Jumat, 09 November 2012

BOCORAN


BOCORAN (Diary, 3 Agustus 2011)

Seorang istri yang hendak membahagiakan anak-anak dan suaminya berusaha belajar memasak. ia mencari resep membuat kue. Begitu dapat ia ingat tak punya simpanan keju di kulkasnya. Ia segera mengirim SMS pada suaminya.
“Mas, pulangnya mampi supermarket. Belikan keju chedar.”
“Mau buat apa?”
“Kue. Resepnya dapat dari internet.”
“Enak?”
“Jhiah, mana tahu. Kan lagi mau dibuat,” balas sang istri mulai sewot.
“Kalau enak kubeli dech.” 

SMS balasan terakhir dari suaminya membuat sang istri dongkol. Belasan tahun menjadi istri, sang suami tahu betul istrinya tak suka dan tak pandai memasak. Kalaupun beberapa kali ia berhasil membuat kue atau masakan dengan rasa enak, pasti tampilannya berantakan. Sesungguhnya sebagai suami ia tak pernah menuntut sang istri memasak. Itu sebabnya, hampir tiap kali pulang kantor ada saja yang ia bawa, mulai dari masakan padang, ayam goreng kalasan, maupun makanan lain yang ia beli dari berbagai rumah makan ternama di kotanya. 

Yang pasti ia tak ingin melihat istrinya kelelahan karena harus mengerjakan segala pekerjaan rumah, termasuk memasak. Sebab, ia hafal betul tabiat istrinya bila kelelahan: pasti uring-uringan. Lagi pula, ia paling tak suka bila berdekatan dengan istrinya yang bau asap kompor, dapur, dan masakan.”Ini istri apa dapur, sih?” begitu protesnya bila ia datang dari kerja dan istrinya belum sempat mandi.

Lain halnya dengan sang istri. Begitu membaca SMS terakhir suaminya, hatinya panas. Sudah jelas aku ingin membuatkannya makanan istimewa, eh dikacangin, begitu omel sang istri dalam hati. Karena itulah, hari ini ia memasak dan membuat kue dengan ekstra hati-hati.  Ia ingin menunjukkan pada sang suami bahwa ia pun bisa memasak.

Alhasil, soto ayam kampung yang ia bumbui model soto lombok, sambal, dan kue buatannya hari ini benar-benar bercita rasa istimewa. Ia ingin membuat suaminya bahagia dengan hasil masakannya. Bahkan, ia menyiapkan satu kejutan untuk suaminya.

Adzan maghrib bergema. Sang suami belum juga pulang. Sang istri berbuka puasa bersama anak-anaknya. Hingga selesai menyimpan makanan kembali di almari makan, sang suami belum juga datang. Menuruti kata hati yang sedang marah, sang istri berbaring di ranjang. Tubuhnya ia selimuti dengan selimut tebal. Maklum, hawa dingin sore ini sangat terasa.

Terdengar bunyi mobil sang suami. Sang istri tak bergeming dari ranjang. Suara salam sang suami pun hanya ia balas dari kamar.

“Mama sudah buka?”
“Sudah. Barusan. Mas makan sendiri ya semua masih hangat kok.”

Tanpa berpikir negatif, sang suami langsung mengambil makan bahkan nambah lagi. Hari ini ia makan lahap sekali. Segelas coktal buah made in sang istri mengakhiri ritual buka puasanya sore ini.

“Mama….,” panggilnya pada sang istri.”Masakan mama enak sekali kali ini. Mbak Narmi yang masak ya?”

Yang dipanggil diam saja. Perasaanya makin dongkol karena sang suami menuduh semua masakan yang ia siapkan buatan pembantunya. Padahal di bulan Ramadhan ini ia sengaja meringankan beban pembantunya dengan membebaskannya dari tugas memasak.

Tak biasa dengan sikap istrinya yang aneh, sang suami masuk ke kamar. Di sana dilihatnya sang istri sedang berselimut tebal. Matanya setengah terpejam.

“Mama sakit?”
Sang istri menggeleng. Tapi tubuh dan kakinya gemetaran.
“Lalu? Kecapekan?”
“Nggak, Mas. Aku cuma takut.”
“Takut? Takut apa?” tanya sang suami tak mengerti.
“Barusan aku menemui Malaikat Ridwan,”jawab sang istri.
“Jangan ngaco ah!”
“Nggak. Beneran kok.  Aku cuma mau cari bocoran.”
“Bocoran? Mama ini ada-ada saja.”
“Serius Mas. Tadi kutanyakan pada Malaikat Ridwan apakah untuk mendapatkan tiket masuk sorga seorang istri harus pandai memasak?”

Sang suami tertawa. Dalam hati ia tahu sang istri pasti marah karena SMS-nya sore tadi.  

“Lalu apa jawabannya?”
“Tidak! Hanya tidak. Penebus tiket sorga bagi seorang istri adalah SETIA.”

Sang suami terdiam. 
“Mama marah soal tadi sore?”
Sang istri menggeleng. 
“Kalau begitu kenapa sikap mama seperti ini?”
“Habis papa selalu meledek  mama yang gak bisa masak.”

Sang suami terdiam sementara waktu. Kemudian ia mendekat pada istrinya.  Dipegangnya tangan sang istri dengan lembut.
“Ma, aku tak melamarmu untuk jadi seorang pembantu. Kita sudah punya  pembantu. Aku pun tak menikahi mama untuk jadi budakku. Mama adalah separoh hidupku. Tanpa mama, apalah arti hiduku. “

Sang istri hanya tergugu. Ia bahkan tak menolak pipinya dicium, meski adzabn izya bergema, dan sang suami harus bersegera ke mushalla. 

Dalam hati sang istri saat ini hanya tersisa senyum kecut. Pertama, ia merasa rugi capek-capek minta bocoran tiket masuk sorga. Kedua, ia ingat perkataan suaminya. Ia istri yang kelasnya sama dengan tukang pijat. Sebab, ia dulu dinikahi dengan mas kawin dua puluh ribu rupiah, jumlah yang sama dengan upah tukang pijit langganannya.

“Itu sebabnya tugas mama setiap malam adalah memijatku. Bukan memasak atau bersih-bersih rumah,” kata sang suami suatu kali.

Sang istri yang kini sendirian menjagai anak bungsunya mengelus telapak tangannya. Disyukurinya telapak tangan dan jemari lembut yang hampir tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu. Dengan kelembutan tanganku ini, akan kubeli tiket sorga lewat punggung dan bahu suamiku, bisik sang istri menghibur dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar