“Kamu gak malu bila apa yang kamu
lakukan gagal?”
“Malu sama siapa?”
“Ya orang-oranglah ya mengetahui
rencanamu itu. Gak takut mereka akan menertawakanmu kalau kamu gagal?” tanya
seorang temanku pagi ini sambil menatapku.
Aneh, pikirku. Emang apa yang sedang kurencanakan dan akan
menimbulkan rasa malu atau menjatuhkan harga diriku bila aku gagal? Kenapa juga
harus malu pada orang lain?
“Ah… tidak. Sudah habis masaku untuk
malu apalagi menderita karena kalah atau dikalahkan, menjadi terpuruk karena terjatuh
dan dijatuhkan. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan?”
“Maksudmu?”tanyanya semakin tak mengerti
dengan jawaban diplomatisku. Lalu meluncurlah dialog imajinatif ini di benakku.
Karena, sejatinya teman yang kuceritakan ini pun teman imajinatif yang sengaja
kuciptakan saat aku sedang melangkah menentukan sebuah pilihan. Barangkali juga
langkah besar.
Tuhan menciptakan manusia dengan hati
dan pikiran. Dengan keduanya, manusia bisa menentukan pilihan, mau bahagia atau
menderita. Dan sungguh, jangan sekali-kali menempatkan bagaimana orang lain
menanggapi keberhasilan atau kegagalan kita sebagai penentu kebahagiaan atau
kesengsaraan hidup kita. Bingung?
Ok. Dulu sekali, aku selalu terikat pada
apa komentar orang bila aku melakukan tindakan tertentu. Aku juga sangat
terikat dengan perasaan, bagaimana komentar atau rasan-rasan orang ketika aku
gagal meraih sesuatu? Tentu mereka akan mencibirku di belakangku. Dan sungguh
hal itu ternyata sangat membebani hidupku. Aku menjadi sangat menderita karena
semua itu. Aku takut dirasani orang. Aku takut dicibir orang. Dan aku menjadi
pribadi yang gamang, sensitif.
Benar-benar sengsara lahir batin.
Alangkah bodohnya aku ketika aku
membiarkan diriku disiksa oleh segala praduga itu. Toh andai benar ada yang
mencibirku ketika aku gagal, apa kalau aku stress, menangis, meraung, bahkan
mungkin gila karenanya, lalu masalah akan selesai? Apa mereka akan menjadi
berbalik mengasihani kita lalu mengulurkan tangan memberikan bantuan? Hehehe,
please, buka mata lebar-lebar, pasang telinga, tajamkan hati nurani! Ternyata
tidak, bukan? Mereka mungkin tidak peduli atau semakin ngakak melihat kejatuhan
dan keterpurukanku. Alangkah bodohnya aku bila masih seperti itu.
Alhamdulillah, umur, penghinaan,
kekalahan atau dikalahkan, malu atau dipermalukan, ternyata hanya cara Allah
untuk mendidik hamba-Nya menjadi kuat. Akal dan pikiran yang semakin terasah
membuatku pada satu kesimpulan bahwa mau hidup bahagia atau menderita
seharusnya manusia sendirilah yang menentukan pilihan. Kalau ia mau disetir
orang lain (dalam arti sesungguhnya maupun tidak), itu pilihan.
Lagi pula, hidup telah banyak
mengajarkan padaku bahwa kegagalan, kekalahan, atau penghinaan adalah cara-Nya
menyadarkanku bahwa langkah, rencana, pondasi, atas apa pun yang sedang
kujalani atau kupilih itu terlalu lemah. Tidak kuat. Bukankah lebih baik gagal
pada awal langkah ketimbang gagal di tengah-tengah perjalanan apalagi di ujung
perjalanan?
Jadi, buat apa malu gagal dalam
melakukan sesuatu? Ah, jadi teringat kata-kata simple bapakku.
“Koyok
wong ra nduwe iman. Onok Gusti Allah, Yang Maha Penolong.”
Jadi, masihkah aku, juga engkau, takut
malu karena gagal? Mulailah atau kalian akan kalah sebelum perang dimulakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar