AYESHA DAN POHON KAMBOJA
Dari
dalam biliknya yang mirip kandang kambing, Ayesha memandang lurus ke depan.
Tatapan matanya kosong. Tak ada perasaan apa pun terlintas di wajahnya yang
tirus. Kalau mau lebih teliti lagi melihat dalam titik hitam bola mata Ayesha,
akan terlihat bahwa pandangannya jatuh ke satu titik. Di sana, di pojok jalan
yang berjarak sekitar dua puluh meter dari biliknya. Ia ingin ke sana, duduk di
bawah pokok kamboja. Di batang kamboja itu ia suka membaca namanya yang terukir
indah bersanding dengan nama Bhirawa, kekasihnya.
Mereka
boleh saja memasung tangan dan kakiku, tapi takkan bisa mengikat hatiku, begitu
pesan yang ditulis Ayesha dalam tatapan penuh kebencian pada setiap orang yang
mendatangi biliknya.
Terlalu
banyak kemarahan yang ditahan Ayesha pada orang-orang di sekitarnya, bahkan
pada orang tuanya, sejak mereka beramai-ramai memutuskan menebang pohon kamboja
di pojok jalan desa.Orang-orang percaya bahwa pohon kamboja yang batangnya
mungkin takkan mampu dipeluk oleh tangan lelaki dewasa itu, menjadi penyebab
banyaknya kecelakaan di sana. Kata mereka, pohon kamboja itu menutup pandangan
para pengendara. Hanya Ayesha yang tak sepakat. Ayesha sangat sayang pada pohon
kamboja itu. Di bawahnya ia sering duduk-duduk melepas penat saat hari gerah.
Di sana pula pertama kalinya Bhirawa, teman sebangkunya di SMP kelas dua,
menyatakan rasa cintanya. Bahkan di sana keduanya sepakat memahatkan namanya
dalam gambar daun waru. Tak perlu gambar panah, kata Bhirawa, sebab ia tak suka
cinta mereka terkoyak.
Begitulah
Ayesha menghabiskan hari-hari remajanya bersama Bhirawa di sana. Di bawah pohon
kamboja sambil menikmati es dawet yang lewat tiap jam 2 siang. Tak jarang
sampai sore mereka berdua di sana, tak hanya untuk bercanda, tetapi juga
belajar, membaca cerita, atau mengerjakan PR bersama. Sering Bhirawa memungut
sekuntum kamboja yang luruh kemudian menyelipkan di telinga Ayesha. Kau cantik,
Ay, seperti bintang filem India, begitu selalu Bhirawa memuji Ayesha. Ayesha
menyukai cara Bhirawa memperlakukannya. Lembut dan tidak nakal. Bhirawa tak
seperti pemuda desa lainnya yang kata teman-temannya suka mencium atau
meraba-raba tubuh pacarnya. Bhirawa beda. Bhirawa anak salah seorang tetua desa
yang sangat dihormati. Orang tua Bhirawa juga sangat kaya raya. Namun, semua
itu tak membuat Bhirawa menjadi sombong. Ayesha bangga telah dipilih menjadi
kekasihnya.
***
Hari
ini orang tua Bhirawa datang lagi ke bilik Ayesha. Matanya yang tajam menatap
Ayesha dalam-dalam. Aku tak boleh menunduk karena tak ada salahku padanya,
begitu ketetapan hati Ayesha. Ia tatap kembali mata lelaki tua itu. Makin
berani saja kau padaku, lelaki tua di hadapannya itu mengumpat sambil menjambak
rambut Ayesha.
“Pulanglah,
jangan ganggu dia, dia tak bersalah apa-apa, kalau berani, lawan aku saja!”
tiba-tiba lelaki tua itu marah-marah sambil menyemburkan ludahnya ke wajah
Ayesha.
Betapa
bencinya Ayesha pada lelaki itu. Ia tak mengerti mengapa lelaki itu selalu
memintanya pergi, bukankah ini rumahnya, ini biliknya? Sejak kecil di sinilah
Ayesha tinggal, jadi kemana lagi Ayesha harus pulang.
Ibu
masuk ke bilik Ayesha sambil membawa gelas berisi air putih dan sebuah nampan
berisi berbagai macam bunga. Ayesha menghitung ada tujuh macam. Ada mawar,
melati, kanthil, kenanga, dan entah apa tiga yang lainnya. Sayang tak ada
kambojanya, sesal Ayesha. Ibu menyerahkan bawaannya pada bapak Bhirawa.
“Sudah
semua?” tanya lelaki itu pada ibu.
Tak
ada suara ibu, ia hanya mengangguk.
“Kita
mulai saja, jika terlalu gelap nanti akan kalah kita,” kata lelaki tua itu
lagi.
Ibu
mengiyakan saja. Tanpa berkata-kata, ibu mulai melepaskan semua baju Ayesha.
Matanya berkaca-kaca menatap tubuh anak gadisnya yang baru berumur 19 tahun
itu.
“Betapa
malangnya engkau, anakku, bersabarlah semoga Tuhan segera memberimu kesembuhan.
Ibu ingin melihatmu seperti dulu, tumbuh menjadi gadis ayu, dan suatu kali
datang lelaki meminangmu. Nduk, betapa ibu sangat merindukan suatu hari saat
engkau bersanding dengan lelaki yang dikirimkan Tuhan untukmu,” ibu membisikkan
kalimat-kalimat itu lirih di telinga Ayesha.
Melihat
ibu menitikkan air mata, Ayesha pun meraung.
“Aku
tidak gila, Bu, aku waras. Lepaskan aku. Bhirawa menungguku di sana. Telah ia
kumpulkan sekeranjang kamboja untukku, Bu. Lepaskanlah aku!”
Ayesha
menangis, kerinduannya pada Bhirawa membuncah. Hanya ibu yang menyayanginya
sejak ia diikat seperti kambing di bilik bambu tanpa kasur dan tanpa pintu.
Hanya ibu yang masih menatapnya lembut dan mau menyuapinya saat ia mogok makan.
“Sabar
ya Nduk, nurutlah pada Si Mbah, ia akan menyembuhkanmu, kelak akan ibu antar
engkau menemui Bhirawa,” janji ibu sambil melepaskan kain sarung dari tubuh
Ayesha.
Tak
ada ranum payudara di tubuh Ayesha remaja, tak ada pinggul molek di tubuh
Ayesha. Tubuh itu tinggal tulang dengan lapisan tipis kulit yang kasar dan
kusam. Di beberapa bagian terdapat bisul-bisul kecil dan tak terhitung
bentol-bentol merah bekas gigitan nyamuk. Ibu mengelus bagian itu dengan
berurai air mata. Ayesha tersenyum melihat ibu mengelus bekas gigitan nyamuk
itu. Ia ingat bila malam-malam ratusan nyamuk menyerbu tubuhnya. Dulu ia suka
menjerit-jerit saat ratusan nyamuk menggigit tubuhnya, tapi sekarang ia malah
merindukan kedatangan mereka. Sekarang ia bersahabat dengan nyamuk.
Saat
malam, ketika orang-orang terlelap, tak ada lagi yang ingat padanya, juga ibu. Hanya
pada nyamuk ia dapat bercerita tentang rasa cinta dan rindunya pada Bhirawa. Ratusan
nyamuk itu tak segan-segan menggendong tubuh Ayesha, lalu membawa terbang
ramai-ramai ke bawah pohon kamboja di pojok desa. Di sana ia temukan Bhirawa
sedang menunggunya dengan seplastik es dawet dan dua kuntum kamboja. Sejak itu,
Ayesha tak pernah merasa gatal jika nyamuk menggigitnya. Justru ia merasa harus
berterima kasih pada nyamuk yang telah bersedia mengantarnya menemui
kekasihnya. Ayesha menyimpan rapat-rapat semua itu dari siapa pun. Ia ingin
pertemuannya dengan Bhirawa juga kepergiannya ke bawah pohon kamboja itu
menjadi rahasia dirinya, Bhirawa, juga nyamuk-nyamuk sahabat baiknya.
Brrrr.....
rasa dingin menyentuh kulit kepala Ayesha. Ingin sekali Ayesha berteriak saat
ibu mengguyurkan air dingin bercampur bunga-bunga. Ingin sekali Ayesha
berteriak dan memaki-maki lelaki tua yang telah menyuruh ibu memandikannya
dengan air dingin itu. Tapi, suara Ayesha tertelan air liurnya. Tangannya
gemetar. Ia tak ingin lelaki itu akan meludahinya seperti beberapa waktu yang
lalu saat ia berontak tak mau dimandikan. Hampir saja tangannya memukul ibu,
tetapi wajah ibu yang teduh, suara ibu yang lembut itu membuat tangannya lemah
tak berdaya.
“Nurut
ya Nduk, mandi pakai air kembang, biar tubuhmu bersih dan wangi” kata ibu
sambil menggosok punggung Ayesha.
Hm...
bersih dan wangi? Ayesha tersenyum. Ia ingat suatu sore saat Bhirawa memintanya
untuk bertemu di pojok jalan desa di bawah pohon kamboja. Matahari belum
condong benar ketika ia mandi dengan campuran kuntum-kuntum mawar. Ayesha ingin
bertemu dengan Bhirawa dengan tubuh seharum bunga mawar. Terbayang di matanya
bagaimana Bhirawa akan memuji kecantikan dan harum tubuhnya. Tapi pertemuan itu
tak seindah yang dibayangkan Ayesha. Samar-samar ia melihat bayangan Bhirawa
bergegas lari hendak menjemputnya dari seberang jalan. Bhirawa menyeberang
tanpa melihat jalan. Dari arah barat sebuah truk penuh dengan batang-batang tebu
melaju kencang. Ayesha tak sempat mendengar suara Bhirawa minta tolong atau
menjerit kesakitan. Setalah truk itu melintasi tubuh Bhirawa, ia lihat tubuh
Bhirawa memerah semua. Selanjutnya Ayesha tak ingat apa-apa. Saat tersadar ia
menemukan dirinya telah terbaring di atas dipan kamar ibunya.
Seminggu
setelah peristiwa itu, warga memutuskan menebang pohon kamboja di pojok jalan
itu. Bhirawa bukan korban pertama. Telah ada tujuh orang meninggal dan puluhan
luka-luka karena kecelakaan di pojok jalan itu. Beberapa warga percaya bahwa
pohon kamboja itu ada penunggunya jadi sebelum menebang harus dilakukan
selamatan. Penunggunya harus dipindahkan ke tempat lain. Warga yang tak percaya
pada takhayul menyetujui rencana penebangan kamboja itu. Namun mereka beralasan
pohon kamboja tua dan cukup rimbun itu mengurangi keleluasaan pandangan para
pengemudi. Jadi, wajar saja bila sering terjadi kecelakaan di sana. Bapak dan
ibu Ayesha juga setuju sebab mereka tak ingin Ayesha terus larut dalam
kesedihan dan menghabiskan waktunya dari pagi hingga malam hanya untuk menunggu
Bhirawa. Ayesha tak mau pulang bila tak dijemput paksa bahkan diseret tangannya
oleh bapak ibunya.
Setelah
dilakukan selamatan dan doa bersama, pohon kamboja itu ditebang ramai-ramai
oleh warga. Batang kayunya dibagi-bagikan kepada para penebang untuk dijadikan
kayu bakar. Ibu tersenyum lega sambil berharap takkan ada lagi bencana dan
kesedihan karena pohon kamboja itu.
Penebangan
kamboja itu membuat Ayesha kehilangan cerah di matanya. Semakin hari semakin
redup cahaya di matanya. Ia tak lagi ceria. Tak sedikit pun makanan ia sentuh.
Ia menjadi gadis pendiam. Hingga suatu hari ia keluar dari rumah, lari, dan
berteriak-teriak. Ia lempari rumah orang-orang yang ikut menebang kambojanya
dengan batu. Tak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Ayesha juga sering marah
dan menangis tanpa sebab. Ia memanggil-manggil nama Bhirawa.
Tak
ingin menerima akibat buruk dari kegilaan Ayesha, warga meminta agar Ayesha
dipasung. Sejak itu, Ayesha tidur, makan, bernyanyi, menangis, dan buang air di
bilik bambunya. Tangis dan tawanya terdengar mengerikan bila malam-malam.
Orang-orang tua selalu mengatakan suara itu adalah suara setan untuk menakuti
anak-anaknya yang tidak segera tidur saat hari sudah malam. Tak ada yang
mengerti kesedihan Ayesha.
Keringat
dingin membasahi wajah lelaki tua itu. Dengan nafas memburu, lelaki itu bangkit
dari duduk silanya sambil meneriakkan kata-kata, ampun, ampun, aku menyerah.
Takkan lagi kuganggu engkau, katanya sambil mengangkat kedua tangannya, persis
seperti orang kalah perang. Di pojok bilik kamar Ayesha, tubuh ibu mengigil.
“Kau
lihat sendiri, bukan? Aku telah kalah, aku tak sanggup mengalahkan roh jahat yang bersarang di tubuh
anak gadismu,” kata lelaki tua itu sambil menatap tajam pada ibu.
Ibu
terdiam. Kesedihan semakin membuat kantung matanya menggantung.
Dalam
hati lelaki tua itu tersenyum. Akhirnya bisa juga ia mencari cara untuk
menutupi kagagalannnya mengobati pasiennya. Benar-benar tak tahu ia bagaimana
harus mengakui kekalahannya. Untunglah, tadi dalam semedinya ia ingat
bisik-bisik orang-orang desa bahwa Karto bukan bapak kandung Ayesha. Ayesha
yang cantik, berhidung bangir, berbibir sensual tak mungkin berasal dari bibit
lelaki ringkih, hitam, berambut keriting, dan bermata juling. Di wajah Ayesha
jelas tergurat garis wajah orang India. Tak hanya darah Jawa yang terpancar di
wajah itu.
Lelaki
tua itu berpamitan pada ibu Aesha setelah sebelumnya menghabiskan secangkir
kopi hitam yang sejak tadi dibiarkan dingin dan mengental.
Ibu
Ayesha hanya diam. Pikirannya jauh menerawang ke masa silam, sekitar dua puluh
tahun silam, saat sisa purnama tinggal separoh, dan mendung menggambar bayang
pepohonan menjadi lebih buram. Ia melihat dirinya tertatih-tatih menyeret
sesosok tubuh lelaki kekar. Wajah perempuan itu beku dan dingin. Tak ada rasa
sesal atau takut seperti saat ia menusukkan pedang peninggalan bapaknya pada
lelaki India itu. Perempuan itu hampir berteriak saat tiba-tiba seorang lelaki
berperawakan kecil berdiri di hadapannya. Karto, pemuda itu menatapnya ngeri.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Karto dengan suara bergetar.
“Ia
telah mengoyak-ngoyak kehormatanku, hingga tak sanggup aku memandang terang
matahari,” jawab perempuan itu dingin.
“Apakah
hendak kau hukum aku karena membela kesucian yang Tuhan saja dengan tegas
memerintahkan kita menjaganya?” tambah perempuan itu sambil menatap Karto
dengan pandangan tajam.
“Tidak,
bahkan dengan tangan dan bahuku yang ringkih akan kubantu engkau mengenyahkan
lelaki ini dari bumi, ia tak layak mendapat penghormatan, meski untuk terakhir
kalinya,” Karto menjawab sambil merebut jasad lelaki India itu dari tangan
perempuan malang itu.
Tanpa
kata keduanya membawa ke pojok jalan itu. Di sana mereka mengubur lelaki India
itu tanpa upacara. Hanya sebatang kayu kamboja yang siang tadi dibuang warga.
Perempuan
itu membalas kebaikan hati Karto dengan bersedia menjadi istrinya. Karto pun
bersumpah takkan mengungkit masa lalu ibu Ayesha. Perempuan itu tak pernah
mengira bahwa pokok kamboja yang dulu ditanamnya sembarangan kelak merengut
kebahagiaannya, merengut kewarasan Ayesha. Tapi ia tak sanggup bercerita pada
siapa pun, hanya Karto, lelakinya yang mengerti. Kartolah yang memeluknya erat
saat malam ia menggigil kedinginan karena rasa takut dan sesal yang menderanya.
Tapi ia sungguh tak rela mengapa harus Ayesha yang menanggung dosa-dosanya.
Ayesha tak tahu apa-apa. Ayesha yang malang.
***
Perempuan
itu terbangun dari kenang masa lalunya, saat tangan Atesha menarik-narik kain
panjangnya yang lusuh.
“Maafkan
ibu, Nak,” bisik ibu Ayesha sambil memeluk Ayesha tanpa menghapus air matanya.
“Bu,
Ayesha sudah wangi, sebentar lagi senja tiba, antarkan Ayesha menemui Bhirawa.
Ibu, lihat di sana Bhirawa berdiri di bawah kamboja, sekeranjang kuntum kamboja
ia bawa untukku,” Ayesha memohon pada ibunya.
Telunjuknya
yang kurus menuding ke lurus ke pojok jalan desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar