Minggu, 17 November 2013

AYESHA DAN POHON KAMBOJA

AYESHA DAN POHON KAMBOJA

Dari dalam biliknya yang mirip kandang kambing, Ayesha memandang lurus ke depan. Tatapan matanya kosong. Tak ada perasaan apa pun terlintas di wajahnya yang tirus. Kalau mau lebih teliti lagi melihat dalam titik hitam bola mata Ayesha, akan terlihat bahwa pandangannya jatuh ke satu titik. Di sana, di pojok jalan yang berjarak sekitar dua puluh meter dari biliknya. Ia ingin ke sana, duduk di bawah pokok kamboja. Di batang kamboja itu ia suka membaca namanya yang terukir indah bersanding dengan nama Bhirawa, kekasihnya.
Mereka boleh saja memasung tangan dan kakiku, tapi takkan bisa mengikat hatiku, begitu pesan yang ditulis Ayesha dalam tatapan penuh kebencian pada setiap orang yang mendatangi biliknya.
Terlalu banyak kemarahan yang ditahan Ayesha pada orang-orang di sekitarnya, bahkan pada orang tuanya, sejak mereka beramai-ramai memutuskan menebang pohon kamboja di pojok jalan desa.Orang-orang percaya bahwa pohon kamboja yang batangnya mungkin takkan mampu dipeluk oleh tangan lelaki dewasa itu, menjadi penyebab banyaknya kecelakaan di sana. Kata mereka, pohon kamboja itu menutup pandangan para pengendara. Hanya Ayesha yang tak sepakat. Ayesha sangat sayang pada pohon kamboja itu. Di bawahnya ia sering duduk-duduk melepas penat saat hari gerah. Di sana pula pertama kalinya Bhirawa, teman sebangkunya di SMP kelas dua, menyatakan rasa cintanya. Bahkan di sana keduanya sepakat memahatkan namanya dalam gambar daun waru. Tak perlu gambar panah, kata Bhirawa, sebab ia tak suka cinta mereka terkoyak.
Begitulah Ayesha menghabiskan hari-hari remajanya bersama Bhirawa di sana. Di bawah pohon kamboja sambil menikmati es dawet yang lewat tiap jam 2 siang. Tak jarang sampai sore mereka berdua di sana, tak hanya untuk bercanda, tetapi juga belajar, membaca cerita, atau mengerjakan PR bersama. Sering Bhirawa memungut sekuntum kamboja yang luruh kemudian menyelipkan di telinga Ayesha. Kau cantik, Ay, seperti bintang filem India, begitu selalu Bhirawa memuji Ayesha. Ayesha menyukai cara Bhirawa memperlakukannya. Lembut dan tidak nakal. Bhirawa tak seperti pemuda desa lainnya yang kata teman-temannya suka mencium atau meraba-raba tubuh pacarnya. Bhirawa beda. Bhirawa anak salah seorang tetua desa yang sangat dihormati. Orang tua Bhirawa juga sangat kaya raya. Namun, semua itu tak membuat Bhirawa menjadi sombong. Ayesha bangga telah dipilih menjadi kekasihnya.

***
Hari ini orang tua Bhirawa datang lagi ke bilik Ayesha. Matanya yang tajam menatap Ayesha dalam-dalam. Aku tak boleh menunduk karena tak ada salahku padanya, begitu ketetapan hati Ayesha. Ia tatap kembali mata lelaki tua itu. Makin berani saja kau padaku, lelaki tua di hadapannya itu mengumpat sambil menjambak rambut Ayesha.
“Pulanglah, jangan ganggu dia, dia tak bersalah apa-apa, kalau berani, lawan aku saja!” tiba-tiba lelaki tua itu marah-marah sambil menyemburkan ludahnya ke wajah Ayesha.
Betapa bencinya Ayesha pada lelaki itu. Ia tak mengerti mengapa lelaki itu selalu memintanya pergi, bukankah ini rumahnya, ini biliknya? Sejak kecil di sinilah Ayesha tinggal, jadi kemana lagi Ayesha harus pulang.
Ibu masuk ke bilik Ayesha sambil membawa gelas berisi air putih dan sebuah nampan berisi berbagai macam bunga. Ayesha menghitung ada tujuh macam. Ada mawar, melati, kanthil, kenanga, dan entah apa tiga yang lainnya. Sayang tak ada kambojanya, sesal Ayesha. Ibu menyerahkan bawaannya pada bapak Bhirawa.
“Sudah semua?” tanya lelaki itu pada ibu.
Tak ada suara ibu, ia hanya mengangguk.
“Kita mulai saja, jika terlalu gelap nanti akan kalah kita,” kata lelaki tua itu lagi.
Ibu mengiyakan saja. Tanpa berkata-kata, ibu mulai melepaskan semua baju Ayesha. Matanya berkaca-kaca menatap tubuh anak gadisnya yang baru berumur 19 tahun itu.
“Betapa malangnya engkau, anakku, bersabarlah semoga Tuhan segera memberimu kesembuhan. Ibu ingin melihatmu seperti dulu, tumbuh menjadi gadis ayu, dan suatu kali datang lelaki meminangmu. Nduk, betapa ibu sangat merindukan suatu hari saat engkau bersanding dengan lelaki yang dikirimkan Tuhan untukmu,” ibu membisikkan kalimat-kalimat itu lirih di telinga  Ayesha.
Melihat ibu menitikkan air mata, Ayesha pun meraung.
“Aku tidak gila, Bu, aku waras. Lepaskan aku. Bhirawa menungguku di sana. Telah ia kumpulkan sekeranjang kamboja untukku, Bu. Lepaskanlah aku!”
Ayesha menangis, kerinduannya pada Bhirawa membuncah. Hanya ibu yang menyayanginya sejak ia diikat seperti kambing di bilik bambu tanpa kasur dan tanpa pintu. Hanya ibu yang masih menatapnya lembut dan mau menyuapinya saat ia mogok makan.
“Sabar ya Nduk, nurutlah pada Si Mbah, ia akan menyembuhkanmu, kelak akan ibu antar engkau menemui Bhirawa,” janji ibu sambil melepaskan kain sarung dari tubuh Ayesha.
Tak ada ranum payudara di tubuh Ayesha remaja, tak ada pinggul molek di tubuh Ayesha. Tubuh itu tinggal tulang dengan lapisan tipis kulit yang kasar dan kusam. Di beberapa bagian terdapat bisul-bisul kecil dan tak terhitung bentol-bentol merah bekas gigitan nyamuk. Ibu mengelus bagian itu dengan berurai air mata. Ayesha tersenyum melihat ibu mengelus bekas gigitan nyamuk itu. Ia ingat bila malam-malam ratusan nyamuk menyerbu tubuhnya. Dulu ia suka menjerit-jerit saat ratusan nyamuk menggigit tubuhnya, tapi sekarang ia malah merindukan kedatangan mereka. Sekarang ia bersahabat dengan nyamuk.
Saat malam, ketika orang-orang terlelap, tak ada lagi yang ingat padanya, juga ibu. Hanya pada nyamuk ia dapat bercerita tentang rasa cinta dan rindunya pada Bhirawa. Ratusan nyamuk itu tak segan-segan menggendong tubuh Ayesha, lalu membawa terbang ramai-ramai ke bawah pohon kamboja di pojok desa. Di sana ia temukan Bhirawa sedang menunggunya dengan seplastik es dawet dan dua kuntum kamboja. Sejak itu, Ayesha tak pernah merasa gatal jika nyamuk menggigitnya. Justru ia merasa harus berterima kasih pada nyamuk yang telah bersedia mengantarnya menemui kekasihnya. Ayesha menyimpan rapat-rapat semua itu dari siapa pun. Ia ingin pertemuannya dengan Bhirawa juga kepergiannya ke bawah pohon kamboja itu menjadi rahasia dirinya, Bhirawa, juga nyamuk-nyamuk sahabat baiknya.
Brrrr..... rasa dingin menyentuh kulit kepala Ayesha. Ingin sekali Ayesha berteriak saat ibu mengguyurkan air dingin bercampur bunga-bunga. Ingin sekali Ayesha berteriak dan memaki-maki lelaki tua yang telah menyuruh ibu memandikannya dengan air dingin itu. Tapi, suara Ayesha tertelan air liurnya. Tangannya gemetar. Ia tak ingin lelaki itu akan meludahinya seperti beberapa waktu yang lalu saat ia berontak tak mau dimandikan. Hampir saja tangannya memukul ibu, tetapi wajah ibu yang teduh, suara ibu yang lembut itu membuat tangannya lemah tak berdaya.
“Nurut ya Nduk, mandi pakai air kembang, biar tubuhmu bersih dan wangi” kata ibu sambil menggosok punggung Ayesha.
Hm... bersih dan wangi? Ayesha tersenyum. Ia ingat suatu sore saat Bhirawa memintanya untuk bertemu di pojok jalan desa di bawah pohon kamboja. Matahari belum condong benar ketika ia mandi dengan campuran kuntum-kuntum mawar. Ayesha ingin bertemu dengan Bhirawa dengan tubuh seharum bunga mawar. Terbayang di matanya bagaimana Bhirawa akan memuji kecantikan dan harum tubuhnya. Tapi pertemuan itu tak seindah yang dibayangkan Ayesha. Samar-samar ia melihat bayangan Bhirawa bergegas lari hendak menjemputnya dari seberang jalan. Bhirawa menyeberang tanpa melihat jalan. Dari arah barat sebuah truk penuh dengan batang-batang tebu melaju kencang. Ayesha tak sempat mendengar suara Bhirawa minta tolong atau menjerit kesakitan. Setalah truk itu melintasi tubuh Bhirawa, ia lihat tubuh Bhirawa memerah semua. Selanjutnya Ayesha tak ingat apa-apa. Saat tersadar ia menemukan dirinya telah terbaring di atas dipan kamar ibunya.
Seminggu setelah peristiwa itu, warga memutuskan menebang pohon kamboja di pojok jalan itu. Bhirawa bukan korban pertama. Telah ada tujuh orang meninggal dan puluhan luka-luka karena kecelakaan di pojok jalan itu. Beberapa warga percaya bahwa pohon kamboja itu ada penunggunya jadi sebelum menebang harus dilakukan selamatan. Penunggunya harus dipindahkan ke tempat lain. Warga yang tak percaya pada takhayul menyetujui rencana penebangan kamboja itu. Namun mereka beralasan pohon kamboja tua dan cukup rimbun itu mengurangi keleluasaan pandangan para pengemudi. Jadi, wajar saja bila sering terjadi kecelakaan di sana. Bapak dan ibu Ayesha juga setuju sebab mereka tak ingin Ayesha terus larut dalam kesedihan dan menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam hanya untuk menunggu Bhirawa. Ayesha tak mau pulang bila tak dijemput paksa bahkan diseret tangannya oleh bapak ibunya.
Setelah dilakukan selamatan dan doa bersama, pohon kamboja itu ditebang ramai-ramai oleh warga. Batang kayunya dibagi-bagikan kepada para penebang untuk dijadikan kayu bakar. Ibu tersenyum lega sambil berharap takkan ada lagi bencana dan kesedihan karena pohon kamboja itu.
Penebangan kamboja itu membuat Ayesha kehilangan cerah di matanya. Semakin hari semakin redup cahaya di matanya. Ia tak lagi ceria. Tak sedikit pun makanan ia sentuh. Ia menjadi gadis pendiam. Hingga suatu hari ia keluar dari rumah, lari, dan berteriak-teriak. Ia lempari rumah orang-orang yang ikut menebang kambojanya dengan batu. Tak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Ayesha juga sering marah dan menangis tanpa sebab. Ia memanggil-manggil nama Bhirawa.
Tak ingin menerima akibat buruk dari kegilaan Ayesha, warga meminta agar Ayesha dipasung. Sejak itu, Ayesha tidur, makan, bernyanyi, menangis, dan buang air di bilik bambunya. Tangis dan tawanya terdengar mengerikan bila malam-malam. Orang-orang tua selalu mengatakan suara itu adalah suara setan untuk menakuti anak-anaknya yang tidak segera tidur saat hari sudah malam. Tak ada yang mengerti kesedihan Ayesha.
Keringat dingin membasahi wajah lelaki tua itu. Dengan nafas memburu, lelaki itu bangkit dari duduk silanya sambil meneriakkan kata-kata, ampun, ampun, aku menyerah. Takkan lagi kuganggu engkau, katanya sambil mengangkat kedua tangannya, persis seperti orang kalah perang. Di pojok bilik kamar Ayesha, tubuh ibu mengigil.
“Kau lihat sendiri, bukan? Aku telah kalah, aku tak sanggup  mengalahkan roh jahat yang bersarang di tubuh anak gadismu,” kata lelaki tua itu sambil menatap tajam pada ibu.
Ibu terdiam. Kesedihan semakin membuat kantung matanya menggantung.
Dalam hati lelaki tua itu tersenyum. Akhirnya bisa juga ia mencari cara untuk menutupi kagagalannnya mengobati pasiennya. Benar-benar tak tahu ia bagaimana harus mengakui kekalahannya. Untunglah, tadi dalam semedinya ia ingat bisik-bisik orang-orang desa bahwa Karto bukan bapak kandung Ayesha. Ayesha yang cantik, berhidung bangir, berbibir sensual tak mungkin berasal dari bibit lelaki ringkih, hitam, berambut keriting, dan bermata juling. Di wajah Ayesha jelas tergurat garis wajah orang India. Tak hanya darah Jawa yang terpancar di wajah itu.
Lelaki tua itu berpamitan pada ibu Aesha setelah sebelumnya menghabiskan secangkir kopi hitam yang sejak tadi dibiarkan dingin dan mengental.
Ibu Ayesha hanya diam. Pikirannya jauh menerawang ke masa silam, sekitar dua puluh tahun silam, saat sisa purnama tinggal separoh, dan mendung menggambar bayang pepohonan menjadi lebih buram. Ia melihat dirinya tertatih-tatih menyeret sesosok tubuh lelaki kekar. Wajah perempuan itu beku dan dingin. Tak ada rasa sesal atau takut seperti saat ia menusukkan pedang peninggalan bapaknya pada lelaki India itu. Perempuan itu hampir berteriak saat tiba-tiba seorang lelaki berperawakan kecil berdiri di hadapannya. Karto, pemuda itu menatapnya ngeri.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Karto dengan suara bergetar.
“Ia telah mengoyak-ngoyak kehormatanku, hingga tak sanggup aku memandang terang matahari,” jawab perempuan itu dingin.
“Apakah hendak kau hukum aku karena membela kesucian yang Tuhan saja dengan tegas memerintahkan kita menjaganya?” tambah perempuan itu sambil menatap Karto dengan pandangan tajam.
“Tidak, bahkan dengan tangan dan bahuku yang ringkih akan kubantu engkau mengenyahkan lelaki ini dari bumi, ia tak layak mendapat penghormatan, meski untuk terakhir kalinya,” Karto menjawab sambil merebut jasad lelaki India itu dari tangan perempuan malang itu.
Tanpa kata keduanya membawa ke pojok jalan itu. Di sana mereka mengubur lelaki India itu tanpa upacara. Hanya sebatang kayu kamboja yang siang tadi dibuang warga.
Perempuan itu membalas kebaikan hati Karto dengan bersedia menjadi istrinya. Karto pun bersumpah takkan mengungkit masa lalu ibu Ayesha. Perempuan itu tak pernah mengira bahwa pokok kamboja yang dulu ditanamnya sembarangan kelak merengut kebahagiaannya, merengut kewarasan Ayesha. Tapi ia tak sanggup bercerita pada siapa pun, hanya Karto, lelakinya yang mengerti. Kartolah yang memeluknya erat saat malam ia menggigil kedinginan karena rasa takut dan sesal yang menderanya. Tapi ia sungguh tak rela mengapa harus Ayesha yang menanggung dosa-dosanya. Ayesha tak tahu apa-apa. Ayesha yang malang.
***
Perempuan itu terbangun dari kenang masa lalunya, saat tangan Atesha menarik-narik kain panjangnya yang lusuh.
“Maafkan ibu, Nak,” bisik ibu Ayesha sambil memeluk Ayesha tanpa menghapus air matanya.
“Bu, Ayesha sudah wangi, sebentar lagi senja tiba, antarkan Ayesha menemui Bhirawa. Ibu, lihat di sana Bhirawa berdiri di bawah kamboja, sekeranjang kuntum kamboja ia bawa untukku,” Ayesha memohon pada ibunya.

Telunjuknya yang kurus menuding ke lurus ke pojok jalan desa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar