Jumat, 09 November 2012

BOCORAN


BOCORAN (Diary, 3 Agustus 2011)

Seorang istri yang hendak membahagiakan anak-anak dan suaminya berusaha belajar memasak. ia mencari resep membuat kue. Begitu dapat ia ingat tak punya simpanan keju di kulkasnya. Ia segera mengirim SMS pada suaminya.
“Mas, pulangnya mampi supermarket. Belikan keju chedar.”
“Mau buat apa?”
“Kue. Resepnya dapat dari internet.”
“Enak?”
“Jhiah, mana tahu. Kan lagi mau dibuat,” balas sang istri mulai sewot.
“Kalau enak kubeli dech.” 

SMS balasan terakhir dari suaminya membuat sang istri dongkol. Belasan tahun menjadi istri, sang suami tahu betul istrinya tak suka dan tak pandai memasak. Kalaupun beberapa kali ia berhasil membuat kue atau masakan dengan rasa enak, pasti tampilannya berantakan. Sesungguhnya sebagai suami ia tak pernah menuntut sang istri memasak. Itu sebabnya, hampir tiap kali pulang kantor ada saja yang ia bawa, mulai dari masakan padang, ayam goreng kalasan, maupun makanan lain yang ia beli dari berbagai rumah makan ternama di kotanya. 

Yang pasti ia tak ingin melihat istrinya kelelahan karena harus mengerjakan segala pekerjaan rumah, termasuk memasak. Sebab, ia hafal betul tabiat istrinya bila kelelahan: pasti uring-uringan. Lagi pula, ia paling tak suka bila berdekatan dengan istrinya yang bau asap kompor, dapur, dan masakan.”Ini istri apa dapur, sih?” begitu protesnya bila ia datang dari kerja dan istrinya belum sempat mandi.

Lain halnya dengan sang istri. Begitu membaca SMS terakhir suaminya, hatinya panas. Sudah jelas aku ingin membuatkannya makanan istimewa, eh dikacangin, begitu omel sang istri dalam hati. Karena itulah, hari ini ia memasak dan membuat kue dengan ekstra hati-hati.  Ia ingin menunjukkan pada sang suami bahwa ia pun bisa memasak.

Alhasil, soto ayam kampung yang ia bumbui model soto lombok, sambal, dan kue buatannya hari ini benar-benar bercita rasa istimewa. Ia ingin membuat suaminya bahagia dengan hasil masakannya. Bahkan, ia menyiapkan satu kejutan untuk suaminya.

Adzan maghrib bergema. Sang suami belum juga pulang. Sang istri berbuka puasa bersama anak-anaknya. Hingga selesai menyimpan makanan kembali di almari makan, sang suami belum juga datang. Menuruti kata hati yang sedang marah, sang istri berbaring di ranjang. Tubuhnya ia selimuti dengan selimut tebal. Maklum, hawa dingin sore ini sangat terasa.

Terdengar bunyi mobil sang suami. Sang istri tak bergeming dari ranjang. Suara salam sang suami pun hanya ia balas dari kamar.

“Mama sudah buka?”
“Sudah. Barusan. Mas makan sendiri ya semua masih hangat kok.”

Tanpa berpikir negatif, sang suami langsung mengambil makan bahkan nambah lagi. Hari ini ia makan lahap sekali. Segelas coktal buah made in sang istri mengakhiri ritual buka puasanya sore ini.

“Mama….,” panggilnya pada sang istri.”Masakan mama enak sekali kali ini. Mbak Narmi yang masak ya?”

Yang dipanggil diam saja. Perasaanya makin dongkol karena sang suami menuduh semua masakan yang ia siapkan buatan pembantunya. Padahal di bulan Ramadhan ini ia sengaja meringankan beban pembantunya dengan membebaskannya dari tugas memasak.

Tak biasa dengan sikap istrinya yang aneh, sang suami masuk ke kamar. Di sana dilihatnya sang istri sedang berselimut tebal. Matanya setengah terpejam.

“Mama sakit?”
Sang istri menggeleng. Tapi tubuh dan kakinya gemetaran.
“Lalu? Kecapekan?”
“Nggak, Mas. Aku cuma takut.”
“Takut? Takut apa?” tanya sang suami tak mengerti.
“Barusan aku menemui Malaikat Ridwan,”jawab sang istri.
“Jangan ngaco ah!”
“Nggak. Beneran kok.  Aku cuma mau cari bocoran.”
“Bocoran? Mama ini ada-ada saja.”
“Serius Mas. Tadi kutanyakan pada Malaikat Ridwan apakah untuk mendapatkan tiket masuk sorga seorang istri harus pandai memasak?”

Sang suami tertawa. Dalam hati ia tahu sang istri pasti marah karena SMS-nya sore tadi.  

“Lalu apa jawabannya?”
“Tidak! Hanya tidak. Penebus tiket sorga bagi seorang istri adalah SETIA.”

Sang suami terdiam. 
“Mama marah soal tadi sore?”
Sang istri menggeleng. 
“Kalau begitu kenapa sikap mama seperti ini?”
“Habis papa selalu meledek  mama yang gak bisa masak.”

Sang suami terdiam sementara waktu. Kemudian ia mendekat pada istrinya.  Dipegangnya tangan sang istri dengan lembut.
“Ma, aku tak melamarmu untuk jadi seorang pembantu. Kita sudah punya  pembantu. Aku pun tak menikahi mama untuk jadi budakku. Mama adalah separoh hidupku. Tanpa mama, apalah arti hiduku. “

Sang istri hanya tergugu. Ia bahkan tak menolak pipinya dicium, meski adzabn izya bergema, dan sang suami harus bersegera ke mushalla. 

Dalam hati sang istri saat ini hanya tersisa senyum kecut. Pertama, ia merasa rugi capek-capek minta bocoran tiket masuk sorga. Kedua, ia ingat perkataan suaminya. Ia istri yang kelasnya sama dengan tukang pijat. Sebab, ia dulu dinikahi dengan mas kawin dua puluh ribu rupiah, jumlah yang sama dengan upah tukang pijit langganannya.

“Itu sebabnya tugas mama setiap malam adalah memijatku. Bukan memasak atau bersih-bersih rumah,” kata sang suami suatu kali.

Sang istri yang kini sendirian menjagai anak bungsunya mengelus telapak tangannya. Disyukurinya telapak tangan dan jemari lembut yang hampir tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu. Dengan kelembutan tanganku ini, akan kubeli tiket sorga lewat punggung dan bahu suamiku, bisik sang istri menghibur dirinya sendiri.

OLEH-OLEH DARI TOGA MAS


OLEH-OLEH DARI TOGAMAS

Tadi sore selepas ikut Slim and Fit di fitness Center, saya langsung meluncur ke Toga Mas. Ada beberapa buku yang hendak kubeli. Sebenarnya bukan soal isi buku yang hendak kutulis di sini, tetapi tentang kualitas beberapa buku yang mengusik hati (alah lebay ya?)

Nah, kalau saya mencari buku-buku ilmiah (nonfiksi) memang yang jadi kriteria utamanya adalah isinya. Meski berbahasa ruwet (tapi bukan kalimat yang ruwet dan tidak efektif) serta penampilannya tak eye catching, it’s ok lah. karena isi bukunya memang menjadi target utama. Jadi, untuk buku-buku nonfiksi, terutama buku ilmiah atau buku reliji selama isinya bagus, saya akan tetap ambil saja.

Namun, perasaan kecewa saya pada beberapa novel yang tadi sempat menarik hati karena tampilan covernya, nama pengarangnya, serta posisinya di bawah tulisan best seller sempat membuatku ya… bad mood. Walhasil aku urung membelinya. Why? 

Ada beberapa alasan.

Pertama, ukuran huruf. Banyak novel sekarang dicetak dengan ukuran huruf kecil-kecil. Saya sendiri tak tahu apakah karena faktor usia yang membuatku merasa lelah ketika harus membaca novel dengan ukuran huruf yang kecil-kecil. Sejak saya mulai doyan baca novel, maka huruf-huruf seukuran dalam novel2 karya Mira W cukup pas di mataku. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Tapi, sekarang ini sering kutemukan novel-novel dicetak dengan huruf-huruf kecil yang melelahkan.

Saya ingat bahwa salah satu syarat agar bacaan memiliki tingkat readability yang cocok dengan sasaran masyarakat bacanya, selain memperhatikan pilihan kata, panjang pendek kalimat, sebuah bacaan juga harus memperhatikan ukuran huruf. Bila untuk sebuah novel, saya rasa huruf-huruf yang terlalu kecil tentu akan sangat melelahkan pembacanya. Apalagi bila diingat bahwa sebuah novel dibaca orang salah satu tujuannya untuk mendapatkan kepuasan batin. Bila pembaca harus disibukkan dengan kelelahan matanya menatap deret huruf kecil-kecil, yang seringkali juga rapat, maka dapat dipastikan kenikmatan membacanya akan terganggu. 

Tadi di Toga Mas banyak sekali saya temukan novel baru atau best seller yang sebenarnya secara bahasa dan isi (meski baru kubaca sekilas) bagus. Namun, saya urung membelinya karena saya tak mau menghajar mata tua ini dengan perjuangan berat. Ini namanya penjajahan dan penyiksaan bagi orang setua diriku hehehe. Asli saya sedih. Beberapa buku yang sangat saya inginkan terpaksa tidak jadi saya beli.  Soal ini saya jadi ingat, kumcer Sungging Raga. Secara isi saya suka banget bahkan tak bosan membaca berulang cerpen-cerpennya yang benar-benar memikat. Namun, karena ukuran hurufnya yang kecil-kecil dan tampilan bukunya yang hanya sedikit lebih besar dibanding buku cerita silat Kho Ping Ho, saya membutuhkan waktu lebih lama untuk melahap habis kumcer itu. BT banget, sedih banget saat itu. Bayangkan, hati saya ingin segera menuntaskan membacanya. Namun, mataku duhai mataku… tak sanggup. 

Kedua, masalah bahasa yang digunakan. Jujur, secara pribadi saya seringkali membeli buku setelah membaca ulasan dari beberapa teman juga karena telah mengenal kualitas tulisan seseorang. Semisal saat membeli buku karya Benny Arnas , Khrisna Pabhicara, atau Mbak Wina Bojonegoro.Saya beberapa kali membaca karya mereka di media, membaca note mereka di FB. Saya yakin betul bahwa penulis-penulis itu memiliki kemampuan meracik bahasa yang mengagumkan. Jadi, meski membeli buku mereka secara online tak masalah bagiku. Saya yakin dengan kualitasnya. 

Namun, untuk membeli buku-buku penulis lain yang belum seterkenal mereka aku melakukan dua cara (a) membaca review/resensi/kritik dari teman-teman atau media baik cetak maupun internet. Mengapa? Seorang reviewer atau pengulas, meski tidak dimuat di koran (halah… dalam hal ini saya juga termasuk) tidak akan mungkin mempertaruhkan kehormatannya untuk mengatakan buku itu baik bila tidak baik. Maka saya suka membaca review buku-buku baru yang ditulis oleh teman. Itu bisa menjadi bahan referensi kalau suatu kali berwisata belanja buku. Itu pula sebabnya saya tak pelit berbagi info buku bagus. 

Bila tak kudapatkan informasi tentang kualitas buku dengan cara tersebut, atau kalau saya meragukan kualitas sebuah buku maka saat di toko buku ketemu bukunya tidak terbungkus plastik (ini yang agak sulit) saya akan membaca sekilas. Kubuka secara sembarangan beberapa halaman. Biasanya buku yang bagus akan ditulis dengan bahasa-bahasa yang memikat. 

Sayangnya banyak kutemui novel-novel baru terutama para penulis pendatang baru yang bahasanya amburadul. Tidak efektif. Membuat otak dan imajinasi kelelahan. 

Apakah ini karena menjamurnya buku-buku produk indie dimana penulis membiayai sendiri karya-karyanya sehingga setiap orang bisa jadi penulis? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Beberapa penerbit yang menyediakan penerbitan secara indie semacam Kayla, Genta Pustaka, dan leutika kuyakin memiliki tim editor yang hebat. Jadi,meski banyak buku yang diterbitkan secara indie baik sistem POD atau tidak, tetap saja memiliki kualitas bahasa yang bagus. Tadi saya menemukan buku-buku produk Kayla dan  leutika yang  bahasanya cukup baik. Saya yakin peran editor sangat besar di sini. Hanya dengan melihat isinya sekilas dan menilai kalimat yyang digunakan dua buku Sabdo palon  milikDamar S  produk Kayla Pustaka dan Daun-Daun Luruh karya Iva Avianty produk Leutikapun masuk keranjang belanjaanku.

Ketiga, pelajaran yang kuperoleh dari wisata belanja buku bulan Maret lalu adalah jangan terkecoh dengan tulisan best seller atau ditulis penulis best seller. Maret lalu saya kecewa sekali karena membeli sebuah novel terjemahan karena ada tulisan ditulis penulis terlaris. Hm… sampai di rumah nyesal sekali. Tak hanya ceritanya yang gak menarik, tetapi isi novel itu sendiri ngawur. Bahkan saya bisa mengatakan ada upaya menjelek2kan Islam dalam novel tersebut. Sejatinya, ingin sekali saya mengulas  novel itu, namun saya tak enak hati terhadap penerbitnya. 

Saya kutipkan saja ya satu penggalan dalam novel itu yang bikin saya berang setengah mati. 

Dia tahu bahwa bertahun-tahun pelaksanaan aturan lajang MEK telah membuat nafsu pria mereka frustasi sehingga kemungkinan besar, para pria itu akan memperkosa gadis itu. Lalu, berdasarkan hukum syariah mengenai wanita Muslim yang diperkosa, mereka akan melempari gadis itu dengan batu sebagai pezina perempuan dan mengubur tubuhnya yang hancur di padang pasir. 

Perhatikan bagian yang saya cetak tebal miring!! Gila. Bagian ini luar biasa ngawur dan melecehkan Islam. Entah karena ketidaktahuan atau sengaja mendiskreditkan. Hukuman zina (yang dilakukan suka sama suka, tidak berlaku bagi gadis korban perkosaan) bagi bujangan adalah diasingkan. Sedangkan hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) hanya diberikan pada lelaki dan perempuan pezina yang sudah menikah. Jadi, selain mendiskreditkan bagian ini juga ngawur besar! 

Hingga saat ini, novel setebal 560 halaman seharga 70.000 itu tak juga sanggup kuselesaikan. Entah kapan …..???

Jadi…. selalu ingat-ingat tiga hal saat Anda melangkah ke toko buku. Satu, ingat kualitas tulisan penulis tersebut baik dari review/resensi/ulasan maupun dari karyanya terdahulu. Dua, cek isi dan bahasanya secara sekilas. Ketiga, jangan terkecoh dengan cap best seller atau terlaris. 

Eit, ada yang tertinggal. Jangan lupa juga isi dompet. jangan sampai bocor semua. (Padahal saya juga suka lupa diri kalau sudah belanja buku. Hm… tadi saja pulang bawa 12 eks). 

Oh ya, jangan lupa. Beli buku online selama ada yang merekomendasikan, terutama teman atau sahabat yang bisa dipercaya boleh juga kok. Kalau perlu, sebelum membeli tanya ke teman yang sudah membelinya. Atau, baca dulu penggalannya yang biasanya dipublish oleh penulisnya. Meski barangkali cuma satu atau dua lembar, tapi pembaca yang pintar pasti sudah bisa menilai kelayakan buku itu untuk dibeli. 

NB: Buat yang nama dan karyanya kutulis di sini…. sorry ya, gue beneran suka ama buku kalian. 

LASKAR PELANGSI, SECANGKIR KOPI PAHIT YANG JADI CANDU


Pengantar
Siapa yang tak pernah mendengar  Laskar Pelangi (selanjutnya ditulis LP)Novel karya Andrea Hirat ini tercatat sebagai buku best seller antara tahun 2007-2008, bahkan telah diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Dunia sastra Indonesia seperti dihentakkan oleh kehadiran LP yang dinilai inspiratif dan mengangkat tema yang berbeda dengan novel-novel pada zamannya.

Laskar Pelangi menceritakan tentang petualangan dan semangat Ikal (tokoh utamanya) bersama rekan-rekannya di SD Muhammadiyah Belitong. Gedung sekolahnya hampir roboh. SD Belitong berada di sebuah pulau yang bernama Belitung, yang merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an. Kehidupan social masyarakat di sana sangat kontras, yaitu kehidupan kelas atas para pegawai PN Timah (yang jumlahnya sangat sedikit disbanding julah seluruh masyarakat Belitong) dan kehidupan kelas bawah dari strata terendah di pulau tersebut. SD ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat yang masih punya harapan dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini karena SD lain biayanya amat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka.

Di tengah kemiskinan keluarga dan SD yang sangat memprihatinkan inilah anak-anak LP yaitu Ikal, Mahar, Lintang, Sahara, A Kiong, Harun, Trapani, Borek, Kucai, dan Syahdan berjuang keras, tanpa mengenal putus asa di bawah bimbingan Bu Mus, Pak Harfan, dan guru perguruan Muhamadiyah, menyelesiakan pendidikannya. Selain menggambarkan kondisi ekonomi, social, dan budaya masyarakat Belitong, dalam novel ini digambarkan bagaimana Lintang yang anak orang pesisir, berjarak 80 KM tidak pernah membolos sekalipun meskipun ia harus menayuh sepeda anginnya 80 KM setiap hari ked an dari sekolah. Digambarkan pula bagaimana Mahar yang eksentrik dan memiliki banyak ide kreatif di bidang seni. Dalam novel ini juga diceritakan kisah “cinta monyet” Ikal dengan A Ling, anak penjual kapur tulis di kota, yang disebabkan karena Ikal melihat “kuku jari A Ling” saat menerima kapur tulis yang diberi. Juga diceritakan patah hati yang dialami Ikal, saat A Ling terpaksa harus pergi untuk melanjutkan sekolahnya. 

Novel yang menurut majalah Rolling Stone, sampai Agustus 2008 Pelangi telah terjual lebih dari 600.000 eksemplar pada akhirnya diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film ini ternyata menuai tanggapan positif dari para penontonnya, bahkan para guru dan siswa di berbagai daerah disarankan untuk menonton film ini, termasuk di kota tempat saya, penulis, tinggal.
Bertolak dari gegapnya pemberitaan dan meledaknya film LP, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana sebenarnya tanggapan, komentar, resensi, atau kritik terhadap novel ini. Berdasarkan hasil pencarian tersebut penulis menemukan ada tiga kelompok pembaca. Kelompok pertama adalah kelompok yang sangat menyukai LP beserta tiga judul lainnya sebagai rangkaian Tetralogi Laskar Pelangi yaitu Laskar Pelang (LP), Sang Pemimpi (SP), Edensor (E), dan Maryamah Karpov (MK). Kelompok ini umumnya lebih mengedepankan alas an bahwa LP mampu memberikan inspiratif terutama berkaitan dengan semangat pantang menyerah anak-anak LP dalam meraih cita-citanya untuk bersekolah di tengah-tengah himpitan ekonomi dan keterbatasan fasilitas pendidikan di SD-nya. Pembaca yang masuk dalam kelompok ini jumlahnya paling banyak dibandingkan kelompok kedua dan ketiga. Kelompok kedua adalah kelompok pembaca yang sejak awal membaca menilai LP novel yang membosankan,western minded, dan minim konflik. Kelompok ketiga adalah kelompok pembaca yang menilai LP tidak terlalu istimewa. Mereka umumnya mengaku ikut tersentuh dengan semangat anak-anak LP, namun melihat berbagai kelemahan LP seperti penggunaan istilah Latin yang dianggap mengganggu penikmatan, serta minimnya konflik. Kelompok ketiga ini sebagian besar mengaku  telah membaca SP, E, dan MK karena penasaran dengan nasib anak-anak LP.

Berdasarkan resensi, kritik, dan komentar baik sastrawan, kritikus sastra, jurnalis, pembaca, maupun penonton film LP itulah akhirnya penulis akhirnya ‘membaca’ Laskar Pelangi. Tidak hanya sekedar untuk membaca sastra untuk mendapatkan ‘kenikmatan’, namun juga untuk membuktikan apakah benar LP sedemikian inspiratif, layak untuk mendapatkan penghargaan, dan tidak hanya menjadi riuh diperbincangkan karena menjadi best seller, atau lebih karena para pembacanya menjadi korban komersialisasi dari penerbit atau penulisnya.

LP: Secangkir Kopi Pahit, Kental yang Jadi Candu

Penulis membutuhkan pembacaan LP hingga 4 kali untuk kemudian dapat mengambil kesimpulan bahwa novel ini serupa secangkir kopi pahit, kental yang jadi candu. Berikut akan diuraikan mengapa penulis mengambil simpulan dengan analog tersebut.

LP = Secangkir Kopi Pahit

Penulis mengibaratkan novel ini sebagai secangkir kopi pahit sebab (a) sebagai sebuah karya sastra novel ini dihadirkan untuk dinikmati, sama persis seperti secangkir kopi, teh, atau minuman lain. Secangkir kopi karena seting cerita dalam LP umumnya mengangkat sisi buram kehidupan masyarakat Belitong dari berbagai segi kehidupan; dan  (b) pahit sebab hampir semua sisi kehidupan masyarakat Belitong yang diceritakan dalam LP mengangkat kegetiran hidup mulai dari kemiskina, kebodohan, dan ketertindasan.

Kemuraman dan kepahitan kehidupan Ikal dan Sembilan temannya tidak hanya dirasakan oleh mereka, namun juga dirasakan oleh hampir semua masyarakat Belitong kelas bawah dari berbagai ras/suku bangsa. Tidak hanya orang-orang Melayu yang hidup di bawah garis kemiskinan, bekerja menjadi buruh pabrik timah, buruh nelayan, atau kuli angkut di pelabuhan.

Sejak awal, novel ini telah menggambarkan kemiskinan para tokoh utamanya, orang tua, dan sekolahnya. Hal ini antara lain dapat ditemukan dalam penggalan berikut.

…..Kami  bertetangga  dan  kami  adalah  orang-orang  Melayu  belitong  dari  sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan  anaknya  di  sini.  Pertama,  karena  sekolah  Muhammadiyah  tidak menetapkan  iuran  dalam  bentuk  apa  pun,  para  orangtua  hanya menyumbang  sukarela semampu mereka…. (LP, 2008: 4).

Dari penggalan di atas jelas Andrea Hirata, penulis LP, selanjutnya ditulis AH, sejak awal sudah mengajak pembaca untuk bersiap memasuki sebuah tempat dimana para penghuninya orang-orang yang miskin dan hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah paling miskin (SD Muhammadiyah) yang tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa, pun. Jika pun ada iuran itu sifatnya suka rela dan semampu orang tua.

Penggambaran kemiskinan sebagian besar masyarakat Belitong ini menjadi seting suasana yang bertahan hampir pada seluruh bagian isi novel ini. Secara acak misalnya dapat dilihat pada penggambaran rumah Lintang yang sangat memprihatinkan seperti dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Gubuk itu  beratap daun saga dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itudapat dilihat dari luar karena dinding kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. … Benda di dalam rumah itu ada enam macam: beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Alqur’an, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing … (hal: 99).

Kemiskinan keluarga Lintang sedemikian berat apalagi karena di dalam rumah reyot berisi 14 orang itu, ayah Lintang menjadi satu-satunya pencari nafkah. Keempat belas orang yang dimaksud adalah bapak dan ibunya, Lintang, lima orang adik perempuannya, 2 orang kakek dan 2 orang nenek dari bapak dan ibunya, serta ditambah dua orang adik laki-laki ayah Lintang. Kedua orang adik ayah Lintang ini yangs eorang sakit jiwa dan yang seorang lagi tak bisa bekerja sebab sakit kandung kemih yang parah.  Hal ini digambarkan AH dengan cukup dramatis yaitu, “Empat orang tua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan, semua ini membuat keempatbelas  orang itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang … (hal: 100). “

Kemuraman dan kepahitan hidup yang disajikan LP tak hanya yang dialami oleh para pelakunya, tetapi juga digambarkan melalui gambaran sekolah dan lingkungan yang sangat memprihatinkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa SD mereka adalah prototipe sekolah yang sangat tidak layak untuk menjadi tempat menuntut ilmu yang kondusif bagi para siswanya. Kondisi sekolah yang memprihatinkan tersebut digambarkan oleh ‘aku’ sejak awal  novel, antara lain seperti  pernyataan “ Di ujung bangku-bangku panjang  tadi ada sebuah pintu  terbuka. Kosen pintu  itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. …. (hal.1)” Atau dapat juga dilihat dari penggalan berikut.  

Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin  ribuan  sekolah miskin  di  seantero  negeri  ini  yang  jika  disenggol  sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan  sore
untuk  SMP  Muhammadiyah. … (hal. 17).

  Jika dilihat dari  jauh  sekolah kami  seolah  akan  tumpah karena  tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur  ini menyebabkan tak  ada  daun  pintu  dan  jendela  yang  bisa  dikunci  karena  sudah  tidak  simetris  dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?   (hal. 19)

Kemiskinan sebagian besar warga Belitong  antara lain dapat dilihat dari apa yang harus dialami oleh Lintang dan anak-anak seusianya yang harus bekerja seperti terungkap dalam penderitaan lintang yang setiba di rumah, sehabis mengayuh sepeda ke dan dari sekolah sejauh 80 KM,  ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusianya di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra (hal. 95). Bahkan, karena sangat miskin, sebagian masyarakat Belitong menganggap bahwa pendidikan yang hanya sampai SMP termasuk sebagai sebuah kemewahan. Hal ini antara lain terungkap dalam penggalan berikut ini.

…. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada  juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti  mengikatkan  diri  pada  biaya  selama  belasan  tahun  dan  hal  itu  bukan  perkara gampang bagi keluarga kami. (hal. 2)

… Kawasan kampUng ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang dan pensiunan. … Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam. (hal. 51).

Kemuraman masyarakat Belitong tidak hanya karena kemiskinan, namun ketertinggalan informasi. Hal ini antara lain dapat dilihat dari penggalan  kutipan berikut.

….Karena di kampung kami tak ada sawah, maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sanga kepala suku masih orang yang sama.

   Di Pulau Belitong selain radio transistor, alat komunikasi paling modern yang ada adalah televisi hitam putih. Itu pun jarang sekali orang mempunyai. Hal ini antara lain dapat diketahui dari penggalan cerita yang mengungkapkan kepandaian Mahar memantulkan gambar TV melalui kaca saat televisi Pak RT yang ada di dalam kamar sempit tidak bisa dipindahkan karena masalah pendeknya kabel antenna. Berkat kepandaian Mahar yang memantulkan gambar televisi melalui dua cermin almari, tak kurang 20 orang menonton pertandingan final badminton All England antara Svend Prie melawan Iie Sumirat (hal. 153-154).

Fakta lain yang mendukung minimnya radio, televisi sebagai sarana komunikasi dan hiburan bagi masyarakat juga dapat dilihat dalam penggalan berikut.

….Di sana, di luar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya anak enam belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu (hal. 50)

Sebagian besar masyarakat Belitong juga bertaraf pendidikan rendah.  Rendahnya pendidikan ini merupakan efek dari rendahnya tingkat perekonomian mereka. Hal ini antara lain dapat dilihat dari orang tua dan saudara aku yang tidak bersekolah sama sekali, ibu dan bapak Lintang yang tak bisa baca-tulis, bahkan berhitung dalam hitungan yang sederhana sekali. Selain itu juga dinyatakan bahwa hanya sedikit orang Melayu, sebagai penduduk mayoritas, yang bisa menduduki jabatan staf di PN Timah. Itu pun bukan karena mereka berpendidikan tinggi, akan tetapi hanya beruntung bisa membaca dan menulis.

LP = Secangkir Kopi Kental
Secangkir kopi yang kental mengindikasikan kentalnya kadar kopi yang ada di dalamnya. Demikian pula sebuah novel dikatakan kental apabila di dalamnya mengandung isi baik berupa nilai-nilai kehidupan maupun pengetahuan yang bermakna bagi para pembacanya. Bermakna, tak hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi mampu memberi inspirasi, bahkan mampu memberi pencerahan bagi pembacanya. Namun, seperti sifat kopi, selain memberi efek penyegaran, karena kandungan kafeinnya, kopi dapat memicu penyakit jantung, meningkatkan asam lambung, dan pada sebagian orang membuat matanya tidak mampu terpejam sepanjang malam.

Kaya Nilai
Kekentalan LP dilihat dari sisi nilai dapat dibuktikan dari banyaknya kandungan nilai yang disajikan baik sebagai bagian dari alur cerita maupun hanya sebagai seting cerita. Nilai yang dimaksud antara lain nilai moral, agama, sosial, budaya, dan pendidikan.
Nilai moral antara lain ditunjukkan lewat keikhlasan Bu Mus dan Pak Harfan (guru SD Muhammadiyah tempat anak-anak LP) bersekolah untuk mengajar meski tanpa imbalan yang memadai. Nilai moral juga dapat terlihat dari pesan Tuk Bayan Tula saat Mahar dan Flo meminta pertolongan agar mereka dapat lulus dengan nilai memuaskan. Saat itu keduanya yang nilai-nilainya merosot tajam karena aktifitas perdukunannya  terancam tidak dapat mengikuti Ujian Nasional. Menariknya, AH menyampaikan nilai moral melalui tokoh perdukunan, Tuk Bayan Tula yaitu lewat secarik kertas keramat yang bertuliskan : INILAH PESAN TUK BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKU BUKU, BELAJAR! Sahara juga menjadi tokoh yang menyampaikan nilai moral untuk selalu jujur meskipun harus mendapatkan bencana apabla mempertahankan kejujurannya.

Nilai lain yang juga cukup dominan adalah nilai agama. Hal ini bisa dimaklumi mengingat LP mengambil seting tempat SD Muhamadiyah sebagai pusat aktifitas anak-anak LP. Nilai-nilai agama ini disampaikan secara langsung dengan cara guru menyitir ayat Al-Qur’an atau hadist Nabi Muhammad SAW atau melalui riwayat para Nabi, ritual ibadah yang rutin dilakukan oleh orang-orang Islam di Belitong, nasihat guru (Bu Mus dan Pak Harfan), maupun lewat tindakan yang langsung dipraktikkan oleh guru. Nilai agama yang disampaikan dengan mendasarkan Alquran antara lain disampaikan Bu Mus, seperti  nasihat agar shalat tepat (hal. 31). Bu Mus juga mengajarkan nilai agama melalui perilaku Bu Mus yang selalu bertasbih (mengucapkanSubhanallah)saat mengagumi kepandaian Lintang dan Mahar.

Nilai agama non-Islam juga terdapat antara lain tampak dari upacara Chiong Si Ku atau sembahyang rebut. Upacara keagamaan ini dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Dalam upacara itu, disediakan benda-benda kebutuhan rumah tangga mulai dari beras, roti, panci, hingga radio transistor di atas meja yang diletakkan dekat patung Thai Tse Ya. Patung  Thai Tse Ya adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia (hal. 260).

Nilai lain yang juga sangat kental mewarnai novel ini adalah nilai budaya. Nilai budaya yang dapat dilihat antara lain tradisi memetik buah karet kemudian memecahkannya dengan telapak tangan pada awal musim hujan. Bila musim hujan tiba, maka tradisi permainan yang tak pernah dilupakan anak-anak adalah ‘bermain ski’ dengan pelepah pinang. Hal ini dapat dilihat dari penggalan berikut.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tetapi manual karena ditarik tenaga manusia (hal. 171).

Tradisi lainnya yang melibatkan semua masyarakat Belitong adalah karnaval tiap peringatan hari kemerdekaan RI, para istri menitup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan tumpukan kayu bakar, minum air gula aren sebelum berangkat kerja,  penggunaan gelar N.A (Nyi Ayu) bagi perempuan, dan K.A (Ki Agus) bagi laki-laki, bagi keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong.
Nilai lain yang juga menjadi perekat anak-anak LP adalah nilai sosial. Nilai-nilai itu antara lain dapat dilihat dari sikap menghormati, saling menolong, saling setia antara satu anak dengan anak lainnya. Kesetiakawanan, kerelaan berkorban, dan membantu sesama antara lain terlihat saat anak-anak LP bersama-sama membantu mencari Floriana yang hilang bahkan untuk itu mereka harus menembus hutan, naik turun gunung, dan perbukitan yang angker hingga lebih dari 30 jam.
Nilai pendidikan dalam LH sangat kental karena seting utama dalam novel ini adalah SD
Muhammadiyah tempat anak-anak LH bersekolah. Nilai pendidikan ini antara lain terlihat dari
pemikiran tokoh ‘aku’ (Ikal) yang secara tersirat menyatakan ia mendapat ilmu tentang hidup dari SD tempat ia belajar bersama teman-temannya yang sama-sama berasal dari masyarakat marginal seperti terdapat dalam penggalan berikut ini.
Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku belajar memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis perguruan ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih (hal. 85).

Kaya Pengetahuan
Kekentalan LP yang membuat novel ini sangat nikmat untuk dibaca juga tak lepas dari beragamnya cabang pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Dari novel setebal 494 ini setidaknya penulis mencatat berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain matematika, fisika, biologi, sejarah, antropologi, kewarganegaraan, agama, ekonomi, psikologi, astronomi, kesenian, dan geografi.
Bidang fisika, matematika antara lain dapat ditemukan dari ide-ide Lintang untuk memecahkan permasalahan mulai dari menyelesaikan pertanyaan Bu Mus, memprediksi kecepatan gerak buaya yang menghadangnya saat berangkat sekolah, memperkirakan kapan dan berapa kali Pak Harfan tidak masuk karena penyakit bengeknya, serta menghitung waktu kuncup, bersemi, dan matinya bunga red hot cat tail dengan cara meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Lintang menggunakan  pengetahuan Fisika untuk mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah PN yang memprotes kunci jawaban juri cerdas cermat seperti dalam kutipan dialog Lintang berikut ini.

“… Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes, dan mereka semua itu, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum  yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memilki spektrum yang kontinyu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!” (hal. 381)

Biologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang paling banyak digunakan oleh AH untuk mengembangkan seting tempat dan menggambarkan perwatakan tokoh. Tidak tanggung-tanggung jumlah tumbuhan yang disebut AH dalam LP adalah … sedang jumlah binatang  tercatat  sebanyak …..
Kentalnya penggunaan binatang dan tumbuhan untuk menggambarkan seting antara lain tampak dari 5 paragraf yang terdapat dari halaman 157-159. AH menggunakan kupu-kupu untuk menggambarkan  keindahan seting tempat favorit anak-anak LP yaitu pohon filicium. AH menggambarkan bagaimana ratusan pasang kupu-kupu jenisdanube clouded yellow beterbangan melingkari daun-daun filicium. Untuk sampai pada paragraph tersebut, AH mengawalinya dengan sekelompok kupu jenis papilio blumei.Selanjutnya AH menguraikan jenis kupu pure clouded yellow, danube clouded yellow, colias crocea, dan colias myrmidone disertai penggambaran fisik dan aktifitas hidup mereka. Tak hanya menggunakan kupu-kupu, AH juga menggunakan burung serindit , jalak kerbau, ungkut-ungkut, dan ulat  untuk memperkuat seting seperti tergambar dalam penggalan berikut ini.

Setelah serindit melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Wineton menembus langit maka
hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat istimewa. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan fillicium, menikmati setiap giugitan buang hajat sesuka hati,… Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis.
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit fillicium.    Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut….kut ….kut…
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari serangga sisa sarapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena perangai coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan (hal. 65-66).

Penggunaan nama binatang untuk metafor yang pertama dilakukan AH untuk menggambarkan bagaimana lincahnya tokoh Lintang yang ingin segera lepas dari pegangan bapaknya dan segera masuk kelas yang digambarkan sebagai belut licin, tokoh A Kiong  yang naïf dibandingkan dengan burung jalak kerbau, Sahara yang cantik digambarkan secantik grey cheeked green (burung punai lenguak). Berikut adalah kutipan yang menunjukkan bagaimana indahnya AH menggunakan binatang dan tumbuhan untuk menggambarkan perwatakan tokoh.

Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. …. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. … (12)

AH menggambarkan watak ayah Lintang dengan menggunakan pohon cemara angin seperti terungkap dalam penggalan berikut.
…. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap (hal. 10).

Pada halaman-halaman berikutnya, AH menyebut ayah Lintang dengan sebutan pria cemara angin.

Bidang ilmu lain yang juga sangat kental mewarnai LP adalah geografi dan atrononomi. AH misalnya dengan piawai menyebut dan mendeskripsikanberbagai nama gunung atau sungai. Berikut adalah penggalan yang menunjukkan kepiawaian AH menggambarkan seting tempat,  pulau Belitong, dengan menggunakan ilmu geografi.

Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrim musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudera berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada musim hujan. Maka musim hujan di Pulau Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.

Ilmu astronomi antara lain dapat diliaht pada pikiran-pikiran Lintang saat membaca buku berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur sebagai terungkpa dalam penggalan berikut ini.
… Dalam sekejap ia tenggelam dilamun kata-kata ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. … (hal. 101).

Ilmu psikologi antara lain dapat terlihat dari bagaimana tokoh aku mendeskripsikan alasan-alasan seseorang melakukan suatu tindakan, perbedaan orang cerdas dan tidak cerdas, dan sebagainya. Berikut adalah penggalan pengetahuan bidang psikologi yang mengupas perbedaan antara orang cerdas dan tidak cerdas.

Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mereka tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap daam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semaki aneh mereka. ….

Sebaliknya, orang-orang tak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat wal afiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tidak apa-apa di situ, kosong. …
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus. (hal. 113)

Bahkan perkembangan perwatakan tokohnya diwarnai pergolakan psikologi seperti bagaimana sejak awal AH menggambarkan kedekatan Trapani dengan ibunya yang di kemudian hari ia terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa karena menderita Oedipus complex, pergolakan jiwa A Kiong seebelum menemukan tuhannya dan memutuskan untuk menjadi mu’alaf hingga pengaruh kegagalan Ikal mendapatkan A Ling mempengaruhi hidupnya di kemudian hari.

Novel berlatar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Belitong yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Ilmu sosiologi dalam novel ini antara lain terlihat dari kepiawaian AH menggambarkan strata sosial maupun kelompok masyarakat berdasarkan suku/ras di Belitong. Meskipun AH mengulas lebih banyak masyarakat miskin sebagai setting utama cerita, namun ia juga menggambarkan adanya kelompok minoritas yang hidup ‘memisahklan diri’ dari kelompok masyarakat miskin. Seperti realitas kehidupan sesungguhnya, jumlah orang kaya ini jauh lebih sedikit dibandingkan kelompok masyarakat menengah ke bawah. Gambaran sosial masyarakat Belitong antara lain dapat dilihat dari penggalan berikut.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, …..

Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer pemda, dan semua guru dan kepala sekolah – baik sekolah negeri maupun sekolah kampung – kecuali guru dan kepala sekolah PN (hal. 55)

Tak hanya penggambaran kehidupan sosial masyarakat yang ada di dalamnya, pembaca juga disuguhi ulasan anthropologi. Ulasan ini membawa imajinasi dan pikiran pembaca untuk membayangkan secara fisik maupun silsilah orang-orang yang digambarkan dari tinjauan anthropologi. Misalnya penggambaran orang-orang Melayu Belitong dari sudut Anthropologi seperti yang terdapat di halaman 162 berikut.

…Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, atau Mongoloid. Meskipun banyak Anthropolog yang berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon – dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu – tapi kami tak membesarkan pendapat itu. …

Juga penggambaran Suku Sawang yang merupakan kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan paling rendah (dalam perlakuan kerja di PN Timah), AH menggambarkan tinjauan antropologi sebagai berikut. 

… Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena anthropologi. Dibanding orang Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat. (hal. 164)

Ilmu lain yang juga terdapat dalam LP adalah klimatologi yakni ilmu yang membahas tentang iklim seperti terdapat dalam kutipan berikut ini.Seiring dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampong-kampung orang Melayu Belitong, aura tarak perlahan-lahan mulai meredup. Jika tarak sudah tak dimainkan maka itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitive. Wilayah-wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepanjangan. Sementara di barat sana orang-orang menjalani hari-hari kelabu bernama musim salju. …. (hal. 169)

LP Jadi Candu
Di tengah banjir pujian terhadap LP, dalam kenyataannya banyak juga kritikan terhadap kelemahan LP. Di antara kelemahan yang dimaksud adalah bahwa novel ini miskin dialog, lemah konflik, dan menimbulkan kebosanan.  Terhadap sikap kontra ini penulis mencoba menyajikan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kritikan tersebut memiliki dasar, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat dijadikan masukan bagi AH untuk meningkatkan kualitas tulisannya di masa yang akan datang.
Dilihat dari gaya penceritaan, LP memang minim dialog. AH terlalu banyak mengembangkan seting tempat, karakter tokoh, serta suasana cerita sehingga terkesan mengabaikan dialog. Padahal penggunaan dialog dalam sebuah novel akan dapat menghidupkan cerita. Minimnya dialog LP antara lain terlihat dari bab 3: Inisiasi. Dari lima halaman hanya ada 4 kali dialog; bab 5  hingga bab 7 sama sekali tidak ada dialog. Gaya penceritaan seperti ini masih terus dipertahankan AH dalam bab-bab berikutnya. Akibatnya tidak mengherankan apabila ada pembaca menyatakan novel ini membosankan.

Selain karena minimnya dialog yangmenyebabkan novel ini dinilai membosankan, penggunaan bahasa juga perlu diperhatikan. Memang harus diakui bahwa kepiawaian AH membuat metafor-metafor dengan bintang, tumbuhan, atau benda-benda alam sekitar cukup orisinal dan menarik. Namun, AH seringkali kurang kontrol dalam penyusunan kalimat. Akibatnya banyak ditemukan sebuah paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat. Akibatnya, pembaca menjadi lelah, dan ide yang hendak disampaikan menjadi terkesan bombastis. Hal ini antara lain dapat dilihat dari cara AH menyampaikan bahwa Lintang tidak pernah membolos satu hari pun  seperti dalam kutipan berikut.

Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi   dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam menuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak hingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada musim sampar – sehari pun Lintang tak pernah bolos (hal. 94).

Dalam novel tersebut, paragraf tersebut hanya terdiri dari 1 kalimat sepanjang 11 baris. Bayangkan, betapa sangat melelahkan membaca kalimat-kalimat panjang dan bertele-tele.
Berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat dalam LP, bagi sebagian pembaca akan mengasyikkan
karena pembaca diajak secara tidak langsung menambah wawasannya dalam sebuah jalinan cerita yang menyenangkan. Namun bagi sebagian pembaca cara ini sangat membosankan, terutama bagi pembaca yang membaca novel LP sekedar untuk mendapat hiburan dan menghilangkan stress. Untuk mendapatkan kenikmatan membaca LP dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Belum lagi penggunaan nama-nama Latin untuk tumbuhan, binatang, dan berbagai istilah asing seperti bahasa Inggris, tentu mengganggu kenikmatan pembacaan novel ini. Sebab, tidak semua pembaca mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membayangkan keindahan seting tempat yang digambarkan dalam novel ini bila jenis kupu atau bunga-bunga yang ditanam di SD tersebut disajikan dalam bahasa Latin.
Tak hanya itu, hampir seluruh isi novel ini tidak memiliki kejelasan waktu cerita. Bila pun AH hendak menggunakan alur setting mundur, namun ketidakjelasan waktu terjadinya berbagai peristiwa, tanpa tanda pemidsah antara satu kejadian dengan kejadian lain yang terjadi di waktu yang berbeda, seringkali membuat pembaca harus berpikir lebih keras untuk menentukan kapan kejadian tersebut. 
Kelalaian penggunaan bahasa yang sangat fatal juga terjadi pada saat AH menampilkan dialog Bu Mus dengan ibu Ikal. Dalam dialog itu Bu Mus menceritakan bagaimana hebatnya Lintang hingga pengakuan bahwa Bu Mus merasa kewalahan dengan kecerdasan Lintang. Kecelakaan bahasa tersebut dapat disimak dalam penggalan berikut.

“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal
aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sekali pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda guru.” (hal. 123)

Bagaimana mungkin Bu Mus menyebut ibu Ikal dengan panggilan Ibunda guru? Sebuah kecelakaan kecil namun fatal. Kecelakaan lainnya adalah adanya kontradiksi logika yang digunakan AH untuk menggambarkan bagaimana Mahar dan teman-temannya mendirikan grup band yang memiliki berbagai jenis alat musik . Darimana anak-anak miskin ini dapat membeli alat-alat musik tersebut?  Hal ini dapat dilihat darikutipan berikut.

…. akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil Masjid Al-Hikmah (hal. 147)

Atau kontradiksi antara kemiskinan warga Belitong dengan keberhasilan Societet de Limpai, yang anggotanya miskin semua, kecuali Flo, mampu mengumpulkan uang satu setengah juta rupiah untuk pembiayaan perjalanan menemui Tuk Bayan Tula. Apakah hanya dnegan memulung (yang dilakukan mahasiswa), menggadaikan almari dan sepeda, menjual radio transistor tua, ditambah uang saku Flo dan hasil penjualan kalung dan gelangnya akan terkumpul uang sebesar itu?

Belum lagi keanehan-keanehan yang sering tidak disadari oleh AH menjadikan beberapa bagian dalam novel ini terkesan mengada-ngada atau berlebihan. Misalnya saat anak-anak LP, kecuali Lintang, menggunakan lidi untuk menyelesaikan hitungan 13 X 6 X 7 + 83 – 39. Mana mungkin menyelesaikan hitungan itu menggunakan lidi? Berapa banyak lidi yang dibutuhkan? Atau penggambaran tokoh Lintang yang harus mengayuh sepedanya sejauh 80 KM tiap hari ked an dari sekolah sejak kelas 1 SD. Mungkinkah anak sekecil itu sanggup melakukannya? Coba dihitung berapa kecepatan maksimal tiap jam yang mampu ditempuh anak sekecil itu dengan sepeda angin tua? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Atau kehebatan ke sepuluh anak-anak LP menaiki, menuruni bukit dan menyeberangi sungai untuk mencari Flo yang hilang lebih dari 8 jam?

Meskipun demikian, novel ini mampu merebut hati para pembacanya. Terbukti beberapa komentator menyatakan novel ini membosankan, namun mereka akan atau telah membeli dan membaca dua atau novel rangkaian LP lainnya yaitu SP, E, dan MK. Mengapa demikian?

Hal ini antara lain disebabkan oleh kepiawaian AH mempermainkan emosi pembaca dari sedih, bahagia, hingga marah bercampur aduk, sampai tertawa-tawa. Lihatlah bagaimana dengan piawai AH mempermainkan emosi pembaca dengan menggiring imajinasi pembaca untuk membayangkan betapa reyotnya gedung SD Muhammadiyah, ancaman ditutupnya SD tersebut bila murid barunya tahun itu kurang dari 10 orang, betapa miskinnya keluarga Lintang, betapa menyedihkannya membayangkan Lintang harus menempuh perjalanan dengan sepeda anginnya sejauh 80 KM setiap hari. Belum lagi saat pembaca diajak membayangkan bagaimana menyedihkannya saat Lintang berpamitan keluar dari sekolah karena ia harus menggantikan tugas ayahnya mencari nafkah untuk mengihidupi 12 orang yang menjadi tanggungan keluarganya, setelah ayahnya meninggal.

Pada bagian lain pembaca diajak tertawa terpingkal-pingkal saat membayangkan bagaimana konyolnya anak-anak LP menyanyi sebelum adzan dhuhur, atau adegan saat Harun ikut pentas musik. Pembaca juga diajak tertawa saat Mahar dengan bangga membuka dan membaca cara ajaib untuk mendapatkan nilai yang baik tanpa belajar. Bayangkan kertas yang diperoleh dengan susah payah, dengan dana yang dikumpulkan sesah payah,  bahkan harus menyeberangi lautan dengan badai yang mencekam, ternyata isinya hanya: INILAH PESAN TUK BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKU BUKU, BELAJAR!

Pembaca juga diajak sport jantung (tegang) saat Mahar, Flo, Ikal dan anggota Societet de Limpai menyeberangi lautan dan menghadapi badai hingga hampir tujuh meter untuk menemui Tuk Bayan Tula. Tak hanya itu, pembaca juga diajak terbengong-bengong membayangkan bagaimana hebatnya Lintang menyelesaikan berbagai soal yang diajukan guru maupun juri dalam sebuah acara cerdas cermat, memberikan penjelasan pada teman-temannya hingga diminta memberi penjelasan pada teman-temannya. Pembaca juga akan terpesona dengan kecerdasan Mahar menciptakan tarian yang mampu menyihir penonton dan membuat SD Muhammadiyah yang tak pernah menjuarai karnaval agustusan tiba-tiba tampil memikat bahan jadi juara.

Ayunan emosi pembaca yang mengaduk-aduk inilah yang mengakibatkan pembaca kecanduan atau ketagihan hingga membaca LP berulang-ulang atau dengan setia membeli SP, E, dan MP. Selain keingintahuan untuk mengetahui kelanjutan nasib anak-anak LP, juga keinginan untuk mendapatkan sensasi emosional sebagaimana saat membaca LP.

Inilah alasan saya menganalogkan LP dengan secangkir kopi pahit dan kental. Meski pahit, karena memiliki sensasi rasa tersendiri dibandingkan minuman lainnya, dipercaya dapat meningkatkan gairah, dan membuat sang penikmatnya mampu terjaga semalaman; ia mampu membuat penikmatnya kecanduan. Demikian pun dengan LP. Kelemahan-kelemahan LP seakan tertutupi oleh kelebihannya seperti  tema dan seting yang berbeda dengan novel-novel yang terbit pada saat ini, sarat nilai dan ilmu pengetahuan,  namun mampu menimbulkan sensasi emosional pembacanya.
Tentu hanya penikmat saja yang dapat membaca dan menemukan keindahan LP. Layak, bila kehadiran LP menjadi fenomena yang menggembirakan di tengah sepinya novel Indonesia yang bermutu dan mendidik.

LASKAR PELANGI SECANGKIR KOPI PAHIT YANG JADI CANDU


Pengantar
Siapa yang tak pernah mendengar  Laskar Pelangi (selanjutnya ditulis LP)Novel karya Andrea Hirat ini tercatat sebagai buku best seller antara tahun 2007-2008, bahkan telah diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Dunia sastra Indonesia seperti dihentakkan oleh kehadiran LP yang dinilai inspiratif dan mengangkat tema yang berbeda dengan novel-novel pada zamannya.

Laskar Pelangi menceritakan tentang petualangan dan semangat Ikal (tokoh utamanya) bersama rekan-rekannya di SD Muhammadiyah Belitong. Gedung sekolahnya hampir roboh. SD Belitong berada di sebuah pulau yang bernama Belitung, yang merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an. Kehidupan social masyarakat di sana sangat kontras, yaitu kehidupan kelas atas para pegawai PN Timah (yang jumlahnya sangat sedikit disbanding julah seluruh masyarakat Belitong) dan kehidupan kelas bawah dari strata terendah di pulau tersebut. SD ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat yang masih punya harapan dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini karena SD lain biayanya amat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka.

Di tengah kemiskinan keluarga dan SD yang sangat memprihatinkan inilah anak-anak LP yaitu Ikal, Mahar, Lintang, Sahara, A Kiong, Harun, Trapani, Borek, Kucai, dan Syahdan berjuang keras, tanpa mengenal putus asa di bawah bimbingan Bu Mus, Pak Harfan, dan guru perguruan Muhamadiyah, menyelesiakan pendidikannya. Selain menggambarkan kondisi ekonomi, social, dan budaya masyarakat Belitong, dalam novel ini digambarkan bagaimana Lintang yang anak orang pesisir, berjarak 80 KM tidak pernah membolos sekalipun meskipun ia harus menayuh sepeda anginnya 80 KM setiap hari ked an dari sekolah. Digambarkan pula bagaimana Mahar yang eksentrik dan memiliki banyak ide kreatif di bidang seni. Dalam novel ini juga diceritakan kisah “cinta monyet” Ikal dengan A Ling, anak penjual kapur tulis di kota, yang disebabkan karena Ikal melihat “kuku jari A Ling” saat menerima kapur tulis yang diberi. Juga diceritakan patah hati yang dialami Ikal, saat A Ling terpaksa harus pergi untuk melanjutkan sekolahnya. 

Novel yang menurut majalah Rolling Stone, sampai Agustus 2008 Pelangi telah terjual lebih dari 600.000 eksemplar pada akhirnya diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film ini ternyata menuai tanggapan positif dari para penontonnya, bahkan para guru dan siswa di berbagai daerah disarankan untuk menonton film ini, termasuk di kota tempat saya, penulis, tinggal.
Bertolak dari gegapnya pemberitaan dan meledaknya film LP, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana sebenarnya tanggapan, komentar, resensi, atau kritik terhadap novel ini. Berdasarkan hasil pencarian tersebut penulis menemukan ada tiga kelompok pembaca. Kelompok pertama adalah kelompok yang sangat menyukai LP beserta tiga judul lainnya sebagai rangkaian Tetralogi Laskar Pelangi yaitu Laskar Pelang (LP), Sang Pemimpi (SP), Edensor (E), dan Maryamah Karpov (MK). Kelompok ini umumnya lebih mengedepankan alas an bahwa LP mampu memberikan inspiratif terutama berkaitan dengan semangat pantang menyerah anak-anak LP dalam meraih cita-citanya untuk bersekolah di tengah-tengah himpitan ekonomi dan keterbatasan fasilitas pendidikan di SD-nya. Pembaca yang masuk dalam kelompok ini jumlahnya paling banyak dibandingkan kelompok kedua dan ketiga. Kelompok kedua adalah kelompok pembaca yang sejak awal membaca menilai LP novel yang membosankan,western minded, dan minim konflik. Kelompok ketiga adalah kelompok pembaca yang menilai LP tidak terlalu istimewa. Mereka umumnya mengaku ikut tersentuh dengan semangat anak-anak LP, namun melihat berbagai kelemahan LP seperti penggunaan istilah Latin yang dianggap mengganggu penikmatan, serta minimnya konflik. Kelompok ketiga ini sebagian besar mengaku  telah membaca SP, E, dan MK karena penasaran dengan nasib anak-anak LP.

Berdasarkan resensi, kritik, dan komentar baik sastrawan, kritikus sastra, jurnalis, pembaca, maupun penonton film LP itulah akhirnya penulis akhirnya ‘membaca’ Laskar Pelangi. Tidak hanya sekedar untuk membaca sastra untuk mendapatkan ‘kenikmatan’, namun juga untuk membuktikan apakah benar LP sedemikian inspiratif, layak untuk mendapatkan penghargaan, dan tidak hanya menjadi riuh diperbincangkan karena menjadi best seller, atau lebih karena para pembacanya menjadi korban komersialisasi dari penerbit atau penulisnya.

LP: Secangkir Kopi Pahit, Kental yang Jadi Candu

Penulis membutuhkan pembacaan LP hingga 4 kali untuk kemudian dapat mengambil kesimpulan bahwa novel ini serupa secangkir kopi pahit, kental yang jadi candu. Berikut akan diuraikan mengapa penulis mengambil simpulan dengan analog tersebut.

LP = Secangkir Kopi Pahit

Penulis mengibaratkan novel ini sebagai secangkir kopi pahit sebab (a) sebagai sebuah karya sastra novel ini dihadirkan untuk dinikmati, sama persis seperti secangkir kopi, teh, atau minuman lain. Secangkir kopi karena seting cerita dalam LP umumnya mengangkat sisi buram kehidupan masyarakat Belitong dari berbagai segi kehidupan; dan  (b) pahit sebab hampir semua sisi kehidupan masyarakat Belitong yang diceritakan dalam LP mengangkat kegetiran hidup mulai dari kemiskina, kebodohan, dan ketertindasan.

Kemuraman dan kepahitan kehidupan Ikal dan Sembilan temannya tidak hanya dirasakan oleh mereka, namun juga dirasakan oleh hampir semua masyarakat Belitong kelas bawah dari berbagai ras/suku bangsa. Tidak hanya orang-orang Melayu yang hidup di bawah garis kemiskinan, bekerja menjadi buruh pabrik timah, buruh nelayan, atau kuli angkut di pelabuhan.

Sejak awal, novel ini telah menggambarkan kemiskinan para tokoh utamanya, orang tua, dan sekolahnya. Hal ini antara lain dapat ditemukan dalam penggalan berikut.

…..Kami  bertetangga  dan  kami  adalah  orang-orang  Melayu  belitong  dari  sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan  anaknya  di  sini.  Pertama,  karena  sekolah  Muhammadiyah  tidak menetapkan  iuran  dalam  bentuk  apa  pun,  para  orangtua  hanya menyumbang  sukarela semampu mereka…. (LP, 2008: 4).

Dari penggalan di atas jelas Andrea Hirata, penulis LP, selanjutnya ditulis AH, sejak awal sudah mengajak pembaca untuk bersiap memasuki sebuah tempat dimana para penghuninya orang-orang yang miskin dan hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah paling miskin (SD Muhammadiyah) yang tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa, pun. Jika pun ada iuran itu sifatnya suka rela dan semampu orang tua.

Penggambaran kemiskinan sebagian besar masyarakat Belitong ini menjadi seting suasana yang bertahan hampir pada seluruh bagian isi novel ini. Secara acak misalnya dapat dilihat pada penggambaran rumah Lintang yang sangat memprihatinkan seperti dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Gubuk itu  beratap daun saga dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itudapat dilihat dari luar karena dinding kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. … Benda di dalam rumah itu ada enam macam: beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Alqur’an, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing … (hal: 99).

Kemiskinan keluarga Lintang sedemikian berat apalagi karena di dalam rumah reyot berisi 14 orang itu, ayah Lintang menjadi satu-satunya pencari nafkah. Keempat belas orang yang dimaksud adalah bapak dan ibunya, Lintang, lima orang adik perempuannya, 2 orang kakek dan 2 orang nenek dari bapak dan ibunya, serta ditambah dua orang adik laki-laki ayah Lintang. Kedua orang adik ayah Lintang ini yangs eorang sakit jiwa dan yang seorang lagi tak bisa bekerja sebab sakit kandung kemih yang parah.  Hal ini digambarkan AH dengan cukup dramatis yaitu, “Empat orang tua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan, semua ini membuat keempatbelas  orang itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang … (hal: 100). “

Kemuraman dan kepahitan hidup yang disajikan LP tak hanya yang dialami oleh para pelakunya, tetapi juga digambarkan melalui gambaran sekolah dan lingkungan yang sangat memprihatinkan. Bahkan dapat dikatakan bahwa SD mereka adalah prototipe sekolah yang sangat tidak layak untuk menjadi tempat menuntut ilmu yang kondusif bagi para siswanya. Kondisi sekolah yang memprihatinkan tersebut digambarkan oleh ‘aku’ sejak awal  novel, antara lain seperti  pernyataan “ Di ujung bangku-bangku panjang  tadi ada sebuah pintu  terbuka. Kosen pintu  itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. …. (hal.1)” Atau dapat juga dilihat dari penggalan berikut.  

Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin  ribuan  sekolah miskin  di  seantero  negeri  ini  yang  jika  disenggol  sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan  sore
untuk  SMP  Muhammadiyah. … (hal. 17).

  Jika dilihat dari  jauh  sekolah kami  seolah  akan  tumpah karena  tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur  ini menyebabkan tak  ada  daun  pintu  dan  jendela  yang  bisa  dikunci  karena  sudah  tidak  simetris  dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?   (hal. 19)

Kemiskinan sebagian besar warga Belitong  antara lain dapat dilihat dari apa yang harus dialami oleh Lintang dan anak-anak seusianya yang harus bekerja seperti terungkap dalam penderitaan lintang yang setiba di rumah, sehabis mengayuh sepeda ke dan dari sekolah sejauh 80 KM,  ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusianya di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra (hal. 95). Bahkan, karena sangat miskin, sebagian masyarakat Belitong menganggap bahwa pendidikan yang hanya sampai SMP termasuk sebagai sebuah kemewahan. Hal ini antara lain terungkap dalam penggalan berikut ini.

…. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada  juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti  mengikatkan  diri  pada  biaya  selama  belasan  tahun  dan  hal  itu  bukan  perkara gampang bagi keluarga kami. (hal. 2)

… Kawasan kampUng ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang dan pensiunan. … Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam. (hal. 51).

Kemuraman masyarakat Belitong tidak hanya karena kemiskinan, namun ketertinggalan informasi. Hal ini antara lain dapat dilihat dari penggalan  kutipan berikut.

….Karena di kampung kami tak ada sawah, maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sanga kepala suku masih orang yang sama.

   Di Pulau Belitong selain radio transistor, alat komunikasi paling modern yang ada adalah televisi hitam putih. Itu pun jarang sekali orang mempunyai. Hal ini antara lain dapat diketahui dari penggalan cerita yang mengungkapkan kepandaian Mahar memantulkan gambar TV melalui kaca saat televisi Pak RT yang ada di dalam kamar sempit tidak bisa dipindahkan karena masalah pendeknya kabel antenna. Berkat kepandaian Mahar yang memantulkan gambar televisi melalui dua cermin almari, tak kurang 20 orang menonton pertandingan final badminton All England antara Svend Prie melawan Iie Sumirat (hal. 153-154).

Fakta lain yang mendukung minimnya radio, televisi sebagai sarana komunikasi dan hiburan bagi masyarakat juga dapat dilihat dalam penggalan berikut.

….Di sana, di luar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya anak enam belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu (hal. 50)

Sebagian besar masyarakat Belitong juga bertaraf pendidikan rendah.  Rendahnya pendidikan ini merupakan efek dari rendahnya tingkat perekonomian mereka. Hal ini antara lain dapat dilihat dari orang tua dan saudara aku yang tidak bersekolah sama sekali, ibu dan bapak Lintang yang tak bisa baca-tulis, bahkan berhitung dalam hitungan yang sederhana sekali. Selain itu juga dinyatakan bahwa hanya sedikit orang Melayu, sebagai penduduk mayoritas, yang bisa menduduki jabatan staf di PN Timah. Itu pun bukan karena mereka berpendidikan tinggi, akan tetapi hanya beruntung bisa membaca dan menulis.

LP = Secangkir Kopi Kental
Secangkir kopi yang kental mengindikasikan kentalnya kadar kopi yang ada di dalamnya. Demikian pula sebuah novel dikatakan kental apabila di dalamnya mengandung isi baik berupa nilai-nilai kehidupan maupun pengetahuan yang bermakna bagi para pembacanya. Bermakna, tak hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi mampu memberi inspirasi, bahkan mampu memberi pencerahan bagi pembacanya. Namun, seperti sifat kopi, selain memberi efek penyegaran, karena kandungan kafeinnya, kopi dapat memicu penyakit jantung, meningkatkan asam lambung, dan pada sebagian orang membuat matanya tidak mampu terpejam sepanjang malam.

Kaya Nilai
Kekentalan LP dilihat dari sisi nilai dapat dibuktikan dari banyaknya kandungan nilai yang disajikan baik sebagai bagian dari alur cerita maupun hanya sebagai seting cerita. Nilai yang dimaksud antara lain nilai moral, agama, sosial, budaya, dan pendidikan.
Nilai moral antara lain ditunjukkan lewat keikhlasan Bu Mus dan Pak Harfan (guru SD Muhammadiyah tempat anak-anak LP) bersekolah untuk mengajar meski tanpa imbalan yang memadai. Nilai moral juga dapat terlihat dari pesan Tuk Bayan Tula saat Mahar dan Flo meminta pertolongan agar mereka dapat lulus dengan nilai memuaskan. Saat itu keduanya yang nilai-nilainya merosot tajam karena aktifitas perdukunannya  terancam tidak dapat mengikuti Ujian Nasional. Menariknya, AH menyampaikan nilai moral melalui tokoh perdukunan, Tuk Bayan Tula yaitu lewat secarik kertas keramat yang bertuliskan : INILAH PESAN TUK BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKU BUKU, BELAJAR! Sahara juga menjadi tokoh yang menyampaikan nilai moral untuk selalu jujur meskipun harus mendapatkan bencana apabla mempertahankan kejujurannya.

Nilai lain yang juga cukup dominan adalah nilai agama. Hal ini bisa dimaklumi mengingat LP mengambil seting tempat SD Muhamadiyah sebagai pusat aktifitas anak-anak LP. Nilai-nilai agama ini disampaikan secara langsung dengan cara guru menyitir ayat Al-Qur’an atau hadist Nabi Muhammad SAW atau melalui riwayat para Nabi, ritual ibadah yang rutin dilakukan oleh orang-orang Islam di Belitong, nasihat guru (Bu Mus dan Pak Harfan), maupun lewat tindakan yang langsung dipraktikkan oleh guru. Nilai agama yang disampaikan dengan mendasarkan Alquran antara lain disampaikan Bu Mus, seperti  nasihat agar shalat tepat (hal. 31). Bu Mus juga mengajarkan nilai agama melalui perilaku Bu Mus yang selalu bertasbih (mengucapkanSubhanallah)saat mengagumi kepandaian Lintang dan Mahar.

Nilai agama non-Islam juga terdapat antara lain tampak dari upacara Chiong Si Ku atau sembahyang rebut. Upacara keagamaan ini dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Dalam upacara itu, disediakan benda-benda kebutuhan rumah tangga mulai dari beras, roti, panci, hingga radio transistor di atas meja yang diletakkan dekat patung Thai Tse Ya. Patung  Thai Tse Ya adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia (hal. 260).

Nilai lain yang juga sangat kental mewarnai novel ini adalah nilai budaya. Nilai budaya yang dapat dilihat antara lain tradisi memetik buah karet kemudian memecahkannya dengan telapak tangan pada awal musim hujan. Bila musim hujan tiba, maka tradisi permainan yang tak pernah dilupakan anak-anak adalah ‘bermain ski’ dengan pelepah pinang. Hal ini dapat dilihat dari penggalan berikut.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tetapi manual karena ditarik tenaga manusia (hal. 171).

Tradisi lainnya yang melibatkan semua masyarakat Belitong adalah karnaval tiap peringatan hari kemerdekaan RI, para istri menitup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan tumpukan kayu bakar, minum air gula aren sebelum berangkat kerja,  penggunaan gelar N.A (Nyi Ayu) bagi perempuan, dan K.A (Ki Agus) bagi laki-laki, bagi keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong.
Nilai lain yang juga menjadi perekat anak-anak LP adalah nilai sosial. Nilai-nilai itu antara lain dapat dilihat dari sikap menghormati, saling menolong, saling setia antara satu anak dengan anak lainnya. Kesetiakawanan, kerelaan berkorban, dan membantu sesama antara lain terlihat saat anak-anak LP bersama-sama membantu mencari Floriana yang hilang bahkan untuk itu mereka harus menembus hutan, naik turun gunung, dan perbukitan yang angker hingga lebih dari 30 jam.
Nilai pendidikan dalam LH sangat kental karena seting utama dalam novel ini adalah SD
Muhammadiyah tempat anak-anak LH bersekolah. Nilai pendidikan ini antara lain terlihat dari
pemikiran tokoh ‘aku’ (Ikal) yang secara tersirat menyatakan ia mendapat ilmu tentang hidup dari SD tempat ia belajar bersama teman-temannya yang sama-sama berasal dari masyarakat marginal seperti terdapat dalam penggalan berikut ini.
Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku belajar memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis perguruan ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih (hal. 85).

Kaya Pengetahuan
Kekentalan LP yang membuat novel ini sangat nikmat untuk dibaca juga tak lepas dari beragamnya cabang pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Dari novel setebal 494 ini setidaknya penulis mencatat berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain matematika, fisika, biologi, sejarah, antropologi, kewarganegaraan, agama, ekonomi, psikologi, astronomi, kesenian, dan geografi.
Bidang fisika, matematika antara lain dapat ditemukan dari ide-ide Lintang untuk memecahkan permasalahan mulai dari menyelesaikan pertanyaan Bu Mus, memprediksi kecepatan gerak buaya yang menghadangnya saat berangkat sekolah, memperkirakan kapan dan berapa kali Pak Harfan tidak masuk karena penyakit bengeknya, serta menghitung waktu kuncup, bersemi, dan matinya bunga red hot cat tail dengan cara meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Lintang menggunakan  pengetahuan Fisika untuk mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah PN yang memprotes kunci jawaban juri cerdas cermat seperti dalam kutipan dialog Lintang berikut ini.

“… Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes, dan mereka semua itu, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum  yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memilki spektrum yang kontinyu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!” (hal. 381)

Biologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang paling banyak digunakan oleh AH untuk mengembangkan seting tempat dan menggambarkan perwatakan tokoh. Tidak tanggung-tanggung jumlah tumbuhan yang disebut AH dalam LP adalah … sedang jumlah binatang  tercatat  sebanyak …..
Kentalnya penggunaan binatang dan tumbuhan untuk menggambarkan seting antara lain tampak dari 5 paragraf yang terdapat dari halaman 157-159. AH menggunakan kupu-kupu untuk menggambarkan  keindahan seting tempat favorit anak-anak LP yaitu pohon filicium. AH menggambarkan bagaimana ratusan pasang kupu-kupu jenisdanube clouded yellow beterbangan melingkari daun-daun filicium. Untuk sampai pada paragraph tersebut, AH mengawalinya dengan sekelompok kupu jenis papilio blumei.Selanjutnya AH menguraikan jenis kupu pure clouded yellow, danube clouded yellow, colias crocea, dan colias myrmidone disertai penggambaran fisik dan aktifitas hidup mereka. Tak hanya menggunakan kupu-kupu, AH juga menggunakan burung serindit , jalak kerbau, ungkut-ungkut, dan ulat  untuk memperkuat seting seperti tergambar dalam penggalan berikut ini.

Setelah serindit melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Wineton menembus langit maka
hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat istimewa. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan fillicium, menikmati setiap giugitan buang hajat sesuka hati,… Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis.
Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit fillicium.    Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut….kut ….kut…
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari serangga sisa sarapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena perangai coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan (hal. 65-66).

Penggunaan nama binatang untuk metafor yang pertama dilakukan AH untuk menggambarkan bagaimana lincahnya tokoh Lintang yang ingin segera lepas dari pegangan bapaknya dan segera masuk kelas yang digambarkan sebagai belut licin, tokoh A Kiong  yang naïf dibandingkan dengan burung jalak kerbau, Sahara yang cantik digambarkan secantik grey cheeked green (burung punai lenguak). Berikut adalah kutipan yang menunjukkan bagaimana indahnya AH menggunakan binatang dan tumbuhan untuk menggambarkan perwatakan tokoh.

Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. …. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. … (12)

AH menggambarkan watak ayah Lintang dengan menggunakan pohon cemara angin seperti terungkap dalam penggalan berikut.
…. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap (hal. 10).

Pada halaman-halaman berikutnya, AH menyebut ayah Lintang dengan sebutan pria cemara angin.

Bidang ilmu lain yang juga sangat kental mewarnai LP adalah geografi dan atrononomi. AH misalnya dengan piawai menyebut dan mendeskripsikanberbagai nama gunung atau sungai. Berikut adalah penggalan yang menunjukkan kepiawaian AH menggambarkan seting tempat,  pulau Belitong, dengan menggunakan ilmu geografi.

Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrim musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudera berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada musim hujan. Maka musim hujan di Pulau Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.

Ilmu astronomi antara lain dapat diliaht pada pikiran-pikiran Lintang saat membaca buku berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur sebagai terungkpa dalam penggalan berikut ini.
… Dalam sekejap ia tenggelam dilamun kata-kata ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. … (hal. 101).

Ilmu psikologi antara lain dapat terlihat dari bagaimana tokoh aku mendeskripsikan alasan-alasan seseorang melakukan suatu tindakan, perbedaan orang cerdas dan tidak cerdas, dan sebagainya. Berikut adalah penggalan pengetahuan bidang psikologi yang mengupas perbedaan antara orang cerdas dan tidak cerdas.

Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mereka tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap daam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semaki aneh mereka. ….

Sebaliknya, orang-orang tak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat wal afiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tidak apa-apa di situ, kosong. …
Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus. (hal. 113)

Bahkan perkembangan perwatakan tokohnya diwarnai pergolakan psikologi seperti bagaimana sejak awal AH menggambarkan kedekatan Trapani dengan ibunya yang di kemudian hari ia terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa karena menderita Oedipus complex, pergolakan jiwa A Kiong seebelum menemukan tuhannya dan memutuskan untuk menjadi mu’alaf hingga pengaruh kegagalan Ikal mendapatkan A Ling mempengaruhi hidupnya di kemudian hari.

Novel berlatar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Belitong yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Ilmu sosiologi dalam novel ini antara lain terlihat dari kepiawaian AH menggambarkan strata sosial maupun kelompok masyarakat berdasarkan suku/ras di Belitong. Meskipun AH mengulas lebih banyak masyarakat miskin sebagai setting utama cerita, namun ia juga menggambarkan adanya kelompok minoritas yang hidup ‘memisahklan diri’ dari kelompok masyarakat miskin. Seperti realitas kehidupan sesungguhnya, jumlah orang kaya ini jauh lebih sedikit dibandingkan kelompok masyarakat menengah ke bawah. Gambaran sosial masyarakat Belitong antara lain dapat dilihat dari penggalan berikut.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, …..

Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer pemda, dan semua guru dan kepala sekolah – baik sekolah negeri maupun sekolah kampung – kecuali guru dan kepala sekolah PN (hal. 55)

Tak hanya penggambaran kehidupan sosial masyarakat yang ada di dalamnya, pembaca juga disuguhi ulasan anthropologi. Ulasan ini membawa imajinasi dan pikiran pembaca untuk membayangkan secara fisik maupun silsilah orang-orang yang digambarkan dari tinjauan anthropologi. Misalnya penggambaran orang-orang Melayu Belitong dari sudut Anthropologi seperti yang terdapat di halaman 162 berikut.

…Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, atau Mongoloid. Meskipun banyak Anthropolog yang berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon – dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu – tapi kami tak membesarkan pendapat itu. …

Juga penggambaran Suku Sawang yang merupakan kelompok masyarakat yang mendapat perlakuan paling rendah (dalam perlakuan kerja di PN Timah), AH menggambarkan tinjauan antropologi sebagai berikut. 

… Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena anthropologi. Dibanding orang Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat. (hal. 164)

Ilmu lain yang juga terdapat dalam LP adalah klimatologi yakni ilmu yang membahas tentang iklim seperti terdapat dalam kutipan berikut ini.Seiring dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampong-kampung orang Melayu Belitong, aura tarak perlahan-lahan mulai meredup. Jika tarak sudah tak dimainkan maka itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitive. Wilayah-wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepanjangan. Sementara di barat sana orang-orang menjalani hari-hari kelabu bernama musim salju. …. (hal. 169)

LP Jadi Candu
Di tengah banjir pujian terhadap LP, dalam kenyataannya banyak juga kritikan terhadap kelemahan LP. Di antara kelemahan yang dimaksud adalah bahwa novel ini miskin dialog, lemah konflik, dan menimbulkan kebosanan.  Terhadap sikap kontra ini penulis mencoba menyajikan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kritikan tersebut memiliki dasar, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat dijadikan masukan bagi AH untuk meningkatkan kualitas tulisannya di masa yang akan datang.
Dilihat dari gaya penceritaan, LP memang minim dialog. AH terlalu banyak mengembangkan seting tempat, karakter tokoh, serta suasana cerita sehingga terkesan mengabaikan dialog. Padahal penggunaan dialog dalam sebuah novel akan dapat menghidupkan cerita. Minimnya dialog LP antara lain terlihat dari bab 3: Inisiasi. Dari lima halaman hanya ada 4 kali dialog; bab 5  hingga bab 7 sama sekali tidak ada dialog. Gaya penceritaan seperti ini masih terus dipertahankan AH dalam bab-bab berikutnya. Akibatnya tidak mengherankan apabila ada pembaca menyatakan novel ini membosankan.

Selain karena minimnya dialog yangmenyebabkan novel ini dinilai membosankan, penggunaan bahasa juga perlu diperhatikan. Memang harus diakui bahwa kepiawaian AH membuat metafor-metafor dengan bintang, tumbuhan, atau benda-benda alam sekitar cukup orisinal dan menarik. Namun, AH seringkali kurang kontrol dalam penyusunan kalimat. Akibatnya banyak ditemukan sebuah paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat. Akibatnya, pembaca menjadi lelah, dan ide yang hendak disampaikan menjadi terkesan bombastis. Hal ini antara lain dapat dilihat dari cara AH menyampaikan bahwa Lintang tidak pernah membolos satu hari pun  seperti dalam kutipan berikut.

Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi   dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam menuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak hingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada musim sampar – sehari pun Lintang tak pernah bolos (hal. 94).

Dalam novel tersebut, paragraf tersebut hanya terdiri dari 1 kalimat sepanjang 11 baris. Bayangkan, betapa sangat melelahkan membaca kalimat-kalimat panjang dan bertele-tele.
Berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat dalam LP, bagi sebagian pembaca akan mengasyikkan
karena pembaca diajak secara tidak langsung menambah wawasannya dalam sebuah jalinan cerita yang menyenangkan. Namun bagi sebagian pembaca cara ini sangat membosankan, terutama bagi pembaca yang membaca novel LP sekedar untuk mendapat hiburan dan menghilangkan stress. Untuk mendapatkan kenikmatan membaca LP dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Belum lagi penggunaan nama-nama Latin untuk tumbuhan, binatang, dan berbagai istilah asing seperti bahasa Inggris, tentu mengganggu kenikmatan pembacaan novel ini. Sebab, tidak semua pembaca mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membayangkan keindahan seting tempat yang digambarkan dalam novel ini bila jenis kupu atau bunga-bunga yang ditanam di SD tersebut disajikan dalam bahasa Latin.
Tak hanya itu, hampir seluruh isi novel ini tidak memiliki kejelasan waktu cerita. Bila pun AH hendak menggunakan alur setting mundur, namun ketidakjelasan waktu terjadinya berbagai peristiwa, tanpa tanda pemidsah antara satu kejadian dengan kejadian lain yang terjadi di waktu yang berbeda, seringkali membuat pembaca harus berpikir lebih keras untuk menentukan kapan kejadian tersebut. 
Kelalaian penggunaan bahasa yang sangat fatal juga terjadi pada saat AH menampilkan dialog Bu Mus dengan ibu Ikal. Dalam dialog itu Bu Mus menceritakan bagaimana hebatnya Lintang hingga pengakuan bahwa Bu Mus merasa kewalahan dengan kecerdasan Lintang. Kecelakaan bahasa tersebut dapat disimak dalam penggalan berikut.

“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal
aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sekali pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda guru.” (hal. 123)

Bagaimana mungkin Bu Mus menyebut ibu Ikal dengan panggilan Ibunda guru? Sebuah kecelakaan kecil namun fatal. Kecelakaan lainnya adalah adanya kontradiksi logika yang digunakan AH untuk menggambarkan bagaimana Mahar dan teman-temannya mendirikan grup band yang memiliki berbagai jenis alat musik . Darimana anak-anak miskin ini dapat membeli alat-alat musik tersebut?  Hal ini dapat dilihat darikutipan berikut.

…. akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil Masjid Al-Hikmah (hal. 147)

Atau kontradiksi antara kemiskinan warga Belitong dengan keberhasilan Societet de Limpai, yang anggotanya miskin semua, kecuali Flo, mampu mengumpulkan uang satu setengah juta rupiah untuk pembiayaan perjalanan menemui Tuk Bayan Tula. Apakah hanya dnegan memulung (yang dilakukan mahasiswa), menggadaikan almari dan sepeda, menjual radio transistor tua, ditambah uang saku Flo dan hasil penjualan kalung dan gelangnya akan terkumpul uang sebesar itu?

Belum lagi keanehan-keanehan yang sering tidak disadari oleh AH menjadikan beberapa bagian dalam novel ini terkesan mengada-ngada atau berlebihan. Misalnya saat anak-anak LP, kecuali Lintang, menggunakan lidi untuk menyelesaikan hitungan 13 X 6 X 7 + 83 – 39. Mana mungkin menyelesaikan hitungan itu menggunakan lidi? Berapa banyak lidi yang dibutuhkan? Atau penggambaran tokoh Lintang yang harus mengayuh sepedanya sejauh 80 KM tiap hari ked an dari sekolah sejak kelas 1 SD. Mungkinkah anak sekecil itu sanggup melakukannya? Coba dihitung berapa kecepatan maksimal tiap jam yang mampu ditempuh anak sekecil itu dengan sepeda angin tua? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Atau kehebatan ke sepuluh anak-anak LP menaiki, menuruni bukit dan menyeberangi sungai untuk mencari Flo yang hilang lebih dari 8 jam?

Meskipun demikian, novel ini mampu merebut hati para pembacanya. Terbukti beberapa komentator menyatakan novel ini membosankan, namun mereka akan atau telah membeli dan membaca dua atau novel rangkaian LP lainnya yaitu SP, E, dan MK. Mengapa demikian?

Hal ini antara lain disebabkan oleh kepiawaian AH mempermainkan emosi pembaca dari sedih, bahagia, hingga marah bercampur aduk, sampai tertawa-tawa. Lihatlah bagaimana dengan piawai AH mempermainkan emosi pembaca dengan menggiring imajinasi pembaca untuk membayangkan betapa reyotnya gedung SD Muhammadiyah, ancaman ditutupnya SD tersebut bila murid barunya tahun itu kurang dari 10 orang, betapa miskinnya keluarga Lintang, betapa menyedihkannya membayangkan Lintang harus menempuh perjalanan dengan sepeda anginnya sejauh 80 KM setiap hari. Belum lagi saat pembaca diajak membayangkan bagaimana menyedihkannya saat Lintang berpamitan keluar dari sekolah karena ia harus menggantikan tugas ayahnya mencari nafkah untuk mengihidupi 12 orang yang menjadi tanggungan keluarganya, setelah ayahnya meninggal.

Pada bagian lain pembaca diajak tertawa terpingkal-pingkal saat membayangkan bagaimana konyolnya anak-anak LP menyanyi sebelum adzan dhuhur, atau adegan saat Harun ikut pentas musik. Pembaca juga diajak tertawa saat Mahar dengan bangga membuka dan membaca cara ajaib untuk mendapatkan nilai yang baik tanpa belajar. Bayangkan kertas yang diperoleh dengan susah payah, dengan dana yang dikumpulkan sesah payah,  bahkan harus menyeberangi lautan dengan badai yang mencekam, ternyata isinya hanya: INILAH PESAN TUK BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKU BUKU, BELAJAR!

Pembaca juga diajak sport jantung (tegang) saat Mahar, Flo, Ikal dan anggota Societet de Limpai menyeberangi lautan dan menghadapi badai hingga hampir tujuh meter untuk menemui Tuk Bayan Tula. Tak hanya itu, pembaca juga diajak terbengong-bengong membayangkan bagaimana hebatnya Lintang menyelesaikan berbagai soal yang diajukan guru maupun juri dalam sebuah acara cerdas cermat, memberikan penjelasan pada teman-temannya hingga diminta memberi penjelasan pada teman-temannya. Pembaca juga akan terpesona dengan kecerdasan Mahar menciptakan tarian yang mampu menyihir penonton dan membuat SD Muhammadiyah yang tak pernah menjuarai karnaval agustusan tiba-tiba tampil memikat bahan jadi juara.

Ayunan emosi pembaca yang mengaduk-aduk inilah yang mengakibatkan pembaca kecanduan atau ketagihan hingga membaca LP berulang-ulang atau dengan setia membeli SP, E, dan MP. Selain keingintahuan untuk mengetahui kelanjutan nasib anak-anak LP, juga keinginan untuk mendapatkan sensasi emosional sebagaimana saat membaca LP.

Inilah alasan saya menganalogkan LP dengan secangkir kopi pahit dan kental. Meski pahit, karena memiliki sensasi rasa tersendiri dibandingkan minuman lainnya, dipercaya dapat meningkatkan gairah, dan membuat sang penikmatnya mampu terjaga semalaman; ia mampu membuat penikmatnya kecanduan. Demikian pun dengan LP. Kelemahan-kelemahan LP seakan tertutupi oleh kelebihannya seperti  tema dan seting yang berbeda dengan novel-novel yang terbit pada saat ini, sarat nilai dan ilmu pengetahuan,  namun mampu menimbulkan sensasi emosional pembacanya.
Tentu hanya penikmat saja yang dapat membaca dan menemukan keindahan LP. Layak, bila kehadiran LP menjadi fenomena yang menggembirakan di tengah sepinya novel Indonesia yang bermutu dan mendidik.