Jumat, 21 Juni 2013

Novel SAFIR CINTA, Bercerita tentang Anak Haram

Pernahkah kita berpikir bahwa nasib malang, penderitaan, kemiskinan, dan kehinaan adalah sebuah kutukan turun temurun? Mungkin tak pernah! Tetapi bila kita mau mencoba merenungkannya, mencoba membayangkan diri kita berada pada posisi mereka, kita akan mampu menghayati, betapa anak-anak yang dilahirkan dari para pelacur, anak-anak hasil perkosaan, anak-anak hasil hubungan gelap atau hubungan di luar nikah, mereka akan mengalami luka berkepanjangan. Luka turun temurun. Status sebagai anak haram, membuatnya kesulitan mendapatkan jodoh orang baik-baik dari keluarga dan keturunan baik-baik. Alhasil, mereka pun akan melanjutkan nasib “hitam” para pendahulunya. Dibutuhkan tekad yang besar untuk memutus rantai kutukan turunan itu.
Pernah jugakah kita berpikir bahwa dalam kasus anak hasil di luar nikah, yang sekarang ini semakin dianggap bukan masalahbesar, sesungguhnya anaklah yang harus memikul beban paling berat. Mungkin saja memang dalam perkembangan jaman sekarang ini, banyak wanita yang menjadi apatis atau malah arogan ketika dirinya hamil di luar nikah. Mereka kemudian, entah karena tidak ada pilihan lain atau karena kesombongannya, memilih membesarkan sendiri anak mereka. Satu sisi memang patut diacungi jempol. Karena mereka tidak menambah daftar dosa mereka dengan mengaborsi kandungannya, misalnya.
Namun, pernahkah mereka yang menjalaninya atau kita orang-orang yang berada di sekitar  anak-anak malang itu sejenak merenung, kira-kira apa yang terlintas dalam benak mereka. Bukankah mungkin saja mereka akan mengatakan dalam hatinya pernyataan-pernyataan seperti ini.
# Menjadi anak haram bukan pilihan bagiku, tetapi hukuman atas kesalahan yang tak pernah kulakukan. Bila saja aku diberi hak untuk memilih, maka akan kupilih dari sperma mana aku diciptakan, dan dari rahim mana aku dilahirkan.#
#Seperti juga anak-anak cacat yang tak bisa melihat, yang tak bisa berjalan, yang tak bisa berpikir, begitulah keberadaanku sebagai anak haram. Meski di luar mungkin aku sempurna, namun dalam darahku mengalir kata “haram, haram, haram….” yang harus kubawa kemana-mana.#
Atau bisa jadi, anak-anak haram itu akan bertumbuh menjadi generasi yang membenci kaum pria. Meski, tak jarang juga kita temukan anak-anak hasil hubungan di luar nikah itu tumbuh besar dan dewasa menjadi orang baik, baik-baik, bahkan luar biasa. Mereka “mendhem jero, mikul dhuwur”, menutup aib orang tuanya dan meninggikan derajat orang tuanya.
Dari pemikiran itulah novel ini lahir. Sri, perempuan korban perkosaan. Perkosaan itu membuahkanEndang. Meski tak jadi korban perkosaan, Endang hamil di luar nikah. Malangnya, orang tua sang lelaki tak memberikan restu hingga Endang terpakjsa mewarisi nasib malang ibunya. Ia melahirkan Reysa.
Penderitaan dan hinaan yang diwariskan nenek dan ibunya membuat Reysa menjadi pribadi tegar dan kuat. Dengan kecerdasannya ia mampu meraih pendidikan hingga mencapai gelar Doktor dan memperoleh posisi sosial yang terhormat. Ia pu menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya, lelaki dari keluarga kaya dan terhormat, yang memberinya dua anak yang manis-manis.
Tapi mengapa semua itu tak membuat Reysa puas? Ia justru berpetualang dari satu pelukan lelaki ke lelaki lainnya. Hingga ia bertemu dengan dua orang lelaki yang menjungkirbalikkan kehidupannya. Satu lelaki yang membuatnya berada “di pinggir jurang kehancuran” dan satu lelaki “yang mengulurkan tangan menuju jalan surga”.
Kematian dan kehancuran atau pertaubatan yang akan dipilih Reysa? Apa yang terjadi ketika ibu dan suaminya mengetahui semua pengkhianatan yang dilakukan Reysa? Temukan jawabannya dalam novel yang bisa membuat Anda menangis, merenung, dan merefleksi diri sendiri.
Bila Anda menanyakan bagaimana tanggapan saya atas novel saya ini, sederhana saja saya menjelaskannya. “Setelah membacanya Anda akan berenang. Kok bisa? Ya iyalah (lebay ya?) karena selama membacanya Anda akan banjir air mata hingga saat menyelesaikannya akan tercipta danau air mata. Jadi, bagi yang gak bisa berenang, saat membeli novel ini, jangan lupa beli pelampungnya ya!”
Ada baiknya, And abaca kutipan-kutipan berikut ini!
Mulyono tak hanya mengeksploitasi kewanitaannya secara liar dan brutal, namun juga telah menguras hampir seluruh air matanya yang sebenarnya tinggal sisa-sisa saja sejak bapaknya telah memperkosa dirinya. Bila bapak memperkosa dan menampar dirinya, Mulyono mengumpulkan dirinya bersama kedua istrinya dalam satu kamar. Seringkali, ia bersama dua madunya itu harus mengalami tekanan fisik karena Mulyono tak segan-segan menjatuhkan pukulannya pada ketiga istrinya. Perempuan-perempuan malang yang terpaksa harus menerima penderitaan lahir batin karena tak memiliki kekuatan untuk hidup mandiri.
“Jangan menyentuh anak haram, sebab akan membatalkan wudhu.”
Sedemikian hina mereka memperlakukan anak haram yang sejatinya lahir fitri itu. Orang-orang telah menjatuhkan vonis untuk kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Hidup memang kejam. Hidup dan orang-orang yang dihidupkan itu tak pernah mau berpikir panjang bahwa anak-anak haram itu tak punya pilihan. Seandainya saja mereka boleh memilih, mereka akan memilih untuk dilahirkan dalam sebuah perkawinan yang sah dan memiliki orangtua yang kaya dan terpandang.
Manusia sebagai ciptaan tuhan hanya sekedar wayang, sak dhermo nglakoni. Artinya, manusia sebagai ciptaan Tuhan hanyalah wayang atau aktor yang harus menjalani hidup sesuai dengan skenario yang telah digariskan Tuhannya.
“Din… semua lelaki itu buaya. Sungguh. Ada buaya darat, laut, ada yang jinak ada yang liar. Ada yang malu-malu ketika disodori daging, ada yang beringas menyikat setiap daging, bahkan bangkai sekali pun. Jangankan seorang yang beku hatinya, seorang calon pendeta dan seorang ustadz pun sanggup takluk di antara paha perempuan!”
“Ibu tak mengajarkan padaku tentang Tuhan. Ibu hanya menanamkan padaku dendam yang sangat dalam. Yang kutanam kuat-kuat dalam ingatanku, kujadikan tujuan hidupku. Menjadi perempuan karier yang mandiri, tak bergantung pada laki-laki. Dengan cara itu tak ada satu pun lelaki yang berani melecehkanku,” Reysa mengakhiri kalimatnya sambil mengusap air mata.
Rasanya malu sekali ia menghadapkan hati dan wajahnya pada Allah. Ia sadar  terlalu banyak dosa dan keingkaran yang  telah ia lakukan. Selama ini, dendam telah membuatnya membutatulikan diri atas ke-Maha Besar-an Allah. Dendam telah membakar dan menghanguskan cahaya hatinya. Yang tertinggal hanya rasa panas, ledakan amarah, dan membuatnya tersesat.
“Ya Tuhan…. Betapa kesadaran akan semua dosa ini terasa jauh lebih menyakitkan dari kematian itu sendiri. Masihkah pintu taubat-Mu terbuka untukku, masihkah ada hakku untuk mencium aroma surga-Mu? Ya Tuhan…. Alangkah rindunya aku menyebut nama-Mu dengan hatimu. Malam ini, jika benar akan menjadi malam penghabisan bagiku, izinkan aku menyebut nama-Mu. Berulang, berulang, berulang….” Reysa berdoa seakan tanpa henti malam itu.
Dan inilah komentar beberapa teman penulis.
Ilham Q Moehidin: Gagasannya intim. Begitu dekat. Begitulah seharusnya roman modern dituliskan.
Arif Gumantia : Novel adalah sebuah prosa sintesis yang panjang, dengan tokoh-tokoh dan alur yang diciptakan, juga tema dan gagasan yang diungkapkan. Dalam novel safir Cinta ini, Faradina memilih mengungkapkan gagasan dengan bahasa-bahasa puitis, idiom-idiom Jawa, dialog para tokoh-tokohnya, dan pengembangan karakter  hingga pembaca bisa berimajinasi untuk menggapai tafsir dan maknanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar