PENGEMBANGAN KARIER PENDIDIK BERBASIS KTI
(Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan bertema "Pengembangan Karier Pendidik Berbasis KTI" di Universitas Negeri Malang, Minggu, 23 Agustus 2015)
Prolog: Sejatinya, dalam kegiatan seminar nasional ini, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri malang mengundang 3 pihak yaitu (1) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, (b) Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia/ IGI, dan (3) Ketua Asosiasi Dosen Indonesia. Berhubung Ketua IGI, Bapak Drs. Satria Darma dan Sekjen IGI Bpk. Drs. Mohammad Ihsan berhalangan hadir, saya mewakii Pengurus IGI pusat menggantikan tugas berat ini.
Sejak
diterapkannya Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan
Kepegawaian Nasional Nomor
03/V/PB/2010 Nomor 14 tahun
2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya muncul beragam tanggapan di
kalangan para guru terhadap tuntutan untuk membuat publikasi ilmiah. Di antara alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menolaknya berpendapat bahwa tuntutan menulis karya tulis ilmiah guru itu tidak memiliki
landasan regulasi yang kuat dan tidak sesuai dengan pasal 1 UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa tugas utama guru adalah mengajar,
membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Tidak ada satu pun kata
"menulis" atau "membuat karya ilmiah" atau
"meneliti".
Benarkah
demikian?
Dalam
buku 4, Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru disebutkan syarat-syarat karya
tulis ilmiah guru harus memenuhi persyaratan APIK yaitu asli, penting, ilmiah,
dan konsisten. Asli, KTI harus asli artinya benar-benar dibuat sendiri
oleh guru, bukan hasil plagiat, apalagi dibuatkan orang lain. Perlu, laporan KTI yang dibuat harus
sesuatu yang diperlukan dan mempunyai
manfaat dalam menunjang pengembangan keprofesian dari guru yang
bersangkutan. Manfaat tersebut diutamakan untuk memperbaiki mutu pembelajaran di
satuan pendidikan guru bersangkutan.
Ilmiah, KTI disajikan dengan
memakai kerangka isi dan mempunyai kebenaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah
kebenaran ilmiah. Konsisten, isi
laporan harus sesuai dengan tugas pokok penyusunnya. Bila penulisnya
seorang guru, maka isi laporan haruslah berada pada bidang tugas guru yang
bersangkutan, dan membahas tugas pembelajaran yang sesuai dengan tugasnya di sekolah /madrasahnya.
Berdasarkan
kutipan di atas jelas tertulis bahwa KTI yang dibuat guru harus berkaitan
dengan upaya guru untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan sesuai dengan tugas
pokoknya sebagai guru yaitu mengajar. Dengan berdasar pada pemikiran tersebut
jelaslah bahwa menyusun dan memublikasikan KTI pada dasarnya tidak bertentangan
dengan tugas utama guru. Sebaliknya, apabila hal tersebut direnungkan lebih
dalam justru akan diperoleh pemahaman bahwa menyusun KTI bagi guru merupakan
satu rangkaian dari tugas utamanya. Salah satu jenis KTI yang sesuai dengan
tugas utama guru adalah penelitian tindakan kelas (PTK).
Wardani
dan Wihardit (2014) menyatakan bahwa karakteristik PTK adalah adanya kesadaran
guru tentang adanya permasalahan dalam pembelajarannya dan self reflektif inquiry yaitu upaya sadar guru untuk melakukan
refleksi dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Kedua hal ini tidak
dapat dilepaskan dari tugas utama guru untuk mengajar, membimbing, melatih,
menilai, dan mengevaluasi. Secara sederhana penulis bahkan berkeyakinan bahwa
sejatinya PTK ‘hanya laporan tertulis’ dari apa-apa yang dilakukan oleh guru
untuk meningkatkan kinerjanya. Apa-apa yang dilakukan guru tersebut
direncanakan dan dilaporkan proses serta hasilnya secara tertulis.
Fakta di Lapangan
Berdasarkan hasil survei pada 45 guru (yang saya lakukan melalui SMS, WA, BBM dan email) serta hasil menermati diskusi teman-teman guru di FB, saya mengelompokkan guru menjai tiga kelompok dalam menyikapi
kebijakan wajib menyusun KTI bagi guru.
Pertama, kelompok guru yang menganggap tuntutan
pemerintah tersebut wajar mengingat penghasilan guru saat ini jauh lebih besar
dibandingkan sebelum mereka menerima tunjangan profesi guru (TPG). “Tuntutan
lebih banyak itu wajar, seimbang dengan penghasilan guru yang lebih meningkat.”
Kelompok guru ini terutama tampak pada para guru yang sudah memiliki kemampuan
menulis KTI dan sudah memiliki KTI. Meskipun demikian, ada juga sedikit guru
yang mengambil sikap menerima tuntutan kebijakan ini, tetapi belum mampu dan belum
menulis KTI. Mereka biasanya memiliki kesadaran tinggi untuk meningkatkan
kompetensinya menulis KTI dengan aktif mengikuti pelatihan menulis secara
mandiri baik dalam pertemuan langsung maupun kelompok-kelompok diskusi online.
Kedua, kelompok guru yang dengan berbagai alasan
menolak tuntutan menulis KTI. Beberapa alasan yang disampaikan guru dalam
kelompok ini antara lain (a) meneliti bukan termasuk tugas guru. Bila meneliti
merupakan tugas utama guru seharusnya kewajiban mengajar guru tidak lagi 24-40
jam per minggu; (b) Tuntutan menyusun KTI bagi guru hanyalah upaya pemerintah
menutupi niat sesungguhnya yaitu mengurangi jumlah guru yang berhak mendapat
TPG. Alasan ini didasari pemikiran bahwa pemerintah ‘keberatan’ membayar TPG
guru karena jumlah guru penerima TPG sangat berat sehingga sangat membebani
APBN; (c) Para guru menenggarai ada kecemburuan PNS nonguru terhadap TPG karena
menganggap beban tugas guru lebih ringan dibanding PNS lain dan kenaikan
pangkat guru dianggap terlalu mudah; (d) Tanpa menulis KTI dan tidak naik pangkat pun
selama ini para guru tetap aman mendapatkan gaji penuh dan TPG tetap lancar; dan (e.) Kenaikan pangkat guru yang menuntut
persyaratan memberatkan, menyusun KTI, tidak diimbangi dengan peningkatan
tunjangan fungsional yang ‘menggiurkan’. Peningkatan tunjangan kenaikan pangkat
guru dari satu golongan ke golongan berikutnya hanya dalam kisaran puluhan ribu
rupiah. Bandingkan dengan kenaikan tunjangan dosen ketika naik pangkat.
Ketiga, kelompok guru yang bersikap apatis. Tidak
menerima dan tidak menolak tuntutan menyusun KTI. Para guru ini bersikap santai
dan menunggu karena mereka belum berada pada posisi harus naik pangkat.
Kalaupun ada guru yang sudah lama stagnan pada golongan IV/ a, mereka tetap
tenang karena meskipun tidak naik pangkat bertahun-tahun mereka tetap menerima
gaji dan TPG utuh. Tidak ada sanksi apa pun yang diterimanya.Ancaman untuk mengalihfungsikan guru yang tidak naik pangkat lebih dari 5 tahun menjadi tenaga TU pun hanya gosip yang tidak terbukti hingga saat ini.
Mengapa Guru
“Sulit”Menulis KTI
Rendahnya kompetensi guru dalam menulis KTI
sudah sejak lama menjadi isu nasional dalam dunia pendidikan. Isu ini diperkuat
dengan besarnya jumlah guru yang pangkatnya terhenti di golongan IV/a karena
sebelum tahun 2013 untuk dapat naik ke golongan IV a guru dituntut membuat
karya ilmiah. Data
resmi data Depdiknas tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah guru yang terhambat
karirnya (macet pada golongan ruang IV/a) sebanyak 334.184 orang. Sementara,
sebanyak 347.565 guru yang berstatus golongan ruang III/d sedang antri naik
golongan ruang IV/a. Sementara itu, jumlah guru yang bergolongan ruang IV/b
hanya 2.318 orang (di bawah 1 %).
Bila
benar asumsi bahwa kemacetan pangkat guru disebabkan oleh ketidakmampuan
menyusun KTI dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi setelah KTI
menjadi syarat kenaikan pangkat sejak golongan III b?
Berdasarkan
sumbernya, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru dalam
menulis KTI yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor
eksternal yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru dalam menulis KTI antara
lain
a. Pelatihan
menulis KTI yang banyak dilakukan lebih banyak yang bersifat teoritis, bukan
praktis. Akibatnya, seusai pelatihan guru hanya mampu memahami KTI secara
teoritis, tetapi kemampuan untuk praktik menulis KTI masih tetap rendah. Meski
tidak memiliki data akurat, penulis yakin bahwa hampir pada semua pelatihan
menulis KTI, hanya sebagian kecil saja peserta yang pada akhirnya benar-benar
mau dan mampu melakukan penelitian dan menyusun KTI.
b. Guru
kesulitan menemukan narasumber, pelatih, atau instruktur penulisan KTI yang
mampu melatihkan tidak hanya teori, tetapi juga praktik langsung di lapangan.
Tak banyak kepala sekolah dan pengawas yang menguasai teori KTI sekaligus mampu
menyusun KTI. Pelatihan menulis KTI yang dilakukan selama ini memang
menghadirkan para pakar penelitian. Namun, sebagian besar pakar itu lebih
sering menjejalkan teori tentang penelitian, bukan praktik meneliti dan
menyusun KTI. Akibatnya, sepulang pelatihan para guru hanya paham tentang KTI
tetapi tetap saja belum mampu melakukan penelitian dan menyusun KTI.
c. Problem
di atas masih disusul dengan problem lainnya yaitu jarang sekali ada
pendampingan pasca pelaksanaan pelatihan. Akibatnya, saat melakukan penelitian
dan mengalami kesulitan guru tidak tahu harus bertanya kepada siapa.
d. Kurangnya
dukungan dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan. Di tengah kesulitannya
menyusun KTI, para guru tentu membutuhkan dukungan dari sekolah dan Dinas
Pendidikan seperti pengadaan pelatihan yang memadai, penyediaan sarana dan
prasarana, dan sebagainya. Tidak hanya itu, tidak adanya ‘sanksi’ bagi guru
yang tidak naik pangkat selama bertahun-tahun karena ketidakmampuan menyusun
KTI menyebabkan para guru tidak merasa dituntut untuk menyusun KTI. Dukungan dari pihak sekolah atau Dinas pendidikan yang paling banyak dilakukan selama ini hanya berupa motivasi lisan, meski tak jarang motivasi lisan itu bernada ancaman. Sayang,tak mempan.
e. Kewajiban mengajar 24 – 40 jam per minggu
cukup menyita waktu dan tenaga guru. Dalam praktik melaksanakan tugas utama
guru, ternyata pemerintah abai ‘mengakui’ kinerja guru di luar jam tatap muka.
Tugas utama guru sesungguhnya dilakukan mulai dari melakukan perencanaan,
melaksanakan pembelajaran, penilaian, hingga perbaikan dan pengayaan. Waktu dan
tenaga guru untuk membuat persiapan pembelajaran, melakukan penilaian,
pengayaan, dan remedial nyaris tidak diakui meskipun pekerjaan tersebut sangat
menyita waktu dan tenaga guru. Bahkan, di awal tahun ajaran baru, sudah bukan
rahasia lagi bila para guru menyelesaikan perangkat pembelajaran hingga harus
lembur bermalam-malam. Apakah hal ini pernah dipikirkan oleh pemerintah?
Di lapangan banyak guru yang
terpaksa mengajar lebih dari 30 jam per minggu. Akibatnya, jangankan untuk
melakukan penelitian, mereka bahkan tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa
pekerjaan siswa dengan baik. Sebagai contoh misalnya seorang guru matematika
SMA harus mengajar 7 kelas atau 28 jam per minggu dengan jumlah siswa antara 38
– 40 orang. Untuk mengoreksi pekerjaan satu kelas minimal dibutuhkan waktu 200
menit atau setara dengan 4 jam pelajaran. Untuk itu, iaharus menyisihkan waktu
di luar jam dinas (biasanya pada malam hari) untuk mengoreksi pekerjaan siswa.
Belum lagi tugas-tugas lain yang diberikan sekolah. Pada sisi lain, banyak guru
terpaksa harus mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi tuntutan 24 jam
mengajar. Akibatnya, jangankan untuk menyusun KTI, mengajar pun mereka menjadi
kurang fokus.
Dalam kaitannya dengan tuntutan
menulis KTI, apa yang penulis sampaikan di atas bukan dimaksudkan untuk meminta
upah untuk waktu kerja di luar jam kerja. Namun, mewakili suara guru, penulis
berharap agar pemerintah memperhitungkan waktu yang dipergunakan guru untuk
mengerjakan tugas di luar tatap muka sebagai bagian dari kewajiban 24 jam per
minggu.
Faktor
internal yang menyebabkan rendahnya kemampuan guru menyusun KTI antara lain
a.
Rendahnya budaya membaca dan menulis
di kalangan guru. Kurangnya
pengetahuan dan wawasan guru akibat rendahnya budaya membaca akan menyulitkan para guru untuk menyusun
karya ilmiah. Fakta lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah dalam keseharian para guru
sering menugaskan para siswa melakukan penelitian dan menyusun laporan
penelitian, sedangkan mereka sendiri nyaris tidak pernah melakukan penelitian
dan menyusun laporannya. Seorang guru adalah teladan bagi para siswanya.
Bagaimana mungkin ia akan mampu mendidik siswanya dengan baik bila ia hanya
berteori dan menugaskan, tidak memberikan teladan.
Kita bisa melihat dalam berbagai lomba menulis yang diadakan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk guru. Terbukti, dari grup Facebook
Ikatan Guru Gila Lomba (IGGL) yang penulis ikuti, dari tahun ke tahun guru yang
mengikuti lomba menulis tidak terlalu banyak bertambah jumlahnya. Pemenangnya
pun bisa dikatakan para pemain lama. Jangankan menyusun KTI, para guru lebih
memilih membeli atau foto kopi bahan ajar dan LKS daripada menyusun sendiri.
b.
Rendahnya motivasi guru untuk membuat karya tulis. Meskipun tuntutan
untuk menulis KTI sudah ramai dibicarakan, faktanya banyak guru yang belum juga
tergerak untuk melakukannya. Para guru benar-benar berada dalam ‘zona aman’. Iming-iming yang selama ini diberikan pada guru yang berhasil menulis PTK tidak mampu menarik minat guru.
c. Kurangnya
kesadaran para guru bahwa menyusun KTI, misalnya PTK atau best practice, merupakan bagian dari
tanggung jawab utamanya sebagai seorang guru. Akibatnya, ketika mereka dituntut
untuk menyusun KTI mereka melakukan tindakan kurang terhormat seperti
‘menjahitkan’ dan atau kopi paste PTK.
Potensi yang Mungkin
Terjadi
Fakta-fakta
di lapangan di atas menunjukkan pada kita bahwa kebijakan wajib menyusun KTI
bagi guru disikapi dengan cara yang berbeda oleh para guru. Namun, hal yang
utama adalah banyak guru yang menganggap kebijakan ini memberatkan.
Bila
probelma di lapangan tersebut tidak segera ditangani dengan bijak oleh
pemerintah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akan banyak potensi negatif
yang mungkin terjadi. Potensi negatif yang saat ini mulai muncul adalah (a)
banyaknya guru yang mengajukan pension dini karena merasa tidak sanggup
memenuhi tuntutan tugas guru. Di Jawa Timur misalnya, seperti dilansir ANTARA,
Gubernur Jawa Timur, Soekarwo pada tanggal 16 Maret 2015 menyatakan bahwa pada
tahun 2015 ini ada sekitar 300 orang guru yang mengajukan permohonan pensiun
dini; (b) Semakin maraknya praktik ‘menjahitkan’ PTK. Prinsip ekonomi berlaku
dalam kasus ini, semakin banyak permintaan akan semakin banyak penawaran.
Praktik pelacuran intelektual ini akan semakin marak ketika para guru merasa
terselamatkan dan tidak ada sanksi moral maupun hukum baik bagi ‘pejahit’
maupun para guru pengguna jasanya; dan (c) Meningkatnya jumlah guru yang
melakukan tindakan plagiasi. Seain menjahitkan, tindakan plagiasi (kopi paste
KTI orang lain hanya dengan mengubah nama sekolah, mata pelajaran, dan KD,
misalnya) akan menjadi jalan keluar bagi sebagian guru.
Apa yang Bisa Kita
Lakukan
Di tengah banyaknya permasalahan
terkait kewajhiban menyusun KTI bagi guru, bukanlah hal yang bijak kalau
kemudian para guru menolak mentah-mentah tuntutan tersebut. Sebagai guru
professional sekaligus sosok teladan bagi para siswa, guru hendaknya memecahkan
persoalan yang dihadapinya yaitu dengan meningkatkan kompetensinya dalam
menulis KTI.
Ketiadaan pelatihan
dengan pemateri dan pelatihan yang sesuai dengan harapan guru (praktis), bukanlah halangan bagi guru professional
untuk memenuhi tuntutan.
Berikut
ini adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh guru untuk memecahkan
kesulitannya dalam menyusun KTI.
a. Secara
aktif bergabung dan mengikuti pelatihan menulis. Guru tidak seharusnya
menggantungkan diri pada Pemerintah, Dinas Pendidikan, untuk mendapatkan
pelatihan dan pendampingan. Sebagai sosok terdidik, guru seharusnya secara
aktif dan mandiri mencari organisasi guru atau komunitas yang menyediakan
kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyusun KTI.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) sebagai salah satu
organisasi profesi guru dengan mengusung motto “sharing and growing together” menjadikan peningkatan kompetensi
guru dalam menulis sebagai salah satu bidang utama yang harus digarap dengan
serius. IGI telah banyak mengadakan pelatihan menulis KTI dan artikel ilmiah
bagi guru di berbagai daerah maupun lewat grup Facebook Klub Guru Menulis IGI.
Untuk bergabung silakan klik di https://www.facebook.com/groups/klubgurumenulis/?fref=.
IGI memberikan pelatihan menulis KTI dan
artikel disertai pendampingan pascapelatihan. Untuk mewadahi KTI dan artikel
ilmiah karya guru IGI telah menerbitkan jurnal
juranl ilmiah nasional IGI “EDUKASI” yang terbit dua kali dalam setahun.
Ada juga beberapa IGI daerah yang sudah menerbitkan jurnal ilmiah antara lain
IGI Aceh Timur dan IGI Kalimantan Barat. Dalam waktu dekat akan disusul oleh
daerah-daerah lain.
Selain itu, Klub Guru Menulis IGI juga telah
berhasil menerbitkan buku bunga rampai karya guru antara lain Memoar Guru 1: Hope and Dream, Kumpulan
cerpen Adam Panjalu, Memoar Guru 2: Kelas
Inspiratif, Guru Kreatif. Dalam waktu dekat juga akan terbit memoir guru 3
dan Jurnal Edukasi edisi 2 tahun 2015.
b. Pemerintah
seharusnya mendayagunakan para guru yang memiliki kemampuan menulis KTI untuk
dijadikan sebagai tutor. Banyak guru yang langganan menjadi finalis bahkan
juara menulis KTI di tingkat daerah bahkan nasional. Namun, berapa persen di
antara mereka yang mau dan mampu membagikan pengetahuan dan ketrampilannya
kepada teman sejawat. Banyak hal yang membuat para guru hebat tersebut menjadi
sosok yang egois. Pertama, mereka merasa tidak memiliki kewenangan untuk
membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada teman sejawat. Bila tidak
berhati-hati dalam bersikap, niatan baik membantu teman guru berpotensi akan
dinilai sok pinter. Kedua, banyak juga guru yang mampu menulis KTI dengan baik
ternyata tidak memiliki kemampuan untuk membimbing teman sejawatnya. Akibatnya,
ketika ada yang bertanya kepadanya, guru tersebut tidak mampu menjelaskan
dengan baik. Bila Pemerintah, terutama Dinas Pendidikan kabupaten/ kota
bersedia merangkul mereka, membimbing mereka untuk menjadi instruktur yang baik
serta memberi kewenangan pada mereka untuk melatih teman sejawatnya, hal ini
tentu akan sangat membantu para guru meningkatkan kemampuannya menyusun KTI.
c. Mendayagunakan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP).
Melalui kegiatan MGMP, pengawas maupun ketua
MGMP, seperti yang sedang dilakukan oleh penulis sebagai ketua MGMP, mengajak
para guru untuk melakukan refleksi proses dan hasil belajar yang sudah
dilakukan oleh guru. Berdasarkan hasil refleksi tersebut, anggota MGMP diajak
untuk menyusun persiapan mengajar, terutama RPP perbaikan yang dapat digunakan
untuk melakukan pembelajaran yang lebih baik. Langkah ini merupakan fondamen
yang kuat bagi guru untuk menyusun KTI.
Penulis berpendapat bahwa memulai menyusun KTI
dengan menyusun proposal akan semakin menguatkan persepsi para guru bahwa
menulis KTI itu sulit. Padahal, sejatinya untuk melakukan penelitian tindakan
kelas, hal pertama yang harus dilakukan oleh guru adalah melakukan refleksi.
Hasil refleksi ini akan menyadarkan guru tentang adanya permasalahan yang harus
dipecahkan dalam pembelajarannya.
Pemecahan masalah itu harus direncanakan oleh
guru dengan memperbaiki rencana pembelajaran atau yang biasa kita kenal sebagai
RPP. RPP perbaikan yang telah dilengkapi dengan bahan ajar, media pembelajaran,
dan instrumen penilaian yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar siswa.
d. Guru membiasakan diri membuat
administrasi secara tertib.
Hakikat PTK adalah laporan tertulis dari upaya
guru untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Guru dapat memulai
menyusun KTI dengan menuliskan rencana dengan baik, menuliskan apa saja yang
dilakukan, serta mencatat hasilnya. Catatan-catatan itu akan sangat bermanfaat
bagi guru saat menyusun KTI.
e. Guru banyak meningkatkan budaya baca
terutama membaca karya ilmiah dan referensi ilmiah lainnya. Peningkatan
pengetahuan guru akan memudahkan guru mengembangkan ide dan melakukan analisis
dalam menyusun KTI. Untuk itu, guru harus rela menyisihkan sebagian
pendapatannya untuk membeli buku, jurnal ilmiah, dan atau berlangganan
internet.
f. Pemerintah
dan organisasi profesi guru memfasilitasi penerbitan jurnal ilmiah. Salah satu
kendala yang dihadapi para guru adalah mereka kesulitan memublikasikan artikel
ilmiahnya di jurnal ilmiah. Tak hanya karena kurangnya kompetensi menulis
artikel ilmiah, jumlah jurnal ilmiah yang ada pun tidak seimbang dengan jumlah
guru. Ada dua sisi yang kontradiktif. Jurnal ilmiah yang ada banyak kesulitan
mendapatkan artikel guru untuk dimuat selain masalah klasik ketiadaan dana
penerbitan. Di sisi lain, banyak guru kesulitan mencari jurnal untuk
memublikasikan artikel ilmiahnya.
Lembaga-lembaga
yang berwenang menerbitkan jurnal ilmiah antara lain perguruan tinggi (PT),
Dinas pendidikan, dan organisasi profesi guru. IGI membuka kesempatan luas bagi para guru dari seluruh
Indonesia untuk mengirim artikel ilmiahnya ke Jurnal Edukasi. Selain itu, IGI
juga dengan senang hati akan membimbing para gutu menyusun PTK dan artikel
ilmiah serta membantu penerbitan jurnal ilmiah di daerah-daerah.
g. Pemerintah
meningkatkan ‘suntikan dana’ untuk menggairahkan budaya meneliti dan menulis
bagi guru. Beberapa tahun belakangan Kementerian Pendidikan telah memberikan
dana hibah penelitian melalui Pusat Penelitian dan Kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, tak banyak guru yang berpartisipasi untuk
mendapatkan hibah tersebut. Misalnya, pada tahun 2015 ini ternyata jatah 3 - 4
orang guru dari setiap kabupaten/ kota (SD, SMP, dan SMA masing-masing satu
orang) tidak terpenuhi. Sebagai contoh dari Kota Malang hanya ada wakil dari
SMP, SMA dan SMK, wakil dari SD tidak ada, dari Kota Batu hanya ada wakil dari
SMA (penulis sendiri), bahkan dari kabupaten Malang tidak terwakili sama
sekali.
Ada
dua kemungkinan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi guru dalam
seleksi hibah penelitian ini yaitu (a) guru tidak mengetahui informasi tentang
hibah tersebut karena kurang familiar dengan informasi melalui internet, dan
(b) guru memang benar-benar kurang mampu menyusun KTI.
Selain
suntikan dana individual, sejatinya pemerintah telah menyuntikkan dana block
grant melalui MGMP. Sayangnya, hal ini baru berlaku di tingkat SMP sedangkan
untuk SD dan SMA/ SMK sepengetahuan penulis belum ada.
Apa yang
penulis sampaikan di atas hanyalah sebagian kecil dari apa yang dilakukan oleh
guru dan pemerintah. Masih banyak hal lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun KTI.
Apa
pun itu, hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa menyusun KTI bukanlah
upaya mempersulit guru akan tetapi merupakan konsekuensi dari kewajiban yang
dilakukan guru dalam merencanakan, melaksanakan, melakukan evaluasi
pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Kemendikbud. 2010. Buku 1, 2, 3, 4, dan 5. Pembinaan Pengembangan Profesi Guru.
Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan.
Hamzah, dkk. 2011. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas, Menciptakan Perbaikan
Berkesinambungan.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardani, IGAK dan Wihardit. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Biodata