“Ia tak mungkin
sembuh! Masokisme mustahil untuk disembuhkan! Bukankah sudah kukatakan padamu
ratusa kali.”
Eva menatapku
tajam. Air matanya mengalir. Namun dengan telaten ia tetap membubuhkan obat
merah di punggungku yang masih nyeri. Lecutan cambuk Bram semalam rasanya lebih
nyeri dari hari-hari biasanya.
“Tinggalkan saja
dia! Kau masih muda dan cantik. Masih banyak lelaki yang antri untuk
mendapatkanmu,” kata Eva sambil menatap ngeri bilur-bilur luka di bagian depan
dadaku.
Aku menggeleng
lemah.
“Tak mungkin. Aku
mencintainya.”
“Cinta? Cinta macam
apa yang membuatmu rela setiap hari menjadi sasaran kegilaannya. Lihatlah!
Seluruh tubuhmu penuh luka! Sampai kapan aku akan bertahan atas nama cinta?”
Ya sampai kapan?
Aku sendiri tak pernah pasti. Wajah Bram terbayang di mataku. Aku mencintai
atau mengasihaninya? Mungkinkah aku
telah demikian gila mencintai lelaki yang tiap hari menghujaniku dengan
tamparan dan lecutan cambuk? Cinta jugakah yang membutakanku sehingga tak
sanggup melepaskan diri dari pelukannya? Ah, tatapan sayu Bram seusai kami
bercinta semalam terbayang jelas. Tatapan mata putus asa. Penuh permohonan
maaf.
“Maafkan aku,”
selalu begitu dia mengakhiri percintaan kami.
Selalu pula hanya
air mata yang kujadikan jawaban. Saat Bram tertidur pulas, aku merintih
kesakitan. Merutuki kemalangan nasibku.
“Apa yang kau
harapkan darinya? Dia bukan hanya memperlakukanmu sebagai binatang. Dia juga
lintah yang memeras keringat dan darahmu untuk bersenang-senang,” kata Eva
sambil menyeduh teh yang tadi kusiapkan untuknya.
“Kau tak akan
pernah mengerti,”suaraku lirih.
“Ya... selamanya
aku atau siapa pun tak akan pernah mengerti dan tak tak akan pernah bisa
menerima kebodohanmu. Kau cantik, cerdas, sukses, dan terhormat. Tidak
seharusnya kau menghancurkan hidupmu untuk lelaki biadab macam Bram. Dia bahkan
tak berhak mendapatkan perempuan paling
buruk sekali pun di dunia ini.”
Mata Eva menyala-nyala.
Aku tahu Eva menyayangiku. Ia satu-satunya sahabat dekatku yang mengetahui
penderitaanku selama 2 tahun pernikahanku dengan Bram. Hanya pada Eva
kuceritakan semua kepedihan yang kualami sejak seminggu setelah pernikahanku
dengan Bram.
Selayaknya
pengantin baru, kami menghabiskan malam-malam penuh kemesraan. Hingga malam
laknat itu menjadi pembuka penderitaanku. Awal segala penyiksaan yang dilakukan
Bram padaku. Bram mencambuk tubuhku entah berapa kali. Ia tak peduli dengan
jerit tangis dan permohonan ampunku. Ketika aku menjerit dan memeluk kedua
kakinya, memohon padanya untuk menghentikan kegilaannya, ia makin kalap. Semakin
aku menjerit kesakitan, ia semakin bergairah. Ia akan mencumbuiku sepuasnya
setelah darah menetes dari punggungku, setelah tangis pedihku hampir mencekik
suaraku.
Sadis!
Bram menikmati
tubuhku sepuasnya ketika aku merintih kesakitan. Ia memelukku, kemudian
menggendongku ke atas ranjang pengantin kami. Dengan buas, ia menuntaskan
hasratnya pada tubuhku. Tak hanya tubuhku yang pedih, hatiku pun remuk
tercabik-cabik.
“Kau gila, Bram!”
teriakku saat ia mengakhiri semuanya.
Bram hanya
menundukkan mukanya lesu.
“Maafkan
aku,”katanya sambil memohon di bawah kakiku.
Wajah yang sesaat
tadi seperti iblis, sekarang berubah seperti malaikat. Dengan lembut dan penuh
kasih, Bram mengolesi luka-lukaku dengan obat merah. Bagaimana aku bisa
mendendam pada lelaki yang telah mampu membuatku memasuki gerbang perkawinan
setelah bertahun-tahun memilih untuk membujang selamanya?
Sejak malam itu,
setiap kali ia hendak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, ia pasti
memulainya dengan penyiksaan pada tubuhku. Jerit tangisku, luka memar di
tubuhku, bahkan kadang darah yang menetes di lantai kamar menjadi pemicu
gairahnya untuk mencumbuiku.
Kini di kamar kami
ada dua buah cambuk yang ia pasang di dinding. Tepat di atas bantal.
“Ajak dia ke
psikiater, Wi,”saran Eva waktu itu.
Aku menggeleng.
“Ia tak akan
mau,”jawabku.
“Tapi ia sakit,
Wi,” desak Eva.
Hingga kini aku
tetap menolak saran itu. Aku lebih memilih membiarkan tubuhku remuk redam
dihajar suamiku ketimbang mempermalukan suamiku. Lebih tepatnya, aku tak ingin
membuka aib perkawinanku pada siapa pun.
Hueks, hueks. Rasa
mual kembali menyerang perutku. Isi perutku terasa diaduk-aduk.
“Kau sakit, Wi?”
“Entahlah. beberapa
hari ini tubuhku meriang dan aku malas makan.”
“Masuk angin
barangkali. Atau ini akibat perbuatan biadab itu.”
“Eva, kumohon...
Jangan lagi kau menyebut Mas Bram biadab. Dia suamiku,”bisikku lemah.
“Iya... iya, aku
tahu. Seperti juga tubuhmu yang pada akhirnya tak sanggup bertahan, seharusnya
kesabaranmu menghadapinya pun berbatas, Wi.”
Eva menjawab kesal
namun tangannya dengan lembut memijat kepala dan punggungku.
“Kuantar kau ke
dokter.”
“Nggak usah. Nanti
juga sembuh,” jawabku menolak.
“Harus. Kali ini
kau harus nurut padaku atau aku tak akan sudi kau jadikan ...,”
Belum sempat Eva
menyelesaikan kalimatnya, aku mengangguk keras.
“Iya. Aku mau.”
Aku tak ingin
kehilangan Eva. Ia satu-satunya tempatku berbagi.
****
Tak ada yang tahu
apa yang menjadi rahasia Tuhan. Kehamilan yang divoniskan dokter tadi pagi
anugerah ataukah musibah? Kehamilan yang kedua dalam perkawinana kami. Akankah
janin yang kukandung mampu bertahan? Atau ia akan mengikuti jejak kakaknya yang
tak sempat kulahirkan.
Terbayang kembali
peristiwa empat bulan yang lalu. Pagi-pagi saat bangun tidur kulihat darah
menggenang membasahi sepraiku. Aku menjerit ngeri. Bram memelukku lembut. Dari
diagnosis dokter siang harinya diketahui bahwa aku mengalami keguguran. Janin
yang telah berumur 6 minggu itu gugur sebelum aku sempat menyadari
kehadirannya.
“Ibu harus banyak
beristirahat. Jangan terlalu capek. Yang terpenting, jangan terlalu banyak
pikiran!”nasihat dokter itu padaku.
Ingin sekali
kukatakan semua penderitaanku pada dokter separoh baya yang bermata lembut itu.
Aku tak pernah kecapekan bekerja. Bisnis jagal sapi yang kukelola pun sedang
laris-larisnya. Hanya dengan sedikit instruksi, semua pekerjaku telah mampu
bekerja dengan sebaik-baiknya. Aku yakin janinku dulu gugur karena terkena
lecutan ikat pinggang atau cambuk di punggungku, juga ke perutku dua kali. Bram
telah membuat janinku pergi untuk selamanya.
Tiba-tiba rasa
marah dan benciku pada Bram meluap. Tak hanya darahku yang mendidih, persendian
tulang-tulangku pun rasanya gemeretak menahan amarah. Bram telah membuatku kehilangan
janinku.
Kali ini aku takkan
sudi kehilangan janinku lagi. Bayi yang kini berada di rahimku tak boleh
merasakan penderitaan seperti yang dialami ibunya. Bayiku tak boleh mati. Darah
yang menggenang di sepraiku beberapa waktu lalu mengingatkanku pada darah
sapi-sapi yang dijagal para pekerjaku di rumah potong hewan milikku.
Menyaksikan sapi-sapi menggelepar sekarat setelah para jagal memotong nadi
sapi-sapi itu di lehernya adalah hal yang biasa bagiku. Tapi, darah segar yang
menggenang waktu itu bukan darah sapi. Darah
itu anakku. Darah dagingku.
Alangkah sakitnya
kehilangan. Meski yang hilang itu belum sempat hadir. Kematian telah menjemput
anakku sebelum ia sempat mengenal kehidupan. Aku tak ingin kematian demi
kematian menjemput janin di rahimku. Kematian calon-calon bayiku menyusul
kematian perasaanku.
Tubuhku mendadak
menggigil saat kusadari aku terlalu jauh berpikir tentang kematian. Kematian
yang pasti akan datang menakutkan buat mereka para pendosa. Hm... kematianlah yang akan memutus hubungan
antarorang. Berpikir tentang kematian,
membuat tanganku tanpa sadar mengambil sebilah pisau jagal yang terselip di
dinding ruang potong daging.
Gemetar tanganku
melihat kilauannya. Tajam. Kuletakkan kembali ke tempat asalnya dan aku
bergegas meninggalkan ruangan yang tiba-tiba membuatku ngeri itu. Namun, belum
sampai aku ke pintu, aku memilih kembali lagi. Kuambil pisau jagal itu. Sambil
berharap tak seorang pun melihat perbuatanku, kumasukkan pisau itu dalam baju
panjangku. Dingin. Sedingin hatiku yang mendadak beku.
****
Di kamar tidur kutatap
dan kuelus-elus pisau jagal warisan ibuku. Pisau inilah yang telah
mengantarkanku menjadi seorang jagal sapi yang hebat. Aku memang hanya seorang
perempuan. Tapi, benturan hidup yang keras, didikan ibuku yang tegas, membuatku
mampu melakukan apa pun. Demi hidup, begitu pesan ibu. Termasuk menggorok leher
sapi dan menyaksikan sapi-sapi meregang nyawa adalah hal yang bisa dan biasa
kulakukan.
Kini, apakah pisau
jagal ini juga yang akan membuatku sanggup bertahan hidup?
Setelah lima tahun
aku gulung tikar, jungkir balik
mengembangkan usaha jagal sapi warisan ibuku, kini aku jungkir balik
mempertahankan hidupku. Lebih tepatnya, mempertahankan hidup dari kekejaman
suamiku sendiri. Suami yang kupilih tidak karena kekayaan atau ketampananannya.
Ia kupilih karena kisah hidupnya yang mampu membuatku meneteskan air mata.
Bramantyo, suamiku
adalah salah seorang di antara para pedagang pasar yang mengambil dagangan
dariku. Sikapnya lembut bahkan cenderung pemalu. Dia telah jadi langganan
tetapku selama tiga tahun ketika suatu hari kusadari sudah dua minggu ia tak
mengambil dagangan. Kudatangi ia di kiosnya. Sebuah kios kecil di deret paling
belakang dan paling pojok di antara para penjual daging. Tutup. Tak kutemui ia
di sana.
“Mas Bram kemana,
Lek Rum?”tanyaku pada pedagang daging kambing di sebelah kios Bram.
“Sudah dua minggu
ia sakit,”jawabnya.
“Di rumah
sakitkah?”tanyaku.
“Tidak. Sudah di
rumah.”
Dari Lek Rum
kuperoleh alamat Bram. Kesadaran bahwa para pedagang daging eceran adalah salah
satu kunci kesuksesanku, membawaku melangkah ke rumah Bram. Sebuah rumah
sederhana. Tiga kali kuketuk pintu rumah mungil itu. Tak ada jawaban. Hampir
saja aku pulang, ketika seraut wajah pucat yang telah kukenal akrab membukakan
pintu untukku.
“Bu Dewi, maaf tadi
setengah tertidur saat mendengar salam ibu. Mari silakan masuk.”
Setelah kurasa
cukup, aku mohon pamit. Bram bermaksud mengantarku yang pamitan pulang.
Tubuhnya yang masih lemah terhuyung hampir jatuh. Tanpa diminta aku membantunya
masuk ke kamar. Kupegangi tangannya dan kuantarkan ia ke kamarnya. Hingga ia
berbaring di atas ranjangnya.
Sebuah ranjang
sederhana yang dingin. Warna kusam seprai seperti catatan hari-hari kelam
seorang bujangan kesepian. Kesepian? Sebuah kata yang rasanya juga terlalu
akrab bagiku, seorang perempuan yang
hampir tujuh tahun menjanda setelah kematian suaminya. Bayangan ranjang dingin
Bram yang sepi, ranjangku yang indah dan mewah tapi sama-sama sepi, bergantian
melintas-lintas di otakku.
Mengapa aku jadi
membandingkanya? Membanding-bandingkan kesepianku dengan kesepian Bram? Ah,
bukankah Bram seorang laki-laki bujangan? Benar. Tapi aku lebih beruntung. Aku
memiliki segalanya, keluarga besar, para pekerja, rumah, usaha, serta banyak
orang yang selalu siap membantuku. Tapi Bram. Ah... Lelaki yang malang. Rumah
kecilnya nyaris tak pernah tersentuh perempuan. Perabot yang ada di dalamnya
menggambarkan kesederhanaan atau lebih tepatnya ketidakmampuan penghuninya
untuk membeli perabot semahal yang memenuhi tiap ruangan di rumah mewahku.
Kelengangan rumah tanpa penghuni lain di rumah Bram juga adalah gambaran
hari-hari sepi yang menyiksa.
Bram... Kulihat ada
cairan bening berkilat di kelopak matanya saat kubantu ia merebahkan tubuhnya.
“Terima kasih, Bu.
Tak pernah ada orang yang memperlakukan saya sebaik ini,”katanya sambil
mengerjapkan mata.
Aku sadar kini.
Kalimat Bram yang lirih itu menghujam tepat ke ulu hatiku. Pengakuan jujur atas sebuah kenyataan hidup
yang pahit.
“Saya hanya
menjalankan apa yang seharusnya saya lakukan,”balasku diplomatis.
Hm, keharusan!
Keharusan macam apa? Aku menyesal
mengucapkan kalimat itu. Bram menatapku tanpa menutupi rasa kagumnya. Aku
tergagap. Kesadaranku datang terlambat. Tak seharusnya aku masuk ke kamar
laki-laki. Apalagi di rumah yang tanpa penghuni lain kecuali kami berdua. Aku
segera berpamitan.
“Terima kasih, Bu,”
Bram meraih tanganku dengan berani.
Entah mengapa aku
tak marah. Senyum tulusku merekah. Ada kehangatan aneh yang mengalir dari
jemari tanganku yang masih ia genggam. Rasa hangat itu mengalir sampai ke
dadaku.
“Semoga lekas
sembuh,”kataku saat melangkah meninggalkan kamarnya.
Kutinggalkan rumah
sederhana itu. Kutinggalkan lelaki malang itu. Namun, kubawa rasa hangat yang
tiba-tiba berdiam di hatiku. Ada keistimewaan pada diri Bram yang membuatku
ingin terus mendampinginya. Mengisi ruang-ruang kosong di setiap inchi
rumahnya. Mungkin juga, mengisi ruang mimpinya yang senyap.
Sejak itu kami
berdua menjadi akrab. Terkadang saat mengambil dagangan di rumah jagalku, Bram
akan mampir ke kantor. Sekedar mengucap salam, menanyakan kabar, hingga
akhirnya berbincang-bincang panjang.
Bram yang malang.
Hidupnya benar-benar malang. Kegagalan rumah tangga orang tuanya membuat masa
kecilnya jauh dari kata bahagia. Perkawinan kedua ibunya, dengan seorang preman
membuat mimpi masa kecilnya berantakan. Di usia 5 tahun ia sering melihat ayah
tirinya memukul ibunya. Tak hanya itu, tepat malam ulang tahunnya ke sepuluh,
saat ibunya terbaring sakit, ayah tirinya menjadikannya budak nafsu. Bram
merelakan tubuh kecilnya dibekap dan dilumat lelaki bertubuh besar itu.
Rasa sayang pada
ibu dan adik bayinya yang masih kecil, membuat Bram mendiamkan segalanya. Saat
usianya menginjak 12 tahun, ia tak sanggup menahan amarahnya. Ayah tirinya
menampar adik perempuannya yang masih 4 tahun. Sebuah cangkir keramik ia
lemparkan tempat mengenai dahi lelaki jahanam itu. Darah mengucur segar dari
dahi bapak tirinya.
Bukannya membela
dirinya yang dengan gagah telah membela anak perempuannya, sang ibu malah
memarahi dan mendamprat Bram.
“Kurang ajar! Anak
tak tahu diuntung!”
Plak! Plak! Beberapa kali tamparan keras mendarat di
pantatnya. Tangan ibunya memukul berkali-kali. Bukan sakit pada pantatnya yang
membuat Bram mengalirkan air matanya. Tapi perasaan tak adil atas perlakuan
ibunya membuat hati Bram terluka parah.
Bram hanya mampu
mengucapkan kata ibu di lidahnya. Tak pernah terucap. Hari itu juga ia lari
dari rumahnya. Hingga saat aku mengenalnya, ia mengaku tak dapat lagi menemukan
keluarganya.
“Aku telah
berkali-kali mencoba mencari mereka,”katanya suatu kali dengan muka sedih.
Kepedihan masa
lalunya, kesepian hidupnya, dan sikapnya yang santun membuatku jatuh cinta
padanya. Tak sampai enam bulan berkenalan, kami akhirnya memutuskan menikah.
Tapi kehangatan
ranjang pengantinku hanya bertahan seminggu. Setelah itu, ranjang pengantinku
berubah menjadi ruang penyiksaan bagiku. Ruang penyiksaan bagi seorang
pesakitan sebelum akhirnya kematian akan menyempurnakan kekalahanku.
Terkadang ingin
sekali aku mengakhiri pernikahan ini. Namun, egoku yang terlalu tinggi
membuatku tetap bertahan. Aku malu bila keluargaku tahu bahwa aku telah memilih
laki-laki yang salah sebagai suamiku. Apalagi bila kuingat komentar Pak De
Rohim, kakak almarhum bapakku, saat kukatakan bahwa Bram adalah calon suamiku.
“Nduk, seandainya
bapakmu masih ada, dia pasti akan menelisik lebih jauh siapa sebenarnya calon
suamimu itu. Harus jelas bobot, bibit, dan bebetnya. Kini kau sudah dewasa,
sudah bisa menentukan nasibmu sendiri. Pak Dhe tak bisa melarang,”katanya berat
sambil sesekali mengisap kreteknya.
Aku hanya
mengangguk waktu itu. Ingin sekali kukatakan pada Pak Dhe bahwa tidak semua hal
yang berkaitan dengan bobot, bibit, dan bebet itu akan menjamin kebahagiaan rumah
tangga. Bagiku saat itu, cukuplah cinta yang akan menumbuhkan kebahagiaan dalam
rumah tangga kami.
Aku sedang
menguatkan batinku untuk mempertahankan hidupku. Mempertahankan janin yang kini
tumbuh di rahimku. Pisau jagal ini telah bertahun-tahun menemaniku
mempertahankan hidup akan tetap menemani perjuanganku.
***
Bila malam Bram
selalu memintaku memijat punggung dan betisnya. Capek kerja katanya.
Aku hanya diam. Tak
ada gunanya menjawab. Sebenarnya pekerjaannya sehari-hari hanya mencatat berapa
jumlah daging yang terjual dan mencatat keluar masuknya jumlah transkasi
harian. Itu pun dia tidak melakukannya sendiri. Ada Khristanti, sekretaris
pribadiku yang bertahun-tahun telah melakukan pekerjaan itu. Tanpa Bram pun,
Khristanti mampu melakukannya. Bram lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan
kegiatan sosial. Ia sangat royal memberi bantuan pada anak-anak yatim dan
orang-orang jompo.
“Sia-sia saja kita
memiliki harta bertumpuk, bila kita tak mendermakannya. Kita bisa jadi pendusta
agama,” katanya selalu dengan bangga padaku.
Sebaliknya, Eva
selalu sinis mentertawakan perasaan banggaku.
“Bangga? Ia hanya mengakalimu. Dia itu lintah,
Wi!”
Cintaku, rasa
sayangku, juga rasa empathiku pada masa lalunya yang gelap membuatku melupakan
kekejiannya padaku. Tapi tidak untuk malam ini. Bram tak boleh lagi
menyakitiku. Dia tak boleh membuat janin di rahimku luruh lagi.
“Bagaimana keadaanmu hari ini? masih sakit?
Obat dari dokter sudah kau minum?”tanyanya beruntun.
Demi Tuhan, setiap
ia memberikan perhatian penuh dan dengan nada lembut seperti ini kebencianku
luruh. Amarahku lenyap. Kukerjapkan mataku yang mulai membasah. Ada pertikaian
seru di dadaku. Antara keinginan kuat untuk memaafkan, dan keinginan untuk
mengakhiri penderitaanku malam ini juga. Aku harus kuat. Malam ini atau
selamanya aku akan menjadi pesakitan. Mati pelan-pelan!
Pelan-pelan kutarik laci meja riasku. Kilatan pisau jagal
yang telah beberapa hari itu jatuh tepat di lipatan leher Bram. Lelaki
yang kini mendengkur di hadapanku
itu tak menyadari bahwa detik ini aku telah membukakan pintu untuk malaikat
maut. Aku telah mengundang malaikat maut
di ujung pisau jagalku.
“Jangan lakukan!
Dia suamimu!”
Sebuah suara
menarik pisau jagalku. Aku gemetar. Ingin sekali kupeluk dan kucium lelaki yang
dua tahun ini selalu mendampingi tidurku. Lelaki yang mendengarkan semua cerita
dan keluhanku. lelaki yang mempercayakan seluruh kisah hitam masa lalunya
padaku.
“Lakukan! Ingat
anak yang kau kandung!”
Di antara air mata dan tangan yang gemetar, kukuatkan tekadku. Dalam pertarungan malam ini, aku harus
menang!
***
Di mataku wajah
Bram berubah seperti seekor anjing. Tubuhnya yang setengah telanjang itu tiba-tiba dipenuhi
bulu-bulu. Kuku-kukunya
meruncing dan menghitam. Bram
benar-benar sempurna
menjadi anjing. Kini kebencianku semakin sempurna. Sesempurna
kebencianku
pada anjing. Binatang najis yang membuat orang yang menyentuhnya harus
mandi dengan debu sebanyak 7 kali.
Persis seperti diriku yang
selalu mengguyur, menggosok tubuhku hingga tujuh kali,
sepuluh kali, bahkan pernah puluhan kali setelah Bram puas mencumbuku. Aku tak tahu sejak kapan aku merasa
setiap keringat Bram yang mengenai tubuhku menjadi lebih najis dari liur anjing.
Kebencianku
meruncing. Tawaku lirih tertelan rasa dingin. Kutancapkan pisau jagal itu tepat
di jantung Bram. Selanjutnya kubiarkan malaikat maut melakukan tugasnya.
menjemput Bram dan mengantarkannya ke pintu neraka.
Di luar malam makin
kelam. Bulan
tersedu. Aku pun
tersedu sesaat. Tak sanggup kubayangkan
milyaran jarum kematian menusuki tubuh Bram. Lenguh kesakitan bercampur dengan
umpatan kudengar makin lemah. Kutatap tubuhnya yang menggigil tanpa
air mata. Dingin. Sedingin tubuhnya
yang kemudian membeku.
Sambil tertawa, kujilat sisa darah yang masih menetes
di ujung pisau. Darah Bram, suamiku.
***
Didampingi
petugas kepolisian, kuantar
jasad Bram dikuburkan. Pemakaman
itu sederhana dan singkat saja. Begitu doa usai dibacakan, bunga ditaburkan,
dan air disiramkan, orang-orang bergegas meninggalkan
makam.
Kedua petugas
kepolisian menggelandangku ke mobil tahanan. Aku menurut saja. Meski rasanya
aku
sangat ingin menyaksikan dan mendengar, di bawah tanah sana Bram menjerit kesakitan. Betapa ingin aku menyaksikan tubuhnya menjadi
kepingan-kepingan
saat Munkar dan Nankir mempertanyakan
kebiadabannya padaku. Aku berhenti dan menoleh sejenak. Dari
arah kubur Bram yang
semakin jauh, jelas kudengar jerit memilukan. Aku yakin, Bram telah tuntas menjadi remahan-remahan. Ular dan kalajengking
berpesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar