Sabtu, 16 November 2013

SOPIR SEDAN MERAH ITU

SOPIR SEDAN SIALAN

Gradak! Gradak! Sedan merah itu menyerempet  bagian belakang motorku. Motorku oleng. Aku terjatuh. Untung tak sampai terlindas kendaraan lain. Pertigaan Jalan Veteran sangat macet siang itu.
Pengemudi mobil itu hanya membuka kaca sebelah kirinya dan menatapku sekilas. Tak ada satu kata pun ia ucapkan. Setidaknya untuk menyampaikan permohonan maaf.
Aku segera bangkit dan menegakkan motorku kembali. Beberapa pengendara motor berhenti sejenak dan menanyaiku dengan penuh simpati.
“Gak papa tah Mas?”
Aku tersenyum  dan menggeleng sambil mengacungkan jempol. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin sekali mengumpat sopir sedan merah itu. Tapi bagaimana mungkin, di antara para pengendara motor yang melihat nasib tragisku itu ada seorang cewek yang dulu pernah mengejar-ngejar aku. Sangat tidak mungkin bagiku menunjukan wajah sedih di hadapannya. Dia pasti masih ingat kata-kata penolakanku yang kusampaikan pda teman-temanku.
“Aku? Ditaksir Jessica? Mending disosor sama bemper mobil calon mertua.”
Jangan-jangan aku kualat. Bukankah doa gadis sejelek Jessica itu manjur? Maklum dia sering sekali dijadikan bahan tertawaan karena tubuhnya yang tambun dan kulit hitamnya. Anehnya, dia pede luar biasa.
“Kamu gak papa kan, Zam?” suara Jessica di antara raungan motor matiknya yang sudah dimodifikasi.
“Gak papa,” kataku sambil berpura-pura baik-baik saja. Padahal, sumpah jempol kaki kananku perih banget.
Melihatku berdiri tegar dan sama sekali tak terluka, Jessica kemudian meninggalkanku. Sama seperti sopir sedan merah tadi, semua orang tak peduli. Mereka melanjutkan perjalanan.
Sambil menahan rasa sakit di kaki, kuhidupkan motorku. Kulihat sekitar enam puluh meter dari posisiku terjatuh, sedan merah yang menabrakku terhenti di perempatan lampu merah. Hm, jarak yang masih mungkin bagiku untuk mengejar sedan itu. Memang sih motorku tak rusak dan tak ada luka-luka di tubuhku. Tapi, menabrakku dari belakang kemudian kabur begitu saja tanpa minta maaf, apalagi memberi pertolongan padaku yang terjatuh,  Oh… sungguh perbuatan yang tak dapat kumaafkan.
Bener-bener sopir sialan, gerutuku dalam hati.
Aku nekad menerobos di sela-sela mobil dan motor yang bergerak pelan.
Jalanan di depan Matos hingga perempatan kampus selalu macet tiap hari. Apalagi kalau hari Minggu atau hari libur. Jarak motorku dengan sedan merah itu tinggal 15 meter ketika lampu hijau menyala. Semoga aku masih bisa mengejarku. Aku benar-benar tak terima dengan perlakuannya. Darah Arema-ku benar-benar tak bisa menerima penghinaan ini.
Huft…! Lampu sudah hijau. Jarakku dengan sedan itu tinggal beberapa meter. Tapi puluhan motor dan beberapa buah mobil benar-benar memenuhi jalan. Aku tak mungkin bisa menerobos lagi.
Sial. Benar-benar sial. Saat aku sampai di depan garis pembatas, lampu merah menyala. Artinya, aku harus berhenti dan tak bisa mengejar sedan merah itu. Benar-benar apes aku hari ini. Aku hanya bisa menatap bagian belakang sedan merah itu dengan hati penuh gerutuan.

***
Sesampai di halaman rumah Inez, hal yang pertama kulakukan setelah parkir adalah mengecek kondisi motorku. Hua! Gila, Footstep sebelah kanan patah. Tak tersisa. Artinya, aku harus menggantinya dengan yang baru.Apa kata papa dan mamaku nanti? Pasti aku akan diomelin ceroboh  lagi. Terbayang wajah kecewa mama.
Kuperkirakan harga footstep baru untuk jenis motorku bisa mencapai tiga ratus ribu rupiah.  Kalau tak bilang papa dan mana, lalu dapat uang dari mana? Tapi beneran aku tak berani minta papa dan mama. Motor ini saja baru dibelikan tiga minggu lalu. Tepat di ulang tahun ke 17 ku.
“Masuk Zam. Sudah jam setengah empat. Acaranya jam setengah lima, kan?” tanya Inez yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.
“Iya,” kataku singkat.
Senyum manis Inez barusan mengurangi rasa dongkolku.
“Kenapa sih? Kok kayak ada yang kurang sreg gitu?”tanya Inez yang tiba-tiba menyadari perubahan sikapku.
“Lagi apes. Barusan aku diserempet orang.”
“Ha? Diserempet? Kamu gak papa kan?”tanyanya bernada prihatin.
“Cuma betisku aja rasanya kayak memar. Tapi lihat,” kataku sambil menyuruhnya melihat footstepku yang hilang sebelah.
“Waaah mahal itu. Sekitar tiga lima puluh lah,” komentar Inez.
Aku tersenyum kecut.
“Kamu gak minta ganti rugi?”
“Tadinya aku gak tahu kalau footstepku patah. Kupikir cuma sedikit tergores,” kataku dengan nada jengkel. “Lagi pula saat aku mencoba mengejarnya tadi, keburu lampu merah.”
Beberapa saat kami terdiam.
Aku teringat janjiku   pada mama untuk selalu hati-hati mengendarai kotorku. Tak hanya harus berjanji dan menepati janji untuk mengendarainya selalu hati-hati, aku juga harus punya prestasi bagus. Setelah berjuang selama dua semester belajar rajin, mama dan papa membelikanku motor impianku itu tepat pada saat ultah ketujuh belasku. Peristiwa paling membahagiakan itu baru sekitar tiga minggu yang lalu. Kebayang kan betapa sedihnya bila motor baru yang kau dapatkan dengan susah payah dan penantian panjang itu harus rusak oleh ulah orang lain?
Belum lagi bayangan wajah mama yang bakal menginterograsiku dengan berbagai pertanyaan yang sejak tadi memenuhi otakku. “Tadi jalan berapa?” “ Kamu mbalap, kan?” “ Ada yang luka? “
Duh, mama. Aku tahu mama sayang padaku. Tapi gak segitunya juga. Aku kan sudah beranjak dewasa.
“Zam… Azam.. Kok jadi melamun sich?”tanya Inez mengagetkanku.
Aku hanya menggeleng. Malu juga ketahuan gak konsen di hadapan gebetan.
“Ya sudahlah. Mau gimana lagi.Syukurin aja karena hanya footstep yang patah, bukan kakimu.
Tak sengaja kulihat seorang laki-laki berjalan di teras samping rumah Inez.
“Eh, siapa itu?”tanyaku penasaran.
“Mana?”tanya Inez sambil melihat ke arah  tanganku menelunjuk.
“Oh… itu Om Andre, omku. Dia baru saja datang kemarin. Baru pulang dari Amerika.”
“Oh…,”kataku lega.
“Kenapa?”
“Nggak papa,”kataku.
Seandainya saja Inez tahu betapa tadi aku sempat grogi. Takut jangan-jangan lelaki yang kulihat sekilas tadi bapaknya Inez. Maklum aku kan baru jadian dengan Inez sebulan yang lalu. Dan ini adalah kunjungan pertamaku ke rumahnya. Itu pun karena ia minta menjemputku dan berangkat bersama ke pesta ulang tahun Saskia.
Seandainya lelaki tadi papanya Inez… Wuah…. Gak kebayang!
***
Sebelum menyalakan mesin motorku, ternyata aku gak sanggup lagi nahan pipis. Aku pamit ke kamar mandi dulu pada Inez. Daripada nanti mengganggu kekhidmatanku mengikuti pesta ultah. Iya kan?
Saat aku kembali dari kamar mandi, kulihat Om Andre baru saja menyerahkan sesuatu pada Inez. Paling-paling dapat uang saku, pikirku. Om Andre melempar senyumnya padaku. Huh, batinku. Kubalas senyum itu dengan senyum masam. Maunya sih kumaki dia. Tapi demi menjaga harkat dan martabatku di hadapan kekasih, terpaksa aku bersikap sopan dan baik hati.
“Zam, kamu mimpi apa sih semalam?”tanya Inez dengan senyum menggoda.
“Napa?”tanyaku sambil menatapku aneh.
“Aneh saja. Om Andre kok bisa baik banget sih sama kamu. Tadi dia ngeliat footsteepmu yang patah, trus dia nitipin ini buat kamu,”katanya sambil menyerahkan amplop. “Katanya kamu suruh segera memperbaiki mootormu agar aku bisa nyaman kau bonceng.”
Kubuka. Isinya lima lembar ratusan ribu. Hoi, surprise!
“Hehehe, om mu itu S-3 banget!”komentarku singkat.
“Kok kamu tahu kalau dia baru saja menyelesaikan program doktornya di Amerika?”tanya Inez lebih bingung lagi.
“Aku….,”jawabku tanpa penjelasan apa pun.
Aku tersenyum. S-3 yang kumaksudkan bukan program doktor. Tapi “sopir sedan sialan” yang menabrakku tadi di pertigaan.
“Yuk ah berangkat. Nanti kesorean,”kataku meminta Inez naik ke boncengan.

Sambil memboncengkan Inez terkasih, aku tersenyum-senyum membayangkan wajah Om Andre. Biarlah kusimpan rahasiaku dengan rahasia Om Andre. Aku sudah memaafkannya. Daripada memperpanjang urusan dan aku kehilangan pacar tersayang? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar