Rabu, 29 Juli 2015

MEMBACA SURATMU

Tentang tanah dari ujung timur negeri ada darah yang alir dari hatiku, bukan lagi air mata. Katakan padaku, bagaimana mungkin bisa kita tegak menatap dunia sementara pada saudara sendiri kita begitu aniaya? Batubara, emas, dan segal isi hutan mereka kita jual dan nikmati hasilnya jauh lebih besar dari pemiliknya tanpa peduli, mereka menikmati sengsaranya. Lihatlah ... pada orang-orang yang kau ghibahkan kurang beradab ada luka peradaban yang kita torehkan. Lalu bagaimana kita sanggup meneriakkan "Kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia" ketika kita diam-diam saja pada segala aksi aniaya atas saudara-saudara kita. Surat dari tanah timur itu hanya sedikit jerit yang sempat terdengar sebagian saudara kita hanya bisa diam terbungkam atau dibungkam ketiadaberdayaan. Bagaimana mungkin, sanggup kutuliskan teori-teori keadilan dan kubacakan buku-buku pelajaran sambil bercerita pada anak-anak didikku tentang sebuah negeri kaya raya yang membentangkan kata "Keadilan" tinggi-tinggi di setiap penjuru ketika yang kutemukan adalah sebaliknya. Katakan, bagaimana dapat aku berdiri tegak di hadapan anak-anakku ketika tak ada satu pun langkah kulakukan menegakkan ketiadaberdayaan yang meluluhlantakkan kemanusiaan? Pada wajah-wajah tak berdaya aku temukan kepasrahan tak berbatas pada Tuhan saja mereka kini berharap keadilan ditegakkan. "Setidaknya, ajari kami bagaimana menggerakkan kaki dan tangan sendiri agar kami dapat mengolah kekayaan tanah kami sendiri," Begitulah yang kubaca pada tatap hampa mereka. Seperti mereka, aku pun tak berdaya. Tapi doa dan harap tak boleh tuntas bergandengan tangan, menyuarakan kebenaran, dan berbagi adalah langkah pasti di tengah ketidakpastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar