Sabtu, 16 November 2013

PILIHAN
Faradina Izdhihary)*
Apa  yang akan kau lakukan bila saat ini kau berdiri di sebuah bandara dengan dua tiket penerbangan luar negeri yang berbeda? Kemanakah kau akan melangkahkan kakimu dan memilih satu pesawat yang akan menerbangkanmu ke suatu tempat yang sama-sama kau inginkan? Suatu tempat dimana ada orang yang mencintaimu sedang menunggumu dengan penuh rindu.
Itulah kini yang kualami. Di tangan sebelah kananku kugenggam tiket penerbangan Changi (Singapura) – Juanda (Surabaya, Indonesia). Tangan kiriku memegang sebuah tiket penerbangan Changi-Dubai. Di Juanda Surabaya hari ini keluargaku dari Tulungagung akan menjemputku. Aku yakin kini mereka sudah hampir sampai di bandara. Sedang di Dubai, kuyakin kini seorang laki-laki bertubuh jangkung, dengan kumis dan jenggot tebal, dengan tatapan mata tajam khas laki-laki Arab sedang gelisah menungguku. Ia entah berapa belas kali semalam menelponku, memastikan keputusanku untuk menemuinya di negeri yang sama sekali tak pernah kuimpikan untuk mengunjunginya.
Jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 05.00 waktu Singapura. Masih ada sisa waktu satu setengah jam bagiku untuk memutuskan memilih pesawat garuda yang akan membawaku ke Surabaya. Atau aku akan membiarkan diriku memilih penerbangan lainnya tujuan Dubai yang akan membawaku menjauhi orang-orang yang mencintaiku, demi satu orang yang menjanjikan segunung cinta untukku.
“Bapak dan ibu berangkat jam dua pagi, Nduk. Jadi saat kau turun dari pesawat esok pagi, kami telah siap menunggumu, Nduk,” suara ibu semalam masih terngiang. Aku tahu ibuku juga seluruh keluargaku pasti sangat merindukanku.
Tiga tahun sudah kuhabiskan waktu untuk menuntut ilmu di negeri singa ini tanpa sekali pun pulang ke tanah air. Maklum, kantong mahasiswa yang hanya mengandalkan hidup di negerin asing dari beasiswa seperti aku ini takkan sanggup leluasa pulang ke tanah air seperti mereka yang kuliah atas biaya sendiri.
Perihal perkenalanku dengan lelaki yang telah memberikan tiket penerbangan ke Dubai itu sederhana saja awalnya. Begini kisahnya.
***
Sore itu seperti biasa bila bulan puasa tiba aku selalu datang ke masjid. Meski itu berarti aku harus menempuh jarak lumayan jauh dan harus naik bus atau MRT. Kali ini aku memilih masjid Al Falah yang terletak Orchard Road. Jangan kau bayangkan aku akan shopping ke supermarket besar yang ada di sana. Tidak. Selain ingin mengikuti shalat maghrib, isya, dan taraweh di masjid ini aku juga ingin menikmati makanan padang di lantai dua mall yang letaknya tidak terlalu jauh dari masjid Al Falah.
Saat aku sedang duduk-duduk di depan Paragon, seorang lelaki menyapaku.
“Maaf, masjid ada dimana?”tanyanya dalam bahasa Inggris yang kaku. Kurasa ia orang Arab, Turki, atau Bahrain. Dialeknya aneh.
“Di sana,”jawabku sambil menunjuk ke arah masjid Al Falah. Saat itu adzan maghrib tinggal sepuluh menit lagi. Aku sudah membeli sebungkus nasi lemak dan satu kaleng jus buah.
“Terima kasih,”ujarnya sambil berlalu.
Aku tak terlalu memedulikannya lagi. Aku bahkan tak sempat menawarinya untuk menuju masjid Al Falah bareng denganku. Padahal aku juga hendak menuju ke sana. Saat aku hendak berbelok ke arah kiri, kulihat laki-laki itu tetap berjalan lurus. Perasaanku tak enak. Kurasa ia pasti tersesat. Kukejar dia dan segera kutegur dia.
“Tuan… Tuan salah jalan. Masjid Al Falah di sebelah sana, bukan ke sini,”kataku dengan suara terengah-engah. Maklum aku harus berlari mengejar langkah kakinya yang panjang-panjang. “Saya juga hendak ke sana.”
Lelaki itu tersenyum.
“Terima kasih. Tapi saya hendak membeli takjil dulu,”katanya padaku.
Ooo! Malu sekali rasanya. Ternyata aku salah duga.
“Tapi… tapi saya akan sangat berterima kasih bila Nona mau menemani saya,”katanya lagi tetap dengan sopan.
Aku mengangguk. Kurasa dia memberikan pilihan yang bagus. Begitulah setelah ia selesai membeli beberapa kotak kue dan minuman, kami bergegas ke masjid al Falah. Kami berpisah di pintu masuk. Dia menuju tempat jamaah pria sedang aku naik lantai dua, tempat jamaah perempuah berkumpul.
Adzan maghrib berkumandang. Kami menikmati buka bersama. Beberapa takjil yang kudapatkan kuketahui adalah kue yang dibeli lelaki Arab tadi. Uft, aku baru sadar bahwa kami belum sempat berkenalan. Tapi biarlah, aku tak peduli. Kurasa apa yang kulakukan pada si Arab tadi bukan hal yang luar biasa.
Malam itu aku pulang ke hostelku naik MRT terakhir. MRT penuh sesak. Banyak penumpang berdiri. Begitu pun aku hanya dapat berdiri dan berpegangan tiang besi di dekat pintu kereta. Hingga tanpa kusadari kakiku terinjak sebuah sepatu yang besar.
“Aduuuuh!”seruku tak tertahan.
Beberapa penumpang melihat ke arahku. Juga seorang lelaki bertubuh jangkung yang berdiri tepat di belakangku. Dia sang pemilik sepatu itu.
“Maaf,”kata lelaki itu padaku.
Tuhan, aku terkesiap. Lelaki itu si Arab yang tadi.
Karena aku belum juga menjawab permohonan maafnya, dia tersenyum padaku.
“Saya Osman. Mohon, maafkanlah saya, Nona.”
“Saya Farida,”kataku sambil mengulurkan tangan.
Ups, ternyata dia hanya membalas uluran tanganku dengan senyum kecil. Di antara laju MRT dn penuh sesak penumpang, kami masih sempat berbincang. Ternyata ia tinggal di dekat hostelku. Tepat di samping kanan kantor polisi. Sesampainya di stasiun Jurong, kami turun bersama. Kali ini ia membantuku membawakan barang belanjaanku. Sebenarnya isi tas plastikku hanya sebuah buku dan sekotak kecil permen coklat kesukaanku. Tak hanya itu, ia juga dengan percaya diri menggandeng tanganku.
Ups…! Pegangannya kuat sekali. Entahlah apakah ini pertanda bahwa sang pemilik tangan ini orang yang kuat ataukah seorang yang sangat posessif? Uh, kenapa aku merasa sebagai miliknya? Kucoba menekan kuat-kuat perasaan aneh yang tiba-tiba berdesir di dadaku. Alangkah damainya bila aku bisa melewati hari-hariku yang sepi dengan lelaki segagah ini.
Osman berjalan tegap dengan kaki-kakinya yang panjang. Ia seakan tak peduli dengan langkah kakiku yang terlalu kecil untuk menyusulnya.
“Osman… please jangan terlalu cepat!”seruku akhirnya. Nafasku setengah tersengal.
Ia menatapku dengan pandangan iba.
“Maaf,” katanya.
Aku tersenyum. Selanjutnya ia berjalan pelan- pelan bahkan akhirnya kami sempat berbincang-bincang hangat lagi. Sebelum naik bus yang akan membawa kami ke tempat tinggal kami, ia mengajakku mampir ke sebuah restaurant kecil. Di sana kami tidak makan, hanya memesan nasi kotak sebagai persiapan makan sahur nanti.
Kami naik bus yang sama dan berpisah saat ia turun satu blok lebih dulu dariku. Begitu saja pertemuan kami saat itu. Tak ada janji untuk bertemu lagi. Untunglah kami sempat bertukar nomor telepon.
***
Hingga suatu hari,  ketika aku sedang berjalan-jalan ke Litle India, tiba-tiba HP-ku bergetar. Ternyata Osman yang telepon.
“Farida, boleh aku minta tolong,”tanyanya dengan suara setengah terbata-bata.
Offcourse,” jawabku.
Dengan singkat ia memintaku datang ke Mount Elizabeth Hospital. Kondisi istrinya kritis. Ia butuh bantuanku untuk menjagai kedua anaknya. Tanpa banyak berpikir, setengah berlari aku langsung naik bus menuju rumah sakit swasta yang terkenal itu.
Di sana kutemui ia sedang berdiri di depan sebuah kamar.
“Alhamdulillah, kamu mau datang. Bantu aku menjaga Nabila dan Hasan,” katanya sambil memperkenalkanku pada kedua anaknya.
Nabila seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahun seperti umumnya anak-anak keturunan Arab. Hidungnya bangir,matanya lebar dan tajam. Begitu pun Hasan. Ia mewarisi ketampanan bapaknya. Begitu saja aku jatuh cinta pada kedua anak kecil itu.
“Iya. Tenanglah. Kau jaga istrimu biar anak-anak ikut denganku,” kataku sambil menatapnya lembut. Aku ingin ia percaya bahwa ia menyerahkan kedua anaknya di tangan orang yang tepat. Orang yang dapat dipercaya.
“Terima kasih, Farida. Di sini hanya kamu satu-satunya orang yang kuharapkan bersedia menolong. Sudah tiga bulan Nancy, ibunya anak-anak, dirawat di sini.Ada gangguan cukup serius di jantungnya,” ceritanya singkat.
Aku mengangguk. Rasa simpati bahkan empati menyergap dadaku. Lelaki gagah yang berdiri di depanku ini ternyat sedang menerima cobaan.
Sejak teleponnya hari itu, ia menjadi lebih sering menelponku. Banyak hal yang kulakukan untuk membantu mengurus Nabila dan Hasan. Aku menemaninya belajar, mengaji, juga bermain. Tidak sebagai pembantu atau baby sister. Tidak. Aku mengasuh mereka seperti aku mengasuh keponakan-keponakanku di Indonesia. Kerinduanku untuk memiliki sendiri anak-anak yang manis dan lucu terbayar sudah oleh kecerdasan dan kelucuan kedua bocah itu. Barangkali ketulusanku pulalah yang membuat mereka pelan-pelan menerimaku bahkan akhirnya menyayangiku. Hingga mereka mengganti cara memanggilku, dari “Sis” singkatan sister menjadi “Mom” atau mama.
Ya Allah…. Ini tak boleh terjadi. Aku bukan siapa-siapa mereka. Aku hanya teman papa mereka yang kebetulan dapat mengasuh mereka. Saat hal itu kusampaikan pada Osman ia hanya tertawa.
“Please… Osman. Aku risih bila anak-anak memanggilku mom.”
Sambil meneguk sekaleng soft drink dingin di tangannya, Osman tertawa lebar.
“Di Dubai mereka terbiasa memanggil pengasuhnya dengan panggilan mom.”
Ooo. Ternyata begitu. Malu sekali rasanya karena aku telanjur salah sangka.
“Tapi tak apa bukan seandainya mereka memang menyukaimu sebagai mamanya?”tanya Osman sambil menatapku.
Kuletakkan mobil-mobilan Hasan yang tadi kupungut dari lantai. Kutatap Osman setengah protes.
“Maksudmu?”tanyaku tak mengerti.
“Tak ada yang salah kan? Kulihat mereka benar-benar dekat dan menyayangimu.”
“Tidak. Kau tak boleh berkata begitu. Kasihan Nancy. Dia sedang berjuang,”bisikku seperti kehabisan tenaga tiba-tiba meski hanya untuk mengucapkan kata-kata.
Osman bangkit dari kursinya. Ia melangkah mendekatiku. Kemudian ia duduk berjongkok di dekatku.  Tangannya yang kekar dan ditumbuhi bulu-bulu yang lebat itu memegang tanganku.
“Farida…,” katanya.
Aku tergugu. Salah tingkah. Ingin rasanya aku berlari dan sembunyi. Inikah rasanya jatuh cinta, tanyaku pada diri sendiri. Di usiaku yang hampir genap tiga puluh tahun ini, belum sekali pun pernah kurasakan perasaan berdesir-desir seperti ini saat berdekatan dengan lawan jenis.
“Farida,” katanya lagi. Kali ini tangan kanannya ia gunakan untuk mengangkat wajahku.
“Pandanglah aku. Katakan bahwa di matamu juga ada aku seperti aku menyimpan kecantikan wajahmu di mataku, juga mengagumi kebaikanmu di dadaku.”
Katakan padaku kemana aku harus berlari untuk menyembunyikan kegugupan ini. Tiba-tiba aku ingat ibuku, perempuan yang terus-menerus mendesakku untuk segera menikah. Dengan lelaki manapun asal ia baik dan kucintai, begitu katanya. Apakah Osman lelaki pilihan itu? Keringat dingin mengucur deras di dahiku, di punggungku, juga di telapak tanganku.
“Tapi… tapi itu tidak mungkin,”kataku gemetar.
“Kenapa tidak? Karena Nancy?”tanyanya memojokkanku.
Aku mengangguk.
“Bahkan seandainya ia sehat dan ada di sini, aku yakin ia akan meminangmu untukku. Saat kesehatannya semakin memburuk, ia telah mengenalkanku pada beberapa perempuan kerabatnya. Ia tak ingin membuatku berduka. Ia tahu aku membutuhkan pendamping untuk mengasuh anak-anak.”
“Aku tak bisa,” putusku akhirnya.
Ia melepaskan pegangan tangannya dan kembali duduk di kursinya. Lalu kami saling berdiam diri. Aku tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam di pikiranku. Sungguh tak pernah terlintas di benakku untuk menjadi istri kedua apalagi istri kedua dari orang berlainan negara.  
“Mom…,” tiba-tiba suara Hasan memecahkan kesunyian di antara kami.
Ternyata ia sudah selesai mandi sore. Tak lama kemudian Nabila menyusul. Keduanya kemudian membuatku sibuk dengan berbagai pertanyaan dan cerita apa saja aktivitasnya hari itu. Dengan telaten dan penuh kasih kujawab semua pertanyaan mereka sambil kutata rambut Nabila yang panjang. Aku melakukannya sepenuh hati karena aku menyayangi keduanya.
Aku bukan tak tahu bahwa selama itu pula Osman seringkali melirikku. Kucoba pura-pura tak memedulikannya. Aku tak ingin merusak suasana hatiku dan kebahagiaan anak-anak hanya karena masalah yang sedang kuhadapi dengan Osman.
Malam itu, selepas Nabila dan Hasan tidur, Osman mengantarku sampai di hostelku. Sebelum pulang, ia sempat berbisik padaku.
“Bila kau tak mengasihiku, takkah kau kasihan dengan nasib Nabila dan Hasan? Mereka menyayangimu, membutuhkanmu.”
Lalu ia pulang meninggalkanku dalam himpitan kebimbangan.
***
Penolakanku bukan berarti gerbang perpisahan kami. Meski aku menolak pinangannya, aku tetap merawat dan mengasuh anak-anaknya. Sempat memang ia mencari baby sister. Sayang, baru tiga hari Hasan sudah memukul si baby sister dengan gagang sapu. Malamnya ia berteriak histeris mencariku. Ia terus-menerus memanggil-manggil namaku.
Esok paginya Osman tergopoh-gopoh menemuiku. Padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Artinya dua puluh lima menit lagi kuliahku dimulai. Padahal  naik bus  ke kampusku membutuhkan waktu sekitar 15 menit.
“Farida, mengertilah. Hasan membutuhkanmu. Badannya demam semalam. Sebentar saja, bantu ia minum obat,”desak Osman.
Sempat terlintas protes di hatiku mengapa aku harus peduli pada Hasan. Aku bukan siapa-siapanya, aku hanya teman bapaknya. Namun, bayangan wajah polos dan tawa ceria Hasan saat bermain denganku, membuatku mengalahkan egoku. Kuikuti langkah cepat Osman, dan aku memilih tak mengikuti kuliah hari itu.
Demikianlah hari-hariku kemudian. Hampir empat bulan kudampingi Hasan dan Nabila. Selama itu pula aku tahu perasaan cintaku pada Osman tak pernah padam. Sesungguhnya aku tahu, demikian pula perasaan Osman padaku. Tapi ia menghormati keputusanku. Ia tak pernah mendesakku. Sebaliknya, ia semakin perhatian dan memperlakukanku penuh kasih. Namun, sekali lagi, ia sangat hormat dan menjaga martabatku.
***
Hingga suatu malam, saat aku tidur di kamar Hasan dan Nabila, Osman menelponku. Suaranya serak dan terbata-bata.
“Nancy sudah pergi.”
Aku hanya bisa memeluk Nabila dan Hasan sambil meneteskan air mata. Kini mereka benar-benar kehilangan ibunya. Rasa iba menyergap dadaku.
Esoknya, Osman telah mengurus semua persuratan untuk kembali ke negaranya. Jenazah istrinya telah diterbangkan lebih dulu. Sebelum pulang ia menyerahkan selembar tiket penerbangan padaku.
“Ini tiket penerbangan ke Dubai tanggal 5 Oktober, tanggal yang kau katakan sebagai hari terakhir kau akan meninggalkan negeri ini. Kuharap, negerikulah yang akan kau jadikan pilihan. Di sana ada seseorang yang sangat mencintaimu, mendambamu. Dan dua orang anak yang juga sangat membutuhkanmu.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak bisa berjanji. Yang bisa kulakukan hanya mencium pipi Hasan dan Nabila sambil sekuat mungkin menahan tangis yang tiba-tiba telah memenuhi dadaku.
“Hati-hati. Jaga anak-anak,” akhirnya hanya itu yang dapat kulakukan saat Osman menggamit tanganku.
Kulepaskan ketiga orang yang telah merebut sebagian hatiku itu hingga mereka benar-benar menghilang dari pandanganku. Kulepas ketiganya kembali ke negaranya dengan hati setengah hampa. Masihkah hari-hariku esok akan menemu bahagia, tanyaku bimbang pada diriku sendiri.
***
            Kini, tepat 5 Oktober 2008. Di bandara Changi kebimbanganku bertambah-tambah. Wajah Osman, Hasan, dan Nabila melintas-lintas di benakku. Suara bapak dan ibu di kampung halaman terngiang-ngiang.
Kemanakah aku harus melangkah?
HP-ku bergetar. Sebuah panggilan masuk.
“Farida… aku akan menunggumu di bandara sampai esok pagi.”
“Aku… aku tak bisa,”jawabku tergagap.
Please Farida, I miss you. I need you.”  
Rasanya tulang-tulang tubuhku terlepas satu-satu. Dari pengeras suara kudengar Pengumuman agar para penumpang jurusan Juanda Surabaya segera masuk ke ruang tunggu pemberangkatan. Aku harus berpikir cepat. Tak ada waktu lagi.
Kumatikan HP-ku dan tak kupedulikan teriakan Osman di seberang. Kulangkahkan kaki dengan gontai ke ruang tunggu penerbangan tujuan Juanda Surabaya. Aku yakin, di negeriku bukan hanya tiga orang yang mencintai dan merinduiku. Keluargaku, teman-teman dekatku, juga para mahasiswaku pasti merindukan dan membutuhkanku.
***
Para kerabat sudah berkumpul sejak pagi. Semua saudara kandung bapak dan ibu bahkan telah disibukkan dengan berbagai masakan dan hidangan untuk menyambut kedatangan keluarga Mas Dimas. Ya, di usiaku yang telah lewat 31 tahun ini aku semakin tak memiliki hak untuk menolak. Posisiku terdesak. Bapak dan ibu, kedua kakakku, juga dua orang adikku yang sudah menikah tegas-tegas menyatakan tak sanggup lagi menahan malu karena aku terus melajang.
Tak ada pilihan. Mereka memaksaku untuk menerima pinangan Dimas, seorang pegawai negeri di Dinas Peternakan. Sejujurnya aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya sempat dua kali bertemu dengannya saat ia berkunjung ke rumah ini beberapa tahun lalu. Ia teman kuliah kakak pertamaku. Seingatku ia lelaki bertubuh ceking, kulit hitam, dan rambut keriwil. Tampilan lelaki yang sama sekali tak sanggup menggerakkan rasa sukaku. Tapi sekali lagi, sebagai perawan kasep (gadis yang telat menikah), aku kehilangan hak pilih. Kewajibanku hanya menerima pilihan keluarga, menyelamatkan nama baik keluarga.
Dan aku memilih menerima semua itu. Meski, diam-diam aku memberontak. Pemberontakan yang hanya dapat kulakukan dengan menulis diary dalam blog pribadiku. Tentu saja kutulis sebagai sebuah fiksi, cerita rekaan. Bukan sungguhan.
Sebuah taksi berplat L (Surabaya) memasuki halaman. Entah siapa yang datang. Orang-orang berbisik-bisik riuh.
“Ada tamu. Wong (orang) asing”teriak Bu Lek Harti, bibiku yang paling usil.
Aku tak begitu peduli. Aku sibuk menata hatiku yang benar-benar belum siap menerima pinangan Mas Dimas.
“Nduk… ada tamu untukmu,”kata ibu mengagetkanku.
“Siapa?”
“Ibu tak tahu. Temui saja!”
Dengan malas kulangkahkan kakiku ke ruang tamu. Sama sekali tak terlintas bayangan siapa tamu yang datang pada saat aku sibuk menyiapkan diri menyongsong hari depanku ini.
Dan di ruang tamu, kutemukan sesosok tubuh gagah yang selama lima bulan ini amat kurindukan.
“Farida, aku datang,”sapa Osman menggetarkan duniaku.
“Mom…..” Nabila dan Hasan berteriak menyerbuku. Kedua bocah yang telah merebut hatiku itu memeluk dan menciumku. Kata-kata rindu memenuhi gendang telingaku.
“Aku membaca semua catatan di blogmu. Aku tak ingin terlambat. Aku tak rela membiarkanmu menikah dengan lelaki yang tak kamu cintai,” bisik Osman dalam bahasa Inggris.
Aku tahu ia berharap kerabatku yang diam-diam menguping pembicaraan kami tak mengerti apa yang ia ucapkan.
“Maksudmu?”tanyaku tanpa sanggup menyenmbunyikan getar kerinduan dalam suaraku.
“Permohonanku untuk ditugaskan di Indonesia dikabulkan. Perusahaan minyak tempatku bekerja menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan di Bojonegoro. Semua kulakukan untuk mendapatkanmu, bidadariku.”
Ibu masuk membawa nampan berisi empat gelas teh hangat dan sepiring jadah  (uli, kue yang terbuat dari ketan dan parutan kelapa, kemudian ditumbuk hingga kenyal).
“Bu… kenalkan, ini Osman dan itu Hasan dan Nabila,”kataku pada ibu.
Ibu menyalami kedua tamuku dengan hangat. Seperti itulah memang sikap ibu selalu baik dan terbuka pada semua tamu. Meski begitu aku tahu ada banyak tanya di matanya.
 “Dia…. Dia lelaki yang kucari selama ini, Bu,” bisikku sebelum ibu masuk ke ruang dalam.
Mata ibu terbeliak lebar. Aku tahu ia terkejut. Tapi kebahagiaanku karena kedatangan Osman dan kedua anaknya mengalahkan segalanya. Seperti saat memilih terbang pulang ke Indonesia dulu, kini aku pun harus bertindak cepat. Aku tak mau kehilangan cintaku untuk kedua kalinya. Aku tak mau menerima pinangan Dimas dan menjalani perkawinan hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga.
Aku ingin menikah karena cinta. Aku ingin menikah dengan orang yang kucintai dan mencintai. Tak peduli usiaku tak lagi tepat untuk berbicara tentang cinta.
Hanya beberapa menit saja ibu masuk. Setelah itu ia telah kembali bersama bapak dan kedua kakakku. Mereka kemudian mendampingiku menemui Osman dan kedua anaknya. Perbincangan ini terasa hangat. Sesekali kulihat bapak menatapku dan Osman bergantian. Wajahnya cerah, begitu pun wajah ibu dan kedua kakakku.
“Ya, beginilah keluarga kami. Keluarga tradisional Indonesia. Tamu anak kami adalah tamu kami semua,” kata ibuku pada Osman dalam bahasa Inggris patah-patah.
Osman mengangguk.
“Saya suka Indonesia,”balas Osman.
Kami berbincang sampai malam. Kutahu keluargaku menerima Osman dengan tangan terbuka. Alangkah bahagia.
Jam delapan malam, tiga buah mobil masuk ke halaman rumah. Keluarga Mas Dimas tiba sesuai janjinya. Wajah ibu sedikit tegang.
“Biar bapak yang bicara, Bu,” kata bapak.

Aku tersenyum menatap Osman yang memandangku meminta penjelasan. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi, aku tahu apa yang kuputuskan. Jawabanku pasti: aku memilih cinta dan masa depanku sendiri yaitu Osman dan kedua anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar