PANGGILAN
JIWA
Tidah
hanya sekali dua
kali ini kau memaksaku untuk menetapkan pilihan di antara dua hal yang
sama-sama tidak aku sukai. Pertama, berhenti mengajar, menikah denganmu, kemudian
tinggal di Jakarta. Jelas aku tak suka. Kau tahu benar, aku sangat mencintai
profesiku sebagai guru, meski hingga kini nasib baik tak segera berpihak
padaku. Empat tahun mengabdi sebagai guru honorer tanpa kepastian kapan
diangkat jadi PNS. Tiga kali mengikuti tes seleksi masuk CPNS, aku tetap belum
juga lolos. Dan tiap kali aku gagal, tiap kali pula kau akan menertawakan
keteguhanku menjalani profesiku.
“Apa yang kau harapkan dari
menjadi seorang guru?”tanyamu dengan nada sinis.
Aku selalu memilih diam. Percuma.
Selamanya kau tak akan mengerti. Bila pun suatu hari aku akan menjelaskan lagi
padamu, kurasa tak perlu panjang lebar. Tak perlu ada perdebatan seperti
dulu-dulu lagi. Jawabanku
akan tetap sama. Aku memilih jadi guru karena aku menyukai mengajar dan
mencintai murid-muridku. Kau tak akan pernah memahami bahwa murid-muridku mampu
membuatku bertahan.
Aku sangat bahagia tiap kali menatap binar cerah di mata murid-muridku. Meski
gaji yang kuterima setiap bulan hanya dua ratus lima puluh ribu rupiah. Jauh
dari cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Untungnya, masih ada sayur mayur di kebun belakang rumah peninggalan almarhum
bapak dan beberapa puluh ekor bebek yang dipelihara ibu dengan telaten untuk
menambal kekurangan-kekurangan itu.
Kedua, kau memintaku menerima
kenyataan pahit. Kita putuskan pertunangan kita yang sudah sampai tahun ketiga
ini. Sebab kau bilang sudah sangat ingin menikah dan segera mendapat momongan
dariku. Apa kau
pikir kalau aku menjadi seorang istri, hal pertama yang akan kulakukan adalah
segera hamil dan memberimu
seorang anak? Kau salah. Aku belum siap. Kalaupun kita jadi menikah, setidaknya
baru pada tahun ketiga aku siap mengandung anakmu.
Jangan salah, bukan berarti aku
tak mencintaimu. Sampai kini, setidaknya, semenjak kita kenal, kemudian
bertunangan, sampai lima menit yang lalu ketika kau memberiku dua pilihan
pahit, aku benar-benar mencintaimu. Namun aku sadar pertemuan-pertemuan singkat
kita, komunikasi singkat kita melalu handphone, belum cukup memberikan gambaran
yang jelas tentang siapa kau sesungguhnya. Kurasa aku butuh waktu untuk
benar-benar "mengenalmu."
Kau juga harus mengenalku lebih
jauh lagi. Aku bukan perempuan produk pendidikan lama yang sama dengan ibumu,
tipikal perempuan Jawa yang lembut dan keibuan. Aku takkan sanggup berdiam diri
di rumah, mengerjakan seluruh pekerjaan ibu rumah tangga dari memasak, mencuci,
dan mengasuh anak sendirian, lalu sore-sore berdandan cantik sambil duduk manis menonton televisi menunggumu pulang. Tidak. Aku takkan
sanggup mengubah diriku menjadi perempuan seperti yang kau idamkan itu. Ibuku tidak mengajarkan hal
seperti itu.
Sejak aku kecil, ibu mendidikku
penuh disiplin. Semenjak bapak meninggal dunia, saat aku masih duduk di kelas V
SD, ibu bekerja keras bahkan kadang hingga larut malam mipil jagung atau menguliti kacang tanah bahan benih para tuan
tanah di desaku hanya untuk membiayai sekolahku. Biaya sekolahku di SD Inpres,
SMP Negeri, lalu SMA swasta mungkin tak seberapa bagimu. Tapi bagi ibuku,
seorang janda tanpa keahlian apa-apa, ditinggal mati suami tanpa warisan kekayaan
berlimpah, tentu suatu hal yang harus diraihnya susah payah.
Sejak itu pula ibu selalu
menanamkan padaku untuk menjadi perempuan mandiri. Aku harus sekolah sampai
tinggi. Hingga pernah satu kali, ketika aku masih duduk di kelas 3 SMP, aku
dipulangkan karena menunggak SPP tiga bulan. Aku menangis. Malu dan sedih. Saat
itu ibu seperti biasa sedang mipil jagung. Melihat jemari tangannya yang
kasar-kasar penuh kapal, hatiku tambah menangis.
“Bu, aku berhenti saja. Biarkan
aku bekerja. Bukankah Pak Haji Ahmad sedang mencari pembantu,” kataku memohon
pada ibu.
Kau tahu apa reaksi ibu. Ia
menghentikan pekerjaannya. Dan memelukku lembut.
“Nduk… hanya orang yang telaten
yang akan panen. Bila kau tak sabar, segala harapan ibu akan bubar! Kau mau hidup
seperti ibu?”
Aku diam, mencoba mencerna
nasihat ibu yang tak terlalu kupahami benar. Ketika dewasa barulah
aku mengerti.
“Kau harus jadi perempuan hebat!
Tirulah Bu Sriwati, dia itu hebat. Ketika suaminya meninggal, ia masih mampu
membiayai anak-anaknya hingga jadi dokter dan insinyur. Ibu ingin kau seperti
Bu Sriwati, tidak seperti ibu. “
“Tapi, Bu, bila besok aku belum
melunasi SPP, aku takkan diizinkan mengikuti ulangan,” kataku tersedu.
“Ya sudah. Sekarang juga ibu
pinjam ke Pak Haji Soleh. Berdoalah agar usaha ibu dimudahkan,” katanya
langsung meninggalkanku.
Ia bergegas ke rumah Haji Soleh.
Meminta upah lebih dulu untuk pekerjaan yang belum dia kerjakan.
Kau tahu artinya itu? Artinya
selama beberapa minggu ke depan ibu hanya akan mendapat separoh upah untuk
sekian tumpuk pekerjaan yang harus diselesaikannya hingga malam benar-benar
hampir tergerus angin dini hari. Dan aku harus kembali menahan air mata saat
ibu menguliti kacang tanah sepanjang malam hingga terkantuk-kantuk.
Dengan cara itu, bertahun-tahun
ibu sanggup bertahan hingga aku lulus SMA dan menyelesaikan pendidikan singkat
di sebuah lembaga pelatihan guru TK. Setelah itu kumulai pengabdianku pada anak
didikkku. Setiap hari bernyanyi, bermain, belajar, dan berdoa bersama
murid-murid mungilku di sebuah TK kecil dekat rumahku. Aku bahagia. Tak hanya
karena dapat kupenuhi harapan ibuku, tetapi bersama murid-muridku membuatku merasa punya arti.
Arti hidupku bertambah lagi
ketika kau datang dalam hidupku. Waktu itu, kau menjemput salah satu keponakanmu,
yang kebetulan adalah muridku. Tazkia, namanya. Aku ingat dia itu salah satu
muridku yang paling cerdas. Dia pandai dan kreatif. Tiga bulan mengenalku, kau nekad menyatakan
cinta padaku, bahkan langsung memintaku pada ibuku. Begitu saja akhirnya kita
bertunangan.
Lalu
bagaimana mungkin,
kau memintaku untuk berhenti jadi guru lalu menjadi seorang ibu rumah tangga
seperti ibumu? Itu tak mungkin. Aku takkan mungkin
sanggup membunuh harapan ibuku, meski hingga kini predikat pegawai negeri itu
masih juga belum kusandang. Tak ada seragam PGRI, tak ada lencana Korpri di
dadaku. Tapi dalam hatiku, telah kupahat plakat kebanggaan: aku seorang guru.
Meski hanya guru TK di sebuah desa kecil yang jauh dari kota.
“Jadi, apa keputusanmu?”tanyamu
masih juga mengharap aku berubah pilihan.
"Aku pilih murid-muridku di
sini, "putusku.
Kau sangat marah. Tanganmu
terkepal keras dan kemudian kau pukulkan di meja tempat sejak tadi secangkir
kopi panas akhirnya mendingin karena menunggu terlalu lama untuk kau teguk.
"Jadi....! Selama ini
sia-sia saja aku menunggumu dengan setia? Ternyata aku mencintai orang yang salah."
"Maafkan aku,"bisikku
lirih.
Kau tak bisa menerima alasanku.
Kau pulang tanpa berpamit dan tanpa pesan. Berbulan, hingga bertahun kau tak
lagi pernah datang.
***
Aku kalah, Pram. Kalah.
Lima tahun sudah kau pergi dan
aku tetap bergelut di sini di antara murid-muridku yang matanya memancarkan
kesucian hati. Hingga suatu hari aku harus terusir dari sekolah ini. Pelan tapi
pasti TK tempatku mengabdi mati. Murid yang daftar tak sebanyak dulu lagi. Di
dekat sekolahku dibangun sebuah sekolah TK hingga SMA dengan fasilitas
pendidikan lengkap dengan kurikulum
internasional. TK-ku tergusur.
Aku hancur, Pram. Kalah.
Ternyata menjadi guru bukan pilihan yang tepat. Senyum sinismu kembali
terbayang. Kini aku benar-benar sendiri. Dua tahun setelah kepergianmu, ibu
meninggal. Ibu meninggal dalam kekecewaan yang dalam sebab aku tak kunjung
memberinya seorang menantu. Ibu memang tak pernah mengatakannya padaku. Ibu tahu
aku tak pernah sanggup mencari lelaki lain untuk mengganti posisimu di hatiku.
Pada saat aku hancur, seorang
pengurus Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (IGTKI) di kotaku menawari pekerjaan
untukku. Pekerjaan apa lagi selain jadi guru. Syaratnya aku harus mau jadi ibu
asrama bagi anak-anak TK hingga SMP di sana. Terpaksa kutinggalkan desaku, TK lamaku, juga rumah peninggalan
ibu.
Lima tahun aku mengajar di
sekolah yang baru. Kesibukan menjadi guru dan ibu asrama mengubur kepedihanku.
Namamu pun hilang dari kenanganku.
Hingga suatu hari pimpinan
yayasan tempatku mengabdi memanggilku.
“Bu Seruni, ada seorang teman
saya di Lampung membutuhkan pengelola lembaga pendidikan dari TK sampai SD. Ia
meminta saya mencarikan orang yang tepat. Menurut saya, Ibulah orang yang tepat
itu,” katanya sambil memberikan padaku brosur sebuah yayasan boarding school islamy.
“Ibu memecat saya?”tanyaku
gemetar.
Terlalu tiba-tiba beliau
menyampaikan hal itu. Apa aku punya kesalahan hingga pimpinan yayasan hendak
membuangku jauh. Jauh ke luar Pulau Jawa.
“Bu Seruni jangan salah paham.
Saya pun akan sangat kehilangan bila ibu pergi. Tapi teman saya benar-benar
membutuhkan orang yang hebat dan sabar seperti Ibu. Di sana Ibu bisa mewujudkan
impian Ibu mengembangkan sekolah TK-SD modern yang Islami. Kebutuhan ibu
dijamin perusahaan penyandang dananya. “
Aku meminta waktu seminggu untuk
memikirkannya. Meninggalkan tempatku bekerja setelah sekian lama tentu tak
mudah. Sekolah dan asrama di sini telah menjadi rumahku, anak-anak, guru, dan
para karyawan di sini telah menjadi keluargaku, bagian dari hidupku.
***
Aku menunggu pimpinan yayasa di dalam ruang
tamu kantor yayasan. Tak banyak pajangan di ruangan ini seperti umumnya kantor
yayasan atau kantor sekolah di Jawa yang dipenuhi dengan piala dan piagam
kejuaraan. Mungkin karena sekolah ini masih baru, pikirku.
“Ibu
Seruni?”sebuah suara menyapaku.
Aku
terbelalak. Tangan yang tadinya kuulur hendak menjabat tangan ketua yayasan
tergantung kaku.
“Kau?”
suaraku tercekat.
“Ya.
Ini aku Run. Duduklah!”
Siapa
yang menyangka jauh dari tempat tinggalku kini di hadapanku setelah lebih dari
sepuluh tahun, kau berdiri penuh wibawa, menatapku. Pram, benarkah ini kamu?
“Duduklah,”
katamu mempersilakan aku duduk.
Kita
duduk berhadapan.Kerinduanku padamu yang telah lama mati mendadak seperti kayu
kering terpantik api. Salahkah aku?
“Bertahun-tahun
aku mencarimu, Uni. Di sekolahmu yang lama, di rumahmu, juga pada teman-temanmu
yang kukenal dulu. Tak ada satu pun yang tahu atau mungkin sengaja tak memberitahukan
padaku keberadaanmu. Aku hampir putus asa. Semangatmu untuk terus mengabdi
sebagai seorang guru selalu membayang-bayangi langkahku,” katamu mulai
bercerita.
“Kau
mencariku? Kapan?” tanyaku setengah tak percaya.
“Ya.
Sejak berpisah denganmu aku menghabiskan hari-hariku dengan bekerja tanpa
mengenal waktu. Aku berusaha melupakanmu. Tapi aku tak bisa. Kesungguhan
semangatmu menjadi guru terus mengejarku. Hingga tiga tahun lalu, kusisihkan
sebagian keuntungan perusahaan untuk membangun sekolah ini. Saat itu, aku
kembali mencarimu. Yang ada dalam pikiranku, kaulah orang yang paling tepat
untuk memimpin sekolah ini.”
Hatiku
mendadak berbunga-bunga. Ternyata kau masih suka mengingatku. Bahkan, untukku
kau telah membangunkan sekolah semegah ini.
“Hingga
akhirnya, akhir bulan lalu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Bu Furaida,
pimpinan yayasanmu. Aku minta tolong untuk mencarikan orang yang tepat untuk
sekolah ini. Tak kusangka orang yang direkomendasikan itu adalah engkau. Kau
tahu, Uni… Aku bahagia. Aku bahagia bisa menemukanmu,” katamu sambil menatapku
dengan mata berbinar-binar.
“Terima
kasih, Pram… maksudku Pak Pram atas kepercayaan ini. Semoga saya bisa
menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya,” kataku sambil menata diri
bagaimana harus bersikap santun padamu yang sekarang jadi pimpinanku.
Bagaimanapun
kini aku adalah anak buahmu dan kau atasanku.
“Assalamu
alaikum, “ sebuah suara perempuan tiba-tiba membuyarkan keseriusan kita
berbincang.
Kau
langsung berdiri dan mengulurkan tanganmu pada perempuan cantik, berusia
sekitar tiga puluhan tahun, berusana muslimah, dengan model jilbab yang anggun.
Perempuan itu mencium tanganmu. Di belakangnya seorang gadis cilik yang cantik
berusia sekitar 4 tahun mengiringinya.
“Papa…,”
teriak gadis cilik itu dengan suara cadelnya yang manja.
Kau
memeluk dan mencium pipinya penuh kasih.
“Ma…
kenalkan. Ini Bu Seruni yang papa ceritakan itu,” katamu pada perempuan itu.
“Bu Seruni, kenalkan ini Nailil, istri saya, bunda dari bidadari kecilku ini,”
katamu lagi sambil memperkenalkan istrimu.
Kupaksa
bibirku tersenyum.
Pram…
Kau tahu, kali ini aku kalah lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar