Kamis, 08 November 2012

MEMAHAT LELAKI


Memahat Lelaki
Sabtu, 5 Desember 2009 | 01:37 WIB
Cerpen Istiqomah Almaki
Selalu sesak nafasku bila lewat jalan ini. Jalan menuju rumah ibuku. Seperti sekarang dan tiap lebaran, setiap aku mudik harus melewati SMA-ku dulu. Jalan raya di depan SMA ku ini menyimpan kenangan indah yang begitu sulit kuhapus. Begitu lekat pahatan kenangan itu, terlalu dalam... dan lama aku menyimpannnya.
Kulirik lelakiku yang sedari jam delapan pagi tadi serius memegang kemudi. Wajah lelahnya membuatku iba. Kuambil botol minuman energi dan kuarahkan ke bibirnya.
"Minum, ya Mas... biar nggak ngantuk!"kataku.
Tak menjawab ia menyesap beberapa teguk minuman itu.
"Masih tetep panas saja kotamu ini, Sayang!"katanya usai menelan tenggakan terakhirnya.
"Ya... beginilah, Mas.... namanya kota lahar. Kau lihat di seberang jalan ini ... kanan tuh mas tanahnya kan berpasir-pasir. Tahun 66 menjadi jalan lahar Kelud, Mas. Ibu yang cerita padaku."
"Hm... ya Kau pernah cerita soal itu."
Jalanan macet karena di depan ada lampu merah. Heran sekali aku. Sejak kapan kota kecilku mengalami kemacetan luar biasa seperti lebaran tahun ini. Bayangkan.... Kota kecil, kota kecamatan yang tak da mall atau bioskop, paling banter hanya Indomaret, seperti kota kecil asalku ini tiba-tiba dilanda macet.... Ah kendaraan terutama mobil-mobil mewah keluaran tahun 2005 ke atas berplat nomor B, H, atau L bersliweran di kotaku. Adakah mereka para perantau yang mudik untuk menunjukkan suksesnya pada kampung halaman? Ataukah ini semacam demonstrasi pada dunia untuk menolak anggapan bahwa rakyat di negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan?
Ah.... nafasku semakin sesak. Gedung SMA ku semakin dekat sekarang.
Di sini.... ya di sini, detak nafasku semakin kencang, nafasku memburu. Aku tahan-tahan... jangan sampai suamiku medengarnya. Oh.... betapa riuhnya kenangan itu. Sosok lelaki muda, berseragam SMA, bertubuh jangkung, hidung mancung, bibir manis berucap, seperti masih tegak di situ. Melambai padaku.
"Adiiis, tunggu aku! Aku ambil motor dulu. Kuantar kau!"
Ah... tawaran itu seperti agu lama selalu terputar tiap kali aku melewati jalan ini. Kalau boleh sungguh ingin aku tak melewati jalan ini. Tapi bagaimana mungkin, ini adalah jalan satu-satunya menuju rumah ibuku. Tiap kali pulang ke rumah ibu selama belasan tahun harus kulewati jalan ini. Berarti pula harus kuputar ulang film roman remajaku, masa SMA-ku.
Aku selalu senang menunggumu mengambil motor. Rumahmu hanya berjarak 400 meter saja dari sekolah. Tak butuh waktu lama untukmu mengambil motor dan segera enemuiku lalu mengantarku hingga jalan ujung desaku. Aku tak pernah berani meski kau paksa, untuk menerima tawaranmu mengantarku sampai ke rumah.
"Jangan! Aku takut! Bapakku bisa marah!" selalu itu alasanku.
"Tak apa. Aku tak takut! Penasaran aku, seperti apa sich Bapakmu! Memang kau pikir aku tak berani?" tanyamu penuh rasa percaya diri.
Untung kau selalu mengalah dan tak pernah memaksa. Sungguh.... aku gemetar andai kau nekad. Kau tak tahu bapakku adalah seorang ayah yang protektif. Dia selalu menjaga anak gadinya, aku dan mbakku satu-satunya. Dia sempat mengajarkan pada kami hadist Nabi yang menyatakan bahwa Allah menyediakan syurga bagi seorang ayah yang berhasil mengantarkan anak gadinya ke gerbang pernikahan dalam kondisi masih suci: masih perawan.
Tapi bagaimana menjelaskan padamu soal itu. Kau pasti sulit mengerti. Aku yakin itu. Itulah sebabnya mengapa bapak selalu mengantar dan menjemputku. Raganya yang sudah menua dan mulai ringkih sering membuatku sedih. Aku kasihan melihatnya harus mengendarai motor tuanya setiap pagi mengantarku lalu mengantar mbakku ke sekolahnya yang berjarak hampir 20 KM dari rumah. Kadang aku pun merasa jengah ketika ada yang bilang kami anak-anak manja yang tak tahu diri, tak kasihan pada orang tua yang sudah renta. Ah... ketika rasan-rasan itu kusampaikan pada Bapak, bapak justru marah dan mengatakan.
"Nduk.... inilah bentuk sayang dan tanggung jawab bapak pada anak gadisnya! Bapak tak ingin ada satu pun orang yang menggoda Kalian!"
Ah.... Bapak. Engkau pula yang akhirnya membuatku mengunting mimpi-mimpiku tentang lelaki muda msa remajaku itu. Karena aku lebih memilih mewujudkan mimpimu meraih syurgaNya ketimbang mewujudkan mimpi masa remajaku.
"Ma... besok kita jadi mampir ke bukit? Anak-anak pengin beli es campur di bawah bukit itu. Siapa tahu lagi musim nanas kita bisa beli banyak buat oleh-oleh," kata lelakiku membuyarkan lamunanku.
"Boleh, Mas.... sekalian kita nanti mampir ke rumah bulik di sana. Bukankah dua lebaran ini kita tak mampir?" jawabku sambil bertanya balik.
"Iya. Begitu juga baik. Anak-anak masih tidur, ya Ma?"
"Hm... ya. Mungkin lelah Mas. Tiga hari ini kita seperti manusia di atas roda. Silaturrahim ke keluarga kemana-mana. Hah... aku juga capek, Mas," keluhku.
"Lha.... lha.... kalo mama capek dan ngantuk, terus aku melekan sama siapa Ma?" suamiku mulai lagi.
Aku tersenyum. Selalu begitu, ia jengkel kalo harus terjaga dan menyetir sendirian.
"Tetaplah jadi radioku yang selalu on, Ma.... mendampingiku menyetir supaya nggak ngantuk,"begitu pintanya selalu ketika kami bepergian jauh bersama.
Aku ketawa mendengarnya memanggilku, "Radioku". Hahahahaha, tak apa aku memang cerewet. Sementara suamiku pendiam banget. Ah... aku tahu, Allah telah mengaturnya.....
Hm.... pandangan mataku sampai juga ke bukit kecil yang tadi disebut suamiku. Bukit itu terletak di balik stadion kecamatan. Hm.... bukit itu juga menyimpan kenangan indah bersama lelaki remajaku di masa lalu. Adakah aku pernah menceritakan atau merahasiakan bahwa setiap kali ada tugas upacara hari besar seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan, atau hari sumpah pemuda, seringkali aku dan banyak teman SMA-ku, juga lelaki masa remajaku justru ramai-ramai mendaki bu kit ketimbang mengikuti upacara.
Selain malas berpanas-panas kami pun memanfaatkan bebas dari jam belajar di kelas untuk bersenang-senang. Hm... tentu saja setelah sebelumnya kami memborong tahu goreng, es dawet, dan jajanan pasar dari pasar kecamatan yang letaknya persis bersebelahan dengan stadion.
Di bukit itu pula pertama kali engkau dengan kocak menyanyikan sebuah lagu dengan gitarmu. Hm.... pada waktu itu, 22 tahun lalu tak banyak anak SMA yang mampu memainkan gitar selincah dirimu.
"Kau ... dengarkan saja laguku. Lalu ciptakan sebuah puisi tentang aku, tentang rinduku, juga mimpiku! Aku tahu, Kau bisa," katamu tanpa malu menarik tanganku dalam genggamanmu.
Ada banyak teman di sana. Kau tak ragu. Aku tersipu. Teman-teman bersorak seru.
"Ayo... ayo.... ayo...!"
Aku tahu sudah lama kau naksir padaku. beberapa teman mengatakan padaku. Tak jarang kau titip
salam pada Anam, teman sekelasku, yang kebetulan tetanggaku, anak buruh tani yang biasanya bekerja di sawah bapakku.
"Dis.... terima saja! Kau toh tak mungkin dapatkan Yudha! YUdha sudah ada yang pnunya," teriak Ikram.
Sialan! Mengapa Ikram membuka hatiku di hadapan semua orang? Ya.... jujur aku memang naksir Yudha. ketua kelasku yang cakep dan kalem itu. Sayang dia lebih memilih Anneta. Aku sakit hati dan perih. Tapi aku tetap suka padanya sebab Yudha lebih memilihku jadi anggota kelompok belajarnya ketimbang Anneta. (Atau memang dia mau memanfaatkanku yang bintang pelajar di seolah ini?) Tak tahulah, yang jelas aku selalu berdebar dan merasakan aliran darahku lebih memanas setiap kali duduk berdekatan atau berbincang-bincang dengan Yudha.
"Dis...., Kau dengar?" tanya lelaki remajaku seperti mengusir bayangan Yudha dalam kenanganku.
"Apa?" tanyaku malu.
"Mereka bilang kita cocok jadi pasangan. Bagaimana menurutmu?"
Lelaki remajaku menatapku tajam. Aku tertunduk.
"Aku.... aku tak tahu."
Hm.... aku sungguh tak tahu mengapa deburan di dadaku jauh lebih bergelombang dibanding ketika berdekatan dengan Yudha? Atau karena aku sudah mulai bisa menerima kenyataan takkan bisa memiliki Yudha? Atau karena aku sudah mulai suka pa..... Ah..... tak tahu!
"Dis..... kau mau kan jadi pacarku? Kau lihat semua teman-teman kita datang ke sini dengan pacarnya! Hanya kita yang belom berpacaran. mau ya Dis!" suara lelaki remajaku itu memohon.
Duh.... indahnya saat itu. Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
"Horeeeeeeeeeeeeeeeeeee!!!! Adis mau jadi pacarku!" teriakmu pada teman-teman kita.
Aduh, hentikan dong! Aku malu! Tapi kau dan teman-teman lelakimu twertawa-tawa dan saling bersalaman.
"Selamat! Akhirnya kau dapatkan juga hatinya!"kata Ikram sambil tersenyum dan mengedipkan matanya sebelah padamu.
Kau tertawa. Teman-teman cewek menggodaku.
Kenangan itu..... betapa selalu datang mengharu biru tiap tatap mataku terantuk pada bukit kecil di balik stadion dekat pasar kecamatan. Ah....
"Ma.... bangunkan anak-anak, bentar lagi sampai Nih!" kata-kata suamiku seperti membangunkanku dari mimpi panjang masa laluku.
Semoga saja suamiku tak mendengar putaran film kenangan masa lalu yang begitu nyaring beredar di otak dan hatiku.
****
Hampir semalaman aku tak bisa tidur. Entah kenapa bayangan lelaki masa remajaku seperti mencengkeram mataku hingga tak mampu terpicing sejenak pun. Beberapa kali suamiku bertanya mengapa aku gelisah dan tak segera tidur. Kubilang aku lelah dan masuk angin karena perjalanan yang begitu lama, sekitar tujuh jam untuk ampai ke rumah ibu. Syukurlah suamiku mengerti. Lagi pula ia juga kelelahan sehingga ia pun lebih dulu tertidur lelap bersama anakanakku.
Di ruang tamu ketemui ibu sedang membaca majalah. Hm.... wajah tua itu masih saja menyiratkan rasa kasih yang luar biasa. Tak banyak yang berubah pada wajahnya kecuali gurat-gurat yang semakin banyak dan jelas pada wajahnya. Seperti pahatan-pahatan tahun yang telah ia lewati.
"Bu.... pohon jambiu di halaman samping masih kerap berbuah kah?"tanyaku.
"Iya... syukurlah. Buahnya masih banyak dan tetep manis. Itu kenang-kenanga terakhir dari bapakmu.
Sebelum meninggal bapak berpesan pada ibu agar merawatnya, jika perlu mencangkok dan memperbanyak agar buahnya tetap mengalir bisa dinikmati anak cucu dan tetangga."
Begitulah memang bapakku membanggakan jambu airnya yang warnanya merah kehijauan jika matang. "Jambu kaget" begitu orang-orang menamainya. Kaget karena merasakan batapa manis dan segar daging buahnya.
Aku keluar halaman samping. Kupandangi pohon jambu air yang tadi kami bicarakan. Bulan seiris di langit memang tak terlalu cerah, tetapi bintang yang bertabur mencipta siluet indah pada bayang-bayang jambu air, rambutan, duku, juga kelapa yang berbaris-baris di sepanajang kebun peninggalan bapak. Hem.... esok pagi akan kujenguk kebun itu. Siapa tahu ada buah-buahan yang dapat kupanen dan kubawa sebagai oleh-oleh ketika balik ke kota.
Di bawah jambu air itu dulu, lelaki remajaku pertama kali datang ke rumah ini, juga terakhir kalinya. Kau nekad meski aku berulang melarangmu. katamu, bukan lelaki jika tak berani menghadapi calon mertua. Hah... aku suka tersenyum mengingat kata-kata ngacomu.
"Namanya siapa?" tanya bapak dengan suara dingin dan datar padamu.
Aku gemetar.
"Daniel, Pak!" katamu dengan suara tenang.
Hebat, pujiku dalam hati.
"Kau ngaji dimana? Kitab apa yang sekarang sedang kau pelajari?"
"Hm.... anu.... anu.... Pak....," tiba-tiba suaramu menghilang. Aku tahu kau tak bakal bisa menjawabnya. Selamanya, mungkin.
"Bah.... anak-anak sudah siap,.." tiba-tiba seorang santri bapakku memanggil bapakku. Hm... kudongakkan wajahku ke langit. Sekitar jam 4. Saatnya shalat ashar lalu mengaji kitab.
"Pulanglah! Belajarlah dan mengajilah! Itu bekal hidup manusia!"bapak mengusirmu dengan halus.
Kau tak berani menatapku juga menatap bapakku.
"Aku pulang, katamu!"
Lalu kau melarikan motormu dengan cepat. Suara motormu meraung keras seperti kemarahanmu pada sikap bapakku. Aku tahu. Dari matamu aku tahu kau sangat terluka! Kau kalah.
****
"Mas.... kita mampir ke rumah temanku, ya? Ya kangen juga bertemu teman lama. Hampir 22 tahun aku tak bertemu dengannya. Rumahnya kan tinggal belok saja," kataku pada lelaki kiniku dalam perjalanan balik ke kota.
"Ya... baik. Ide yang bagus Ma... Sambil menjalin tali silaturrahim."
Syukurlah kau mau, lelaki masa kiniku. Aku tak perlu menjelaskan tentang Daniel, lelaki masa remajaku yang hendak kita kunjungi.
Rumah itu.... tak banyak perubahan. Pohon mangga di halaman rumah ini masih tetap ada meski lebih rimbun dan tua. Aku dulu suka diam-diam melewati rumahmu hanya sekedar ingin melihat wajah dan senyummu. Namun tak pernah ada keberanianku untuk mampir di situ. Aku tak mau lebih menyakiti hatiku.
Untunglah kau sedang ke rumah ini. Ternyata kau tak lagi tinggal di rumah ini. kau tinggal di kota istrimu, Kediri.
"Hm.... hampir saja aku lupa padamu, Dis! Sekarang kau jadi gemuk!" Katamu mengfomentari penampilanku sambil menjabat tanganku.
"Kau bisa saja. Kenalkan ini suamiku, Frans...," kataku.
Lelaki masa kiniku menjabat tanganmu dan kalian saling berkenalan.
Seorang anak kecil berusia 3 tahun berlari ke arahmu.
"Papa..., papa...."
"Kenalkan.... Ini jagoanku," katamu.
"Oh ya.... berapa? Aku empat... Ini yang pertama, ....." ceritaku panjang lebar sambil memperkenalkan satu-satu anakku.
"Hahaha aku selalu kalah darimu, Dis! Kau selalu menang! Kamu tahu Mas, istrimu ini dulu bintang pelajar di SMA kami. Dia hebat! Jago baca puisi dan pidato. Aku tak pernah menang melawannya,"ceritamu panjang lebar.
Suamiku seperti biasanya hanya tersenyum tipis. Aku tahu suamiku tak kaget dengan cerita itu. Toh dia memilihku salah satunya karena berbagai prestasiku, bukan hanya karena wajahku. Ah....
"Oh iya.... mana istrimu?"tanyaku akhirnya.
"Rien..... ,"panggilnya.
Seorang perempuan berusia sekitar 45 tahunan muncul dari arah dapur.
"Ini istriku,"kata lelaki masa remajaku.
"Riena, Mbak...", kata istrimu.
Ini istrimu? Perempuan tanpa style dan kecantikan apa pun ini istrimu? Ia tidak seksi dan tak lagi muda bukan? Mungkin usianya 7 tahun di atasmu. Oh.... Tak salahkah kau mengenalkannya padaku? Perempuan tanpa keistimewaan apa-apa???
"Kami baru menikah empat tahun lalu. Kami bertemu di Malaysia. Ya.... aku kan cuma TKI dan istriku juga hanya TKW. tak sepertimu yang sekarang sudah jadi orang di kota." ceritamu dengan suara kalah.
"Alah.... sama saja. Kau lihatlah secara materi kau lebih hebat!"
Bukankah tadi dia sempat bercerita betapa menjelang lebaran seperti ini harga mobil merangkak naik. Terpaksa kau beli juga meski harganya selisih hampir 15 juta dibanding sebelum puasa. Mau bagaimana lagi, saat lebaran mobil menjadi sangat penting tak hanya jadi sarana transportasi, tapi juga lambang keberhasilan pada orang-orang kampung katamu. Dan kulihat kau berhasil. Honda CRV hitam mengkilat bertahun 2008 akhir bertengger di halaman rumahmu.
Diam-diam bergantian kupandangi suamiku dan lelaki masa remajaku. Hati-hati sekali ingin kupahatkan ketetapan batinku bahwa lelakiku kini adalah segalanya bagiku. Dia lebih baik dibandingkan lelaki masa remajaku. Ya.... sungguh, aku tak salah dan tak keliru. Lelakiku jauh lebih tampan dan bersih. Suamiku juga jauh lebih berpendidikan, dan memiliki kedudukan yang lebih bagus dari pada lelaki masa remajaku. Suamiku juga jauh lebih sabar dan penuh kasih padaku. Suamiku.... ah.... kau menggamit tanganku dan berbisik.
"Kita pamit. Nanti kita kemalaman di jalan."
Kami pun pamit pulang.
Aku pulang dengan kemenangan di tangan. Di hatiku kini telah permanen kupahatkan bahwa lelakiku kini, suamiku adalah pilihan yang tepat. Lelaki masa remajaku tak ada apa-apanya dibanding suamiku. Hm.... aku telah mampu mengalahkan kenangan masa remajaku sendiri. Aku menang! Dan ku akan menggenggam tangan dan hati suamiku selamanya. HIngga ia menjadi lelaki tuaku di masa yang akan datang.
*****
Sepanjang jalan pulang ke rumah ada dua pertanyaan besar yang masih menggantung di hatiku.
Pertama soal kata-katamu pada Ikranm di kamar mandi sekolah kita sore itu.
"Oke aku kalah! Aku tak bisa mengajak Adis ke bioskop. Tapi kan aku telah berhasil memacarinya! Jadi kalian harus tetap bayar aku!"katamu.
Ya Tuhan.... ya Tuhan.... sakit sekali hatiku mendengar percakapan Kalian.
"Ya.... berarti bayarannya tinggal separoh, tinggal 25 ribu saja Nih ambil uangnya!"kata Ikram padamu.
Aku tahan-tahan tangisku waktu itu. hampir saja aku berlari padamu lalu menghantam wajahmu dengan kerikil, dengan batu, atau palu besi sekalian. Agar aku dapat menghancurkan wajahmu yang tampan. Teganya kau.....
"Ikraaaaaaaaaaaaaaaaam! Katakan padaku! Apa arti taruhan itu?" kataku sambil menarik lengan baju Ikram ketika aku yakin kau telah berlalu.
Pias sekali wajah Ikram saat itu.
"Sory Dis.,.... aku tak bermaksud menyakitimu...." suara Ikram bergetar.
"Ceritakan padaku! Ceritakan! "suaraku menggigil tapi tegas. Ikram semakin pias.
"Kami.... kami taruhan akan membayar Daniel 50 ribu jika ia dapat memacarimu dan bisa mengajakmu nonton bioskop. Karena.... karena ..."
"Karena apa?" tanyaku ngotot.
"Karena kau sok alim! Karena kau bilang tak mau pacaran! Karena bapakmu kolot! Kami tertantang!" ujar Ikram mengakhiri ceritanya.
Tak perlu kuceritakan betapa sakit hatiku. Betapa berdarah-darah perasaanku. Rasa cinta pada lelaki masa remajaku yang berlainan keyakinan yang kusadari sebagai sebuah kesalahan itu ternyata terbukti adalah : SEBUAH KESALAHAN BESAR!!!!
Sejak itu aku mebencimu. Menjauhimu. Meski kau sempat minta maaf dan berkirim surat padaku. Kau bilang di awal memang hanya tertarik untuk memenangkan taruhan itu, tapi pada akhirnya kau benar-benar mencintaiku. Sayang.... jangankan untuk mengajakku nonton seperti layaknya pasangan yang berpacaran lainnya, untuk apel ke rumah ku saja kau bilang tak bisa karena bapakku.
"Aku lelah harus senantiasa memendam keinginan untuk jalan berdua denganmu. Sesekali ingin juga aku menciummu," begitu tulismu pada surat terakhirmu yang kubakar langsung dengan lilin sisa kue ulang tahun yang kaukirimkan dua bulan yang lalu.
: Aneh.... tak lagi sesak dadaku mengingat luka itu. Aku tersenyum bahagia menatap wajah teduh lelaki masa kiniku, suamiku, yang masih tetap serius memegang kemudi di sampingku.
Kedua, tentang istrimu. Sungguh tak hanya karena tampilan fisiknya dan perbedaan usia kalian saja yang membuatku kaget, tapi dia bukan Hanni, siswa kelas III IPS yang kau pacari tiga bulan setelah kita putus dulu itu. Masih sempat kudengar pada hari perpisahan kita kalau Kalian berdua baru saja nmenikah sebab Hanni telah dua bulan mengandung anakmu. Kemana Hanni, kemana anakmu itu dulu?
"Kita mampir makan dulu, Ma.... sambil istirahat. Aku lelah!" suara lelaki masa kiniku menyadarkanku.
Kami turun di rumah makan di perbatasan kota. Sambil menunggu sajian yang kami pesan, kupijat punggung suamiku penuh kasih dan mesra. Kuhapus keringatnya.
"Aku tahu.... kaulah lelaki terbaik yang dianugerahkan Tuhan padaku," akhirnya terbaca juga pahatan kalimat itu di hatiku.
Hangat dan damai hatiku. Anak-anakku berebut minta es teler yang baru datang tiga mangkok.
Aku dan suamiku tertawa lebar melihat keramaian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar