Senin, 18 November 2013

TEMPAT TERINDAH (Cerpenku yang menang dalam LMCR Diknas tahun 2011 lalu)

Pengantar: Entahlah .... setelah kubaca-baca lagi, kenapa ya, cerpen-cerpenku selalu kelam? penuh amarah dan dendam. Apalagi pada lelaki yang seenak udele memperlakukan perempuan. 
Seorang teman malah sempat bertanya, "Apa kamu punya trauma, misal ayah, suami, atau saudara?" Jelas tidak. Bapakku dan suamiku adalah  orang-orang baik yang sangat baik memperlakukan wanita. Wes lah embuuuh. heheheh Saat mempresentasikan cerpen ini di hadapan juri, seorang juri Bu Rayani mengatakan pada saya, "Saat baca cerpen ini, yang terlintas di pikiran saya, "Ini guru sakit jiwa! Berkepribadian ganda. masak guru nulis seperti ini." 
heheheheh Entahlah ...

Malam ini dingin seperti biasa. Warung Mpok Minah masih sepi. Hanya ada dua orang laki dan perempuan, mungkin sepasang kekasih, mungkin suami istri. Atau mungkin… Sudahlah, untuk apa memedulikan keduanya. Kuhisap lebih dalam rokokku, dan kuhembuskan kuat-kuat asapnya seperti hendak kuenyahkan dingin yang menusuk tulangku.
Kulihat jarum jam di tanganku menunjuk ke angka 9 lewat 10 menit. Belum ada satu pelanggan pun yang menyapaku. Kutelan ludahku yang mendadak terasa pahit. Bang Madi sejak tadi mengawasiku seakan-akan takut aku memasukkan sebatang dua batang rokok ke dalam saku celanaku. Sialan. Di saku celanaku sama sekali sudah tak tertinggal duit sekeping atau selembar pun. Beras di dapur habis, susu Reihan dan Lilian habis. Rudi merengek minta sekolah.
Kepalaku mendadak pusing. Tangisan Reihan dan Lilian sore tadi saat kutitipkan kepada Mbak Tarni terasa mengiris-ngiris dadaku. Darah yang tercecer di lantai dari lengan kanan Rudi tadi sore seperti belati yang mengiris jantungku. O, ibu macam apakah aku ini? Saat anak-anakku menggigil kedinginan dan kelaparan aku kelayapan malam-malam, menunggu malaikat mengantarkan impian.
Tiba-tiba beberapa orang polisi mengepung warung Mpok Minah, tempatku kini sedang menenggak sisa anggur kolesomku. Gelas terakhir. Sayup-sayup kudengar Mpok Minah memintaku segera bersembunyi. Ada razia, teriaknya.
Aku tak bergeming. Dengan angkuh kuselesaikan tenggakan terakhirku, hingga seorang polisi berteriak padaku sambil mengacungkan senjatanya.
“Angkat tangan!”
Kesadaranku yang tak utuh membuatku tertawa.
“Tangkap saja saya, Pak! Saya lelah. Tak ada pelanggan untuk saya malam ini. Tak ada beras dan susu esok hari untuk anak-anakku,’ kataku dengan suara parau.
“Ibu kami tangkap dengan….,’ entah apa lanjutan kalimat polisi itu.
Aku tak terlalu paham benar. Yang kutahu mereka kemudian memborgol tanganku.
Aku tersenyum  dan pasrah saja. Bahkan, aku hampir saja tertawa ngakak saat kusadari bahwa ada 12 orang berseragam polisi dan 4 orang berpakaian sipil beramai-ramai menangkapku. Seakan-akan aku ini penjahat kelas kakap. Mereka tidak tahu bahwa aku sungguh-sungguh menunggu saat ini. Saat mereka mengambil kebebasanku dan memasukkanku ke penjara. Tempat terindah yang kuimpikan. Tanpa nafsu, tanpa arak.Tak lagi tersiksa udara malam. Tak lagi ketakutan memikirkan susu dan makan anak-anakku.
Aku tak peduli dengan tatapan penuh kebencian dari orang-orang yang berkerumun melihat penangkapanku.
**
Polisi berwajah dingin, berambut cepak itu menanyakan nama, alamat, dan tempat tanggal lahirku. Saat ia menanyakan pekerjaanku, kujawab dengan tenang.
“Pelacur.”
Petugas itu mendelik. Aku cuek saja.
“Ibu tahu mengapa Ibu ditangkap?”tanyanya lagi.
Aku menggeleng, masih tak yakin dengan dugaanku. Sebab, sebagai pelacur tertangkap saat razia kemudian ditahan adalah hal biasa. Resiko pekerjaan.
“Anak terkecil Ibu sekarang masuk rumah sakit,” jelas seorang petugas yang sejak tadi berdiri tepat di sampingku.
Dheg! jantungku berdebum rasanya. Namun, aku masih diam. Terbayang wajah Raehan, anak ketigaku yang masih berusia lima bulan sedang tergolek di rumah sakit dengan kaki dan tangan dibebat kain putih. Pasti ia seperti mumi. Membayangkan kondisi Raehan membuatku ingin tertawa. Tentu saja kutahan.
“Bu… Tolong dijawab dengan jujur, apa yang telah Ibu lakukan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Bu, jawab dengan jujur!” kata petugas yang berdiri di sampingku dengan suara keras. Aku hampir terloncat karena kaget. Namanya Adi Abdiawan.
“Ti.. tidak ada. Saya tidak melakukan apa-apa pada mereka. Saya mencarikan nafkah untuk menghidupi mereka,” jawabku dengan suara gemetar.
“Menganiaya anak sendiri hingga tangan dan kakinya patah, Ibu katakan tidak melakukan apa-apa?” tanya Adi lagi dengan suara tetap keras.
“Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu pada anak-anaknya,” akhirnya sanggup juga aku menjawab dengan kalimat panjang.
“Saya tidak mengerti. Sungguh. Ibu macam apa Ibu ini? Tanpa malu-malu mengakui pelacur sebagai pekerjaan, dan sekarang menganiaya anak sendiri Ibu katakan melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang Ibu?”dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kutundukkan kepalaku. Aku tak sanggup menatap kemarahan dan kepedihan yang jelas tergambar di wajahnya.
“Dimana Reihan dan kedua kakaknya sekarang?”tanyaku tak sanggup menahan rasa ingin tahu.
“Untuk apa Ibu menanyakan mereka? Bukankah Ibu juga telah melukai putri Ibu?” kata Adi balik bertanya padaku.
“Tolong katakan, di mana anak-anak saya?”tanyaku lagi.
“Reihan dan Lilian keduanya di rawat di rumah sakit, sedang Rudi hingga saat ini masih kami cari,” jawab petugas yang tadi menanyaiku.
“Oh… syukurlah,” seruku bahagia.
Kedua petugas itu berpandangan tak mengerti. Aku tersenyum dalam hati. Separoh rencanaku berhasil dengan baik.
“Pemeriksaan hari ini cukup! Bawa Bu Siswati ke tahanan kembali!”perintah Adi pada dua orang polisi yang sejak tadi duduk tak jauh dari tempat kami.
***
Di balik jeruji besi aku sendirian membayangkan wajah ketiga anak-anakku yang kurus. Anak-anak yang malang. Dua tahun lalu kuputuskan untuk menjalani profesi ini setelah tak ada satupun lowongan pekerjaan terbuka untuk perempuan malang sepertiku. Berijazah SMP dan dibuntuti dua orang anak yang masih kecil. Dua tahun setelah bencana demi bencana merengut kebahagiaan dan harapan hidup kami, hidupku bersama suami dan anak-anakku.
Empat tahun lalu Lilian masih berumur satu tahun, masih baru belajar berjalan. Ia masih membutuhkan asupan susu formula sebab sejak melahirkan Rudi, anak pertamaku, payudaraku tak mau menghasilkan setetes susu pun. Untunglah usaha Kang Jarwo, suamiku mulai berkembang. Dari usaha tambal ban dan bensin literan, pelan-pelan Kang Jarwo menambah dagangannya dengan menjual ban sepeda, motor, bahkan ban mobil. Suku cadang sepeda dan motor pun melengkapi etalase toko dan bengkel Kang Jarwo.
Betapa bahagianya masa-masa itu. Di pinggir jalan besar di kota kecil kami, Sidoarjo, hidup kami pelan-pelan mulai tertata. Anak pertama kami, Rudi, lahir setahun setelah kami menikah. Dua tahun kemudian lahir Lilian. Bengkel Kang Jarwo makin berkembang. Kami membangun rumah persis di belakang bengkel kami.
Di rumah mungil itu, ibuku, satu-satunya orang tua kami yang masih hidup menjadi tempat kami meminta restu dan doa.
Namun, kebahagiaan kami tiba-tiba saja direngutkan. Subuh itu luapan lumpur menenggelamkan bengkel kami, rumah kami, seluruh harta benda kami. Bahkan, lumpur itu pun mencabut nyawa ibuku yang tak sanggup lari saat lumpur bercampur gas itu meledakkan kompor minyak di dapur kami.
Tak hanya tak mampu menyelamatkan selembar kain pun, kami juga tak mampu menyelamatkan jasad ibu. Lumpur itu menguapkan kebahagiaan kami.
Masih kuingat bagaimana Kang Jarwo berteriak-teriak putus asa.
Gusti…. Nopo dosa kawula?”
Jeritan yang tak dipedulikan oleh tetangga maupun saudara. Sebab, kami menangis dan menjerit sendiri-sendiri. Menangisi kebahagiaan dan harapan kami yang direngut paksa tiba-tiba. Aku pun menangis sambil memeluk kedua anakku yang mengigil ketakutaan sambil menyaksikan pelan-pelan luapan lumpur celaka itu menenggelamkan semua harta benda kami, hidup kami.
Gusti, nyuwun pangapunten,” tangisku kelu.
Setahun kami tinggal di pengungsian. Tinggal di tenda-tenda plastik tanpa harapan kapan semua akan berakhir. Anak-anakku semakin kurus dan tak terurus. Janji pembayaran ganti rugi semakin menguap. Lenyap. Seperti bayangan kampung kami yang tak lagi tersisa.  Pekerjaan Kang Jarwo sehari-hari hanya melamun atau ikut demo menuntut ganti rugi asal ada yang membiayai.
Hingga suatu hari, kami diajak berdemo ke ibu kota ini. Puluhan keluarga ikut dalam rombongan itu beserta anak-anak kami. Sebenarnya aku enggan ikut demo, capek. Belum lagi bila nanti kami ditangkap karena menimbulkan huru-hara. Tapi suamiku memaksa.
“Kamu ikut, Dik. Juga  Lilian, dan Rudi. Siapa tahu saat melihat anak-anak kita yang tak berdosa jadi korban, kurus kering dan tanpa masa depan, Bapak-bapak yang terhormat di Jakarta lebih mudah kasihan dan segera memberi ganti rugi,” bujuk Kang Jarwo setengah memaksa.
Ternyata semua pendemo membawa serta semua keluarganya. Demi kekompakan dan keberhasilan tujuan kami semua: mendapatkan ganti rugi yang memadai dan secepatnya, kuputuskan ikut ke ibu kota.
Tapi nyatanya? Hingga serak suara kami, hingga kering peluh kami, hingga habis uang saku kami, harapan yang kami gantungkan itu tak segera menjadi kenyataan. Kami putus asa. Sebagian di antara kami memilih pulang. Sebagian nekad bertahan di ibu kota. Sekalian cari kerjaan, putus mereka yang memilih tinggal. Bukankah tak ada lagi harapan kami di kampung halaman? Harta benda serta pekerjaan kami telah tenggelam sia-sia.
Kang Jarwo pun memilih bertahan.
“Setiap seminggu sekali kita akan berdemo menuntut hak kita. Kita berkumpul lagi di sini. Sekarang kita berpisah. Berjuang demi nasib kita sendiri-sendiri,” begitu pesan Kang Durrohim, mantan ketua RT di lingkungan kami tinggal dulu.
Singkat kata, kami nekad hidup menggelandang dari emperan toko satu ke toko lainnya, hingga di kolong-kolong jembatan. Kang Jarwo tak juga mendapat pekerjaan yang mapan. Menjadi kuli angkut di pasar Jatinegara, hanya itu pekerjaan yang tersedia. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa sebab Reihan dan  Lilian masih belum bisa ditinggalkan, begitupun Rudi. Tak ada siapa pun yang bisa kumintai bantuan untuk menjaga kedua anakku bila aku nekad bekerja. Jadilah aku hanya mengandalkan upah suami yang tak menentu.
Untunglah pada akhirnya kami mendapat tempat tinggal yang lebih nyaman. Di bawah kolong jembatan. Itu pun atas kebaikan Pak Hasan, teman Kang Jarwo sesama kuli angkut.
“Kita harus bersyukur, Dik. Meski hanya gubuk kecil, namun kita bisa berlindung dari panas dan hujan,” hibur Kang Jarwo saat pertama kali kami menghuni gubuk mungil kami.
Aku mengangguk. Mensyukuri pemberian Tuhan yang besar ini. Sebuah gubuk berdinding kardus bekas, beratap jembatan. Untung masih berpintu triplek meski mulai berlobang di sana-sini. Di gubuk itulah hingga kini kami tinggal.
Ternyata Tuhan belum juga membukakan jalan bagi kehidupan kami yang semakin tak berpengharapan. Atau mungkin juga Tuhan telah menenggelamkan hak kebahagiaan pada kami bersama-sama seluruh harta kami dulu hingga tak ada sisanya untuk kami nikmati di hari-hari mendatang? Gusti, kaningaya temen takdir ingkang kedah kawulo lampahi, selalu begitu kutangiskan penderitaanku.
Bagaimana tidak? Tak hanya kehilangan ibu, rumah dan semua harta benda kami, dua bulan kemudian, di ibu kota yang kejam ini, aku kehilangan kewarasan suamiku. Kang Jarwo gendheng!
Aku masih ingat awal nasib tragis yang menimpa Kang Jarwo. Hari itu, seperti biasanya selama kami di Jakarta, setiap Senin pagi, Kang Jarwo pasti ke bundaran HI. Menepati janjinya bertemu dengan teman-teman dari kampung halaman. Membicarakan langkah selanjutnya agar tuntutan ganti rugi kami segera mendapat perhatian. Hari itu dia pulang sambil ngomel-ngomel tak karuwan. Katanya, teman-teman tak lagi setia kawan.
Mosok wis ra ono sing peduli memperjuangkan nasib!” begitu berkali-kali Kang Jarwo menggerutu.
Sejak pagi itu, Kang Jarwo tak lagi pergi ke pasar. Ia lebih banyak duduk, merenung, lalu berdiri sambil berteriak-teriak sambil mengacungkan kepalan tangannya. Pandangannya memerah menatap langit!
“Kembalikan tanah kami! Kembalikan rumah kami!”
Ia tak lagi peduli pada keluhanku tentang beras yang tak bersisa di dapur, tentang susu Lilian yang tak berbekas, tentang tetangga yang protes keras. Kang Jarwo lebih memilih melempar piring dan panci-panci. Harta paling berharga yang sanggup kami beli. Sambil tetap berteriak-teriak, “Kembalikan rumah dan harta kami! Kembalikan!”
Aku bisa saja bersabar menunggu Kang Jarwo sadar, tapi perut anak-anakku tak mungkin menunggu. Seperti kesabaran tetangga-tetanggaku yang telah tandas mendengar kegilaan Kang Jarwo. Mereka melaporkan Kang Jarwo, entah kemana. Yang kutahu, beberapa orang petugas berseragam putih-putih menjemput Kang Jarwo.
“Kami akan membantu penyembuhannya, Bu,” kata salah seorang di antara mereka sebelum membawa pergi Kang jarwo dengan mobil ambulan.
Sejak itu, aku kehilangan Kang Jarwo.
Demi perut anak-anakku kuikuti saran tetangga: menjual satu-satunya harta yang tersisa. Harga diriku. Bukankah tanpa harga diri aku masih bisa hidup?
Kudengar dentang jam satu kali. Tanpa sadar aku telah tenggelam dalam kenangan pahit yang telah lama kuhapus dalam kehidupanku. Sungguh, sejak kuputuskan bergelut dengan nafsu dan arak saat dingin mendekap malam, aku tak sudi mengingat masa laluku. Kepedihan hanya akan menggerogoti sinar ayu di wajahku. Dan itu membuatku dijauhi pelanggan.
Kupaksa memejamkan mata. Berharap bisa kutemui anak-anakku dalam mimpi.
***
Hari ini genap 36 hari aku di tahanan. Selama itu pula aku merasakan siksaan: merindukan anak-anakku, dan merindukan keputusan hukuman untukku. Namun, aku tak ingin seorang pun tahu tentang kerinduanku itu. Tak boleh. Atau segala pengorbananku akan sia-sia saja?
“Hari ini akan ada seorang psikolog yang mewawancarai Ibu, sebelum minggu depan kasus Ibu disidangkan,” kata sipir saat menjemputku dari kamar tahanan.
Aku mengangguk. Aku tahu hal ini sudah pasti akan terjadi. Dulu, sebelum bencana itu menenggelamkan kebahagiaan hidupku, aku sering melihat di TV atau membaca koran tentang perlakuan terhadap para ibu yang menganiaya anaknya. Mereka pasti disangka sakit jiwa dan akan diperiksa oleh seorang psikolog. Anak-anak mereka akan diambil alih oleh negara sebab ibunya atau orang tuanya dianggap tidak mampu dan tidak bisa bertanggung jawab memelihara anak-anaknya.
Beda sekali nasibnya dengan bayi yang dibuang di tempat sampah. Mereka akan menjadi santapan anjing liar atau membusuk dan dikerubungi lalat-lalat hijau. Meninggalkan rasa jijik.
Beda pula nasibnya dengan anak-anak yang dibuang atau ditelantarkan orang tuanya di terminal atau stasiun. Kehidupan jalanan akan merengut masa kanak-kanaknya. Dan anak-anak itu secara langsung diterima di sekolah alam. Sekolah yang memberinya dua pilihan: jadi preman bagi laki-laki atau pelacur bagi perempuan.
Aku sungguh tak ingin melihat nasib anak-anakku tragis seperti itu.
Di ruang tunggu, kulihat seorang perempuan berjas warna hitam dengan kemeja putih dan celana lurus hitam yang rapi telah menungguku.
“Bu Siswati?”tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kenalkan, saya Herawati. Psikolog yang akan mendampingi Ibu,”katanya memperkenalkan diri.
Perkenalan yang biasa saja. Tak berkesan. Selanjutnya tanpa basa-basi, psikolog itu mengajukan padaku pertanyaan-pertanyaan yang hampir sebagian telah pernah ditanyakan padaku oleh para polisi.
“Apakah Ibu sadar saat menganiaya anak-anak Ibu?” tanyanya.
Aku mengangguk. Mantap.
“Ibu tahu bahwa tindakan itu sangat membahayakan nyawa anak-anak ibu?” tanyanya lagi.
Beberapa saat aku terdiam. Aku harus mampu menjawab setiap pertanyaan ini dengan baik. Salah sedikit saja aku menjawab mereka akan mengira akau gila dan membebaskan aku dari segala tuduhan.
Itu akan menggagalkan rencanaku.
“Ya. Saya sadar!” jawabku tegas.
Kutelan sisa air mata yang menetes hingga mengalir di dadaku.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Mengapa Ibu melakukan semua itu?” tanyanya lagi.
“Saya hanya tidak ingin lagi mereka merepotkan saya, mengganggu hidup dan kebahagiaan saya,” jawabku dingin.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu? Ibu tidak menyesal telah menyebabkan kedua tangan dan kaki Reihan yang masih lima bulan itu patah, dan sekujur tubuh Lilian lebam bekas cubitan?” tanyanya memberondongku.
“Tidak!”jawabku lebih dingin.
“Biadab,” kudengar suara lelaki, ternyata petugas yang mengawasiku dari balik pintu mengumpat.
“Ibu macam apa Ibu ini? Di luar sana, ratusan bahkan mungkin ribuan perempuan mati-matian berusaha mendapatkan keturunan, sedang ibu yang telah dianugerahi anak-anak yang lucu itu tega menyia-nyiakan bahkan menyiksa mereka!” suara laki-laki itu gemetar.
Siswati, kuatkan hatimu. Jangan sampai air matamu runtuh di hadapan orang-orang ini, atau kamu akan menerima kegagalan tas semua kegagalan itu, alarm di hatiku menyala-nyala saat air mata hampir saja menitik di mataku.
“Apakah penghasilan Ibu cukup untuk menghidupi ketiga anak ibu?” tanyanya.
“Cukup! Saya masih muda. Semalam saya bisa melayani tiga hingga empat orang, “ aku menjawab sambil tersenyum genit.
Hhhhh, psikolog itu mengepalkan tangannya seperti menahan kegeraman.
“Lilian dan Reihan anak-anak yang cakep dan lucu-lucu, Bu,” katanya menggantung kalimatnya yang tak selesai. Aku mengangguk. “Ibu tahu, sekarang ini banyak sekali orang yang berniat hendak mengadopsi anak-anak Ibu. Bagaimana pendapat Ibu?”
Aku diam saja. Menahan kegembiraan yang tiba-tiba menguntum di dadaku.
“Bu…?” psikolog itu memaksaku menjawab pertanyaannya.
“Ya?” jawabku dingin.
“Apa pendapat Ibu bila anak-anak Ibu diadopsi orang lain? Mereka akan menyediakan kehidupan yang layak untuk anak-anak Ibu, menyekolahkan, dan memenuhi semua kebutuhan mereka. Bagaimana, Bu?”
“Saya tidak peduli!” kupaksa mengucapkan tiga kata itu dengan wajah ketus sambil menahan air mata yang terus mengalir sampai jantungku.
Kemana orang-orang itu saat dulu aku membutuhkan bantuan untuk membeli beras dan susu anak-anakku? Kemana mereka saat aku bersama suamiku, anak-anakku, bahkan ratusan orang dari desaku dan tetangga desaku berteriak-teriak meminta keadilan karena rumah kami, seluruh harta kami, beberapa orang keluarga kami, bahkan kuburan moyang kami ditenggelamkan lumpur? Apakah mereka tak mendengar jeritan kami saat satu persatu harapan masa depan, harapan hidup yang bertahun-tahun kami tiup dengan nafas kami itu tercerabut dari mimpi kami? Kemana mereka saat perempuan yang lemah ini kelabakan mendengar tangis haus dan lapar anak-anaknya? Oh, kutuk macam apa yang aku terima? Dosa moyangku yang mana yang membuat hidupku dan anak-anakku menjadi seperti di neraka. Tak ada lagi yang dapat kumintai pertolongan. Sanak ,saudaraku, tetangga , dan kerabat yang kumiliki pun kehilangan masa depannya. Kami mati pelan-pelan, dikubur paksa dalam kubangan lumpur .
Katakan, apakah salah bila untuk anak-anakku aku memutuskan menjual satu-satunya harta yang tersisa: harga diri. Bukankah orang takkan mati tanpa harga diri? Aku pun takkan bisa makan hanya dengan harga diri.
Atau memang harus seperti ini: kuaniaya anak-anakku hingga sekarat, baru Kalian sadar dan tergerak untuk mengulurkan tangan?
“Bu….?”psikolog itu mengagetkan lamunanku. “Ibu sehat?”
“Saya lelah.”
“Baiklah, kalau begitu saya pamit. Besok saya akan datang lagi. Jaga kesehatan Ibu baik-baik. Anak-anak membutuhkan Ibu,” katanya berpamitan.
***
Seperti janjinya, psikolog itu akan datang hari ini. Maka sejak pagi telah kusiapkan masak-masak jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin akan ia ajukan.
Aku sudah menunggu hampir lima belas menit hingga psikolog itu datang dan menyalamiku.
“Bagaimana, Bu kabarnya? Sehat kan?”tanyanya sok akrab.
Aku mengangguk.
“Ibu tahu siapa yang saya ajak kemari?”tanyanya menatapku penuh arti.
“Tidak!”jawabku dingin.
Tiba-tiba pintu terbuka. Kulihat seorang perempuan cantik, berbaju bagus menggendong Reihanku. Ia tampak lebih sehat dan makin gemuk. Tangan dan kakinya tak lagi digips seperti yang kulihat dari layar televisi di tahanan. Lilian, gadis kecilku yang masih berumur 3 tahun digandeng seorang laki-laki berseragam polisi yang berjalan di samping perempuan itu.
“Reihan, Lilian…. Kasih salim sama Ibu,” psikolog itu meminta Reihan dan Lilian menjabat tanganku.
Aku diam. Kaku. Kutatap kedua anakku bergantian dengan sorot penuh kebencian. Penuh kemarahan seperti saat malam itu kuhajar mereka. Meski hatiku menangis, meraung-raung. Masih sering terdengar tangis mereka yang melengking, juga teriakan-teriakan Rudi yang memintaku menghentikan kekasaranku. Bukannya berhenti, aku malah melempar Rudi dengan sebuah gelas. Aku tahu  pasti tangan kanannya terkena pecahan beling sebab kulihat darah menetes di telapak tangannya.
Reihan meringkuk dalam pelukan perempuan itu. Lilian gemetar dan bersembunyi di belakang tubuh lelaki yang sejak tadi menggandeng tangannya.
“Bu Siswati tidak ingin memeluk mereka?”tanya psikolog itu.
“Tidak! Saya benci mereka! Mereka telah membuat hidup saya menderita!”teriakku histeris.
Reihan menangis menjerit-jerit mendengar suaraku. Lilian semakin gemetar. Lelaki itu kemudian menggendongnya dan menarik tangan perempuan yang mengendong Reihan. Mereka pergi meninggalkanku. Membawa serta anak-anakku.
Ruangan mendadak senyap. Hanya nafasku yang memburu menahan emosiku. Psikolog itu menatapku iba.
“Ibu rela anak-anak Ibu menjadi anak suami istri yang tadi membawa mereka berdua?”tanyanya lagi.
Aku diam. Sementara hatiku bersorak. Inilah yang sesungguhnya kuharapkan. Uluran tangan bagi anak-anakku. Meski untuk itu aku harus mebuat anak-anakku membenciku seumur hidup.
“Nak, mengertilah. Ibu bahagia Kalian berada di tangan yang benar. Sungguh, Ibu rela membayar dengan hukuman seumur hidup, bahkan hukum mati asal Kalian bahagia,” doaku dalam hati.
Tapi dimana Rudi? Kengerian menyergapku. Aku tak ingin Rudi menjadi korban para preman jalanan atau menjadi preman. Terlebih lagi aku tak ingin Rudi menjadi bajingan seperti lelaki yang menyebabkan kelahiran Reihan.
“Dimana Rudi, Bu?”tanyaku tak sanggup menahan keingintahuanku.
“Dia sehat. Sekarang dia dirawat pasangan suami istri yang sangat menyayanginya. Tadi ia menolak saat hendak kami ajak menemui Ibu,” kata psikolog itu.
“Hahahaahahaha,” mendengar jawaban itu tak sanggup kutahan tawa bahagiaku. Tawaku meledak.
Aku menari, aku melonjak kegirangan. Telah sempurna strategiku. Tinggal menunggu waktu merajam kerinduanku pada anak-anakku.
Kutelan air mataku. Aku tersedak!
Catatan:
Gusti…. Nopo dosa kawula?”  (Jawa, kromo inggil) = “Tuhan, apa dosa hamba?”
Gusti, nyuwun pangapunten,” (Jawa, kromo inggil) = “Tuhan, mohon ampun,”
“Mosok wis ra ono …..(Jawa, kromo inggil) = “Apakah benar sudah tak ada…”
Gendheng  (JW, ngoko kasar)= edan, gila, hilang akal
Salim (Jawa) = menjabat tangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar