SOPIR
SEDAN SIALAN
Gradak! Gradak! Sedan merah itu
menyerempet bagian belakang motorku.
Motorku oleng. Aku terjatuh. Untung tak sampai terlindas kendaraan lain.
Pertigaan Jalan Veteran sangat macet siang itu.
Pengemudi mobil itu hanya membuka kaca
sebelah kirinya dan menatapku sekilas. Tak ada satu kata pun ia ucapkan.
Setidaknya untuk menyampaikan permohonan maaf.
Aku segera bangkit dan menegakkan
motorku kembali. Beberapa pengendara motor berhenti sejenak dan menanyaiku
dengan penuh simpati.
“Gak papa tah Mas?”
Aku tersenyum dan menggeleng sambil mengacungkan jempol.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin sekali mengumpat sopir sedan merah itu.
Tapi bagaimana mungkin, di antara para pengendara motor yang melihat nasib
tragisku itu ada seorang cewek yang dulu pernah mengejar-ngejar aku. Sangat
tidak mungkin bagiku menunjukan wajah sedih di hadapannya. Dia pasti masih
ingat kata-kata penolakanku yang kusampaikan pda teman-temanku.
“Aku? Ditaksir Jessica? Mending disosor
sama bemper mobil calon mertua.”
Jangan-jangan aku kualat. Bukankah doa
gadis sejelek Jessica itu manjur? Maklum dia sering sekali dijadikan bahan
tertawaan karena tubuhnya yang tambun dan kulit hitamnya. Anehnya, dia pede
luar biasa.
“Kamu gak papa kan, Zam?” suara Jessica
di antara raungan motor matiknya yang sudah dimodifikasi.
“Gak papa,” kataku sambil berpura-pura
baik-baik saja. Padahal, sumpah jempol kaki kananku perih banget.
Melihatku berdiri tegar dan sama sekali
tak terluka, Jessica kemudian meninggalkanku. Sama seperti sopir sedan merah
tadi, semua orang tak peduli. Mereka melanjutkan perjalanan.
Sambil menahan rasa sakit di kaki,
kuhidupkan motorku. Kulihat sekitar enam puluh meter dari posisiku terjatuh,
sedan merah yang menabrakku terhenti di perempatan lampu merah. Hm, jarak yang
masih mungkin bagiku untuk mengejar sedan itu. Memang sih motorku tak rusak dan
tak ada luka-luka di tubuhku. Tapi, menabrakku dari belakang kemudian kabur
begitu saja tanpa minta maaf, apalagi memberi pertolongan padaku yang terjatuh,
Oh… sungguh perbuatan yang tak dapat
kumaafkan.
Bener-bener sopir sialan, gerutuku dalam
hati.
Aku nekad menerobos di sela-sela mobil
dan motor yang bergerak pelan.
Jalanan di depan Matos hingga perempatan
kampus selalu macet tiap hari. Apalagi kalau hari Minggu atau hari libur. Jarak
motorku dengan sedan merah itu tinggal 15 meter ketika lampu hijau menyala.
Semoga aku masih bisa mengejarku. Aku benar-benar tak terima dengan
perlakuannya. Darah Arema-ku benar-benar tak bisa menerima penghinaan ini.
Huft…! Lampu sudah hijau. Jarakku dengan
sedan itu tinggal beberapa meter. Tapi puluhan motor dan beberapa buah mobil
benar-benar memenuhi jalan. Aku tak mungkin bisa menerobos lagi.
Sial. Benar-benar sial. Saat aku sampai
di depan garis pembatas, lampu merah menyala. Artinya, aku harus berhenti dan
tak bisa mengejar sedan merah itu. Benar-benar apes aku hari ini. Aku hanya
bisa menatap bagian belakang sedan merah itu dengan hati penuh gerutuan.
***
Sesampai di halaman rumah Inez, hal yang
pertama kulakukan setelah parkir adalah mengecek kondisi motorku. Hua! Gila,
Footstep sebelah kanan patah. Tak tersisa. Artinya, aku harus menggantinya
dengan yang baru.Apa kata papa dan mamaku nanti? Pasti aku akan diomelin
ceroboh lagi. Terbayang wajah kecewa mama.
Kuperkirakan harga footstep baru untuk
jenis motorku bisa mencapai tiga ratus ribu rupiah. Kalau tak bilang papa dan mana, lalu dapat
uang dari mana? Tapi beneran aku tak berani minta papa dan mama. Motor ini saja
baru dibelikan tiga minggu lalu. Tepat di ulang tahun ke 17 ku.
“Masuk Zam. Sudah jam setengah empat.
Acaranya jam setengah lima, kan?” tanya Inez yang tiba-tiba sudah ada di
sampingku.
“Iya,” kataku singkat.
Senyum manis Inez barusan mengurangi
rasa dongkolku.
“Kenapa sih? Kok kayak ada yang kurang
sreg gitu?”tanya Inez yang tiba-tiba menyadari perubahan sikapku.
“Lagi apes. Barusan aku diserempet
orang.”
“Ha? Diserempet? Kamu gak papa
kan?”tanyanya bernada prihatin.
“Cuma betisku aja rasanya kayak memar.
Tapi lihat,” kataku sambil menyuruhnya melihat footstepku yang hilang sebelah.
“Waaah mahal itu. Sekitar tiga lima
puluh lah,” komentar Inez.
Aku tersenyum kecut.
“Kamu gak minta ganti rugi?”
“Tadinya aku gak tahu kalau footstepku
patah. Kupikir cuma sedikit tergores,” kataku dengan nada jengkel. “Lagi pula
saat aku mencoba mengejarnya tadi, keburu lampu merah.”
Beberapa saat kami terdiam.
Aku teringat janjiku pada
mama untuk selalu hati-hati mengendarai kotorku. Tak hanya harus berjanji dan
menepati janji untuk mengendarainya selalu hati-hati, aku juga harus punya
prestasi bagus. Setelah berjuang selama dua semester belajar rajin, mama dan
papa membelikanku motor impianku itu tepat pada saat ultah ketujuh belasku.
Peristiwa paling membahagiakan itu baru sekitar tiga minggu yang lalu. Kebayang
kan betapa sedihnya bila motor baru yang kau dapatkan dengan susah payah dan
penantian panjang itu harus rusak oleh ulah orang lain?
Belum lagi bayangan wajah mama yang
bakal menginterograsiku dengan berbagai pertanyaan yang sejak tadi memenuhi
otakku. “Tadi jalan berapa?” “ Kamu mbalap, kan?” “ Ada yang luka? “
Duh, mama. Aku tahu mama sayang padaku.
Tapi gak segitunya juga. Aku kan sudah beranjak dewasa.
“Zam… Azam.. Kok jadi melamun
sich?”tanya Inez mengagetkanku.
Aku hanya menggeleng. Malu juga ketahuan
gak konsen di hadapan gebetan.
“Ya sudahlah. Mau gimana lagi.Syukurin
aja karena hanya footstep yang patah, bukan kakimu.
Tak sengaja kulihat seorang laki-laki
berjalan di teras samping rumah Inez.
“Eh, siapa itu?”tanyaku penasaran.
“Mana?”tanya Inez sambil melihat ke
arah tanganku menelunjuk.
“Oh… itu Om Andre, omku. Dia baru saja
datang kemarin. Baru pulang dari Amerika.”
“Oh…,”kataku lega.
“Kenapa?”
“Nggak papa,”kataku.
Seandainya saja Inez tahu betapa tadi
aku sempat grogi. Takut jangan-jangan lelaki yang kulihat sekilas tadi bapaknya
Inez. Maklum aku kan baru jadian dengan Inez sebulan yang lalu. Dan ini adalah
kunjungan pertamaku ke rumahnya. Itu pun karena ia minta menjemputku dan berangkat
bersama ke pesta ulang tahun Saskia.
Seandainya lelaki tadi papanya Inez…
Wuah…. Gak kebayang!
***
Sebelum menyalakan mesin motorku,
ternyata aku gak sanggup lagi nahan pipis. Aku pamit ke kamar mandi dulu pada
Inez. Daripada nanti mengganggu kekhidmatanku mengikuti pesta ultah. Iya kan?
Saat aku kembali dari kamar mandi,
kulihat Om Andre baru saja menyerahkan sesuatu pada Inez. Paling-paling dapat
uang saku, pikirku. Om Andre melempar senyumnya padaku. Huh, batinku. Kubalas
senyum itu dengan senyum masam. Maunya sih kumaki dia. Tapi demi menjaga harkat
dan martabatku di hadapan kekasih, terpaksa aku bersikap sopan dan baik hati.
“Zam, kamu mimpi apa sih semalam?”tanya
Inez dengan senyum menggoda.
“Napa?”tanyaku sambil menatapku aneh.
“Aneh saja. Om Andre kok bisa baik
banget sih sama kamu. Tadi dia ngeliat footsteepmu yang patah, trus dia nitipin
ini buat kamu,”katanya sambil menyerahkan amplop. “Katanya kamu suruh segera
memperbaiki mootormu agar aku bisa nyaman kau bonceng.”
Kubuka. Isinya lima lembar ratusan ribu.
Hoi, surprise!
“Hehehe, om mu itu S-3
banget!”komentarku singkat.
“Kok kamu tahu kalau dia baru saja
menyelesaikan program doktornya di Amerika?”tanya Inez lebih bingung lagi.
“Aku….,”jawabku tanpa penjelasan apa
pun.
Aku tersenyum. S-3 yang kumaksudkan
bukan program doktor. Tapi “sopir sedan sialan” yang menabrakku tadi di
pertigaan.
“Yuk ah berangkat. Nanti
kesorean,”kataku meminta Inez naik ke boncengan.
Sambil memboncengkan Inez terkasih, aku
tersenyum-senyum membayangkan wajah Om Andre. Biarlah kusimpan rahasiaku dengan
rahasia Om Andre. Aku sudah memaafkannya. Daripada memperpanjang urusan dan aku
kehilangan pacar tersayang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar