Senin, 28 September 2015

PENGEMBANGAN KARIER PENDIDIK BERBASIS KTI


                             PENGEMBANGAN KARIER PENDIDIK BERBASIS KTI
(Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan bertema "Pengembangan Karier Pendidik Berbasis KTI" di Universitas Negeri Malang, Minggu, 23 Agustus 2015)
Prolog: Sejatinya, dalam kegiatan seminar nasional ini, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri malang mengundang 3 pihak yaitu (1) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, (b) Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia/ IGI, dan (3) Ketua Asosiasi Dosen Indonesia. Berhubung Ketua IGI, Bapak Drs. Satria Darma dan Sekjen IGI Bpk. Drs. Mohammad Ihsan berhalangan hadir, saya mewakii Pengurus IGI pusat menggantikan tugas berat ini.

Sejak diterapkannya Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional Nomor  03/V/PB/2010   Nomor 14 tahun 2010  tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya muncul beragam tanggapan di kalangan para guru terhadap tuntutan untuk membuat publikasi ilmiah. Di antara alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menolaknya berpendapat bahwa tuntutan menulis karya tulis ilmiah guru itu tidak memiliki landasan regulasi yang kuat dan tidak sesuai dengan pasal 1 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa tugas utama guru adalah mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Tidak ada satu pun kata "menulis" atau "membuat karya ilmiah" atau "meneliti".
Benarkah demikian?
Dalam buku 4,  Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru disebutkan syarat-syarat karya tulis ilmiah guru harus memenuhi persyaratan APIK yaitu asli, penting, ilmiah, dan konsisten. Asli, KTI  harus asli artinya benar-benar dibuat sendiri oleh guru, bukan hasil plagiat, apalagi dibuatkan orang lain. Perlu, laporan KTI yang dibuat harus sesuatu yang diperlukan dan mempunyai  manfaat dalam menunjang pengembangan keprofesian dari guru yang bersangkutan. Manfaat tersebut diutamakan untuk memperbaiki mutu pembelajaran di satuan pendidikan guru bersangkutanIlmiah, KTI disajikan dengan memakai kerangka isi dan mempunyai kebenaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah kebenaran ilmiah. Konsisten, isi laporan harus sesuai dengan tugas pokok penyusunnya. Bila penulisnya seorang guru, maka isi laporan haruslah berada pada bidang tugas guru yang bersangkutan, dan membahas tugas pembelajaran yang sesuai dengan tugasnya  di sekolah /madrasahnya.  
Berdasarkan kutipan di atas jelas tertulis bahwa KTI yang dibuat guru harus berkaitan dengan upaya guru untuk memperbaiki mutu pembelajaran dan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai guru yaitu mengajar. Dengan berdasar pada pemikiran tersebut jelaslah bahwa menyusun dan memublikasikan KTI pada dasarnya tidak bertentangan dengan tugas utama guru. Sebaliknya, apabila hal tersebut direnungkan lebih dalam justru akan diperoleh pemahaman bahwa menyusun KTI bagi guru merupakan satu rangkaian dari tugas utamanya. Salah satu jenis KTI yang sesuai dengan tugas utama guru adalah penelitian tindakan kelas (PTK).
Wardani dan Wihardit (2014) menyatakan bahwa karakteristik PTK adalah adanya kesadaran guru tentang adanya permasalahan dalam pembelajarannya dan self reflektif inquiry yaitu upaya sadar guru untuk melakukan refleksi dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri. Kedua hal ini tidak dapat dilepaskan dari tugas utama guru untuk mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Secara sederhana penulis bahkan berkeyakinan bahwa sejatinya PTK ‘hanya laporan tertulis’ dari apa-apa yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kinerjanya. Apa-apa yang dilakukan guru tersebut direncanakan dan dilaporkan proses serta hasilnya secara tertulis.

Fakta di Lapangan
Berdasarkan hasil survei pada 45 guru (yang saya lakukan melalui SMS, WA, BBM dan email) serta hasil menermati diskusi teman-teman guru di FB, saya mengelompokkan guru  menjai tiga kelompok dalam menyikapi kebijakan wajib menyusun KTI bagi guru.
Pertama, kelompok guru yang menganggap tuntutan pemerintah tersebut wajar mengingat penghasilan guru saat ini jauh lebih besar dibandingkan sebelum mereka menerima tunjangan profesi guru (TPG). “Tuntutan lebih banyak itu wajar, seimbang dengan penghasilan guru yang lebih meningkat.” Kelompok guru ini terutama tampak pada para guru yang sudah memiliki kemampuan menulis KTI dan sudah memiliki KTI. Meskipun demikian, ada juga sedikit guru yang mengambil sikap menerima tuntutan kebijakan ini, tetapi belum mampu dan belum menulis KTI. Mereka biasanya memiliki kesadaran tinggi untuk meningkatkan kompetensinya menulis KTI dengan aktif mengikuti pelatihan menulis secara mandiri baik dalam pertemuan langsung maupun kelompok-kelompok diskusi online.
Kedua, kelompok guru yang dengan berbagai alasan menolak tuntutan menulis KTI. Beberapa alasan yang disampaikan guru dalam kelompok ini antara lain (a) meneliti bukan termasuk tugas guru. Bila meneliti merupakan tugas utama guru seharusnya kewajiban mengajar guru tidak lagi 24-40 jam per minggu; (b) Tuntutan menyusun KTI bagi guru hanyalah upaya pemerintah menutupi niat sesungguhnya yaitu mengurangi jumlah guru yang berhak mendapat TPG. Alasan ini didasari pemikiran bahwa pemerintah ‘keberatan’ membayar TPG guru karena jumlah guru penerima TPG sangat berat sehingga sangat membebani APBN; (c) Para guru menenggarai ada kecemburuan PNS nonguru terhadap TPG karena menganggap beban tugas guru lebih ringan dibanding PNS lain dan kenaikan pangkat guru dianggap terlalu mudah; (d)  Tanpa menulis KTI dan tidak naik pangkat pun selama ini para guru tetap aman mendapatkan gaji penuh dan TPG tetap lancar;  dan (e.) Kenaikan pangkat guru yang menuntut persyaratan memberatkan, menyusun KTI, tidak diimbangi dengan peningkatan tunjangan fungsional yang ‘menggiurkan’. Peningkatan tunjangan kenaikan pangkat guru dari satu golongan ke golongan berikutnya hanya dalam kisaran puluhan ribu rupiah. Bandingkan dengan kenaikan tunjangan dosen ketika naik pangkat.  
Ketiga, kelompok guru yang bersikap apatis. Tidak menerima dan tidak menolak tuntutan menyusun KTI. Para guru ini bersikap santai dan menunggu karena mereka belum berada pada posisi harus naik pangkat. Kalaupun ada guru yang sudah lama stagnan pada golongan IV/ a, mereka tetap tenang karena meskipun tidak naik pangkat bertahun-tahun mereka tetap menerima gaji dan TPG utuh. Tidak ada sanksi apa pun yang diterimanya.Ancaman untuk mengalihfungsikan guru yang tidak naik pangkat lebih dari 5 tahun menjadi tenaga TU pun hanya gosip yang tidak terbukti hingga saat ini.

Mengapa Guru “Sulit”Menulis KTI
 Rendahnya kompetensi guru dalam menulis KTI sudah sejak lama menjadi isu nasional dalam dunia pendidikan. Isu ini diperkuat dengan besarnya jumlah guru yang pangkatnya terhenti di golongan IV/a karena sebelum tahun 2013 untuk dapat naik ke golongan IV a guru dituntut membuat karya ilmiah. Data resmi data Depdiknas tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah guru yang terhambat karirnya (macet pada golongan ruang IV/a) sebanyak 334.184 orang. Sementara, sebanyak 347.565 guru yang berstatus golongan ruang III/d sedang antri naik golongan ruang IV/a. Sementara itu, jumlah guru yang bergolongan ruang IV/b hanya 2.318 orang (di bawah 1 %).
Bila benar asumsi bahwa kemacetan pangkat guru disebabkan oleh ketidakmampuan menyusun KTI dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi setelah KTI menjadi syarat kenaikan pangkat sejak golongan III b?
Berdasarkan sumbernya, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru dalam menulis KTI yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor eksternal yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru dalam menulis KTI antara lain
a.   Pelatihan menulis KTI yang banyak dilakukan lebih banyak yang bersifat teoritis, bukan praktis. Akibatnya, seusai pelatihan guru hanya mampu memahami KTI secara teoritis, tetapi kemampuan untuk praktik menulis KTI masih tetap rendah. Meski tidak memiliki data akurat, penulis yakin bahwa hampir pada semua pelatihan menulis KTI, hanya sebagian kecil saja peserta yang pada akhirnya benar-benar mau dan mampu melakukan penelitian dan menyusun KTI.
b.   Guru kesulitan menemukan narasumber, pelatih, atau instruktur penulisan KTI yang mampu melatihkan tidak hanya teori, tetapi juga praktik langsung di lapangan. Tak banyak kepala sekolah dan pengawas yang menguasai teori KTI sekaligus mampu menyusun KTI. Pelatihan menulis KTI yang dilakukan selama ini memang menghadirkan para pakar penelitian. Namun, sebagian besar pakar itu lebih sering menjejalkan teori tentang penelitian, bukan praktik meneliti dan menyusun KTI. Akibatnya, sepulang pelatihan para guru hanya paham tentang KTI tetapi tetap saja belum mampu melakukan penelitian dan menyusun KTI.
c.   Problem di atas masih disusul dengan problem lainnya yaitu jarang sekali ada pendampingan pasca pelaksanaan pelatihan. Akibatnya, saat melakukan penelitian dan mengalami kesulitan guru tidak tahu harus bertanya kepada siapa.
d.   Kurangnya dukungan dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan. Di tengah kesulitannya menyusun KTI, para guru tentu membutuhkan dukungan dari sekolah dan Dinas Pendidikan seperti pengadaan pelatihan yang memadai, penyediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya. Tidak hanya itu, tidak adanya ‘sanksi’ bagi guru yang tidak naik pangkat selama bertahun-tahun karena ketidakmampuan menyusun KTI menyebabkan para guru tidak merasa dituntut untuk menyusun KTI. Dukungan dari pihak sekolah atau Dinas pendidikan yang paling banyak dilakukan selama ini hanya berupa motivasi lisan, meski tak jarang motivasi lisan itu bernada ancaman. Sayang,tak mempan. 
e.   Kewajiban mengajar 24 – 40 jam per minggu cukup menyita waktu dan tenaga guru. Dalam praktik melaksanakan tugas utama guru, ternyata pemerintah abai ‘mengakui’ kinerja guru di luar jam tatap muka. Tugas utama guru sesungguhnya dilakukan mulai dari melakukan perencanaan, melaksanakan pembelajaran, penilaian, hingga perbaikan dan pengayaan. Waktu dan tenaga guru untuk membuat persiapan pembelajaran, melakukan penilaian, pengayaan, dan remedial nyaris tidak diakui meskipun pekerjaan tersebut sangat menyita waktu dan tenaga guru. Bahkan, di awal tahun ajaran baru, sudah bukan rahasia lagi bila para guru menyelesaikan perangkat pembelajaran hingga harus lembur bermalam-malam. Apakah hal ini pernah dipikirkan oleh pemerintah?
Di lapangan banyak guru yang terpaksa mengajar lebih dari 30 jam per minggu. Akibatnya, jangankan untuk melakukan penelitian, mereka bahkan tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa pekerjaan siswa dengan baik. Sebagai contoh misalnya seorang guru matematika SMA harus mengajar 7 kelas atau 28 jam per minggu dengan jumlah siswa antara 38 – 40 orang. Untuk mengoreksi pekerjaan satu kelas minimal dibutuhkan waktu 200 menit atau setara dengan 4 jam pelajaran. Untuk itu, iaharus menyisihkan waktu di luar jam dinas (biasanya pada malam hari) untuk mengoreksi pekerjaan siswa. Belum lagi tugas-tugas lain yang diberikan sekolah. Pada sisi lain, banyak guru terpaksa harus mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi tuntutan 24 jam mengajar. Akibatnya, jangankan untuk menyusun KTI, mengajar pun mereka menjadi kurang fokus.
Dalam kaitannya dengan tuntutan menulis KTI, apa yang penulis sampaikan di atas bukan dimaksudkan untuk meminta upah untuk waktu kerja di luar jam kerja. Namun, mewakili suara guru, penulis berharap agar pemerintah memperhitungkan waktu yang dipergunakan guru untuk mengerjakan tugas di luar tatap muka sebagai bagian dari kewajiban 24 jam per minggu.

Faktor internal yang menyebabkan rendahnya kemampuan guru menyusun KTI antara lain
a.   Rendahnya budaya membaca dan menulis di kalangan guru. Kurangnya pengetahuan dan wawasan guru akibat rendahnya budaya membaca  akan menyulitkan para guru untuk menyusun karya ilmiah. Fakta lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah dalam keseharian para guru sering menugaskan para siswa melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian, sedangkan mereka sendiri nyaris tidak pernah melakukan penelitian dan menyusun laporannya. Seorang guru adalah teladan bagi para siswanya. Bagaimana mungkin ia akan mampu mendidik siswanya dengan baik bila ia hanya berteori dan menugaskan, tidak memberikan teladan.
      Kita bisa melihat dalam berbagai lomba menulis yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk guru. Terbukti, dari grup Facebook Ikatan Guru Gila Lomba (IGGL) yang penulis ikuti, dari tahun ke tahun guru yang mengikuti lomba menulis tidak terlalu banyak bertambah jumlahnya. Pemenangnya pun bisa dikatakan para pemain lama. Jangankan menyusun KTI, para guru lebih memilih membeli atau foto kopi bahan ajar dan LKS daripada menyusun sendiri.
 b.  Rendahnya motivasi guru untuk membuat karya tulis. Meskipun tuntutan untuk menulis KTI sudah ramai dibicarakan, faktanya banyak guru yang belum juga tergerak untuk melakukannya. Para guru benar-benar berada dalam ‘zona aman’. Iming-iming yang selama ini diberikan pada guru yang berhasil menulis PTK tidak mampu menarik minat guru. 
c.   Kurangnya kesadaran para guru bahwa menyusun KTI, misalnya PTK atau best practice, merupakan bagian dari tanggung jawab utamanya sebagai seorang guru. Akibatnya, ketika mereka dituntut untuk menyusun KTI mereka melakukan tindakan kurang terhormat seperti ‘menjahitkan’ dan atau kopi paste PTK.

Potensi yang Mungkin Terjadi
Fakta-fakta di lapangan di atas menunjukkan pada kita bahwa kebijakan wajib menyusun KTI bagi guru disikapi dengan cara yang berbeda oleh para guru. Namun, hal yang utama adalah banyak guru yang menganggap kebijakan ini memberatkan.
Bila probelma di lapangan tersebut tidak segera ditangani dengan bijak oleh pemerintah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akan banyak potensi negatif yang mungkin terjadi. Potensi negatif yang saat ini mulai muncul adalah (a) banyaknya guru yang mengajukan pension dini karena merasa tidak sanggup memenuhi tuntutan tugas guru. Di Jawa Timur misalnya, seperti dilansir ANTARA, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo pada tanggal 16 Maret 2015 menyatakan bahwa pada tahun 2015 ini ada sekitar 300 orang guru yang mengajukan permohonan pensiun dini; (b) Semakin maraknya praktik ‘menjahitkan’ PTK. Prinsip ekonomi berlaku dalam kasus ini, semakin banyak permintaan akan semakin banyak penawaran. Praktik pelacuran intelektual ini akan semakin marak ketika para guru merasa terselamatkan dan tidak ada sanksi moral maupun hukum baik bagi ‘pejahit’ maupun para guru pengguna jasanya; dan (c) Meningkatnya jumlah guru yang melakukan tindakan plagiasi. Seain menjahitkan, tindakan plagiasi (kopi paste KTI orang lain hanya dengan mengubah nama sekolah, mata pelajaran, dan KD, misalnya) akan menjadi jalan keluar bagi sebagian guru.

Apa yang Bisa Kita Lakukan
            Di tengah banyaknya permasalahan terkait kewajhiban menyusun KTI bagi guru, bukanlah hal yang bijak kalau kemudian para guru menolak mentah-mentah tuntutan tersebut. Sebagai guru professional sekaligus sosok teladan bagi para siswa, guru hendaknya memecahkan persoalan yang dihadapinya yaitu dengan meningkatkan kompetensinya dalam menulis KTI.
Ketiadaan pelatihan dengan pemateri dan pelatihan yang sesuai dengan harapan guru (praktis),  bukanlah halangan bagi guru professional untuk memenuhi tuntutan.
Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh guru untuk memecahkan kesulitannya dalam menyusun KTI.
a.        Secara aktif bergabung dan mengikuti pelatihan menulis. Guru tidak seharusnya menggantungkan diri pada Pemerintah, Dinas Pendidikan, untuk mendapatkan pelatihan dan pendampingan. Sebagai sosok terdidik, guru seharusnya secara aktif dan mandiri mencari organisasi guru atau komunitas yang menyediakan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyusun KTI.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) sebagai salah satu organisasi profesi guru dengan mengusung motto “sharing and growing together” menjadikan peningkatan kompetensi guru dalam menulis sebagai salah satu bidang utama yang harus digarap dengan serius. IGI telah banyak mengadakan pelatihan menulis KTI dan artikel ilmiah bagi guru di berbagai daerah maupun lewat grup Facebook Klub Guru Menulis IGI. Untuk bergabung silakan klik di https://www.facebook.com/groups/klubgurumenulis/?fref=.
IGI memberikan pelatihan menulis KTI dan artikel disertai pendampingan pascapelatihan. Untuk mewadahi KTI dan artikel ilmiah karya guru IGI telah menerbitkan jurnal  juranl ilmiah nasional IGI “EDUKASI” yang terbit dua kali dalam setahun. Ada juga beberapa IGI daerah yang sudah menerbitkan jurnal ilmiah antara lain IGI Aceh Timur dan IGI Kalimantan Barat. Dalam waktu dekat akan disusul oleh daerah-daerah lain.
Selain itu, Klub Guru Menulis IGI juga telah berhasil menerbitkan buku bunga rampai karya guru antara lain Memoar Guru 1: Hope and Dream, Kumpulan cerpen Adam Panjalu, Memoar Guru 2: Kelas Inspiratif, Guru Kreatif. Dalam waktu dekat juga akan terbit memoir guru 3 dan Jurnal Edukasi edisi 2 tahun 2015.
b.        Pemerintah seharusnya mendayagunakan para guru yang memiliki kemampuan menulis KTI untuk dijadikan sebagai tutor. Banyak guru yang langganan menjadi finalis bahkan juara menulis KTI di tingkat daerah bahkan nasional. Namun, berapa persen di antara mereka yang mau dan mampu membagikan pengetahuan dan ketrampilannya kepada teman sejawat. Banyak hal yang membuat para guru hebat tersebut menjadi sosok yang egois. Pertama, mereka merasa tidak memiliki kewenangan untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada teman sejawat. Bila tidak berhati-hati dalam bersikap, niatan baik membantu teman guru berpotensi akan dinilai sok pinter. Kedua, banyak juga guru yang mampu menulis KTI dengan baik ternyata tidak memiliki kemampuan untuk membimbing teman sejawatnya. Akibatnya, ketika ada yang bertanya kepadanya, guru tersebut tidak mampu menjelaskan dengan baik. Bila Pemerintah, terutama Dinas Pendidikan kabupaten/ kota bersedia merangkul mereka, membimbing mereka untuk menjadi instruktur yang baik serta memberi kewenangan pada mereka untuk melatih teman sejawatnya, hal ini tentu akan sangat membantu para guru meningkatkan kemampuannya menyusun KTI.
c.         Mendayagunakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Melalui kegiatan MGMP, pengawas maupun ketua MGMP, seperti yang sedang dilakukan oleh penulis sebagai ketua MGMP, mengajak para guru untuk melakukan refleksi proses dan hasil belajar yang sudah dilakukan oleh guru. Berdasarkan hasil refleksi tersebut, anggota MGMP diajak untuk menyusun persiapan mengajar, terutama RPP perbaikan yang dapat digunakan untuk melakukan pembelajaran yang lebih baik. Langkah ini merupakan fondamen yang kuat bagi guru untuk menyusun KTI.
Penulis berpendapat bahwa memulai menyusun KTI dengan menyusun proposal akan semakin menguatkan persepsi para guru bahwa menulis KTI itu sulit. Padahal, sejatinya untuk melakukan penelitian tindakan kelas, hal pertama yang harus dilakukan oleh guru adalah melakukan refleksi. Hasil refleksi ini akan menyadarkan guru tentang adanya permasalahan yang harus dipecahkan dalam pembelajarannya.
Pemecahan masalah itu harus direncanakan oleh guru dengan memperbaiki rencana pembelajaran atau yang biasa kita kenal sebagai RPP. RPP perbaikan yang telah dilengkapi dengan bahan ajar, media pembelajaran, dan instrumen penilaian yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.
d.         Guru membiasakan diri membuat administrasi secara tertib.
Hakikat PTK adalah laporan tertulis dari upaya guru untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Guru dapat memulai menyusun KTI dengan menuliskan rencana dengan baik, menuliskan apa saja yang dilakukan, serta mencatat hasilnya. Catatan-catatan itu akan sangat bermanfaat bagi guru saat menyusun KTI.
e.        Guru banyak meningkatkan budaya baca terutama membaca karya ilmiah dan referensi ilmiah lainnya. Peningkatan pengetahuan guru akan memudahkan guru mengembangkan ide dan melakukan analisis dalam menyusun KTI. Untuk itu, guru harus rela menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membeli buku, jurnal ilmiah, dan atau berlangganan internet.
f.        Pemerintah dan organisasi profesi guru memfasilitasi penerbitan jurnal ilmiah. Salah satu kendala yang dihadapi para guru adalah mereka kesulitan memublikasikan artikel ilmiahnya di jurnal ilmiah. Tak hanya karena kurangnya kompetensi menulis artikel ilmiah, jumlah jurnal ilmiah yang ada pun tidak seimbang dengan jumlah guru. Ada dua sisi yang kontradiktif. Jurnal ilmiah yang ada banyak kesulitan mendapatkan artikel guru untuk dimuat selain masalah klasik ketiadaan dana penerbitan. Di sisi lain, banyak guru kesulitan mencari jurnal untuk memublikasikan artikel ilmiahnya.
           Lembaga-lembaga yang berwenang menerbitkan jurnal ilmiah antara lain perguruan tinggi (PT), Dinas pendidikan, dan organisasi profesi guru. IGI  membuka kesempatan luas bagi para guru dari seluruh Indonesia untuk mengirim artikel ilmiahnya ke Jurnal Edukasi. Selain itu, IGI juga dengan senang hati akan membimbing para gutu menyusun PTK dan artikel ilmiah serta membantu penerbitan jurnal ilmiah di daerah-daerah.
g.        Pemerintah meningkatkan ‘suntikan dana’ untuk menggairahkan budaya meneliti dan menulis bagi guru. Beberapa tahun belakangan Kementerian Pendidikan telah memberikan dana hibah penelitian melalui Pusat Penelitian dan Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, tak banyak guru yang berpartisipasi untuk mendapatkan hibah tersebut. Misalnya, pada tahun 2015 ini ternyata jatah 3 - 4 orang guru dari setiap kabupaten/ kota (SD, SMP, dan SMA masing-masing satu orang) tidak terpenuhi. Sebagai contoh dari Kota Malang hanya ada wakil dari SMP, SMA dan SMK, wakil dari SD tidak ada, dari Kota Batu hanya ada wakil dari SMA (penulis sendiri), bahkan dari kabupaten Malang tidak terwakili sama sekali.
           Ada dua kemungkinan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi guru dalam seleksi hibah penelitian ini yaitu (a) guru tidak mengetahui informasi tentang hibah tersebut karena kurang familiar dengan informasi melalui internet, dan (b) guru memang benar-benar kurang mampu menyusun KTI.
           Selain suntikan dana individual, sejatinya pemerintah telah menyuntikkan dana block grant melalui MGMP. Sayangnya, hal ini baru berlaku di tingkat SMP sedangkan untuk SD dan SMA/ SMK sepengetahuan penulis belum ada.
Apa yang penulis sampaikan di atas hanyalah sebagian kecil dari apa yang dilakukan oleh guru dan pemerintah. Masih banyak hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun KTI.
Apa pun itu, hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa menyusun KTI bukanlah upaya mempersulit guru akan tetapi merupakan konsekuensi dari kewajiban yang dilakukan guru dalam merencanakan, melaksanakan, melakukan evaluasi pembelajaran. 

DAFTAR RUJUKAN

Kemendikbud. 2010. Buku 1, 2, 3, 4, dan 5. Pembinaan Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan.

Hamzah, dkk. 2011. Menjadi Peneliti PTK yang Profesional. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas, Menciptakan Perbaikan Berkesinambungan.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wardani, IGAK dan Wihardit. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.




Biodata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar