Sabtu, 16 November 2013

MENGANTARMU KE PINTU NERAKA

“Ia tak mungkin sembuh! Masokisme mustahil untuk disembuhkan! Bukankah sudah kukatakan padamu ratusa kali.”
Eva menatapku tajam. Air matanya mengalir. Namun dengan telaten ia tetap membubuhkan obat merah di punggungku yang masih nyeri. Lecutan cambuk Bram semalam rasanya lebih nyeri dari hari-hari biasanya.
“Tinggalkan saja dia! Kau masih muda dan cantik. Masih banyak lelaki yang antri untuk mendapatkanmu,” kata Eva sambil menatap ngeri bilur-bilur luka di bagian depan dadaku.
Aku menggeleng lemah.
“Tak mungkin. Aku mencintainya.”
“Cinta? Cinta macam apa yang membuatmu rela setiap hari menjadi sasaran kegilaannya. Lihatlah! Seluruh tubuhmu penuh luka! Sampai kapan aku akan bertahan atas nama cinta?”
Ya sampai kapan? Aku sendiri tak pernah pasti. Wajah Bram terbayang di mataku. Aku mencintai atau mengasihaninya?  Mungkinkah aku telah demikian gila mencintai lelaki yang tiap hari menghujaniku dengan tamparan dan lecutan cambuk? Cinta jugakah yang membutakanku sehingga tak sanggup melepaskan diri dari pelukannya? Ah, tatapan sayu Bram seusai kami bercinta semalam terbayang jelas. Tatapan mata putus asa. Penuh permohonan maaf.
“Maafkan aku,” selalu begitu dia mengakhiri percintaan kami.
Selalu pula hanya air mata yang kujadikan jawaban. Saat Bram tertidur pulas, aku merintih kesakitan. Merutuki kemalangan nasibku.
“Apa yang kau harapkan darinya? Dia bukan hanya memperlakukanmu sebagai binatang. Dia juga lintah yang memeras keringat dan darahmu untuk bersenang-senang,” kata Eva sambil menyeduh teh yang tadi kusiapkan untuknya.
“Kau tak akan pernah mengerti,”suaraku lirih.
“Ya... selamanya aku atau siapa pun tak akan pernah mengerti dan tak tak akan pernah bisa menerima kebodohanmu. Kau cantik, cerdas, sukses, dan terhormat. Tidak seharusnya kau menghancurkan hidupmu untuk lelaki biadab macam Bram. Dia bahkan tak berhak mendapatkan  perempuan paling buruk sekali pun di dunia ini.”
Mata Eva menyala-nyala. Aku tahu Eva menyayangiku. Ia satu-satunya sahabat dekatku yang mengetahui penderitaanku selama 2 tahun pernikahanku dengan Bram. Hanya pada Eva kuceritakan semua kepedihan yang kualami sejak seminggu setelah pernikahanku dengan Bram.
Selayaknya pengantin baru, kami menghabiskan malam-malam penuh kemesraan. Hingga malam laknat itu menjadi pembuka penderitaanku. Awal segala penyiksaan yang dilakukan Bram padaku. Bram mencambuk tubuhku entah berapa kali. Ia tak peduli dengan jerit tangis dan permohonan ampunku. Ketika aku menjerit dan memeluk kedua kakinya, memohon padanya untuk menghentikan kegilaannya, ia makin kalap. Semakin aku menjerit kesakitan, ia semakin bergairah. Ia akan mencumbuiku sepuasnya setelah darah menetes dari punggungku, setelah tangis pedihku hampir mencekik suaraku.
Sadis!
Bram menikmati tubuhku sepuasnya ketika aku merintih kesakitan. Ia memelukku, kemudian menggendongku ke atas ranjang pengantin kami. Dengan buas, ia menuntaskan hasratnya pada tubuhku. Tak hanya tubuhku yang pedih, hatiku pun remuk tercabik-cabik.
“Kau gila, Bram!” teriakku saat ia mengakhiri semuanya.
Bram hanya menundukkan mukanya lesu.
“Maafkan aku,”katanya sambil memohon di bawah kakiku.
Wajah yang sesaat tadi seperti iblis, sekarang berubah seperti malaikat. Dengan lembut dan penuh kasih, Bram mengolesi luka-lukaku dengan obat merah. Bagaimana aku bisa mendendam pada lelaki yang telah mampu membuatku memasuki gerbang perkawinan setelah bertahun-tahun memilih untuk membujang selamanya?
Sejak malam itu, setiap kali ia hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, ia pasti memulainya dengan penyiksaan pada tubuhku. Jerit tangisku, luka memar di tubuhku, bahkan kadang darah yang menetes di lantai kamar menjadi pemicu gairahnya untuk mencumbuiku.
Kini di kamar kami ada dua buah cambuk yang ia pasang di dinding. Tepat di atas bantal.
“Ajak dia ke psikiater, Wi,”saran Eva waktu itu.
Aku menggeleng.
“Ia tak akan mau,”jawabku.
“Tapi ia sakit, Wi,” desak Eva.
Hingga kini aku tetap menolak saran itu. Aku lebih memilih membiarkan tubuhku remuk redam dihajar suamiku ketimbang mempermalukan suamiku. Lebih tepatnya, aku tak ingin membuka aib perkawinanku pada siapa pun.
Hueks, hueks. Rasa mual kembali menyerang perutku. Isi perutku terasa diaduk-aduk.
“Kau sakit, Wi?”
“Entahlah. beberapa hari ini tubuhku meriang dan aku malas makan.”
“Masuk angin barangkali. Atau ini akibat perbuatan biadab itu.”
“Eva, kumohon... Jangan lagi kau menyebut Mas Bram biadab. Dia suamiku,”bisikku lemah.
“Iya... iya, aku tahu. Seperti juga tubuhmu yang pada akhirnya tak sanggup bertahan, seharusnya kesabaranmu menghadapinya pun berbatas, Wi.”
Eva menjawab kesal namun tangannya dengan lembut memijat kepala dan punggungku.
“Kuantar kau ke dokter.”
“Nggak usah. Nanti juga sembuh,” jawabku menolak.
“Harus. Kali ini kau harus nurut padaku atau aku tak akan sudi kau jadikan ...,”
Belum sempat Eva menyelesaikan kalimatnya, aku mengangguk keras.
“Iya. Aku mau.”
Aku tak ingin kehilangan Eva. Ia satu-satunya tempatku berbagi.
****
Tak ada yang tahu apa yang menjadi rahasia Tuhan. Kehamilan yang divoniskan dokter tadi pagi anugerah ataukah musibah? Kehamilan yang kedua dalam perkawinana kami. Akankah janin yang kukandung mampu bertahan? Atau ia akan mengikuti jejak kakaknya yang tak sempat kulahirkan.
Terbayang kembali peristiwa empat bulan yang lalu. Pagi-pagi saat bangun tidur kulihat darah menggenang membasahi sepraiku. Aku menjerit ngeri. Bram memelukku lembut. Dari diagnosis dokter siang harinya diketahui bahwa aku mengalami keguguran. Janin yang telah berumur 6 minggu itu gugur sebelum aku sempat menyadari kehadirannya.  
“Ibu harus banyak beristirahat. Jangan terlalu capek. Yang terpenting, jangan terlalu banyak pikiran!”nasihat dokter itu padaku.
Ingin sekali kukatakan semua penderitaanku pada dokter separoh baya yang bermata lembut itu. Aku tak pernah kecapekan bekerja. Bisnis jagal sapi yang kukelola pun sedang laris-larisnya. Hanya dengan sedikit instruksi, semua pekerjaku telah mampu bekerja dengan sebaik-baiknya. Aku yakin janinku dulu gugur karena terkena lecutan ikat pinggang atau cambuk di punggungku, juga ke perutku dua kali. Bram telah membuat janinku pergi untuk selamanya.
Tiba-tiba rasa marah dan benciku pada Bram meluap. Tak hanya darahku yang mendidih, persendian tulang-tulangku pun rasanya gemeretak menahan amarah. Bram telah membuatku kehilangan janinku.
Kali ini aku takkan sudi kehilangan janinku lagi. Bayi yang kini berada di rahimku tak boleh merasakan penderitaan seperti yang dialami ibunya. Bayiku tak boleh mati. Darah yang menggenang di sepraiku beberapa waktu lalu mengingatkanku pada darah sapi-sapi yang dijagal para pekerjaku di rumah potong hewan milikku. Menyaksikan sapi-sapi menggelepar sekarat setelah para jagal memotong nadi sapi-sapi itu di lehernya adalah hal yang biasa bagiku. Tapi, darah segar yang menggenang  waktu itu bukan darah sapi. Darah itu anakku. Darah dagingku.
Alangkah sakitnya kehilangan. Meski yang hilang itu belum sempat hadir. Kematian telah menjemput anakku sebelum ia sempat mengenal kehidupan. Aku tak ingin kematian demi kematian menjemput janin di rahimku. Kematian calon-calon bayiku menyusul kematian perasaanku.
Tubuhku mendadak menggigil saat kusadari aku terlalu jauh berpikir tentang kematian. Kematian yang pasti akan datang menakutkan buat mereka para pendosa. Hm...  kematianlah yang akan memutus hubungan antarorang.  Berpikir tentang kematian, membuat tanganku tanpa sadar mengambil sebilah pisau jagal yang terselip di dinding ruang potong daging.
Gemetar tanganku melihat kilauannya. Tajam. Kuletakkan kembali ke tempat asalnya dan aku bergegas meninggalkan ruangan yang tiba-tiba membuatku ngeri itu. Namun, belum sampai aku ke pintu, aku memilih kembali lagi. Kuambil pisau jagal itu. Sambil berharap tak seorang pun melihat perbuatanku, kumasukkan pisau itu dalam baju panjangku. Dingin. Sedingin hatiku yang mendadak beku.  
****
Di kamar tidur kutatap dan kuelus-elus pisau jagal warisan ibuku. Pisau inilah yang telah mengantarkanku menjadi seorang jagal sapi yang hebat. Aku memang hanya seorang perempuan. Tapi, benturan hidup yang keras, didikan ibuku yang tegas, membuatku mampu melakukan apa pun. Demi hidup, begitu pesan ibu. Termasuk menggorok leher sapi dan menyaksikan sapi-sapi meregang nyawa adalah hal yang bisa dan biasa kulakukan.
Kini, apakah pisau jagal ini juga yang akan membuatku sanggup bertahan hidup?
Setelah lima tahun aku gulung tikar,  jungkir balik mengembangkan usaha jagal sapi warisan ibuku, kini aku jungkir balik mempertahankan hidupku. Lebih tepatnya, mempertahankan hidup dari kekejaman suamiku sendiri. Suami yang kupilih tidak karena kekayaan atau ketampananannya. Ia kupilih karena kisah hidupnya yang mampu membuatku meneteskan air mata.
Bramantyo, suamiku adalah salah seorang di antara para pedagang pasar yang mengambil dagangan dariku. Sikapnya lembut bahkan cenderung pemalu. Dia telah jadi langganan tetapku selama tiga tahun ketika suatu hari kusadari sudah dua minggu ia tak mengambil dagangan. Kudatangi ia di kiosnya. Sebuah kios kecil di deret paling belakang dan paling pojok di antara para penjual daging. Tutup. Tak kutemui ia di sana.
“Mas Bram kemana, Lek Rum?”tanyaku pada pedagang daging kambing di sebelah kios Bram.
“Sudah dua minggu ia sakit,”jawabnya.
“Di rumah sakitkah?”tanyaku.
“Tidak. Sudah di rumah.”
Dari Lek Rum kuperoleh alamat Bram. Kesadaran bahwa para pedagang daging eceran adalah salah satu kunci kesuksesanku, membawaku melangkah ke rumah Bram. Sebuah rumah sederhana. Tiga kali kuketuk pintu rumah mungil itu. Tak ada jawaban. Hampir saja aku pulang, ketika seraut wajah pucat yang telah kukenal akrab membukakan pintu untukku.
“Bu Dewi, maaf tadi setengah tertidur saat mendengar salam ibu. Mari silakan masuk.”
Setelah kurasa cukup, aku mohon pamit. Bram bermaksud mengantarku yang pamitan pulang. Tubuhnya yang masih lemah terhuyung hampir jatuh. Tanpa diminta aku membantunya masuk ke kamar. Kupegangi tangannya dan kuantarkan ia ke kamarnya. Hingga ia berbaring di atas ranjangnya.
Sebuah ranjang sederhana yang dingin. Warna kusam seprai seperti catatan hari-hari kelam seorang bujangan kesepian. Kesepian? Sebuah kata yang rasanya juga terlalu akrab bagiku, seorang perempuan  yang hampir tujuh tahun menjanda setelah kematian suaminya. Bayangan ranjang dingin Bram yang sepi, ranjangku yang indah dan mewah tapi sama-sama sepi, bergantian melintas-lintas di otakku.
Mengapa aku jadi membandingkanya? Membanding-bandingkan kesepianku dengan kesepian Bram? Ah, bukankah Bram seorang laki-laki bujangan? Benar. Tapi aku lebih beruntung. Aku memiliki segalanya, keluarga besar, para pekerja, rumah, usaha, serta banyak orang yang selalu siap membantuku. Tapi Bram. Ah... Lelaki yang malang. Rumah kecilnya nyaris tak pernah tersentuh perempuan. Perabot yang ada di dalamnya menggambarkan kesederhanaan atau lebih tepatnya ketidakmampuan penghuninya untuk membeli perabot semahal yang memenuhi tiap ruangan di rumah mewahku. Kelengangan rumah tanpa penghuni lain di rumah Bram juga adalah gambaran hari-hari sepi yang menyiksa.
Bram... Kulihat ada cairan bening berkilat di kelopak matanya saat kubantu ia merebahkan tubuhnya.
“Terima kasih, Bu. Tak pernah ada orang yang memperlakukan saya sebaik ini,”katanya sambil mengerjapkan mata.
Aku sadar kini. Kalimat Bram yang lirih itu menghujam tepat ke ulu hatiku.  Pengakuan jujur atas sebuah kenyataan hidup yang pahit.
“Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya saya lakukan,”balasku diplomatis.
Hm, keharusan! Keharusan macam apa?  Aku menyesal mengucapkan kalimat itu. Bram menatapku tanpa menutupi rasa kagumnya. Aku tergagap. Kesadaranku datang terlambat. Tak seharusnya aku masuk ke kamar laki-laki. Apalagi di rumah yang tanpa penghuni lain kecuali kami berdua. Aku segera berpamitan.
“Terima kasih, Bu,” Bram meraih tanganku dengan berani.
Entah mengapa aku tak marah. Senyum tulusku merekah. Ada kehangatan aneh yang mengalir dari jemari tanganku yang masih ia genggam. Rasa hangat itu mengalir sampai ke dadaku.
“Semoga lekas sembuh,”kataku saat melangkah meninggalkan kamarnya.
Kutinggalkan rumah sederhana itu. Kutinggalkan lelaki malang itu. Namun, kubawa rasa hangat yang tiba-tiba berdiam di hatiku. Ada keistimewaan pada diri Bram yang membuatku ingin terus mendampinginya. Mengisi ruang-ruang kosong di setiap inchi rumahnya. Mungkin juga, mengisi ruang mimpinya yang senyap.
Sejak itu kami berdua menjadi akrab. Terkadang saat mengambil dagangan di rumah jagalku, Bram akan mampir ke kantor. Sekedar mengucap salam, menanyakan kabar, hingga akhirnya berbincang-bincang panjang.
Bram yang malang. Hidupnya benar-benar malang. Kegagalan rumah tangga orang tuanya membuat masa kecilnya jauh dari kata bahagia. Perkawinan kedua ibunya, dengan seorang preman membuat mimpi masa kecilnya berantakan. Di usia 5 tahun ia sering melihat ayah tirinya memukul ibunya. Tak hanya itu, tepat malam ulang tahunnya ke sepuluh, saat ibunya terbaring sakit, ayah tirinya menjadikannya budak nafsu. Bram merelakan tubuh kecilnya dibekap dan dilumat lelaki bertubuh besar itu.
Rasa sayang pada ibu dan adik bayinya yang masih kecil, membuat Bram mendiamkan segalanya. Saat usianya menginjak 12 tahun, ia tak sanggup menahan amarahnya. Ayah tirinya menampar adik perempuannya yang masih 4 tahun. Sebuah cangkir keramik ia lemparkan tempat mengenai dahi lelaki jahanam itu. Darah mengucur segar dari dahi bapak tirinya.
Bukannya membela dirinya yang dengan gagah telah membela anak perempuannya, sang ibu malah memarahi dan mendamprat Bram.
“Kurang ajar! Anak tak tahu diuntung!”
Plak! Plak!  Beberapa kali tamparan keras mendarat di pantatnya. Tangan ibunya memukul berkali-kali. Bukan sakit pada pantatnya yang membuat Bram mengalirkan air matanya. Tapi perasaan tak adil atas perlakuan ibunya membuat hati Bram terluka parah.
Bram hanya mampu mengucapkan kata ibu di lidahnya. Tak pernah terucap. Hari itu juga ia lari dari rumahnya. Hingga saat aku mengenalnya, ia mengaku tak dapat lagi menemukan keluarganya.
“Aku telah berkali-kali mencoba mencari mereka,”katanya suatu kali dengan muka sedih.
Kepedihan masa lalunya, kesepian hidupnya, dan sikapnya yang santun membuatku jatuh cinta padanya. Tak sampai enam bulan berkenalan, kami akhirnya memutuskan menikah.
Tapi kehangatan ranjang pengantinku hanya bertahan seminggu. Setelah itu, ranjang pengantinku berubah menjadi ruang penyiksaan bagiku. Ruang penyiksaan bagi seorang pesakitan sebelum akhirnya kematian akan menyempurnakan kekalahanku.
Terkadang ingin sekali aku mengakhiri pernikahan ini. Namun, egoku yang terlalu tinggi membuatku tetap bertahan. Aku malu bila keluargaku tahu bahwa aku telah memilih laki-laki yang salah sebagai suamiku. Apalagi bila kuingat komentar Pak De Rohim, kakak almarhum bapakku, saat kukatakan bahwa Bram adalah calon suamiku.
“Nduk, seandainya bapakmu masih ada, dia pasti akan menelisik lebih jauh siapa sebenarnya calon suamimu itu. Harus jelas bobot, bibit, dan bebetnya. Kini kau sudah dewasa, sudah bisa menentukan nasibmu sendiri. Pak Dhe tak bisa melarang,”katanya berat sambil sesekali mengisap kreteknya.
Aku hanya mengangguk waktu itu. Ingin sekali kukatakan pada Pak Dhe bahwa tidak semua hal yang berkaitan dengan bobot, bibit, dan bebet itu akan menjamin kebahagiaan rumah tangga. Bagiku saat itu, cukuplah cinta yang akan menumbuhkan kebahagiaan dalam rumah tangga kami. 
Aku sedang menguatkan batinku untuk mempertahankan hidupku. Mempertahankan janin yang kini tumbuh di rahimku. Pisau jagal ini telah bertahun-tahun menemaniku mempertahankan hidup akan tetap menemani perjuanganku.
***
Bila malam Bram selalu memintaku memijat punggung dan betisnya. Capek kerja katanya.
Aku hanya diam. Tak ada gunanya menjawab. Sebenarnya pekerjaannya sehari-hari hanya mencatat berapa jumlah daging yang terjual dan mencatat keluar masuknya jumlah transkasi harian. Itu pun dia tidak melakukannya sendiri. Ada Khristanti, sekretaris pribadiku yang bertahun-tahun telah melakukan pekerjaan itu. Tanpa Bram pun, Khristanti mampu melakukannya. Bram lebih banyak  menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan sosial. Ia sangat royal memberi bantuan pada anak-anak yatim dan orang-orang jompo.
“Sia-sia saja kita memiliki harta bertumpuk, bila kita tak mendermakannya. Kita bisa jadi pendusta agama,” katanya selalu dengan bangga padaku.
Sebaliknya, Eva selalu sinis mentertawakan perasaan banggaku.
 “Bangga? Ia hanya mengakalimu. Dia itu lintah, Wi!”
Cintaku, rasa sayangku, juga rasa empathiku pada masa lalunya yang gelap membuatku melupakan kekejiannya padaku. Tapi tidak untuk malam ini. Bram tak boleh lagi menyakitiku. Dia tak boleh membuat janin di rahimku luruh lagi.
 “Bagaimana keadaanmu hari ini? masih sakit? Obat dari dokter sudah kau minum?”tanyanya beruntun.
Demi Tuhan, setiap ia memberikan perhatian penuh dan dengan nada lembut seperti ini kebencianku luruh. Amarahku lenyap. Kukerjapkan mataku yang mulai membasah. Ada pertikaian seru di dadaku. Antara keinginan kuat untuk memaafkan, dan keinginan untuk mengakhiri penderitaanku malam ini juga. Aku harus kuat. Malam ini atau selamanya aku akan menjadi pesakitan. Mati pelan-pelan!
   Pelan-pelan kutarik laci meja riasku. Kilatan pisau jagal yang telah beberapa hari itu jatuh tepat di lipatan leher Bram. Lelaki yang kini mendengkur di hadapanku itu tak menyadari bahwa detik ini aku telah membukakan pintu untuk malaikat maut. Aku telah mengundang  malaikat maut di ujung pisau jagalku.
“Jangan lakukan! Dia suamimu!”
Sebuah suara menarik pisau jagalku. Aku gemetar. Ingin sekali kupeluk dan kucium lelaki yang dua tahun ini selalu mendampingi tidurku. Lelaki yang mendengarkan semua cerita dan keluhanku. lelaki yang mempercayakan seluruh kisah hitam masa lalunya padaku.
“Lakukan! Ingat anak yang kau kandung!”
Di antara air mata dan tangan yang gemetar, kukuatkan tekadku.  Dalam pertarungan malam ini, aku harus menang!
***
Di mataku wajah Bram berubah seperti seekor anjing. Tubuhnya yang setengah telanjang itu tiba-tiba dipenuhi bulu-bulu. Kuku-kukunya meruncing dan menghitam. Bram benar-benar  sempurna menjadi anjing. Kini kebencianku semakin sempurna. Sesempurna kebencianku pada anjing. Binatang najis yang membuat orang yang menyentuhnya harus mandi  dengan debu sebanyak 7 kali. Persis seperti diriku yang selalu mengguyur, menggosok  tubuhku hingga tujuh kali, sepuluh kali, bahkan pernah puluhan kali setelah Bram puas mencumbuku. Aku tak tahu sejak kapan aku merasa setiap keringat Bram yang mengenai tubuhku  menjadi lebih najis dari liur anjing.
Kebencianku meruncing. Tawaku lirih tertelan rasa dingin. Kutancapkan pisau jagal itu tepat di jantung Bram. Selanjutnya kubiarkan malaikat maut melakukan tugasnya. menjemput Bram dan mengantarkannya ke pintu neraka.
Di luar malam makin kelam. Bulan tersedu. Aku pun tersedu sesaat. Tak sanggup kubayangkan  milyaran jarum kematian menusuki tubuh Bram. Lenguh kesakitan bercampur dengan umpatan kudengar makin lemah. Kutatap tubuhnya yang menggigil tanpa air mata. Dingin. Sedingin tubuhnya yang kemudian membeku.
Sambil tertawa, kujilat sisa darah yang masih menetes di ujung pisau. Darah Bram,  suamiku.
***
   Didampingi petugas kepolisian, kuantar jasad Bram dikuburkan. Pemakaman itu sederhana dan singkat saja. Begitu doa usai dibacakan, bunga ditaburkan, dan air disiramkan,  orang-orang  bergegas meninggalkan makam.

Kedua petugas kepolisian menggelandangku ke mobil tahanan. Aku menurut saja. Meski rasanya aku sangat ingin menyaksikan dan mendengar, di bawah tanah sana Bram menjerit kesakitan. Betapa ingin aku menyaksikan tubuhnya menjadi kepingan-kepingan saat Munkar dan Nankir mempertanyakan kebiadabannya padaku. Aku berhenti dan menoleh sejenak. Dari arah kubur Bram yang semakin jauh, jelas kudengar  jerit memilukan. Aku yakin, Bram telah tuntas  menjadi remahan-remahan. Ular dan kalajengking berpesta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar