Sabtu, 16 November 2013

PANGGILAN JIWA

PANGGILAN JIWA
Bottom of Form

Tidah hanya sekali dua kali ini kau memaksaku untuk menetapkan pilihan di antara dua hal yang sama-sama tidak aku sukai. Pertama, berhenti mengajar, menikah denganmu, kemudian tinggal di Jakarta. Jelas aku tak suka. Kau tahu benar, aku sangat mencintai profesiku sebagai guru, meski hingga kini nasib baik tak segera berpihak padaku. Empat tahun mengabdi sebagai guru honorer tanpa kepastian kapan diangkat jadi PNS. Tiga kali mengikuti tes seleksi masuk CPNS, aku tetap belum juga lolos. Dan tiap kali aku gagal, tiap kali pula kau akan menertawakan keteguhanku menjalani profesiku.
“Apa yang kau harapkan dari menjadi seorang guru?”tanyamu dengan nada sinis.
Aku selalu memilih diam. Percuma. Selamanya kau tak akan mengerti. Bila pun suatu hari aku akan menjelaskan lagi padamu, kurasa tak perlu panjang lebar. Tak perlu ada perdebatan seperti dulu-dulu lagi. Jawabanku akan tetap sama. Aku memilih jadi guru karena aku menyukai mengajar dan mencintai murid-muridku. Kau tak akan pernah memahami bahwa murid-muridku mampu membuatku bertahan. Aku sangat bahagia tiap kali menatap binar cerah di mata murid-muridku. Meski gaji yang kuterima setiap bulan hanya dua ratus lima puluh ribu rupiah. Jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Untungnya, masih ada sayur mayur  di kebun belakang rumah peninggalan almarhum bapak dan beberapa puluh ekor bebek yang dipelihara ibu dengan telaten untuk menambal kekurangan-kekurangan itu.
Kedua, kau memintaku menerima kenyataan pahit. Kita putuskan pertunangan kita yang sudah sampai tahun ketiga ini. Sebab kau bilang sudah sangat ingin menikah dan segera mendapat momongan dariku. Apa kau pikir kalau aku menjadi seorang istri, hal pertama yang akan kulakukan adalah segera hamil dan memberimu seorang anak? Kau salah. Aku belum siap. Kalaupun kita jadi menikah, setidaknya baru pada tahun ketiga aku siap mengandung anakmu.
Jangan salah, bukan berarti aku tak mencintaimu. Sampai kini, setidaknya, semenjak kita kenal, kemudian bertunangan, sampai lima menit yang lalu ketika kau memberiku dua pilihan pahit, aku benar-benar mencintaimu. Namun aku sadar pertemuan-pertemuan singkat kita, komunikasi singkat kita melalu handphone, belum cukup memberikan gambaran yang jelas tentang siapa kau sesungguhnya. Kurasa aku butuh waktu untuk benar-benar "mengenalmu."
Kau juga harus mengenalku lebih jauh lagi. Aku bukan perempuan produk pendidikan lama yang sama dengan ibumu, tipikal perempuan Jawa yang lembut dan keibuan. Aku takkan sanggup berdiam diri di rumah, mengerjakan seluruh pekerjaan ibu rumah tangga dari memasak, mencuci, dan mengasuh anak sendirian, lalu sore-sore berdandan cantik sambil  duduk manis menonton televisi menunggumu pulang. Tidak. Aku takkan sanggup mengubah diriku menjadi perempuan seperti yang kau idamkan itu. Ibuku tidak mengajarkan hal seperti itu.
Sejak aku kecil, ibu mendidikku penuh disiplin. Semenjak bapak meninggal dunia, saat aku masih duduk di kelas V SD, ibu bekerja keras bahkan kadang hingga larut malam mipil jagung atau menguliti kacang tanah bahan benih para tuan tanah di desaku hanya untuk membiayai sekolahku. Biaya sekolahku di SD Inpres, SMP Negeri, lalu SMA swasta mungkin tak seberapa bagimu. Tapi bagi ibuku, seorang janda tanpa keahlian apa-apa, ditinggal mati suami tanpa warisan kekayaan berlimpah, tentu suatu hal yang harus diraihnya susah payah.
Sejak itu pula ibu selalu menanamkan padaku untuk menjadi perempuan mandiri. Aku harus sekolah sampai tinggi. Hingga pernah satu kali, ketika aku masih duduk di kelas 3 SMP, aku dipulangkan karena menunggak SPP tiga bulan. Aku menangis. Malu dan sedih. Saat itu ibu seperti biasa sedang mipil jagung. Melihat jemari tangannya yang kasar-kasar penuh kapal, hatiku tambah menangis.
“Bu, aku berhenti saja. Biarkan aku bekerja. Bukankah Pak Haji Ahmad sedang mencari pembantu,” kataku memohon pada ibu.
Kau tahu apa reaksi ibu. Ia menghentikan pekerjaannya. Dan memelukku lembut.
“Nduk… hanya orang yang telaten yang akan panen. Bila kau tak sabar, segala harapan ibu akan bubar! Kau mau hidup seperti ibu?”
Aku diam, mencoba mencerna nasihat ibu yang tak terlalu kupahami benar. Ketika dewasa barulah aku mengerti.
“Kau harus jadi perempuan hebat! Tirulah Bu Sriwati, dia itu hebat. Ketika suaminya meninggal, ia masih mampu membiayai anak-anaknya hingga jadi dokter dan insinyur. Ibu ingin kau seperti Bu Sriwati, tidak seperti ibu. “
“Tapi, Bu, bila besok aku belum melunasi SPP, aku takkan diizinkan mengikuti ulangan,” kataku tersedu.
“Ya sudah. Sekarang juga ibu pinjam ke Pak Haji Soleh. Berdoalah agar usaha ibu dimudahkan,” katanya langsung meninggalkanku.
Ia bergegas ke rumah Haji Soleh. Meminta upah lebih dulu untuk pekerjaan yang belum dia kerjakan.
Kau tahu artinya itu? Artinya selama beberapa minggu ke depan ibu hanya akan mendapat separoh upah untuk sekian tumpuk pekerjaan yang harus diselesaikannya hingga malam benar-benar hampir tergerus angin dini hari. Dan aku harus kembali menahan air mata saat ibu menguliti kacang tanah sepanjang malam hingga terkantuk-kantuk.
Dengan cara itu, bertahun-tahun ibu sanggup bertahan hingga aku lulus SMA dan menyelesaikan pendidikan singkat di sebuah lembaga pelatihan guru TK. Setelah itu kumulai pengabdianku pada anak didikkku. Setiap hari bernyanyi, bermain, belajar, dan berdoa bersama murid-murid mungilku di sebuah TK kecil dekat rumahku. Aku bahagia. Tak hanya karena dapat kupenuhi harapan ibuku, tetapi bersama murid-muridku  membuatku merasa punya arti.
Arti hidupku bertambah lagi ketika kau datang dalam hidupku. Waktu itu, kau menjemput salah satu keponakanmu, yang kebetulan adalah muridku. Tazkia, namanya. Aku ingat dia itu salah satu muridku yang paling cerdas. Dia pandai dan kreatif.  Tiga bulan mengenalku, kau nekad menyatakan cinta padaku, bahkan langsung memintaku pada ibuku. Begitu saja akhirnya kita bertunangan.
Lalu bagaimana mungkin, kau memintaku untuk berhenti jadi guru lalu menjadi seorang ibu rumah tangga seperti ibumu? Itu tak mungkin.  Aku takkan mungkin sanggup membunuh harapan ibuku, meski hingga kini predikat pegawai negeri itu masih juga belum kusandang. Tak ada seragam PGRI, tak ada lencana Korpri di dadaku. Tapi dalam hatiku, telah kupahat plakat kebanggaan: aku seorang guru. Meski hanya guru TK di sebuah desa kecil yang jauh dari kota.
“Jadi, apa keputusanmu?”tanyamu masih juga mengharap aku berubah pilihan.
"Aku pilih murid-muridku di sini, "putusku.
Kau sangat marah. Tanganmu terkepal keras dan kemudian kau pukulkan di meja tempat sejak tadi secangkir kopi panas akhirnya mendingin karena menunggu terlalu lama untuk kau teguk.
"Jadi....! Selama ini sia-sia saja aku menunggumu dengan setia? Ternyata aku mencintai orang yang salah."  
"Maafkan aku,"bisikku lirih.
Kau tak bisa menerima alasanku. Kau pulang tanpa berpamit dan tanpa pesan. Berbulan, hingga bertahun kau tak lagi pernah datang.
***
Aku kalah, Pram. Kalah.
Lima tahun sudah kau pergi dan aku tetap bergelut di sini di antara murid-muridku yang matanya memancarkan kesucian hati. Hingga suatu hari aku harus terusir dari sekolah ini. Pelan tapi pasti TK tempatku mengabdi mati. Murid yang daftar tak sebanyak dulu lagi. Di dekat sekolahku dibangun sebuah sekolah TK hingga SMA dengan fasilitas pendidikan lengkap  dengan kurikulum internasional. TK-ku tergusur.
Aku hancur, Pram. Kalah. Ternyata menjadi guru bukan pilihan yang tepat. Senyum sinismu kembali terbayang. Kini aku benar-benar sendiri. Dua tahun setelah kepergianmu, ibu meninggal. Ibu meninggal dalam kekecewaan yang dalam sebab aku tak kunjung memberinya seorang menantu. Ibu memang tak pernah mengatakannya padaku. Ibu tahu aku tak pernah sanggup mencari lelaki lain untuk mengganti posisimu di hatiku.
Pada saat aku hancur, seorang pengurus Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (IGTKI) di kotaku menawari pekerjaan untukku. Pekerjaan apa lagi selain jadi guru. Syaratnya aku harus mau jadi ibu asrama bagi anak-anak TK hingga SMP di sana. Terpaksa kutinggalkan desaku, TK lamaku, juga rumah peninggalan ibu.
Lima tahun aku mengajar di sekolah yang baru. Kesibukan menjadi guru dan ibu asrama mengubur kepedihanku. Namamu pun hilang dari kenanganku.
Hingga suatu hari pimpinan yayasan tempatku mengabdi memanggilku.
“Bu Seruni, ada seorang teman saya di Lampung membutuhkan pengelola lembaga pendidikan dari TK sampai SD. Ia meminta saya mencarikan orang yang tepat. Menurut saya, Ibulah orang yang tepat itu,” katanya sambil memberikan padaku brosur sebuah yayasan boarding school islamy.
“Ibu memecat saya?”tanyaku gemetar.
Terlalu tiba-tiba beliau menyampaikan hal itu. Apa aku punya kesalahan hingga pimpinan yayasan hendak membuangku jauh. Jauh ke luar Pulau Jawa.
“Bu Seruni jangan salah paham. Saya pun akan sangat kehilangan bila ibu pergi. Tapi teman saya benar-benar membutuhkan orang yang hebat dan sabar seperti Ibu. Di sana Ibu bisa mewujudkan impian Ibu mengembangkan sekolah TK-SD modern yang Islami. Kebutuhan ibu dijamin perusahaan penyandang dananya. “
Aku meminta waktu seminggu untuk memikirkannya. Meninggalkan tempatku bekerja setelah sekian lama tentu tak mudah. Sekolah dan asrama di sini telah menjadi rumahku, anak-anak, guru, dan para karyawan di sini telah menjadi keluargaku, bagian dari hidupku.
***
Aku menunggu pimpinan yayasa di dalam ruang tamu kantor yayasan. Tak banyak pajangan di ruangan ini seperti umumnya kantor yayasan atau kantor sekolah di Jawa yang dipenuhi dengan piala dan piagam kejuaraan. Mungkin karena sekolah ini masih baru, pikirku.
“Ibu Seruni?”sebuah suara menyapaku.
Aku terbelalak. Tangan yang tadinya kuulur hendak menjabat tangan ketua yayasan tergantung kaku.
“Kau?” suaraku tercekat.
“Ya. Ini aku Run. Duduklah!”
Siapa yang menyangka jauh dari tempat tinggalku kini di hadapanku setelah lebih dari sepuluh tahun, kau berdiri penuh wibawa, menatapku. Pram, benarkah ini kamu?
“Duduklah,” katamu mempersilakan aku duduk.
Kita duduk berhadapan.Kerinduanku padamu yang telah lama mati mendadak seperti kayu kering terpantik api. Salahkah aku?
“Bertahun-tahun aku mencarimu, Uni. Di sekolahmu yang lama, di rumahmu, juga pada teman-temanmu yang kukenal dulu. Tak ada satu pun yang tahu atau mungkin sengaja tak memberitahukan padaku keberadaanmu. Aku hampir putus asa. Semangatmu untuk terus mengabdi sebagai seorang guru selalu membayang-bayangi langkahku,” katamu mulai bercerita.
“Kau mencariku? Kapan?” tanyaku setengah tak percaya.
“Ya. Sejak berpisah denganmu aku menghabiskan hari-hariku dengan bekerja tanpa mengenal waktu. Aku berusaha melupakanmu. Tapi aku tak bisa. Kesungguhan semangatmu menjadi guru terus mengejarku. Hingga tiga tahun lalu, kusisihkan sebagian keuntungan perusahaan untuk membangun sekolah ini. Saat itu, aku kembali mencarimu. Yang ada dalam pikiranku, kaulah orang yang paling tepat untuk memimpin sekolah ini.”
Hatiku mendadak berbunga-bunga. Ternyata kau masih suka mengingatku. Bahkan, untukku kau telah membangunkan sekolah semegah ini.
“Hingga akhirnya, akhir bulan lalu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Bu Furaida, pimpinan yayasanmu. Aku minta tolong untuk mencarikan orang yang tepat untuk sekolah ini. Tak kusangka orang yang direkomendasikan itu adalah engkau. Kau tahu, Uni… Aku bahagia. Aku bahagia bisa menemukanmu,” katamu sambil menatapku dengan mata berbinar-binar.
“Terima kasih, Pram… maksudku Pak Pram atas kepercayaan ini. Semoga saya bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya,” kataku sambil menata diri bagaimana harus bersikap santun padamu yang sekarang jadi pimpinanku.
Bagaimanapun kini aku adalah anak buahmu dan kau atasanku.
“Assalamu alaikum, “ sebuah suara perempuan tiba-tiba membuyarkan keseriusan kita berbincang.
Kau langsung berdiri dan mengulurkan tanganmu pada perempuan cantik, berusia sekitar tiga puluhan tahun, berusana muslimah, dengan model jilbab yang anggun. Perempuan itu mencium tanganmu. Di belakangnya seorang gadis cilik yang cantik berusia sekitar 4 tahun mengiringinya.
“Papa…,” teriak gadis cilik itu dengan suara cadelnya yang manja.
Kau memeluk dan mencium pipinya penuh kasih.
“Ma… kenalkan. Ini Bu Seruni yang papa ceritakan itu,” katamu pada perempuan itu. “Bu Seruni, kenalkan ini Nailil, istri saya, bunda dari bidadari kecilku ini,” katamu lagi sambil memperkenalkan istrimu.
Kupaksa bibirku tersenyum.
Pram… Kau tahu, kali ini aku kalah lagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar