Sabtu, 16 November 2013

PENGAKUAN


Misye merasa seperti tersambar petir saat Pak Arif, kepala personalianya, memanggil.
”Bu Misye harus mengikuti training selama sebulan di Bogor!”
Berita itu ia terima langsung dari kepala bagian personalia tempatnya sekarang bekerja. Mengikuti training selama sebulan saja sudah menjadi  bencana baginya apalagi di luar kota. Ia takut membayangkan, tapi sebagai karyawan yang  baru saja mendapat promosi, ia harus mengikuti semua aturan perusahaan. Masalahnya adalah ia mempunyai keluarga, ia memiliki seorang suami yang sangat baik, serta dua anak yang masih kecil-kecil. Meninggalkan mereka selama sebulan belum pernah ia lakukan selama ini.
Pikirannya kalut, perasaanku tak karuan. Ia yang biasanya dikenal sebagai karyawati yang sangat cekatan tiba-tiba saja hari ini menjelma menjadi karyawati yang ceroboh. Beberapa kali ia sempat menangkap tatapan mata keheranan dari anak buahnya. Kedudukannya sekarang mengharuskan ia membawahi sekitar lima puluh anak buah baik yang ada di dalam ruangan maupun yang terjun di lapangan. Misye bergegas meninggalkan kantor setelah meninggalkan beberapa pesan pada anak buahnya  untuk menyelesaikan beberapa tugas.
Tiba di rumah bukannya ketenangan yang ia dapatkan, akan tetapi kekalutan yang semakin menjadi-jadi. Mas Agung, suaminya, kirim sms akan pulang telat hari ini padahal biasanya pulang tepat jam tiga sore.  Jauh lebih awal dibandingkan Misye yang seringkali harus pulang malam karena urusan pekerjaan. Sebagai PNS jadwal kerja Mas Agung jelas, mulai jam tujuh pagi sampai jam tiga sore. Sedangkan pekerjaan Misye sebagai manajer marketing di perusahaan swasta banyak menuntut waktu, tenaga, dan pikiran.
Menunggu malam rasanya lama sekali. Di teras rumah Misye menunggu Mas Agung. Betapa jarang ia bisa menikmati udara segar di halaman rumahnya yang penuh anggrek dan aneka warna mawar. Mawar merah, kuning, oranye, juga pink itu seperti warna-warni cintanya pada Mas Agung. Sesekali Mas Agung suka memetiknya dan menaburkannya di atas ranjang mereka. Biar selalu seperti malam pertama, kata Mas Agungi.
Akhirnya setelah jarum panjang menunjuk angka sepuluh dan jarum pendek di angka tiga, Mas Agung pulang dengan sepeda tuanya. Sebenarnya Misye suka kesal karena Mas Agung terlalu cinta pada motor tuanya itu. Bayangkan sudah hampir sepuluh tahun umurnya, tapi ia bilang masih enak mesinnya, dan tidak rewel. Kadang-kadang Misye sampai malu sama teman kantornya. Bagaimana Mas Agung bertahan dengan motor tuanya sedangkan ia naik APV terbaru.
Ia sampaikan rencana keberangkatannya ke Bogor esok hari. Seperti dugaannya semula, Mas Agung sama sekali tidak melarang kepergian, juga tidak mendorong.
”Pergi saja. Kau tidak perlu memikirkan urusan rumah dan anak-anak. Lakukan saja tugasmu”, jawabannya selalu tenang seperti biasanya.
Misye  percaya  Mas Agung akan merawat anak-anak dengan baik bahkan jauh lebih baik dibandingkan jika ia  yang harus menunggui mereka. Seharusnya Misye bersyukur memiliki suami yang begitu sabar dan penuh perhatian. Suami yang tak pernah melarangnya mengejar karier hingga ia dapat mencapai posisiku sekarang ini. Tapi.....
*****
Training tentang strategi pemasaran itu diadakan di sebuah hotel berbintang lima. Hotel yang dari luar nampak sederhana itu ternyata memiliki keunikan tersendiri. Bangunannya ditata dengan kesan tradisional. Ada kebun buah-buahan di tengah-tengah bengunan hotel yang konon didirikan di atas tanah seluas lima hektar itu. Keasriannya masih belum terperikan jika pandangan mata tertuju pada taman bunga dan kolam ikan yang terletak persis di depan kamar yang kutempati. Hati Misye sedikit lebih tenang. Kekalutan pikirannya meninggalkan rumah sedikit terobati.
Seminggu pertama, setiap hari ia selalu menelpon ke rumah setidaknya dua kali, bahkan pernah empat kali. Bahkan di hari ketiga sekitar jam setengah dua dini hari ia menelpon ke rumah. Misye  sangat merindukan Aditya, si bungsu yang baru berumur dua tahun. Firasatnya  ternyata benar, Aditya badannya panas.
”Kau tenang saja, tadi sudah kubawa ke dokter. Ia hanya flu biasa saja”, terang suaminya.
Meski agak kacau, tapi Misye kembali tenang ketika ia ingat bahwa biasanya Mas Agung akan menggendong anak-anaknya yang sakit dengan sabar. Biasanya Mas Agung  juga akan terjaga semalaman menunggui mereka. Sementara Misye dibiarkannya untuk tidur.
”Kau harus istirahat. Kamu nggak akan bisa bekerja dengan baik jika kurang tidur”, begitu selalu diucapkan suaminya saat membujuk Misye untuk segera tidur ketika anak-anak mereka sedang sakit. Seharusnya Misye bersyukur karena memiliki suami yang sangat perhatian. Tapi.....
Minggu kedua, Misye semakin jarang menelpon ke rumah. Pernah dua hari ia lupa menelpon ke rumah hingga suaminya pagi-pagi menelpon. Ia mengkhawatirkan kesehatan Misye. Misye minta maaf padanya karena tak sempat menelpon. Banyak tugas yang harus kukerjakan sampai larut malam. Suaminya memahami dan menasihati agar Misye beristirahat dan makan cukup.
Mengerjakan tugas sampai larut malam? Wow... Misye sendiri tak tahu bagaimana tiba-tiba ia bisa mengucapkan kalimat bohong itu. Ia memang terjaga sampai larut malam, bahkan kadang hampir dini hari ia  baru menuju tempat tidur. Bukan karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Akan tetapi...
Seseorang dari masa lalunya  ternyata ikut serta dalam training ini. Bedanya ia tidak menjadi peserta pelatihan seperti Misye tetapi dia menjadi trainer. Prasetyo. Laki-laki yang pernah mengisi mimpi remaja Misye saat masih kuliah dulu. Sekarang ia telah menjadi konsultan marketing di pusat perusahaannya. Tadinya Misye hampir saja tak mengenalnya. Barulah saat moderator memperkenalkan penyaji materi ’strategi pemasaran global’ Misye  tahu bahwa dia adalah Prasetyo.
Misye mengenal Prasetyo sebagai mahasiswa yang ulet, aktifis, pandai bergaul, dan memiliki semangat kerja yang menggebu-gebu. Yang mengagumkan lagi, ia juga memiliki otak yang sangat encer. Tak mengherankan jika banyak gadis di kampusku yang berusaha merebut perhatiannya. Alangkah bangganya Misye  ketika tanpa diduga, Prasetyo memilihnya. Misye, cewek yang juga aktifis akan tetapi kurang memiliki prestasi akademis. Misye suka berorganisasi karena suka bergaul.
Hubungannya dengan Prasetyo berjalan dengan baik selama hampir tiga tahun. Mereka selalu kompak dalam hampir setiap urusan. Nilai-nilai akademisnya meningkat tajam karena Pras akan dengan senang hati membantunya mengerjakan tugas-tugas kuliah dan membantunya jika menemui kesulitan memahami materi perkuliahan. Ibu dan saudara-saudaranya merestui hubungan itu. Bunga-bunga cinta di hati mereka semakin bermekaran. Harapan hatinya kelak dialah laki-laki yang akan mendampingi hidupnya dalam berumah tangga.
Usai sesion ’strategi pemasaran global’ ia bergegas menemui Prasetyo di ruang para trainer. Prasetyo menatap Misye terkejut. Ekspresi wajahnya saat terkejut masih seperti dulu. Hanya sekarang ada kumis dan jambang yang lebih lebat tumbuh menghiasi wajah tampannya yang kadang-kadang masih sering terlintas di mimpi Misye, bahkan saat-saat ia sedang menikmati kebersamaan dengan suaminya.
”Misye? My God! Apa kabarmu?”, sapanya ramah.
“Aku baik, kau sendiri?” suara Misye gemetar.
“Kau lihatlah sendiri”, ia berdiri sambil membuka kedua tangannya. Ia menghampiri Misye dan di luar dugaan ia memeluk Misye, hangat dan mesra. Sama seperti dulu.
Pelukan hangat Prasetyo yang memporak-porandakan bangunan kesetiaan Misye sebagai istri yang dibangunnya sepenuh hati selama delapan tahun. Pelukan hangat yang  membawanya  kembali ke masa lalu. Beberapa saat ia lupa bahwa jauh di rumahnya sana ada seorang suami yang sangat setia, sangat sabar, dan sangat baik sedang menunggu kepulangannya. Ada dua anak kecil yang menantikan kehangatan kasih ibunya.
Malamnya Prasetyo mengajaknya makan malam. Ia sama sekali tak menduga ia mempersiapkan sebuah makan malam yang sangat romantis lengkap dengan cahaya lilin dan bunga.
”Kau belum bercerita padaku, berapa anakmu sekarang? Apa kabar suamimu... siapa?”, tanya Prasetyo memulai perbincangan malam itu.
”Mas Agung. Anakku sudah dua, yang pertama empat tahun yang kedua baru dua setengah tahun”, jawab Misye  detail.
”Wah... selamat. Kau pasti bahagia”, suaranya tiba-tiba menjadi datar.
”Kamu sendiri?”tanya Misye penuh rasa ingin tahu.
”Aku....? Seperti Kau lihat, aku masih sendiri. Tak ada perempuan yang mau mendampingi laki-laki macam aku ini. Siapa yang betah dengan lelaki yang gila kerja seperti aku?”
”Ah... jangan bercanda. Mana ada perempuan yang menolak laki-laki sesukses kamu. Kesuksesan yang kau raih sekarang menjadi jaminan kebahagiaan bagi seorang wanita. Aku yakin banyak wanita yang bermimpi untuk menjadi pendampingmu”.
Prasetyo tak menjawab. Ia berdiri dari kursinya lalu berdiri tepat di belakang kursi. Ia peluk bahu Misye dari belakang.
”Tapi... tak ada yang seperti kamu. Bertahun-tahun aku menyesal meninggalkanmu. I miss you, Misye”, bisiknya lirih.
Oh My God, ampuni hamba-Mu yang lemah ini, getar hati Misye.  Getar-getar kerinduan yang entah dari mana datangnya tiba-tiba merayap hangat di dadanya. Ia tergoda! Ia tahu bukan salah Prasetyo jika akhirnya ia harus kawin dengan Mas Agung. Lilin yang berpendar menerangi meja makan kami memantulkan pendar-pendar air matanya. Luka masa lalu itu mencabik-cabik hatinya. Perasaan bersalah menikam-nikam dadanya.
@@@@
Sejak malam itu, Mereka selalu menghabiskan malam-malam berdua saja. Kadang mereka pergi nonton midnight show, kadang sekedar jalan-jalan sambil shopping, makan malam, atau bahkan sekedar ngobrol di ruang tamu depan kamar Prasetyo.Misye sangat bahagia. Kebahagiaan dan kehangatan jiwa yang telah lama tak  ia rasakan sejak pernikahannya dengan Mas Agung.
Mas Agung laki-laki sederhana, seorang PNS di pemerintahan kota bukan suami pilihannya. Dia adalah laki-laki pilihan ibu Misye. Laki-laki yang dipilih orang tuanya karena Prasetyo tak juga mengajak Misye ke pelaminan meski sudah dua tahun ia  lulus sarjana.
Jelas-jelas Misye  menolak perjodohan dalam bentuk apa pun. Ia setuju dengan perumpamaan yang dipakai Abidah Khaliqy, seorang penulis novel yang menyatakan dalam sebuah novelnya bahwa ’perjodohan adalah pasungan bagi perempuan untuk meraih cita-citanya’. Oh, betapa malangnya nasib Misye saat itu. Berkali-kali pula ia menjelaskan pada ibu bahwa ia belum siap untuk menikah.
Namun pendirian itu goyah ketika suatu hari ibu sakit keras. Ibu, perempuan yang sendirian  membiayai pendidikannya sampai  menjadi sarjana itu memohon-mohon padanya. Ia ingin melihat Misye menikah sebelum menyusul bapak menghadap ke hadirat Sang Khaliq.
“Aku belum siap, Mis. Orang tuaku memintaku untuk melanjutkan kuliahku ke luar negeri. Tunggulah aku dua tahun lagi. Kau percaya... aku sangat mencintaimu”, kata Prasetyo. Ia berdiri resah sambil menyulut rokoknya kuat-kuat. 
Misye menangis di pelukan Prasetyo. Ia amat takut kehilangan Prasetyo. Misye merasa inilah saat terakhir untuk  dapat merasakan pelukan Prasetyo. Senja sore itu mencatat tangis Misye  sebagai kenangan paling pedih dalam hidupnya. 
Penyakit ibu semakin parah. Dokter memvonis usia ibu tinggal menghitung hari. Organ-organ tubuhnya yang sakit tak mungkin diobati lagi karena termakan usia. Ibu tak lagi meminta Misye menikah, tapi pandangan matanya yang memelas. Air mata yang seringkali diam-diam ia usap seperti menjadi todongan pistol yang diarahkan tepat di pelipis Misye.
Sehari sebelum ibu menutup mata Misye menerima pinangan Prasetyo demi ibuku. Seperti tak ada lagi hari esok, sore harinya di depan ibu yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit, keduanya menikah.
Mata ibu berkaca-kaca, bahagia. Misye tak sanggup menahan air mata, bukan karena kebahagiaan akan tetapi karena keharuanku melihat pengorbanannya begitu berarti bagi ibu. Soal hati, jangan ditanya. Perasannya begitu hambar. Tak ada rasa bahagia atau sedih. Ia tak tahu seperti apa warna kehidupan rumah tangganya kelak.
Yang ia tahu saat itu hanyalah melihat ibu bahagia. Di hatinya tidak ada cinta. Yang ia tahu hari itu ia akan menjadi istri yang setia demi ibu, bukan karena cinta.
Mereka menghabiskan malam pengantin di rumah sakit. Ibu tak lagi merintih seperti malam-malam sebelumnya. Ketika pasangan baru itu tertidur karena lelah, suster membangunkan keduanya. Ibu telah pergi selama-lamanya.
****
Minggu terakhir ia mengikuti training, ia sama sekali tak pernah menelpon ke rumah. Ia begitu larut dalam kebahagiaan bersama laki-laki yang begitu diharapkannya  menjadi pendamping hidup. Laki-laki yang sangat energik, dinamis, penuh semangat dalam hidup. Tipe laki yang sangat ia harapkan. Tidak seperti suaminya yang begitu pasrah pada keadaan. Lelaki yang ’nerimo ing pandhum’, dan ’ora ngoyo’. Laki-laki yang tidak memiliki ambisi untuk maju atau merebut posisi. Tak heran meski telah bekerja selama lima belas tahun, belum pernah ia mendapat posisi empuk di kantornya. Dulu seringkali Misye  menanyakan soal itu padanya.
”Jabatan adalah amanah. Jangan pernah kau meminta jabatan itu karena tanggung jawabnya sangat besar di mata Allah”, ujarnya begitu tenang.
Beberapa kali Mas Agung menghubungi HP Misye, tapi tak pernah dijawab. Ia semakin larut dalam romantisme Prasetyo. Prasetyo mengayun-ayunkan perasaan kewanitaannya yang merindukan romantisme. Romantisme yang tak pernah diberikan oleh Mas Agung. Mas Agung bukan lelaki yang romantis seperti Prasetyo.
Entah setan mana yang telah berhasil membimbing Misye dan Prasetyo. Mereka telah berada di kamar Prasetyo. Kamar eksekutif yang sangat eksotis. Lampu kamar yang temaram, bau bunga segar yang dipajang, serta alunan musik lembut membuat mereka  semakin terbuai. Prasetyo mengajak Misye berdansa. Ia memelukku hangat. Ia mencium bibir Misye penuh gairah. Ia tengadahkan wajah Misye dan menatap mata Misye lekat-lekat.
”Menikahlah denganku?” pinta Prasetyo dengan suara lembut.
Misye tak menjawab. Misye tak tahu bagaimana menjawabnya.
”Kamu tahu, bertahun-tahun aku merindukanmu. Aku tetap menunggumu”.
Ya... Prasetyo tak pernah memutuskan cinta mereka. Ia meninggalkan Misye untuk kuliah lagi. Bukan salahnya Misye menikah dengan Mas Agung.
Sikap diam Misye membuat Prasetyo semakin berani. Tangannya mulai nakal. Ia menarik Misye ke atas ranjang. Misye tetap diam. Ia tak bisa menolak gairah yang diam-diam mulai menguasai kesadarannya. Hampir saja ia terjerumus.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ada pesan masuk. Sebelum mematikan HP, ia  sempat melihat nomor HP suaminya sebagai pengirim. Tidak biasanya Mas Agung mengirim SMS kecuali ada sesuatu yang sangat penting dan HP Misye tak bisa dihubungi.
”Aditya baru saja sadar. Syukurlah operasinya berjalan lancar”, sebuah pesan singkat yang membombardir kealpaan Misye.
Misye tersungkur dari awan. Gemetar ia berteriak sambil menangis.
”Adit....ya!”..... Oh, aku tak sanggup menahan tangis. Operasi? Sakit apa? Maafkan ibumu, anakku!”
Oh.... bergunung-gunung penyesalan menimbun Misye dalam keterpurukan.
Tak ia hiraukan Prasetyo yang beberapa kali mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tak ia hiraukan bujukan agar aku bersikap tenang. Ketika ia memeluk Misye, ia lepaskan pelukan itu  dengan kasar.
”Misye.... aku tak suka dengan sikapmu. Lupakan anakmu, tinggalkan suamimu, jadilah istriku”, suara Prasetyo menampar kesadaran Misye.
”Tidak......tidak!”
Tak sadar Misye menjerit. Ia tutup kedua telinganya dengan tangan. Ia tak ingin mendengar suara apa pun. Ia hanya ingin segera memeluk Aditya. Bayangan Aditya yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit terus menerus mengganjal pelupuk matanya. Oh.... betapa besar dosa ibumu padamu, anakku, tangis Misye.
”Kamu harus mau. Aku sudah lama menunggumu”, tiba-tiba suara Prasetyo berubah menjadi suara yang paling mengerikan yang pernah ia dengar. Ia benci suara itu. Ia jijik melihat Prasetyo. Wajah Prasetyo tiba-tiba berubah menjadi hantu yang paling mengerikan. Biji matanya tiba-tiba membulat dan semakin membesar, gigi-giginya semakin memanjang dan meruncing. Misye bergegas lari meninggalkan kamar itu. Kamar yang penuh dengan hawa setan.
Misye tak lagi peduli dengan Prasetyo atau training yang sedang ia ikuti. Tanpa berpikir lagi, tanpa mengambil semua barangnya di kamar ia segera naik taksi. Ya... ia akan pulang dengan bus, bukan pesawat. Ia takkan sanggup menunggu penerbangan pertama esok pagi. Lebih baik naik bus, mungkin dini hari nanti ia akan sampai.
Sepanjang perjalanan semua yang ia lakukan dengan Prasetyo terekam ulang dalam pelupuk matanya. Betapa karena nafsunya ia telah melupakan anak-anaknya. Oh ... bisa saja berkali-kali Mas Agung dengan panik menghubunginya lewat HP. Betapa rendahnya aku yang menikmati kelaknatan di saat anakku bertaruh nyawa di atas meja operasi. Ibu macam apa aku ini?, tangis Misye.
Betapa besar pengkhianatan yang ia lakukan pada Mas Agung. Betapa kurang bersyukurnya ia memiliki suami seperti dia. Betapa laknatnya ia yang telah membalas kesetiaan dan kebaikan Mas Agung dengan pengkhianatan? Apakah hanya karena sikapnya yang ’nrimo’, dan kurang romantis harus membuat Misye berpaling? Atau karena penghasilannya yang jauh di bawah Misye membuat ia berhak berpaling? Itu bukan alasan yang cukup untuk membuat berpaling. Terlalu banyak kebaikan yang telah dilakukan Mas Agung untuknya dan anak-anak mereka. 
Di atas bus ini, sepanjang perjalanan pulang ini baru ia sadari bahwa Mas Agung adalah laki-laki terbaik untuknya. Ia bukan laki-laki yang mengaturnya dalam segala hal. Ia memberi kebebasan untuk mengembangkan diri semata-mata agar Misye bahagia. Tidak seperti Prasetyo yang selalu mengatur, bahkan dalam soal selera makan. Mas Agung juga tak pernah menuntut Misye melakukan hal-hal yang tak ia suka atau tak ia bisa, seperti Prasetyo. Mengapa romantisme masa lalu itu begitu mudah membuatnya lengah?
Rasanya bus berjalan merangkak. Ayolah.... berlarilah sekencang angin agar aku segera dapat memeluk Aditya dan kakaknya, Anissa. Aku akan bersimpuh di kaki suamiku. Aku harus membuat pengakuan atas dosa yang telah kulakukan. Aku yakin Mas Agung pasti akan terluka tapi tak yakin ia akan memaafkan aku, tangis dan doa Misye berloncatan dari hatinya.

Meski tubuhnya belum ternoda, tapi hatinya telah tercoreng. Bagaimana ia akan sanggup menghapus semua itu? Bagaimana ia  sanggup menatap tatapan sabar suaminya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar