiga hingga empat orang, “ aku menjawab sambil tersenyum genit.
Hhhhh, psikolog itu mengepalkan
tangannya seperti menahan kegeraman.
“Lilian dan Reihan anak-anak yang cakep
dan lucu-lucu, Bu,” katanya menggantung kalimatnya yang tak selesai. Aku
mengangguk. “Ibu tahu, sekarang ini banyak sekali orang yang berniat hendak
mengadopsi anak-anak Ibu. Bagaimana pendapat Ibu?”
Aku diam saja. Menahan kegembiraan yang
tiba-tiba menguntum di dadaku.
“Bu…?” psikolog itu memaksaku menjawab
pertanyaannya.
“Ya?” jawabku dingin.
“Apa pendapat Ibu bila anak-anak Ibu
diadopsi orang lain? Mereka akan menyediakan kehidupan yang layak untuk
anak-anak Ibu, menyekolahkan, dan memenuhi semua kebutuhan mereka. Bagaimana,
Bu?”
“Saya tidak peduli!” kupaksa mengucapkan
tiga kata itu dengan wajah ketus sambil menahan air mata yang terus mengalir
sampai jantungku.
Kemana orang-orang itu saat dulu aku
membutuhkan bantuan untuk membeli beras dan susu anak-anakku? Kemana mereka
saat aku bersama suamiku, anak-anakku, bahkan ratusan orang dari desaku dan
tetangga desaku berteriak-teriak meminta keadilan karena rumah kami, seluruh
harta kami, beberapa orang keluarga kami, bahkan kuburan moyang kami
ditenggelamkan lumpur? Apakah mereka tak mendengar jeritan kami saat satu
persatu harapan masa depan, harapan hidup yang bertahun-tahun kami tiup dengan
nafas kami itu tercerabut dari mimpi kami? Kemana mereka saat perempuan yang
lemah ini kelabakan mendengar tangis haus dan lapar anak-anaknya? Oh, kutuk
macam apa yang aku terima? Dosa moyangku yang mana yang membuat hidupku dan
anak-anakku menjadi seperti di neraka. Tak ada lagi yang dapat kumintai
pertolongan. Sanak ,saudaraku, tetangga , dan kerabat yang kumiliki pun
kehilangan masa depannya. Kami mati pelan-pelan, dikubur paksa dalam kubangan lumpur
.
Katakan, apakah salah bila untuk
anak-anakku aku memutuskan menjual satu-satunya harta yang tersisa: harga diri.
Bukankah orang takkan mati tanpa harga diri? Aku pun takkan bisa makan hanya
dengan harga diri.
Atau memang harus seperti ini: kuaniaya
anak-anakku hingga sekarat, baru Kalian sadar dan tergerak untuk mengulurkan
tangan?
“Bu….?”psikolog itu mengagetkan
lamunanku. “Ibu sehat?”
“Saya lelah.”
“Baiklah, kalau begitu saya pamit. Besok
saya akan datang lagi. Jaga kesehatan Ibu baik-baik. Anak-anak membutuhkan
Ibu,” katanya berpamitan.
***
Seperti janjinya, psikolog itu akan
datang hari ini. Maka sejak pagi telah kusiapkan masak-masak jawaban untuk
setiap pertanyaan yang mungkin akan ia ajukan.
Aku sudah menunggu hampir lima belas
menit hingga psikolog itu datang dan menyalamiku.
“Bagaimana, Bu kabarnya? Sehat
kan?”tanyanya sok akrab.
Aku mengangguk.
“Ibu tahu siapa yang saya ajak
kemari?”tanyanya menatapku penuh arti.
“Tidak!”jawabku dingin.
Tiba-tiba pintu terbuka. Kulihat seorang
perempuan cantik, berbaju bagus menggendong Reihanku. Ia tampak lebih sehat dan
makin gemuk. Tangan dan kakinya tak lagi digips seperti yang kulihat dari layar
televisi di tahanan. Lilian, gadis kecilku yang masih berumur 3 tahun digandeng
seorang laki-laki berseragam polisi yang berjalan di samping perempuan itu.
“Reihan, Lilian…. Kasih salim sama Ibu,” psikolog itu meminta
Reihan dan Lilian menjabat tanganku.
Aku diam. Kaku. Kutatap kedua anakku
bergantian dengan sorot penuh kebencian. Penuh kemarahan seperti saat malam itu
kuhajar mereka. Meski hatiku menangis, meraung-raung. Masih sering terdengar
tangis mereka yang melengking, juga teriakan-teriakan Rudi yang memintaku
menghentikan kekasaranku. Bukannya berhenti, aku malah melempar Rudi dengan
sebuah gelas. Aku tahu pasti tangan
kanannya terkena pecahan beling sebab kulihat darah menetes di telapak
tangannya.
Reihan meringkuk dalam pelukan perempuan
itu. Lilian gemetar dan bersembunyi di belakang tubuh lelaki yang sejak tadi
menggandeng tangannya.
“Bu Siswati tidak ingin memeluk
mereka?”tanya psikolog itu.
“Tidak! Saya benci mereka! Mereka telah
membuat hidup saya menderita!”teriakku histeris.
Reihan menangis menjerit-jerit mendengar
suaraku. Lilian semakin gemetar. Lelaki itu kemudian menggendongnya dan menarik
tangan perempuan yang mengendong Reihan. Mereka pergi meninggalkanku. Membawa
serta anak-anakku.
Ruangan mendadak senyap. Hanya nafasku
yang memburu menahan emosiku. Psikolog itu menatapku iba.
“Ibu rela anak-anak Ibu menjadi anak
suami istri yang tadi membawa mereka berdua?”tanyanya lagi.
Aku diam. Sementara hatiku bersorak.
Inilah yang sesungguhnya kuharapkan. Uluran tangan bagi anak-anakku. Meski
untuk itu aku harus mebuat anak-anakku membenciku seumur hidup.
“Nak, mengertilah. Ibu bahagia Kalian
berada di tangan yang benar. Sungguh, Ibu rela membayar dengan hukuman seumur
hidup, bahkan hukum mati asal Kalian bahagia,” doaku dalam hati.
Tapi dimana Rudi? Kengerian menyergapku.
Aku tak ingin Rudi menjadi korban para preman jalanan atau menjadi preman.
Terlebih lagi aku tak ingin Rudi menjadi bajingan seperti lelaki yang
menyebabkan kelahiran Reihan.
“Dimana Rudi, Bu?”tanyaku tak sanggup
menahan keingintahuanku.
“Dia sehat. Sekarang dia dirawat
pasangan suami istri yang sangat menyayanginya. Tadi ia menolak saat hendak
kami ajak menemui Ibu,” kata psikolog itu.
“Hahahaahahaha,” mendengar jawaban itu
tak sanggup kutahan tawa bahagiaku. Tawaku meledak.
Aku menari, aku melonjak kegirangan.
Telah sempurna strategiku. Tinggal menunggu waktu merajam kerinduanku pada
anak-anakku.
Kutelan air mataku. Aku tersedak!
Catatan:
“Gusti…. Nopo dosa kawula?” (Jawa, kromo inggil) = “Tuhan, apa dosa
hamba?”
“Gusti, nyuwun pangapunten,” (Jawa, kromo
inggil) = “Tuhan, mohon ampun,”
“Mosok wis ra ono …..” (Jawa, kromo inggil) = “Apakah benar
sudah tak ada…”
Gendheng (JW, ngoko kasar)= edan, gila, hilang akal
Salim (Jawa) = menjabat tangan.
**
***
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar