Misye merasa seperti tersambar petir saat Pak
Arif, kepala personalianya, memanggil.
”Bu Misye harus mengikuti training selama sebulan
di Bogor!”
Berita itu ia terima langsung dari kepala bagian
personalia tempatnya sekarang bekerja. Mengikuti training selama sebulan saja
sudah menjadi bencana baginya apalagi di
luar kota. Ia takut membayangkan, tapi sebagai karyawan yang baru saja mendapat promosi, ia harus mengikuti
semua aturan perusahaan. Masalahnya adalah ia mempunyai keluarga, ia memiliki
seorang suami yang sangat baik, serta dua anak yang masih kecil-kecil.
Meninggalkan mereka selama sebulan belum pernah ia lakukan selama ini.
Pikirannya kalut, perasaanku tak karuan. Ia yang
biasanya dikenal sebagai karyawati yang sangat cekatan tiba-tiba saja hari ini
menjelma menjadi karyawati yang ceroboh. Beberapa kali ia sempat menangkap
tatapan mata keheranan dari anak buahnya. Kedudukannya sekarang mengharuskan ia
membawahi sekitar lima puluh anak buah baik yang ada di dalam ruangan maupun
yang terjun di lapangan. Misye bergegas meninggalkan kantor setelah
meninggalkan beberapa pesan pada anak buahnya
untuk menyelesaikan beberapa tugas.
Tiba di rumah bukannya ketenangan yang ia
dapatkan, akan tetapi kekalutan yang semakin menjadi-jadi. Mas Agung, suaminya,
kirim sms akan pulang telat hari ini padahal biasanya pulang tepat jam tiga
sore. Jauh lebih awal dibandingkan Misye
yang seringkali harus pulang malam karena urusan pekerjaan. Sebagai PNS jadwal kerja
Mas Agung jelas, mulai jam tujuh pagi sampai jam tiga sore. Sedangkan pekerjaan
Misye sebagai manajer marketing di perusahaan swasta banyak menuntut waktu,
tenaga, dan pikiran.
Menunggu malam rasanya lama sekali. Di teras rumah
Misye menunggu Mas Agung. Betapa jarang ia bisa menikmati udara segar di
halaman rumahnya yang penuh anggrek dan aneka warna mawar. Mawar merah, kuning,
oranye, juga pink itu seperti warna-warni cintanya pada Mas Agung. Sesekali Mas
Agung suka memetiknya dan menaburkannya di atas ranjang mereka. Biar selalu
seperti malam pertama, kata Mas Agungi.
Akhirnya setelah jarum panjang menunjuk angka
sepuluh dan jarum pendek di angka tiga, Mas Agung pulang dengan sepeda tuanya.
Sebenarnya Misye suka kesal karena Mas Agung terlalu cinta pada motor tuanya
itu. Bayangkan sudah hampir sepuluh tahun umurnya, tapi ia bilang masih enak
mesinnya, dan tidak rewel. Kadang-kadang Misye sampai malu sama teman
kantornya. Bagaimana Mas Agung bertahan dengan motor tuanya sedangkan ia naik
APV terbaru.
Ia sampaikan rencana keberangkatannya ke Bogor
esok hari. Seperti dugaannya semula, Mas Agung sama sekali tidak melarang
kepergian, juga tidak mendorong.
”Pergi saja. Kau tidak perlu memikirkan urusan
rumah dan anak-anak. Lakukan saja tugasmu”, jawabannya selalu tenang seperti
biasanya.
Misye
percaya Mas Agung akan merawat
anak-anak dengan baik bahkan jauh lebih baik dibandingkan jika ia yang harus menunggui mereka. Seharusnya Misye
bersyukur memiliki suami yang begitu sabar dan penuh perhatian. Suami yang tak
pernah melarangnya mengejar karier hingga ia dapat mencapai posisiku sekarang
ini. Tapi.....
*****
Training tentang strategi pemasaran itu diadakan
di sebuah hotel berbintang lima. Hotel yang dari luar nampak sederhana itu
ternyata memiliki keunikan tersendiri. Bangunannya ditata dengan kesan
tradisional. Ada kebun buah-buahan di tengah-tengah bengunan hotel yang konon
didirikan di atas tanah seluas lima hektar itu. Keasriannya masih belum
terperikan jika pandangan mata tertuju pada taman bunga dan kolam ikan yang
terletak persis di depan kamar yang kutempati. Hati Misye sedikit lebih tenang.
Kekalutan pikirannya meninggalkan rumah sedikit terobati.
Seminggu pertama, setiap hari ia selalu menelpon
ke rumah setidaknya dua kali, bahkan pernah empat kali. Bahkan di hari ketiga
sekitar jam setengah dua dini hari ia menelpon ke rumah. Misye sangat merindukan Aditya, si bungsu yang baru
berumur dua tahun. Firasatnya ternyata
benar, Aditya badannya panas.
”Kau tenang saja, tadi sudah kubawa ke dokter. Ia
hanya flu biasa saja”, terang suaminya.
Meski agak kacau, tapi Misye kembali tenang ketika
ia ingat bahwa biasanya Mas Agung akan menggendong anak-anaknya yang sakit
dengan sabar. Biasanya Mas Agung juga
akan terjaga semalaman menunggui mereka. Sementara Misye dibiarkannya untuk
tidur.
”Kau harus istirahat. Kamu nggak akan bisa bekerja
dengan baik jika kurang tidur”, begitu selalu diucapkan suaminya saat membujuk
Misye untuk segera tidur ketika anak-anak mereka sedang sakit. Seharusnya Misye
bersyukur karena memiliki suami yang sangat perhatian. Tapi.....
Minggu kedua, Misye semakin jarang menelpon ke
rumah. Pernah dua hari ia lupa menelpon ke rumah hingga suaminya pagi-pagi
menelpon. Ia mengkhawatirkan kesehatan Misye. Misye minta maaf padanya karena
tak sempat menelpon. Banyak tugas yang harus kukerjakan sampai larut malam.
Suaminya memahami dan menasihati agar Misye beristirahat dan makan cukup.
Mengerjakan tugas sampai larut malam? Wow... Misye
sendiri tak tahu bagaimana tiba-tiba ia bisa mengucapkan kalimat bohong itu. Ia
memang terjaga sampai larut malam, bahkan kadang hampir dini hari ia baru menuju tempat tidur. Bukan karena banyak
tugas yang harus dikerjakan. Akan tetapi...
Seseorang dari masa lalunya ternyata ikut serta dalam training ini.
Bedanya ia tidak menjadi peserta pelatihan seperti Misye tetapi dia menjadi
trainer. Prasetyo. Laki-laki yang pernah mengisi mimpi remaja Misye saat masih
kuliah dulu. Sekarang ia telah menjadi konsultan marketing di pusat
perusahaannya. Tadinya Misye hampir saja tak mengenalnya. Barulah saat moderator
memperkenalkan penyaji materi ’strategi pemasaran global’ Misye tahu bahwa dia adalah Prasetyo.
Misye mengenal Prasetyo sebagai mahasiswa yang
ulet, aktifis, pandai bergaul, dan memiliki semangat kerja yang menggebu-gebu.
Yang mengagumkan lagi, ia juga memiliki otak yang sangat encer. Tak
mengherankan jika banyak gadis di kampusku yang berusaha merebut perhatiannya.
Alangkah bangganya Misye ketika tanpa
diduga, Prasetyo memilihnya. Misye, cewek yang juga aktifis akan tetapi kurang
memiliki prestasi akademis. Misye suka berorganisasi karena suka bergaul.
Hubungannya dengan Prasetyo berjalan dengan baik
selama hampir tiga tahun. Mereka selalu kompak dalam hampir setiap urusan.
Nilai-nilai akademisnya meningkat tajam karena Pras akan dengan senang hati
membantunya mengerjakan tugas-tugas kuliah dan membantunya jika menemui
kesulitan memahami materi perkuliahan. Ibu dan saudara-saudaranya merestui
hubungan itu. Bunga-bunga cinta di hati mereka semakin bermekaran. Harapan
hatinya kelak dialah laki-laki yang akan mendampingi hidupnya dalam berumah
tangga.
Usai sesion ’strategi pemasaran global’ ia
bergegas menemui Prasetyo di ruang para trainer. Prasetyo menatap Misye
terkejut. Ekspresi wajahnya saat terkejut masih seperti dulu. Hanya sekarang
ada kumis dan jambang yang lebih lebat tumbuh menghiasi wajah tampannya yang
kadang-kadang masih sering terlintas di mimpi Misye, bahkan saat-saat ia sedang
menikmati kebersamaan dengan suaminya.
”Misye? My God! Apa kabarmu?”, sapanya ramah.
“Aku baik, kau sendiri?” suara Misye gemetar.
“Kau lihatlah sendiri”, ia berdiri sambil membuka
kedua tangannya. Ia menghampiri Misye dan di luar dugaan ia memeluk Misye,
hangat dan mesra. Sama seperti dulu.
Pelukan hangat Prasetyo yang memporak-porandakan
bangunan kesetiaan Misye sebagai istri yang dibangunnya sepenuh hati selama
delapan tahun. Pelukan hangat yang
membawanya kembali ke masa lalu.
Beberapa saat ia lupa bahwa jauh di rumahnya sana ada seorang suami yang sangat
setia, sangat sabar, dan sangat baik sedang menunggu kepulangannya. Ada dua
anak kecil yang menantikan kehangatan kasih ibunya.
Malamnya Prasetyo mengajaknya makan malam. Ia sama
sekali tak menduga ia mempersiapkan sebuah makan malam yang sangat romantis
lengkap dengan cahaya lilin dan bunga.
”Kau belum bercerita padaku, berapa anakmu
sekarang? Apa kabar suamimu... siapa?”, tanya Prasetyo memulai perbincangan
malam itu.
”Mas Agung. Anakku sudah dua, yang pertama empat
tahun yang kedua baru dua setengah tahun”, jawab Misye detail.
”Wah... selamat. Kau pasti bahagia”, suaranya
tiba-tiba menjadi datar.
”Kamu sendiri?”tanya Misye penuh rasa ingin tahu.
”Aku....? Seperti Kau lihat, aku masih sendiri.
Tak ada perempuan yang mau mendampingi laki-laki macam aku ini. Siapa yang
betah dengan lelaki yang gila kerja seperti aku?”
”Ah... jangan bercanda. Mana ada perempuan yang
menolak laki-laki sesukses kamu. Kesuksesan yang kau raih sekarang menjadi
jaminan kebahagiaan bagi seorang wanita. Aku yakin banyak wanita yang bermimpi
untuk menjadi pendampingmu”.
Prasetyo tak menjawab. Ia berdiri dari kursinya
lalu berdiri tepat di belakang kursi. Ia peluk bahu Misye dari belakang.
”Tapi... tak ada yang seperti kamu. Bertahun-tahun
aku menyesal meninggalkanmu. I miss you, Misye”, bisiknya lirih.
Oh My God, ampuni hamba-Mu yang lemah ini, getar
hati Misye. Getar-getar kerinduan yang
entah dari mana datangnya tiba-tiba merayap hangat di dadanya. Ia tergoda! Ia
tahu bukan salah Prasetyo jika akhirnya ia harus kawin dengan Mas Agung. Lilin
yang berpendar menerangi meja makan kami memantulkan pendar-pendar air matanya.
Luka masa lalu itu mencabik-cabik hatinya. Perasaan bersalah menikam-nikam
dadanya.
@@@@
Sejak malam itu, Mereka selalu menghabiskan
malam-malam berdua saja. Kadang mereka pergi nonton midnight show, kadang sekedar
jalan-jalan sambil shopping, makan malam, atau bahkan sekedar ngobrol di ruang
tamu depan kamar Prasetyo.Misye sangat bahagia. Kebahagiaan dan kehangatan jiwa
yang telah lama tak ia rasakan sejak
pernikahannya dengan Mas Agung.
Mas Agung laki-laki sederhana, seorang PNS di
pemerintahan kota bukan suami pilihannya. Dia adalah laki-laki pilihan ibu
Misye. Laki-laki yang dipilih orang tuanya karena Prasetyo tak juga mengajak
Misye ke pelaminan meski sudah dua tahun ia
lulus sarjana.
Jelas-jelas Misye
menolak perjodohan dalam bentuk apa pun. Ia setuju dengan perumpamaan
yang dipakai Abidah Khaliqy, seorang penulis novel yang menyatakan dalam sebuah
novelnya bahwa ’perjodohan adalah pasungan bagi perempuan untuk meraih
cita-citanya’. Oh, betapa malangnya nasib Misye saat itu. Berkali-kali pula ia
menjelaskan pada ibu bahwa ia belum siap untuk menikah.
Namun pendirian itu goyah ketika suatu hari ibu
sakit keras. Ibu, perempuan yang sendirian
membiayai pendidikannya sampai
menjadi sarjana itu memohon-mohon padanya. Ia ingin melihat Misye
menikah sebelum menyusul bapak menghadap ke hadirat Sang Khaliq.
“Aku belum siap, Mis. Orang tuaku memintaku untuk
melanjutkan kuliahku ke luar negeri. Tunggulah aku dua tahun lagi. Kau
percaya... aku sangat mencintaimu”, kata Prasetyo. Ia berdiri resah sambil
menyulut rokoknya kuat-kuat.
Misye menangis di pelukan Prasetyo. Ia amat takut
kehilangan Prasetyo. Misye merasa inilah saat terakhir untuk dapat merasakan pelukan Prasetyo. Senja sore
itu mencatat tangis Misye sebagai
kenangan paling pedih dalam hidupnya.
Penyakit ibu semakin parah. Dokter memvonis usia
ibu tinggal menghitung hari. Organ-organ tubuhnya yang sakit tak mungkin
diobati lagi karena termakan usia. Ibu tak lagi meminta Misye menikah, tapi
pandangan matanya yang memelas. Air mata yang seringkali diam-diam ia usap
seperti menjadi todongan pistol yang diarahkan tepat di pelipis Misye.
Sehari sebelum ibu menutup mata Misye menerima
pinangan Prasetyo demi ibuku. Seperti tak ada lagi hari esok, sore harinya di
depan ibu yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit, keduanya menikah.
Mata ibu berkaca-kaca, bahagia. Misye tak sanggup
menahan air mata, bukan karena kebahagiaan akan tetapi karena keharuanku
melihat pengorbanannya begitu berarti bagi ibu. Soal hati, jangan ditanya.
Perasannya begitu hambar. Tak ada rasa bahagia atau sedih. Ia tak tahu seperti
apa warna kehidupan rumah tangganya kelak.
Yang ia tahu saat itu hanyalah melihat ibu
bahagia. Di hatinya tidak ada cinta. Yang ia tahu hari itu ia akan menjadi
istri yang setia demi ibu, bukan karena cinta.
Mereka menghabiskan malam pengantin di rumah
sakit. Ibu tak lagi merintih seperti malam-malam sebelumnya. Ketika pasangan
baru itu tertidur karena lelah, suster membangunkan keduanya. Ibu telah pergi
selama-lamanya.
****
Minggu terakhir ia mengikuti training, ia sama
sekali tak pernah menelpon ke rumah. Ia begitu larut dalam kebahagiaan bersama
laki-laki yang begitu diharapkannya
menjadi pendamping hidup. Laki-laki yang sangat energik, dinamis, penuh
semangat dalam hidup. Tipe laki yang sangat ia harapkan. Tidak seperti suaminya
yang begitu pasrah pada keadaan. Lelaki yang ’nerimo ing pandhum’, dan ’ora
ngoyo’. Laki-laki yang tidak memiliki ambisi untuk maju atau merebut posisi.
Tak heran meski telah bekerja selama lima belas tahun, belum pernah ia mendapat
posisi empuk di kantornya. Dulu seringkali Misye menanyakan soal itu padanya.
”Jabatan adalah amanah. Jangan pernah kau meminta
jabatan itu karena tanggung jawabnya sangat besar di mata Allah”, ujarnya
begitu tenang.
Beberapa kali Mas Agung menghubungi HP Misye, tapi
tak pernah dijawab. Ia semakin larut dalam romantisme Prasetyo. Prasetyo
mengayun-ayunkan perasaan kewanitaannya yang merindukan romantisme. Romantisme
yang tak pernah diberikan oleh Mas Agung. Mas Agung bukan lelaki yang romantis
seperti Prasetyo.
Entah setan mana yang telah berhasil membimbing Misye
dan Prasetyo. Mereka telah berada di kamar Prasetyo. Kamar eksekutif yang
sangat eksotis. Lampu kamar yang temaram, bau bunga segar yang dipajang, serta
alunan musik lembut membuat mereka
semakin terbuai. Prasetyo mengajak Misye berdansa. Ia memelukku hangat.
Ia mencium bibir Misye penuh gairah. Ia tengadahkan wajah Misye dan menatap
mata Misye lekat-lekat.
”Menikahlah denganku?” pinta Prasetyo dengan suara
lembut.
Misye tak menjawab. Misye tak tahu bagaimana
menjawabnya.
”Kamu tahu, bertahun-tahun aku merindukanmu. Aku
tetap menunggumu”.
Ya... Prasetyo tak pernah memutuskan cinta mereka.
Ia meninggalkan Misye untuk kuliah lagi. Bukan salahnya Misye menikah dengan
Mas Agung.
Sikap diam Misye membuat Prasetyo semakin berani.
Tangannya mulai nakal. Ia menarik Misye ke atas ranjang. Misye tetap diam. Ia
tak bisa menolak gairah yang diam-diam mulai menguasai kesadarannya. Hampir
saja ia terjerumus.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ada pesan masuk.
Sebelum mematikan HP, ia sempat melihat
nomor HP suaminya sebagai pengirim. Tidak biasanya Mas Agung mengirim SMS
kecuali ada sesuatu yang sangat penting dan HP Misye tak bisa dihubungi.
”Aditya baru saja sadar. Syukurlah operasinya
berjalan lancar”, sebuah pesan singkat yang membombardir kealpaan Misye.
Misye tersungkur dari awan. Gemetar ia berteriak
sambil menangis.
”Adit....ya!”..... Oh, aku tak sanggup menahan
tangis. Operasi? Sakit apa? Maafkan ibumu, anakku!”
Oh.... bergunung-gunung penyesalan menimbun Misye
dalam keterpurukan.
Tak ia hiraukan Prasetyo yang beberapa kali
mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tak ia hiraukan bujukan agar
aku bersikap tenang. Ketika ia memeluk Misye, ia lepaskan pelukan itu dengan kasar.
”Misye.... aku tak suka dengan sikapmu. Lupakan
anakmu, tinggalkan suamimu, jadilah istriku”, suara Prasetyo menampar kesadaran
Misye.
”Tidak......tidak!”
Tak sadar Misye menjerit. Ia tutup kedua
telinganya dengan tangan. Ia tak ingin mendengar suara apa pun. Ia hanya ingin
segera memeluk Aditya. Bayangan Aditya yang tergolek lemah di ranjang rumah
sakit terus menerus mengganjal pelupuk matanya. Oh.... betapa besar dosa ibumu
padamu, anakku, tangis Misye.
”Kamu harus mau. Aku sudah lama menunggumu”,
tiba-tiba suara Prasetyo berubah menjadi suara yang paling mengerikan yang
pernah ia dengar. Ia benci suara itu. Ia jijik melihat Prasetyo. Wajah Prasetyo
tiba-tiba berubah menjadi hantu yang paling mengerikan. Biji matanya tiba-tiba
membulat dan semakin membesar, gigi-giginya semakin memanjang dan meruncing.
Misye bergegas lari meninggalkan kamar itu. Kamar yang penuh dengan hawa setan.
Misye tak lagi peduli dengan Prasetyo atau
training yang sedang ia ikuti. Tanpa berpikir lagi, tanpa mengambil semua
barangnya di kamar ia segera naik taksi. Ya... ia akan pulang dengan bus, bukan
pesawat. Ia takkan sanggup menunggu penerbangan pertama esok pagi. Lebih baik
naik bus, mungkin dini hari nanti ia akan sampai.
Sepanjang perjalanan semua yang ia lakukan dengan
Prasetyo terekam ulang dalam pelupuk matanya. Betapa karena nafsunya ia telah
melupakan anak-anaknya. Oh ... bisa saja berkali-kali Mas Agung dengan panik
menghubunginya lewat HP. Betapa rendahnya aku yang menikmati kelaknatan di saat
anakku bertaruh nyawa di atas meja operasi. Ibu macam apa aku ini?, tangis
Misye.
Betapa besar pengkhianatan yang ia lakukan pada
Mas Agung. Betapa kurang bersyukurnya ia memiliki suami seperti dia. Betapa
laknatnya ia yang telah membalas kesetiaan dan kebaikan Mas Agung dengan
pengkhianatan? Apakah hanya karena sikapnya yang ’nrimo’, dan kurang romantis
harus membuat Misye berpaling? Atau karena penghasilannya yang jauh di bawah
Misye membuat ia berhak berpaling? Itu bukan alasan yang cukup untuk membuat
berpaling. Terlalu banyak kebaikan yang telah dilakukan Mas Agung untuknya dan
anak-anak mereka.
Di atas bus ini, sepanjang perjalanan pulang ini
baru ia sadari bahwa Mas Agung adalah laki-laki terbaik untuknya. Ia bukan
laki-laki yang mengaturnya dalam segala hal. Ia memberi kebebasan untuk
mengembangkan diri semata-mata agar Misye bahagia. Tidak seperti Prasetyo yang
selalu mengatur, bahkan dalam soal selera makan. Mas Agung juga tak pernah
menuntut Misye melakukan hal-hal yang tak ia suka atau tak ia bisa, seperti
Prasetyo. Mengapa romantisme masa lalu itu begitu mudah membuatnya lengah?
Rasanya bus berjalan merangkak. Ayolah....
berlarilah sekencang angin agar aku segera dapat memeluk Aditya dan kakaknya,
Anissa. Aku akan bersimpuh di kaki suamiku. Aku harus membuat pengakuan atas
dosa yang telah kulakukan. Aku yakin Mas Agung pasti akan terluka tapi tak
yakin ia akan memaafkan aku, tangis dan doa Misye berloncatan dari hatinya.
Meski tubuhnya belum ternoda, tapi hatinya telah
tercoreng. Bagaimana ia akan sanggup menghapus semua itu? Bagaimana ia sanggup menatap tatapan sabar suaminya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar