Jumat, 09 November 2012

OLEH-OLEH DARI TOGA MAS


OLEH-OLEH DARI TOGAMAS

Tadi sore selepas ikut Slim and Fit di fitness Center, saya langsung meluncur ke Toga Mas. Ada beberapa buku yang hendak kubeli. Sebenarnya bukan soal isi buku yang hendak kutulis di sini, tetapi tentang kualitas beberapa buku yang mengusik hati (alah lebay ya?)

Nah, kalau saya mencari buku-buku ilmiah (nonfiksi) memang yang jadi kriteria utamanya adalah isinya. Meski berbahasa ruwet (tapi bukan kalimat yang ruwet dan tidak efektif) serta penampilannya tak eye catching, it’s ok lah. karena isi bukunya memang menjadi target utama. Jadi, untuk buku-buku nonfiksi, terutama buku ilmiah atau buku reliji selama isinya bagus, saya akan tetap ambil saja.

Namun, perasaan kecewa saya pada beberapa novel yang tadi sempat menarik hati karena tampilan covernya, nama pengarangnya, serta posisinya di bawah tulisan best seller sempat membuatku ya… bad mood. Walhasil aku urung membelinya. Why? 

Ada beberapa alasan.

Pertama, ukuran huruf. Banyak novel sekarang dicetak dengan ukuran huruf kecil-kecil. Saya sendiri tak tahu apakah karena faktor usia yang membuatku merasa lelah ketika harus membaca novel dengan ukuran huruf yang kecil-kecil. Sejak saya mulai doyan baca novel, maka huruf-huruf seukuran dalam novel2 karya Mira W cukup pas di mataku. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Tapi, sekarang ini sering kutemukan novel-novel dicetak dengan huruf-huruf kecil yang melelahkan.

Saya ingat bahwa salah satu syarat agar bacaan memiliki tingkat readability yang cocok dengan sasaran masyarakat bacanya, selain memperhatikan pilihan kata, panjang pendek kalimat, sebuah bacaan juga harus memperhatikan ukuran huruf. Bila untuk sebuah novel, saya rasa huruf-huruf yang terlalu kecil tentu akan sangat melelahkan pembacanya. Apalagi bila diingat bahwa sebuah novel dibaca orang salah satu tujuannya untuk mendapatkan kepuasan batin. Bila pembaca harus disibukkan dengan kelelahan matanya menatap deret huruf kecil-kecil, yang seringkali juga rapat, maka dapat dipastikan kenikmatan membacanya akan terganggu. 

Tadi di Toga Mas banyak sekali saya temukan novel baru atau best seller yang sebenarnya secara bahasa dan isi (meski baru kubaca sekilas) bagus. Namun, saya urung membelinya karena saya tak mau menghajar mata tua ini dengan perjuangan berat. Ini namanya penjajahan dan penyiksaan bagi orang setua diriku hehehe. Asli saya sedih. Beberapa buku yang sangat saya inginkan terpaksa tidak jadi saya beli.  Soal ini saya jadi ingat, kumcer Sungging Raga. Secara isi saya suka banget bahkan tak bosan membaca berulang cerpen-cerpennya yang benar-benar memikat. Namun, karena ukuran hurufnya yang kecil-kecil dan tampilan bukunya yang hanya sedikit lebih besar dibanding buku cerita silat Kho Ping Ho, saya membutuhkan waktu lebih lama untuk melahap habis kumcer itu. BT banget, sedih banget saat itu. Bayangkan, hati saya ingin segera menuntaskan membacanya. Namun, mataku duhai mataku… tak sanggup. 

Kedua, masalah bahasa yang digunakan. Jujur, secara pribadi saya seringkali membeli buku setelah membaca ulasan dari beberapa teman juga karena telah mengenal kualitas tulisan seseorang. Semisal saat membeli buku karya Benny Arnas , Khrisna Pabhicara, atau Mbak Wina Bojonegoro.Saya beberapa kali membaca karya mereka di media, membaca note mereka di FB. Saya yakin betul bahwa penulis-penulis itu memiliki kemampuan meracik bahasa yang mengagumkan. Jadi, meski membeli buku mereka secara online tak masalah bagiku. Saya yakin dengan kualitasnya. 

Namun, untuk membeli buku-buku penulis lain yang belum seterkenal mereka aku melakukan dua cara (a) membaca review/resensi/kritik dari teman-teman atau media baik cetak maupun internet. Mengapa? Seorang reviewer atau pengulas, meski tidak dimuat di koran (halah… dalam hal ini saya juga termasuk) tidak akan mungkin mempertaruhkan kehormatannya untuk mengatakan buku itu baik bila tidak baik. Maka saya suka membaca review buku-buku baru yang ditulis oleh teman. Itu bisa menjadi bahan referensi kalau suatu kali berwisata belanja buku. Itu pula sebabnya saya tak pelit berbagi info buku bagus. 

Bila tak kudapatkan informasi tentang kualitas buku dengan cara tersebut, atau kalau saya meragukan kualitas sebuah buku maka saat di toko buku ketemu bukunya tidak terbungkus plastik (ini yang agak sulit) saya akan membaca sekilas. Kubuka secara sembarangan beberapa halaman. Biasanya buku yang bagus akan ditulis dengan bahasa-bahasa yang memikat. 

Sayangnya banyak kutemui novel-novel baru terutama para penulis pendatang baru yang bahasanya amburadul. Tidak efektif. Membuat otak dan imajinasi kelelahan. 

Apakah ini karena menjamurnya buku-buku produk indie dimana penulis membiayai sendiri karya-karyanya sehingga setiap orang bisa jadi penulis? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Beberapa penerbit yang menyediakan penerbitan secara indie semacam Kayla, Genta Pustaka, dan leutika kuyakin memiliki tim editor yang hebat. Jadi,meski banyak buku yang diterbitkan secara indie baik sistem POD atau tidak, tetap saja memiliki kualitas bahasa yang bagus. Tadi saya menemukan buku-buku produk Kayla dan  leutika yang  bahasanya cukup baik. Saya yakin peran editor sangat besar di sini. Hanya dengan melihat isinya sekilas dan menilai kalimat yyang digunakan dua buku Sabdo palon  milikDamar S  produk Kayla Pustaka dan Daun-Daun Luruh karya Iva Avianty produk Leutikapun masuk keranjang belanjaanku.

Ketiga, pelajaran yang kuperoleh dari wisata belanja buku bulan Maret lalu adalah jangan terkecoh dengan tulisan best seller atau ditulis penulis best seller. Maret lalu saya kecewa sekali karena membeli sebuah novel terjemahan karena ada tulisan ditulis penulis terlaris. Hm… sampai di rumah nyesal sekali. Tak hanya ceritanya yang gak menarik, tetapi isi novel itu sendiri ngawur. Bahkan saya bisa mengatakan ada upaya menjelek2kan Islam dalam novel tersebut. Sejatinya, ingin sekali saya mengulas  novel itu, namun saya tak enak hati terhadap penerbitnya. 

Saya kutipkan saja ya satu penggalan dalam novel itu yang bikin saya berang setengah mati. 

Dia tahu bahwa bertahun-tahun pelaksanaan aturan lajang MEK telah membuat nafsu pria mereka frustasi sehingga kemungkinan besar, para pria itu akan memperkosa gadis itu. Lalu, berdasarkan hukum syariah mengenai wanita Muslim yang diperkosa, mereka akan melempari gadis itu dengan batu sebagai pezina perempuan dan mengubur tubuhnya yang hancur di padang pasir. 

Perhatikan bagian yang saya cetak tebal miring!! Gila. Bagian ini luar biasa ngawur dan melecehkan Islam. Entah karena ketidaktahuan atau sengaja mendiskreditkan. Hukuman zina (yang dilakukan suka sama suka, tidak berlaku bagi gadis korban perkosaan) bagi bujangan adalah diasingkan. Sedangkan hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) hanya diberikan pada lelaki dan perempuan pezina yang sudah menikah. Jadi, selain mendiskreditkan bagian ini juga ngawur besar! 

Hingga saat ini, novel setebal 560 halaman seharga 70.000 itu tak juga sanggup kuselesaikan. Entah kapan …..???

Jadi…. selalu ingat-ingat tiga hal saat Anda melangkah ke toko buku. Satu, ingat kualitas tulisan penulis tersebut baik dari review/resensi/ulasan maupun dari karyanya terdahulu. Dua, cek isi dan bahasanya secara sekilas. Ketiga, jangan terkecoh dengan cap best seller atau terlaris. 

Eit, ada yang tertinggal. Jangan lupa juga isi dompet. jangan sampai bocor semua. (Padahal saya juga suka lupa diri kalau sudah belanja buku. Hm… tadi saja pulang bawa 12 eks). 

Oh ya, jangan lupa. Beli buku online selama ada yang merekomendasikan, terutama teman atau sahabat yang bisa dipercaya boleh juga kok. Kalau perlu, sebelum membeli tanya ke teman yang sudah membelinya. Atau, baca dulu penggalannya yang biasanya dipublish oleh penulisnya. Meski barangkali cuma satu atau dua lembar, tapi pembaca yang pintar pasti sudah bisa menilai kelayakan buku itu untuk dibeli. 

NB: Buat yang nama dan karyanya kutulis di sini…. sorry ya, gue beneran suka ama buku kalian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar