DARI
BALIK KESUNYIAN
Dari sela-sela lubang dinding bambu
kamarnya, Sri mencoba melihat keadaan di luar. Entah sudah berapa puluh purnama
ia tak merasakan panas matahari dan hangat rembulan. Orang-orang yang ia
cintai, termasuk Mak’e, Simbok, Kang Suraji, dan Yu Tinem tak mengizinkannya
bebas keluar seperti dulu.
Sri mengigil ingat pertama kali saat
Kang Suraji mengikat kedua kaki dan tangannya dengan tali tambang, yang biasa
dipakai menarik sapi. Tak ada kemampuannya untuk menolak perlakuan kasar Kang
Suraji, tak ada kata-kata yang sanggup ia ucapkan saat itu. Hanya air mata dan
sorot mata kepedihan yang mampu ia sampaikan.
Sri melihat Simbok bolak-balik mengusap air matanya dengan ujung kain
panjangnya yang lusuh. Mak’e seperti biasa hanya mampu tergugu. Sri menjerit
kesakitan.Teriakan Sri bukannya menumbuhkan rasa kasihan Kang Suraji. Ia malah
mendapat tamparan dari Suraji dan Tinem.
Kemana hati Si Mbok saat melihat Sri
dihajar Suraji dan Tinem? Kemana rasa sayang Mak’e? Sri hanya mampu menangis.
***
Bayangan wajah Paijan yang tampan masih
suka mendatangi mimpi-mimpi Sri. Paijan
yang kulit punggungnya hitam terpanggang panas matahari. Paijan lelaki bertubuh
gempal yang membuat hati Sri kebat-kebit setiap hari.
Sri suka diam-diam kabur dari rumah, lalu bersembunyi di balik
belukar dekat sawah tempat Paijan
bekerja. Ia tak berani pamit pada keluarganya. Bisa marah besar Kang Suraji
bila tahu Sri keluar dari rumah. Yu Tinem bisa mengata-ngatai dirinya sebagai
sundal, "gatel", atau kata-kata
kasar lainnya yang tak mampu dimaknai sesungguhnya oleh Sri.
Sri sudah remaja. Ia butuh teman, bahkan
sudah mulai merindukan sosok lelaki tampan dalam mimpi-mimpinya. Ia sudah lama
dapat tamu bulanan. Beberapa teman gadisnya sudah punya pacar bahkan telah
menikah dan punya anak. Wajah Sri tidak terlalu cantik, tapi juga tidak terlalu
jelek. Tapi Sri punya mata bening yang indah. Sinar matanya yang selalu hangat
dan bersahabat membuat banyak orang sayang
dan suka padanya.
Sri tak pernah tahu mengapa keluarganya
melarangnya bermain keluar? Bukankah ia
tak pernah membuat onar? Sri bahkan merasa semua orang di desanya sayang
padanya. Buktinya, seringkali mereka memberi Sri singkong, ketela, pisang entah
direbus atau dibakar bila suatu kali Sri lewat dekat rumah mereka. Mereka pun
akan dengan senang meminta Sri untuk singgah lalu bercanda-canda bersama.
***
Diam-diam Sri suka mengintip Paijan saat
bekerja di sawah.Hingga suatu saat tak sengaja
kebiasaannya mengintip dipergoki Paijan. Masih hangat pipi Sri bila
ingat kejadian siang itu. Udara tidak seperti biasanya, terlalu panas
menyengat. Sri berkali-kali harus mengusap keringatnya yang berleleran.
Rumput-rumput di antara semak-semak tempatnya bersembunyi mengintip Paijan
sesekali mengirim rasa gatal di kulit tubuh. Rasa gatalnya menjadi pedih saat
bertemu dengan keringat yang hampir membasahi semua tubuhnya. Sri tersenyum
menatap Paijan yang melepas kaos bututnya dan duduk bertelanjang dada di
pinggiran petak sawah.
Keringat jelas membasahi seluruh wajah,
punggung, dan dada Paijan. Hm.. andai
suatu saat aku bisa memijat punggungmu yang kukuh itu, alangkah bahagianya aku,
Sri bergumam sendiri sambil memejamkan mata. Alangkah bahagianya bila suatu
saat ia bisa berada di pelukan lelaki yang sangat dikaguminya itu.
Sri larut dalam impiannya. Ia tak
mendengar bahkan tak melihat saat Paijan turun ke sungai, melepas semua
bajunya. Hawa yang sangat panas membuat
Paijan ingin membuang semua gerah dalam bening sungai yang terletak
tepat di depan Sri bersembunyi.
Sri masih larut dalam impiannya, memijat
punggung Paijan sambil membalurkan param kocok ke kaki yang berotot itu. Seekor semut menggigit
betisnya, ia tersadar.
“Aaaaaaargh!” Sri tak mampu menahan
jeritannya saat melihat Paijan telanjang bulat di hadapannya.
Paijan pun tak kalah kagetnya.
“Sri…. Apa yang Kau lakukan di sini?”
Sri tak mampu berkata-kata. Ia hanya
menunduk malu. Pipinya bersemu merah. Tangannya mendadak dingin, pandangannya
berkunang-kunang.
Paijan sadar ada yang tak beres dengan
diri Sri. Dengan sigap direngkuhnya tubuh Sri. Tubuh yang lemah itu kini
benar-benar berada di dada Paijan yang telanjang. Untung saat Sri menjerit
tadi, Paijan sigap memakai celananya. Sri tak jadi pingsan, namun ia tetap
memejamkan matanya. Menikmati impiannya yang demikian cepat menjadi nyata. Berada
di pelukan Paijan.
“Sri… kamu gak papa kan? Sri…. Sri….”,
Paijan menepuk-nepuk pipi Sri dengan kalut.
Paijan mengenal Sri sejak kecil, ia juga
mengenal kedua kakak Sri. Suraji, dan Tinem. Bahkan, dulu sebelum Tinem menikah
dengan Hadi, teman-temannya sering menjodoh-jodohkannya dengan Tinem. Paijan
tak berani melangkah. Ia jerih melihat sorot mata galak Tinem, ia juga keder mendengar suara Tinem
yang menggelegar, terutama saat mengumpat Sri.
Ah Sri, betapa malang nasibmu, keluh
Paijan sambil menatap wajah Sri yang masih pias. Paijan baru menyadari ternyata
Sri manis juga. Pipinya yang merona merah saat malu tadi, alangkah indahnya.
Bening matanya yang ketakutan tadi, duh sungguh menyimpan kejujuran. Bening
seperti air sungai di depannya yang mengalir tenang. Seperti nafas Sri yang
mulai tenang.
Sri membuka matanya. Ia tersenyum malu,
namun sorot matanya jelas mengirim permohonan maaf yang tulus. Paijan bisa
memahami isyarat mata Sri sebab ia telah lama mengenal Sri.
“Gak papa Sri, kita pulang, ya… Nanti
Kamu dimarahi Kang Suraji dan Yu Tinem.”
lembut.
Paijan sadar ada binar lain di mata Sri.
Digenggamnya tangan Sri sepanjang perjalanan melewati kebun milik Pak Haji
Rahman, tuan tanah di desanya, yang juga pemilik sawah yang sekarang sedang ia
garap. Ingin sekali Paijan memetik satu butir saja kelapa muda dan menghadiahkan
untuk Sri. Jantung Paijan berdesir. Mengapa baru sekarang ia sadar betapa
cantik dan menariknya Sri yang lugu dan
jujur ini. Sri sungguh berbeda dengan Tinem yang suaranya membuat telinga
panas. Pandangan mata Sri yang polos, benar-benar beda dengan pandangan mata
Tinem yang culas, atau perempuan-perempuan lainnya yang selalu ingin tahu
rahasia tetangganya.
“Sri,….”, Paijan tiba-tiba menghentikan
langkahnya.
Ia menatap mata Sri dalam-dalam. Sri
tertegun, tak mengira Paijan bakal menatapnya demikian rupa.Pandangan Paijan
demikian hangat dan lembut, menyusup sampai ke hatinya. Sri tersenyum dan
menundukkan mukanya.
Tak tahan Paijan menahan hasratnya, dengan lembut ia cium pipi Sri dalam-dalam. Sri tak
menduga Paijan nekad melakukannya. Sri juga menginginkannya. Ia
membiarkan Paijan merengkuh lagi tubuhnya. Kali ini, keduanya sama-sama
menikmatinya. Tanpa kata-kata. Hanya suara gemerisik daun-daun bambu
berselang-seling dengan jerit batang bambu yang bergesekan. Sesekali terdengar
juga jerit ular yang sedang menelan katak, mangsa kegemarannya.
Kesunyian dan kebahagiaan meliputi hati
keduanya. Mereka tak menyadari ada beberapa pasang mata melihat kemesraan
mereka. Orang-orang yang tadinya hendak melewati jalan yang sama dilewati
Paijan dan Sri akhirnya memilih jalan memutar. Mereka tak ingin mengganggu kemesraan
dua anak manusia itu. Mereka rela tubuhnya digigit nyamuk yang tak henti
mendenging hanya untuk mengintip dua anak manusia yang sedang dimabuk cinta.
***
Tak ada bangkai yang tak tercium baunya
meski ditutup seribu lembar kain, tak ada bunga mekar yang tak menebar
wanginya. Begitulah kemesraan Paijan dan Sri dengan cepat menyebar kemana-mana.
Setiap telinga dan mulut orang sedesa disibukkan dengan berita percintaan
Paijan dan Sri.
Tak ada gosip tanpa bumbu penyedap.
Bukan gosip namanya bila tak dilebih-lebihkan. Demikian pula dengan kemesraan
Paijan dan Sri. Dari mulut ke mulut tersebar cerita, keduanya tak hanya
berpelukan saja di kebun kelapa Haji Rahman. Keduanya telah bertindak berlebihan.
Berbuat asusila.
Haji Rahman marah besar. Ia tak rela kebunnya dipakai
berbuat nista. Tak hanya aib baginya, tapi bisa mengurangi jumlah dan berkah
rejekinya. Apalagi Paijan juga menjadi buruh tetap di sawahnya. Hari itu juga,
Haji Rahman mendamprat Paijan dan menutup semua pintu bagi Paijan untuk
mendapat pekerjaan di ladang atau
sawahnya. Paijan gemetaran. Ia bersumpah di hadapan emaknya dan di
hadapan Haji Rahman bahwa ia hanya mencium dan memeluk Sri, tak lebih.
Sayang, tak ada yang percaya. Termasuk emaknya.
“Emak malu….! Kamu telah mencoreng aib
di wajah emak. Bila tahu begini jadinya, lebih baik dulu kubiarkan Engkau mati
saja saat bapakmu pergi meninggalkan Emak dengan "lonthe" murahan
itu,” emak menjawab penjelasan Paijan dengan penuh kemarahan.
Kebencian dan dendam emak pada Bapak ditumpahkan
pada Paijan. Hari itu juga Paijan pergi setelah emak mengancam akan bunuh diri,
“ngendhat”, menggantung tubuh dengan tali pengekang sapi bila Paijan tak
minggat dari rumahnya.
Paijan pergi dengan hati luka. Luka
sebab tak ada yang mempercayai pembelaannya, luka sebab emak sekarang
membencinya. Ia meninggalkan Sri yang telah merebut hatinya. Meninggalkan Sri
menanggung aib yang disebarkan mulut usil tetangganya.
Paijan hanya mampu berdoa Sri akan sanggup
menanggung semuanya. Paijan menatap langit, mengirim sejumlah doa pada Tuhan yang
ia yakini ada di atas sana.
“Gusti, titip Emak dan Sri. Mohon ampun,
Gusti….”
Sejak itu tak ada kabar berita tentang
Paijan. Sri seperti gila mencari Paijan di setiap sudut desa. Orang-orang
sering melihatnya terduduk di pematang sawah, di pinggir kali, di kebun kelapa
Haji Rahman. Sri terduduk, menangis tersedu…. Tubuhnya makin kurus dari hari ke
hari. Cahaya matanya yang bening tak nampak lagi. Keruh oleh air mata yang
semakin hari semakin mengekalkan kerinduannya pada Paijan.
Orang-orang semakin yakin Sri telah
ternoda. Tak mungkin demikian dalam derita seorang gadis ditinggal seorang
pemuda bila ia belum ternoda, begitu kepercayaan orang-orang desa.
Suraji, Tinem, emak, dan mbok'e mendengar semuanya. Malu sekali mereka harus
menanggung aib besar itu. Sayang, mereka tak bisa menemukan Paijan untuk
memintanya bertanggung jawab. Mereka meminta penjelasan Sri, apa yang telah ia
lakukan bersama Paijan. Apa benar Paijan telah menodainya?
Tapi Sri tak pernah mengerti semua
pertanyaan itu. Ia tak mampu menjawabnya.Suraji dan Tinem kalap melihat Sri
yang hanya bisa mengucurkan air mata. Suraji menampar wajah Sri berkali-kali,
Tinem menyiramkan air ke wajah Sri. Emak menangis, mak’e terduduk diam di sudut
kamar.
Sri merasa hanya Paijan satu-satunya
orang yang memahami perasaannya. Sri tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia
marah entah pada siapa. Ia ambil semua barang yang ada dalam rumah, ia
lemparkan semua.
Delapan buah piring milik keluarga dan
empat gelas kaca hancur berkeping, tak bersisa. Sri mengamuk sambil
menjerit-jerit. Ia berlari di antara deras hujan sore itu. Di antara petir dan
guruh, ia berteriak pada Tuhan,
“Tuhan…. Tunjukkan padaku, dimana Kang
Paijan, atau matikanlah aku. Biar tamat deritaku.”
Hujan deras dan gemuruh yang bersahutan
seperti menelan jerit Sri. Tak ada yang mendengarnya.
Sejak itu, Sri sering mengamuk tanpa
sebab. Barang-barang di rumah yang jumlahnya sangat terbatas hancur ia lempar.
Anak-anak Suraji dan Tinem ketakutan. Pada Suraji ia berani melawan saat
ditampar. Tinem sering bereringat dingin bila tiba-tiba Sri memungut sebuah
batu dan melempar ke wajahnya. Puncaknya, Sri melempar wajah seorang tamu,
Kang Sulis, yang dulu pernah berkelahi dengan Paijan. Sri benci sekali melihat wajah Sulis.
Hari itu juga, Suraji dan Tinem, tanpa
persetujuan kedua orang tuanya mengikat dan mengurung Sri di biliknya hingga
sekarang.
Bilik pengap itu tempat Sri makan,
tidur, kencing, dan berak. Sendirian ia menghabiskan hari-hari yang selalu malam baginya. Tanpa kepastian apakah ia akan
bisa bangkit hidup lagi, atau mati benar-benar. Hidupnya hanya untuk menanti hari
benar-benar malam atau saat ia benar-benar kekelahan, saat ia bisa tertidur
tenang, dan bertemu dengan Paijan dalam mimpinya. Paijan yang dirindukannya.
Dalam kesunyian hidupnya tanpa
kata-kata, tanpa suara, ia simpan rindu dan duka hatinya. Sungguh, bila ia
mampu ingin ia ceritakan pada dunia, betapa ia mencintai Paijan.
Apakah salah? Apakah dosa? Apakah tak
ada hak baginya, perempuan bisu tuli, untuk mencintai?
Di biliknya yang sunyi, hanya dengan
bisul bernanah, ia habiskan hari-harinya. Menanti Paijan datang, meski hanya
dalam mimpi.
Note:
mak’e
(Jw) = bapak
mbok (Jw) = ibu
ngendhat:
bunuh diri dengan cara menggantung diri memakai tali.
gatel : berada dalam puncak birahi
lonthe=
pelacur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar