Minggu, 17 November 2013

DARI BALIK KESUNYIAN

DARI BALIK KESUNYIAN
Dari sela-sela lubang dinding bambu kamarnya, Sri mencoba melihat keadaan di luar. Entah sudah berapa puluh purnama ia tak merasakan panas matahari dan hangat rembulan. Orang-orang yang ia cintai, termasuk Mak’e, Simbok, Kang Suraji, dan Yu Tinem tak mengizinkannya bebas keluar seperti dulu.
Sri mengigil ingat pertama kali saat Kang Suraji mengikat kedua kaki dan tangannya dengan tali tambang, yang biasa dipakai menarik sapi. Tak ada kemampuannya untuk menolak perlakuan kasar Kang Suraji, tak ada kata-kata yang sanggup ia ucapkan saat itu. Hanya air mata dan sorot mata kepedihan  yang mampu ia sampaikan. Sri melihat Simbok bolak-balik mengusap air matanya dengan ujung kain panjangnya yang lusuh. Mak’e seperti biasa hanya mampu tergugu. Sri menjerit kesakitan.Teriakan Sri bukannya menumbuhkan rasa kasihan Kang Suraji. Ia malah mendapat tamparan dari Suraji dan Tinem.
Kemana hati Si Mbok saat melihat Sri dihajar Suraji dan Tinem? Kemana rasa sayang Mak’e? Sri hanya mampu menangis.
 ***
Bayangan wajah Paijan yang tampan masih suka mendatangi mimpi-mimpi Sri.  Paijan yang kulit punggungnya hitam terpanggang panas matahari. Paijan lelaki bertubuh gempal yang membuat hati Sri kebat-kebit setiap hari.
Sri suka diam-diam  kabur dari rumah, lalu bersembunyi di balik belukar dekat sawah tempat  Paijan bekerja. Ia tak berani pamit pada keluarganya. Bisa marah besar Kang Suraji bila tahu Sri keluar dari rumah. Yu Tinem bisa mengata-ngatai dirinya sebagai sundal, "gatel", atau  kata-kata kasar lainnya yang tak mampu dimaknai sesungguhnya oleh Sri.
Sri sudah remaja. Ia butuh teman, bahkan sudah mulai merindukan sosok lelaki tampan dalam mimpi-mimpinya. Ia sudah lama dapat tamu bulanan. Beberapa teman gadisnya sudah punya pacar bahkan telah menikah dan punya anak. Wajah Sri tidak terlalu cantik, tapi juga tidak terlalu jelek. Tapi Sri punya mata bening yang indah. Sinar matanya yang selalu hangat dan bersahabat membuat banyak orang sayang  dan suka padanya.
Sri tak pernah tahu mengapa keluarganya melarangnya bermain keluar? Bukankah  ia tak pernah membuat onar? Sri bahkan merasa semua orang di desanya sayang padanya. Buktinya, seringkali mereka memberi Sri singkong, ketela, pisang entah direbus atau dibakar bila suatu kali Sri lewat dekat rumah mereka. Mereka pun akan dengan senang meminta Sri untuk singgah lalu bercanda-canda bersama.
***
Diam-diam Sri suka mengintip Paijan saat bekerja di sawah.Hingga suatu saat tak sengaja  kebiasaannya mengintip dipergoki Paijan. Masih hangat pipi Sri bila ingat kejadian siang itu. Udara tidak seperti biasanya, terlalu panas menyengat. Sri berkali-kali harus mengusap keringatnya yang berleleran. Rumput-rumput di antara semak-semak tempatnya bersembunyi mengintip Paijan sesekali mengirim rasa gatal di kulit tubuh. Rasa gatalnya menjadi pedih saat bertemu dengan keringat yang hampir membasahi semua tubuhnya. Sri tersenyum menatap Paijan yang melepas kaos bututnya dan duduk bertelanjang dada di pinggiran petak sawah.
Keringat jelas membasahi seluruh wajah, punggung, dan dada  Paijan. Hm.. andai suatu saat aku bisa memijat punggungmu yang kukuh itu, alangkah bahagianya aku, Sri bergumam sendiri sambil memejamkan mata. Alangkah bahagianya bila suatu saat ia bisa berada di pelukan lelaki yang sangat dikaguminya itu.
Sri larut dalam impiannya. Ia tak mendengar bahkan tak melihat saat Paijan turun ke sungai, melepas semua bajunya. Hawa yang sangat panas membuat  Paijan ingin membuang semua gerah dalam bening sungai yang terletak tepat di depan Sri bersembunyi.
Sri masih larut dalam impiannya, memijat punggung Paijan sambil membalurkan param kocok ke kaki  yang berotot itu. Seekor semut menggigit betisnya, ia tersadar.
“Aaaaaaargh!” Sri tak mampu menahan jeritannya saat melihat Paijan telanjang bulat di hadapannya.
Paijan pun tak kalah kagetnya.
“Sri…. Apa yang Kau lakukan di sini?”
Sri tak mampu berkata-kata. Ia hanya menunduk malu. Pipinya bersemu merah. Tangannya mendadak dingin, pandangannya berkunang-kunang.
Paijan sadar ada yang tak beres dengan diri Sri. Dengan sigap direngkuhnya tubuh Sri. Tubuh yang lemah itu kini benar-benar berada di dada Paijan yang telanjang. Untung saat Sri menjerit tadi, Paijan sigap memakai celananya. Sri tak jadi pingsan, namun ia tetap memejamkan matanya. Menikmati impiannya yang demikian cepat menjadi nyata. Berada di pelukan Paijan.
“Sri… kamu gak papa kan? Sri…. Sri….”, Paijan menepuk-nepuk pipi Sri dengan kalut.
Paijan mengenal Sri sejak kecil, ia juga mengenal kedua kakak Sri. Suraji, dan Tinem. Bahkan, dulu sebelum Tinem menikah dengan Hadi, teman-temannya sering menjodoh-jodohkannya dengan Tinem. Paijan tak berani melangkah. Ia jerih melihat sorot mata galak  Tinem, ia juga keder mendengar suara Tinem yang menggelegar, terutama saat mengumpat Sri.
Ah Sri, betapa malang nasibmu, keluh Paijan sambil menatap wajah Sri yang masih pias. Paijan baru menyadari ternyata Sri manis juga. Pipinya yang merona merah saat malu tadi, alangkah indahnya. Bening matanya yang ketakutan tadi, duh sungguh menyimpan kejujuran. Bening seperti air sungai di depannya yang mengalir tenang. Seperti nafas Sri yang mulai tenang.
Sri membuka matanya. Ia tersenyum malu, namun sorot matanya jelas mengirim permohonan maaf yang tulus. Paijan bisa memahami isyarat mata Sri sebab ia telah lama mengenal Sri.
“Gak papa Sri, kita pulang, ya… Nanti Kamu dimarahi Kang Suraji dan Yu Tinem.”  lembut.
Paijan sadar ada binar lain di mata Sri. Digenggamnya tangan Sri sepanjang perjalanan melewati kebun milik Pak Haji Rahman, tuan tanah di desanya, yang juga pemilik sawah yang sekarang sedang ia garap. Ingin sekali Paijan memetik satu butir saja kelapa muda dan menghadiahkan untuk Sri. Jantung Paijan berdesir. Mengapa baru sekarang ia sadar betapa cantik dan  menariknya Sri yang lugu dan jujur ini. Sri sungguh berbeda dengan Tinem yang suaranya membuat telinga panas. Pandangan mata Sri yang polos, benar-benar beda dengan pandangan mata Tinem yang culas, atau perempuan-perempuan lainnya yang selalu ingin tahu rahasia tetangganya.
“Sri,….”, Paijan tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Ia menatap mata Sri dalam-dalam. Sri tertegun, tak mengira Paijan bakal menatapnya demikian rupa.Pandangan Paijan demikian hangat dan lembut, menyusup sampai ke hatinya. Sri tersenyum dan menundukkan mukanya.
Tak tahan Paijan menahan hasratnya, dengan  lembut ia cium pipi Sri dalam-dalam. Sri tak menduga Paijan  nekad  melakukannya. Sri juga menginginkannya. Ia membiarkan Paijan merengkuh lagi tubuhnya. Kali ini, keduanya sama-sama menikmatinya. Tanpa kata-kata. Hanya suara gemerisik daun-daun bambu berselang-seling dengan jerit batang bambu yang bergesekan. Sesekali terdengar juga jerit ular yang sedang menelan katak, mangsa kegemarannya.
Kesunyian dan kebahagiaan meliputi hati keduanya. Mereka tak menyadari ada beberapa pasang mata melihat kemesraan mereka. Orang-orang yang tadinya hendak melewati jalan yang sama dilewati Paijan dan Sri akhirnya memilih jalan  memutar. Mereka tak ingin mengganggu kemesraan dua anak manusia itu. Mereka rela tubuhnya digigit nyamuk yang tak henti mendenging hanya untuk mengintip dua anak manusia yang sedang dimabuk cinta.
***
Tak ada bangkai yang tak tercium baunya meski ditutup seribu lembar kain, tak ada bunga mekar yang tak menebar wanginya. Begitulah kemesraan Paijan dan Sri dengan cepat menyebar kemana-mana. Setiap telinga dan mulut orang sedesa disibukkan dengan berita percintaan Paijan dan Sri.
Tak ada gosip tanpa bumbu penyedap. Bukan gosip namanya bila tak dilebih-lebihkan. Demikian pula dengan kemesraan Paijan dan Sri. Dari mulut ke mulut tersebar cerita, keduanya tak hanya berpelukan saja di kebun kelapa Haji Rahman. Keduanya telah bertindak berlebihan. Berbuat asusila.
Haji Rahman  marah besar. Ia tak rela kebunnya dipakai berbuat nista. Tak hanya aib baginya, tapi bisa mengurangi jumlah dan berkah rejekinya. Apalagi Paijan juga menjadi buruh tetap di sawahnya. Hari itu juga, Haji Rahman mendamprat Paijan dan menutup semua pintu bagi Paijan untuk mendapat pekerjaan di ladang atau  sawahnya. Paijan gemetaran. Ia bersumpah di hadapan emaknya dan di hadapan Haji Rahman bahwa ia hanya mencium dan memeluk Sri, tak lebih.
Sayang, tak ada yang percaya. Termasuk emaknya.
“Emak malu….! Kamu telah mencoreng aib di wajah emak. Bila tahu begini jadinya, lebih baik dulu kubiarkan Engkau mati saja saat bapakmu pergi meninggalkan Emak dengan "lonthe" murahan itu,” emak menjawab penjelasan Paijan dengan penuh kemarahan.
Kebencian dan dendam emak pada Bapak ditumpahkan pada Paijan. Hari itu juga Paijan pergi setelah emak mengancam akan bunuh diri, “ngendhat”, menggantung tubuh dengan tali pengekang sapi bila Paijan tak minggat dari rumahnya.
Paijan pergi dengan hati luka. Luka sebab tak ada yang mempercayai pembelaannya, luka sebab emak sekarang membencinya. Ia meninggalkan Sri yang telah merebut hatinya. Meninggalkan Sri menanggung aib yang disebarkan mulut usil tetangganya.
Paijan hanya mampu berdoa Sri akan sanggup menanggung semuanya. Paijan menatap langit, mengirim sejumlah doa pada Tuhan yang ia yakini ada di atas sana.
“Gusti, titip Emak dan Sri. Mohon ampun, Gusti….” 
Sejak itu tak ada kabar berita tentang Paijan. Sri seperti gila mencari Paijan di setiap sudut desa. Orang-orang sering melihatnya terduduk di pematang sawah, di pinggir kali, di kebun kelapa Haji Rahman. Sri terduduk, menangis tersedu…. Tubuhnya makin kurus dari hari ke hari. Cahaya matanya yang bening tak nampak lagi. Keruh oleh air mata yang semakin hari semakin mengekalkan kerinduannya pada Paijan.
Orang-orang semakin yakin Sri telah ternoda. Tak mungkin demikian dalam derita seorang gadis ditinggal seorang pemuda bila ia belum ternoda, begitu kepercayaan orang-orang desa.
Suraji, Tinem, emak, dan mbok'e  mendengar semuanya. Malu sekali mereka harus menanggung aib besar itu. Sayang, mereka tak bisa menemukan Paijan untuk memintanya bertanggung jawab. Mereka meminta penjelasan Sri, apa yang telah ia lakukan bersama Paijan. Apa benar Paijan telah menodainya?
Tapi Sri tak pernah mengerti semua pertanyaan itu. Ia tak mampu menjawabnya.Suraji dan Tinem kalap melihat Sri yang hanya bisa mengucurkan air mata. Suraji menampar wajah Sri berkali-kali, Tinem menyiramkan air ke wajah Sri. Emak menangis, mak’e terduduk diam di sudut kamar.
Sri merasa hanya Paijan satu-satunya orang yang memahami perasaannya. Sri tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia marah entah pada siapa. Ia ambil semua barang yang ada dalam rumah, ia lemparkan semua.
Delapan buah piring milik keluarga dan empat gelas kaca hancur berkeping, tak bersisa. Sri mengamuk sambil menjerit-jerit. Ia berlari di antara deras hujan sore itu. Di antara petir dan guruh, ia berteriak pada Tuhan,
“Tuhan…. Tunjukkan padaku, dimana Kang Paijan, atau matikanlah aku. Biar tamat deritaku.”
Hujan deras dan gemuruh yang bersahutan seperti menelan jerit Sri. Tak ada yang mendengarnya.
Sejak itu, Sri sering mengamuk tanpa sebab. Barang-barang di rumah yang jumlahnya sangat terbatas hancur ia lempar. Anak-anak Suraji dan Tinem ketakutan. Pada Suraji ia berani melawan saat ditampar. Tinem sering bereringat dingin bila tiba-tiba Sri memungut sebuah batu dan melempar ke wajahnya. Puncaknya, Sri melempar wajah seorang tamu, Kang  Sulis,  yang dulu pernah berkelahi dengan  Paijan. Sri benci sekali melihat wajah Sulis.
Hari itu juga, Suraji dan Tinem, tanpa persetujuan kedua orang tuanya mengikat dan mengurung Sri di biliknya hingga sekarang.
Bilik pengap itu tempat Sri makan, tidur, kencing, dan berak. Sendirian ia menghabiskan hari-hari yang selalu  malam baginya. Tanpa kepastian apakah ia akan bisa bangkit hidup lagi, atau mati benar-benar. Hidupnya hanya untuk menanti hari benar-benar malam atau saat ia benar-benar kekelahan, saat ia bisa tertidur tenang, dan bertemu dengan Paijan dalam mimpinya. Paijan yang dirindukannya.
Dalam kesunyian hidupnya tanpa kata-kata, tanpa suara, ia simpan rindu dan duka hatinya. Sungguh, bila ia mampu ingin ia ceritakan pada dunia, betapa ia mencintai Paijan.
Apakah salah? Apakah dosa? Apakah tak ada hak baginya, perempuan bisu tuli, untuk mencintai?
Di biliknya yang sunyi, hanya dengan bisul bernanah, ia habiskan hari-harinya. Menanti Paijan datang, meski hanya dalam mimpi.
Note:
mak’e (Jw) = bapak
mbok  (Jw) = ibu
ngendhat: bunuh diri dengan cara menggantung diri memakai tali.
gatel    : berada dalam puncak birahi

lonthe= pelacur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar