PILIHAN
Faradina
Izdhihary)*
Apa
yang akan kau lakukan bila saat ini kau berdiri di sebuah bandara dengan
dua tiket penerbangan luar negeri yang berbeda? Kemanakah kau akan melangkahkan
kakimu dan memilih satu pesawat yang akan menerbangkanmu ke suatu tempat yang
sama-sama kau inginkan? Suatu tempat dimana ada orang yang mencintaimu sedang
menunggumu dengan penuh rindu.
Itulah kini yang kualami. Di tangan
sebelah kananku kugenggam tiket penerbangan Changi (Singapura) – Juanda
(Surabaya, Indonesia). Tangan kiriku memegang sebuah tiket penerbangan
Changi-Dubai. Di Juanda Surabaya hari ini keluargaku dari Tulungagung akan
menjemputku. Aku yakin kini mereka sudah hampir sampai di bandara. Sedang di
Dubai, kuyakin kini seorang laki-laki bertubuh jangkung, dengan kumis dan
jenggot tebal, dengan tatapan mata tajam khas laki-laki Arab sedang gelisah
menungguku. Ia entah berapa belas kali semalam menelponku, memastikan
keputusanku untuk menemuinya di negeri yang sama sekali tak pernah kuimpikan
untuk mengunjunginya.
Jarum jam di tanganku sudah menunjukkan
pukul 05.00 waktu Singapura. Masih ada sisa waktu satu setengah jam bagiku
untuk memutuskan memilih pesawat garuda yang akan membawaku ke Surabaya. Atau
aku akan membiarkan diriku memilih penerbangan lainnya tujuan Dubai yang akan
membawaku menjauhi orang-orang yang mencintaiku, demi satu orang yang
menjanjikan segunung cinta untukku.
“Bapak dan ibu berangkat jam dua pagi,
Nduk. Jadi saat kau turun dari pesawat esok pagi, kami telah siap menunggumu,
Nduk,” suara ibu semalam masih terngiang. Aku tahu ibuku juga seluruh
keluargaku pasti sangat merindukanku.
Tiga tahun sudah kuhabiskan waktu untuk
menuntut ilmu di negeri singa ini tanpa sekali pun pulang ke tanah air. Maklum,
kantong mahasiswa yang hanya mengandalkan hidup di negerin asing dari beasiswa
seperti aku ini takkan sanggup leluasa pulang ke tanah air seperti mereka yang
kuliah atas biaya sendiri.
Perihal perkenalanku dengan lelaki yang
telah memberikan tiket penerbangan ke Dubai itu sederhana saja awalnya. Begini
kisahnya.
***
Sore itu seperti biasa bila bulan puasa
tiba aku selalu datang ke masjid. Meski itu berarti aku harus menempuh jarak
lumayan jauh dan harus naik bus atau MRT. Kali ini aku memilih masjid Al Falah
yang terletak Orchard Road. Jangan kau bayangkan aku akan shopping ke supermarket besar yang ada di sana. Tidak. Selain ingin
mengikuti shalat maghrib, isya, dan taraweh di masjid ini aku juga ingin
menikmati makanan padang di lantai dua mall yang letaknya tidak terlalu jauh
dari masjid Al Falah.
Saat aku sedang duduk-duduk di depan Paragon,
seorang lelaki menyapaku.
“Maaf, masjid ada dimana?”tanyanya dalam
bahasa Inggris yang kaku. Kurasa ia orang Arab, Turki, atau Bahrain. Dialeknya
aneh.
“Di sana,”jawabku sambil menunjuk ke
arah masjid Al Falah. Saat itu adzan maghrib tinggal sepuluh menit lagi. Aku
sudah membeli sebungkus nasi lemak dan satu kaleng jus buah.
“Terima kasih,”ujarnya sambil berlalu.
Aku tak terlalu memedulikannya lagi. Aku
bahkan tak sempat menawarinya untuk menuju masjid Al Falah bareng denganku.
Padahal aku juga hendak menuju ke sana. Saat aku hendak berbelok ke arah kiri,
kulihat laki-laki itu tetap berjalan lurus. Perasaanku tak enak. Kurasa ia
pasti tersesat. Kukejar dia dan segera kutegur dia.
“Tuan… Tuan salah jalan. Masjid Al Falah
di sebelah sana, bukan ke sini,”kataku dengan suara terengah-engah. Maklum aku
harus berlari mengejar langkah kakinya yang panjang-panjang. “Saya juga hendak
ke sana.”
Lelaki itu tersenyum.
“Terima kasih. Tapi saya hendak membeli
takjil dulu,”katanya padaku.
Ooo! Malu sekali rasanya. Ternyata aku
salah duga.
“Tapi… tapi saya akan sangat berterima
kasih bila Nona mau menemani saya,”katanya lagi tetap dengan sopan.
Aku mengangguk. Kurasa dia memberikan
pilihan yang bagus. Begitulah setelah ia selesai membeli beberapa kotak kue dan
minuman, kami bergegas ke masjid al Falah. Kami berpisah di pintu masuk. Dia
menuju tempat jamaah pria sedang aku naik lantai dua, tempat jamaah perempuah
berkumpul.
Adzan maghrib berkumandang. Kami
menikmati buka bersama. Beberapa takjil yang kudapatkan kuketahui adalah kue
yang dibeli lelaki Arab tadi. Uft, aku baru sadar bahwa kami belum sempat
berkenalan. Tapi biarlah, aku tak peduli. Kurasa apa yang kulakukan pada si
Arab tadi bukan hal yang luar biasa.
Malam itu aku pulang ke hostelku naik MRT
terakhir. MRT penuh sesak. Banyak penumpang berdiri. Begitu pun aku hanya dapat
berdiri dan berpegangan tiang besi di dekat pintu kereta. Hingga tanpa kusadari
kakiku terinjak sebuah sepatu yang besar.
“Aduuuuh!”seruku tak tertahan.
Beberapa penumpang melihat ke arahku.
Juga seorang lelaki bertubuh jangkung yang berdiri tepat di belakangku. Dia
sang pemilik sepatu itu.
“Maaf,”kata lelaki itu padaku.
Tuhan, aku terkesiap. Lelaki itu si Arab
yang tadi.
Karena aku belum juga menjawab
permohonan maafnya, dia tersenyum padaku.
“Saya Osman. Mohon, maafkanlah saya,
Nona.”
“Saya Farida,”kataku sambil mengulurkan
tangan.
Ups, ternyata dia hanya membalas uluran
tanganku dengan senyum kecil. Di antara laju MRT dn penuh sesak penumpang, kami
masih sempat berbincang. Ternyata ia tinggal di dekat hostelku. Tepat di
samping kanan kantor polisi. Sesampainya di stasiun Jurong, kami turun bersama.
Kali ini ia membantuku membawakan barang belanjaanku. Sebenarnya isi tas
plastikku hanya sebuah buku dan sekotak kecil permen coklat kesukaanku. Tak
hanya itu, ia juga dengan percaya diri menggandeng tanganku.
Ups…! Pegangannya kuat sekali. Entahlah
apakah ini pertanda bahwa sang pemilik tangan ini orang yang kuat ataukah
seorang yang sangat posessif? Uh, kenapa aku merasa sebagai miliknya? Kucoba
menekan kuat-kuat perasaan aneh yang tiba-tiba berdesir di dadaku. Alangkah
damainya bila aku bisa melewati hari-hariku yang sepi dengan lelaki segagah
ini.
Osman berjalan tegap dengan kaki-kakinya
yang panjang. Ia seakan tak peduli dengan langkah kakiku yang terlalu kecil
untuk menyusulnya.
“Osman… please jangan terlalu
cepat!”seruku akhirnya. Nafasku setengah tersengal.
Ia menatapku dengan pandangan iba.
“Maaf,” katanya.
Aku tersenyum. Selanjutnya ia berjalan
pelan- pelan bahkan akhirnya kami sempat berbincang-bincang hangat lagi.
Sebelum naik bus yang akan membawa kami ke tempat tinggal kami, ia mengajakku
mampir ke sebuah restaurant kecil. Di sana kami tidak makan, hanya memesan nasi
kotak sebagai persiapan makan sahur nanti.
Kami naik bus yang sama dan berpisah
saat ia turun satu blok lebih dulu dariku. Begitu saja pertemuan kami saat itu.
Tak ada janji untuk bertemu lagi. Untunglah kami sempat bertukar nomor telepon.
***
Hingga suatu hari, ketika aku sedang berjalan-jalan ke Litle
India, tiba-tiba HP-ku bergetar. Ternyata Osman yang telepon.
“Farida, boleh aku minta
tolong,”tanyanya dengan suara setengah terbata-bata.
“Offcourse,”
jawabku.
Dengan singkat ia memintaku datang ke
Mount Elizabeth Hospital. Kondisi istrinya kritis. Ia butuh bantuanku untuk
menjagai kedua anaknya. Tanpa banyak berpikir, setengah berlari aku langsung
naik bus menuju rumah sakit swasta yang terkenal itu.
Di sana kutemui ia sedang berdiri di
depan sebuah kamar.
“Alhamdulillah, kamu mau datang. Bantu
aku menjaga Nabila dan Hasan,” katanya sambil memperkenalkanku pada kedua
anaknya.
Nabila seorang gadis kecil berusia
sekitar 7 tahun seperti umumnya anak-anak keturunan Arab. Hidungnya
bangir,matanya lebar dan tajam. Begitu pun Hasan. Ia mewarisi ketampanan
bapaknya. Begitu saja aku jatuh cinta pada kedua anak kecil itu.
“Iya. Tenanglah. Kau jaga istrimu biar
anak-anak ikut denganku,” kataku sambil menatapnya lembut. Aku ingin ia percaya
bahwa ia menyerahkan kedua anaknya di tangan orang yang tepat. Orang yang dapat
dipercaya.
“Terima kasih, Farida. Di sini hanya
kamu satu-satunya orang yang kuharapkan bersedia menolong. Sudah tiga bulan
Nancy, ibunya anak-anak, dirawat di sini.Ada gangguan cukup serius di
jantungnya,” ceritanya singkat.
Aku mengangguk. Rasa simpati bahkan
empati menyergap dadaku. Lelaki gagah yang berdiri di depanku ini ternyat
sedang menerima cobaan.
Sejak teleponnya hari itu, ia menjadi
lebih sering menelponku. Banyak hal yang kulakukan untuk membantu mengurus
Nabila dan Hasan. Aku menemaninya belajar, mengaji, juga bermain. Tidak sebagai
pembantu atau baby sister. Tidak. Aku mengasuh mereka seperti aku mengasuh
keponakan-keponakanku di Indonesia. Kerinduanku untuk memiliki sendiri
anak-anak yang manis dan lucu terbayar sudah oleh kecerdasan dan kelucuan kedua
bocah itu. Barangkali ketulusanku pulalah yang membuat mereka pelan-pelan
menerimaku bahkan akhirnya menyayangiku. Hingga mereka mengganti cara memanggilku,
dari “Sis” singkatan sister menjadi “Mom” atau mama.
Ya Allah…. Ini tak boleh terjadi. Aku
bukan siapa-siapa mereka. Aku hanya teman papa mereka yang kebetulan dapat
mengasuh mereka. Saat hal itu kusampaikan pada Osman ia hanya tertawa.
“Please… Osman. Aku risih bila anak-anak
memanggilku mom.”
Sambil meneguk sekaleng soft drink
dingin di tangannya, Osman tertawa lebar.
“Di Dubai mereka terbiasa memanggil
pengasuhnya dengan panggilan mom.”
Ooo. Ternyata begitu. Malu sekali
rasanya karena aku telanjur salah sangka.
“Tapi tak apa bukan seandainya mereka
memang menyukaimu sebagai mamanya?”tanya Osman sambil menatapku.
Kuletakkan mobil-mobilan Hasan yang tadi
kupungut dari lantai. Kutatap Osman setengah protes.
“Maksudmu?”tanyaku tak mengerti.
“Tak ada yang salah kan? Kulihat mereka
benar-benar dekat dan menyayangimu.”
“Tidak. Kau tak boleh berkata begitu.
Kasihan Nancy. Dia sedang berjuang,”bisikku seperti kehabisan tenaga tiba-tiba
meski hanya untuk mengucapkan kata-kata.
Osman bangkit dari kursinya. Ia
melangkah mendekatiku. Kemudian ia duduk berjongkok di dekatku. Tangannya yang kekar dan ditumbuhi bulu-bulu
yang lebat itu memegang tanganku.
“Farida…,” katanya.
Aku tergugu. Salah tingkah. Ingin
rasanya aku berlari dan sembunyi. Inikah rasanya jatuh cinta, tanyaku pada diri
sendiri. Di usiaku yang hampir genap tiga puluh tahun ini, belum sekali pun
pernah kurasakan perasaan berdesir-desir seperti ini saat berdekatan dengan
lawan jenis.
“Farida,” katanya lagi. Kali ini tangan
kanannya ia gunakan untuk mengangkat wajahku.
“Pandanglah aku. Katakan bahwa di matamu
juga ada aku seperti aku menyimpan kecantikan wajahmu di mataku, juga mengagumi
kebaikanmu di dadaku.”
Katakan padaku kemana aku harus berlari
untuk menyembunyikan kegugupan ini. Tiba-tiba aku ingat ibuku, perempuan yang
terus-menerus mendesakku untuk segera menikah. Dengan lelaki manapun asal ia
baik dan kucintai, begitu katanya. Apakah Osman lelaki pilihan itu? Keringat
dingin mengucur deras di dahiku, di punggungku, juga di telapak tanganku.
“Tapi… tapi itu tidak mungkin,”kataku
gemetar.
“Kenapa tidak? Karena Nancy?”tanyanya
memojokkanku.
Aku mengangguk.
“Bahkan seandainya ia sehat dan ada di
sini, aku yakin ia akan meminangmu untukku. Saat kesehatannya semakin memburuk,
ia telah mengenalkanku pada beberapa perempuan kerabatnya. Ia tak ingin
membuatku berduka. Ia tahu aku membutuhkan pendamping untuk mengasuh
anak-anak.”
“Aku tak bisa,” putusku akhirnya.
Ia melepaskan pegangan tangannya dan
kembali duduk di kursinya. Lalu kami saling berdiam diri. Aku tenggelam dalam
pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam di pikiranku. Sungguh tak pernah
terlintas di benakku untuk menjadi istri kedua apalagi istri kedua dari orang
berlainan negara.
“Mom…,” tiba-tiba suara Hasan memecahkan
kesunyian di antara kami.
Ternyata ia sudah selesai mandi sore.
Tak lama kemudian Nabila menyusul. Keduanya kemudian membuatku sibuk dengan
berbagai pertanyaan dan cerita apa saja aktivitasnya hari itu. Dengan telaten
dan penuh kasih kujawab semua pertanyaan mereka sambil kutata rambut Nabila
yang panjang. Aku melakukannya sepenuh hati karena aku menyayangi keduanya.
Aku bukan tak tahu bahwa selama itu pula
Osman seringkali melirikku. Kucoba pura-pura tak memedulikannya. Aku tak ingin
merusak suasana hatiku dan kebahagiaan anak-anak hanya karena masalah yang
sedang kuhadapi dengan Osman.
Malam itu, selepas Nabila dan Hasan
tidur, Osman mengantarku sampai di hostelku. Sebelum pulang, ia sempat berbisik
padaku.
“Bila kau tak mengasihiku, takkah kau
kasihan dengan nasib Nabila dan Hasan? Mereka menyayangimu, membutuhkanmu.”
Lalu ia pulang meninggalkanku dalam
himpitan kebimbangan.
***
Penolakanku bukan berarti gerbang
perpisahan kami. Meski aku menolak pinangannya, aku tetap merawat dan mengasuh
anak-anaknya. Sempat memang ia mencari baby sister. Sayang, baru tiga hari
Hasan sudah memukul si baby sister dengan gagang sapu. Malamnya ia berteriak
histeris mencariku. Ia terus-menerus memanggil-manggil namaku.
Esok paginya Osman tergopoh-gopoh
menemuiku. Padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.
Artinya dua puluh lima menit lagi kuliahku dimulai. Padahal naik bus
ke kampusku membutuhkan waktu sekitar 15 menit.
“Farida, mengertilah. Hasan
membutuhkanmu. Badannya demam semalam. Sebentar saja, bantu ia minum
obat,”desak Osman.
Sempat terlintas protes di hatiku
mengapa aku harus peduli pada Hasan. Aku bukan siapa-siapanya, aku hanya teman
bapaknya. Namun, bayangan wajah polos dan tawa ceria Hasan saat bermain
denganku, membuatku mengalahkan egoku. Kuikuti langkah cepat Osman, dan aku
memilih tak mengikuti kuliah hari itu.
Demikianlah hari-hariku kemudian. Hampir
empat bulan kudampingi Hasan dan Nabila. Selama itu pula aku tahu perasaan
cintaku pada Osman tak pernah padam. Sesungguhnya aku tahu, demikian pula
perasaan Osman padaku. Tapi ia menghormati keputusanku. Ia tak pernah
mendesakku. Sebaliknya, ia semakin perhatian dan memperlakukanku penuh kasih.
Namun, sekali lagi, ia sangat hormat dan menjaga martabatku.
***
Hingga suatu malam, saat aku tidur di
kamar Hasan dan Nabila, Osman menelponku. Suaranya serak dan terbata-bata.
“Nancy sudah pergi.”
Aku hanya bisa memeluk Nabila dan Hasan
sambil meneteskan air mata. Kini mereka benar-benar kehilangan ibunya. Rasa iba
menyergap dadaku.
Esoknya, Osman telah mengurus semua
persuratan untuk kembali ke negaranya. Jenazah istrinya telah diterbangkan
lebih dulu. Sebelum pulang ia menyerahkan selembar tiket penerbangan padaku.
“Ini tiket penerbangan ke Dubai tanggal
5 Oktober, tanggal yang kau katakan sebagai hari terakhir kau akan meninggalkan
negeri ini. Kuharap, negerikulah yang akan kau jadikan pilihan. Di sana ada
seseorang yang sangat mencintaimu, mendambamu. Dan dua orang anak yang juga
sangat membutuhkanmu.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak
bisa berjanji. Yang bisa kulakukan hanya mencium pipi Hasan dan Nabila sambil sekuat
mungkin menahan tangis yang tiba-tiba telah memenuhi dadaku.
“Hati-hati. Jaga anak-anak,” akhirnya
hanya itu yang dapat kulakukan saat Osman menggamit tanganku.
Kulepaskan ketiga orang yang telah
merebut sebagian hatiku itu hingga mereka benar-benar menghilang dari
pandanganku. Kulepas ketiganya kembali ke negaranya dengan hati setengah hampa.
Masihkah hari-hariku esok akan menemu bahagia, tanyaku bimbang pada diriku
sendiri.
***
Kini, tepat 5 Oktober 2008. Di bandara Changi kebimbanganku bertambah-tambah. Wajah Osman, Hasan, dan Nabila melintas-lintas di benakku. Suara bapak dan ibu di kampung halaman terngiang-ngiang.
Kini, tepat 5 Oktober 2008. Di bandara Changi kebimbanganku bertambah-tambah. Wajah Osman, Hasan, dan Nabila melintas-lintas di benakku. Suara bapak dan ibu di kampung halaman terngiang-ngiang.
Kemanakah aku harus melangkah?
HP-ku bergetar. Sebuah panggilan masuk.
“Farida… aku akan menunggumu di bandara
sampai esok pagi.”
“Aku… aku tak bisa,”jawabku tergagap.
“Please
Farida, I miss you. I need you.”
Rasanya tulang-tulang tubuhku terlepas
satu-satu. Dari pengeras suara kudengar Pengumuman agar para penumpang jurusan
Juanda Surabaya segera masuk ke ruang tunggu pemberangkatan. Aku harus berpikir
cepat. Tak ada waktu lagi.
Kumatikan HP-ku dan tak kupedulikan
teriakan Osman di seberang. Kulangkahkan kaki dengan gontai ke ruang tunggu
penerbangan tujuan Juanda Surabaya. Aku yakin, di negeriku bukan hanya tiga
orang yang mencintai dan merinduiku. Keluargaku, teman-teman dekatku, juga para
mahasiswaku pasti merindukan dan membutuhkanku.
***
Para kerabat sudah berkumpul sejak pagi.
Semua saudara kandung bapak dan ibu bahkan telah disibukkan dengan berbagai
masakan dan hidangan untuk menyambut kedatangan keluarga Mas Dimas. Ya, di
usiaku yang telah lewat 31 tahun ini aku semakin tak memiliki hak untuk
menolak. Posisiku terdesak. Bapak dan ibu, kedua kakakku, juga dua orang adikku
yang sudah menikah tegas-tegas menyatakan tak sanggup lagi menahan malu karena
aku terus melajang.
Tak ada pilihan. Mereka memaksaku untuk
menerima pinangan Dimas, seorang pegawai negeri di Dinas Peternakan. Sejujurnya
aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya sempat dua kali bertemu dengannya saat ia
berkunjung ke rumah ini beberapa tahun lalu. Ia teman kuliah kakak pertamaku.
Seingatku ia lelaki bertubuh ceking, kulit hitam, dan rambut keriwil. Tampilan
lelaki yang sama sekali tak sanggup menggerakkan rasa sukaku. Tapi sekali lagi,
sebagai perawan kasep (gadis yang
telat menikah), aku kehilangan hak pilih. Kewajibanku hanya menerima pilihan
keluarga, menyelamatkan nama baik keluarga.
Dan aku memilih menerima semua itu.
Meski, diam-diam aku memberontak. Pemberontakan yang hanya dapat kulakukan
dengan menulis diary dalam blog pribadiku. Tentu saja kutulis sebagai sebuah
fiksi, cerita rekaan. Bukan sungguhan.
Sebuah taksi berplat L (Surabaya)
memasuki halaman. Entah siapa yang datang. Orang-orang berbisik-bisik riuh.
“Ada tamu. Wong (orang) asing”teriak Bu Lek Harti, bibiku yang paling usil.
Aku tak begitu peduli. Aku sibuk menata
hatiku yang benar-benar belum siap menerima pinangan Mas Dimas.
“Nduk… ada tamu untukmu,”kata ibu
mengagetkanku.
“Siapa?”
“Ibu tak tahu. Temui saja!”
Dengan malas kulangkahkan kakiku ke
ruang tamu. Sama sekali tak terlintas bayangan siapa tamu yang datang pada saat
aku sibuk menyiapkan diri menyongsong hari depanku ini.
Dan di ruang tamu, kutemukan sesosok
tubuh gagah yang selama lima bulan ini amat kurindukan.
“Farida, aku datang,”sapa Osman
menggetarkan duniaku.
“Mom…..” Nabila dan Hasan berteriak
menyerbuku. Kedua bocah yang telah merebut hatiku itu memeluk dan menciumku.
Kata-kata rindu memenuhi gendang telingaku.
“Aku membaca semua catatan di blogmu.
Aku tak ingin terlambat. Aku tak rela membiarkanmu menikah dengan lelaki yang
tak kamu cintai,” bisik Osman dalam bahasa Inggris.
Aku tahu ia berharap kerabatku yang
diam-diam menguping pembicaraan kami tak mengerti apa yang ia ucapkan.
“Maksudmu?”tanyaku tanpa sanggup
menyenmbunyikan getar kerinduan dalam suaraku.
“Permohonanku untuk ditugaskan di
Indonesia dikabulkan. Perusahaan minyak tempatku bekerja menjalin kerja sama
dengan sebuah perusahaan di Bojonegoro. Semua kulakukan untuk mendapatkanmu, bidadariku.”
Ibu masuk membawa nampan berisi empat
gelas teh hangat dan sepiring jadah (uli, kue yang terbuat dari ketan dan parutan
kelapa, kemudian ditumbuk hingga kenyal).
“Bu… kenalkan, ini Osman dan itu Hasan
dan Nabila,”kataku pada ibu.
Ibu menyalami kedua tamuku dengan
hangat. Seperti itulah memang sikap ibu selalu baik dan terbuka pada semua
tamu. Meski begitu aku tahu ada banyak tanya di matanya.
“Dia…. Dia lelaki yang kucari selama ini, Bu,”
bisikku sebelum ibu masuk ke ruang dalam.
Mata ibu terbeliak lebar. Aku tahu ia
terkejut. Tapi kebahagiaanku karena kedatangan Osman dan kedua anaknya
mengalahkan segalanya. Seperti saat memilih terbang pulang ke Indonesia dulu,
kini aku pun harus bertindak cepat. Aku tak mau kehilangan cintaku untuk kedua kalinya.
Aku tak mau menerima pinangan Dimas dan menjalani perkawinan hanya untuk
menyelamatkan nama baik keluarga.
Aku ingin menikah karena cinta. Aku
ingin menikah dengan orang yang kucintai dan mencintai. Tak peduli usiaku tak
lagi tepat untuk berbicara tentang cinta.
Hanya beberapa menit saja ibu masuk.
Setelah itu ia telah kembali bersama bapak dan kedua kakakku. Mereka kemudian
mendampingiku menemui Osman dan kedua anaknya. Perbincangan ini terasa hangat.
Sesekali kulihat bapak menatapku dan Osman bergantian. Wajahnya cerah, begitu
pun wajah ibu dan kedua kakakku.
“Ya, beginilah keluarga kami. Keluarga
tradisional Indonesia. Tamu anak kami adalah tamu kami semua,” kata ibuku pada
Osman dalam bahasa Inggris patah-patah.
Osman mengangguk.
“Saya suka Indonesia,”balas Osman.
Kami berbincang sampai malam. Kutahu
keluargaku menerima Osman dengan tangan terbuka. Alangkah bahagia.
Jam delapan malam, tiga buah mobil masuk
ke halaman rumah. Keluarga Mas Dimas tiba sesuai janjinya. Wajah ibu sedikit
tegang.
“Biar bapak yang bicara, Bu,” kata
bapak.
Aku tersenyum menatap Osman yang
memandangku meminta penjelasan. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi, aku
tahu apa yang kuputuskan. Jawabanku pasti: aku memilih cinta dan masa depanku
sendiri yaitu Osman dan kedua anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar