Mereka Hanya
Belum Tahu
Istiqomah, S.Pd. M.Pd
(Guru Bahasa Indonesia, SMA Negeri 1 Batu)
Dak!
Dak! Dak!
Ambar
memotong daging sapi di depannya kuat-kuat. Berharap bunyi pisaunya bisa
menulikan telinganya sejenak saja. Suara-suara yang didengarnya terlalu
menyakitkan. Gadis berambut panjang itu menggumam tak jelas. Dari sini, dari
dapurnya, ia bisa mendengar suara-suara sumir itu menggunjing dirinya.
“Ambar
itu kerjo opo se?” suara perempuan
pertama.
“Ora
ngerti, Mbak. Mulihe bengi-bengi. Saya
pernah lihat dia pulang diantar mobil kinclong,
Mbak. Tengah wengi iku,” suara
perempuan lainnya tak kalah memerahkan telinga Ambar.
Dak!
Ambar semakin memperkuat ayunan pisaunya. Ia berharap suara benturan pisau,
daging, dan kayu telenan mampu
mengalahkan suara-suara yang menerobos lubang-lubang dinding bambu dapur
rumahnya.
“Paling
juga kerjanya nggak bener itu. Kalo
kerja baik-baik itu yo nggae seragam
dan tidak pulang tengah malam.”
“Lek kerjo nggak bener yo laris, wong Amba kenes koyo ngono.””
Setetes
air mata jatuh di pipi Ambar. Ia menjatuhkan pisaunya keras-keras di lantai
semen dapurnya. Berharap mulut-mulut usil tetangganya takut dan terdiam.
Ia
melangkah hendak membuka pintu dapur. Namun, sejurus kemudian ia melihat ibunya
menatap dengan tatapan mata memohon.
“Sabar,Nduk.”
“Tapi,
Bu ….”
“Biarkan
waktu yang menjawab semua itu. Mereka hanya tidak tahu, Nduk,” nasihat ibuny
seperti biasa. Selalu meneduhkan.
Andai
saja tak ada ibu, Ambar pasti nekad. Suara-suara sumbang tentang dirinya itu
sudah terlalu lama dibiarkan. Makin lama bukannya makin menghilang, tetapi
malah makin membuat telinganya terbakar.
Demi
ibunya, Ambar memilih diam. Ambar mencoba percaya bahwa mereka tidak tahu. Ya
.. mereka hanya tidak tahu. Lebih tepatnya, tidak mau tahu.
Ambar
tidak pernah ingin jadi penari. Tak ada darah seni mengalir dalam
tubuhnya. Tak pernah sekali pun ia
membayangkan akan menekuni profesinya sekarang ini. Ia merasa sama sekali tak
memiliki minat, apalagi bakat untuk menyelaraskan gerak tubuh nan rumit dengan
iringan musik mendayu maupun rancak.
Ketika
SMA, sekolah mewajibkan semua siswa mengikuti minimal satu ekstrakurikuler. Kebijakan ini diambil untuk menyeimbangkan
kemampuan siswa bidang akademik dan
nonakademik. Ambar yang saat itu belum mengetahui apa bakat dan minatnya,
asal-asalan memilih tari tradisional — padahal ia tak pernah menari sebelumnya.
Ia hanya ikut-ikutan teman sebangkunya, Nadia.
Sungguh,
Amba tidak pernah berniat untuk jadi penari.
Untungnya
Nadia dengan telaten selalu mengajarinya gerakan-gerakan dasar menari. Hingga
akhirnya tak sampai empat bulan, gerak tubuh Ambar jauh lebih gemulai dari
Nadia. Bakat Ambar mulai terlihat.
***
Pelatihnya
melihat bakat besar Ambar. Ambar mulai diberi kepercayaan untuk tampil dalam
berbagai kegiatan sekolah mulai dari menyambut tamu, mewakili sekolah mengikuti
festival seni di tingkat kota hingga mewakili ke tingkat provinsi, bahkan
kadang-kadang diminta Pemkot Batu untuk tampil dalam berbagai acara resmi wali
kota.
Ambar
menurut saja. Ia merasa semuanya wajar, karena ia aktif mengikuti latihan.
Tidak satu kali pun ia mangkir latihan. Baginya, tampil dalam berbagai kegiatan
adalah termasuk latihan. Latihan untuk menjadi lebih luwes menari. Lagipula, ibunya selalu berpesan padanya agar selalu
bersungguh-sungguh dalam menekuni suatu pekerjaan. Ambar berjanji pada dirinya
sendiri tidak akan mengecewakan hati ibunya, satu-satunya keluarga yang ia
miliki.
Ia
sama sekali tak mengira apa yang ia raih tersebut telah melukai hati seseorang.
Seminggu
menjelang pelaksanaan festival seni di tingkat provinsi, Nadia menyapanya
dengan tatapan sinis.
“Kamu
hebat ya Mbar? Mampu mencuri hati pelatih.”
“Em
…maksudmu apa?”
“Alaaaah,
jangan pura-pura. Kamu itu kecentilan
banget. Merebut kesempatan senior buat tampil di tingkat provinsi,” sahut
Tania, kakak kelasnya.
“Aku
… aku tidak bermaksud seperti itu,” jawab Ambar mencoba membela diri.
“Alah…
alasan. Dasar kamunya yang kecentilan.”
“Sungguh Mbak Tania. Aku gak bermaksud seperti
itu. Bu Luky menunjukku.”
“Alaaaah … jangan pura-pura kamu. Kamu itu
anak kemarin sore sudah berani melangkahi senior. Harusnya kamu tahu diri.
Tahun ini giliran kami yang berlomba di tingkat provinsi. Jatahmu tahun depan.”
Jantung
Ambar berdetak lebih kencang. Rupanya itu ..
“Dasar
tak tahu balas budi. Aku menyesal telah mengajakmu bergabung di sini,” sahut
Nadia tanpa memedulikan air mata Ambar yang sudah mulai membasahi pipinya.
Hari
itu Ambar berlatih dengan separoh hati. Beberapa kali Bu Luky mengingatkannya
untuk berkonsentrasi.
“Sudah
… sudah. Kita berhenti dulu. Kamu kenapa sih Ambar? Latihan hari ini kacau
sekali.”
Bu
Luky menghentikan latihan sambil memberondongAmbar dengan beberapa pertanyaan.
Ambar
hanya bisa tertunduk pilu. Ia memutuskan untuk menyampaikan niatnya. Ambar
sudah memutuskan untuk mengundurkan diri.
“Ambar
… Kamu sakit?” kembali pertanyaan Bu Luky mengagetkan Ambar.
“Ti
.. tidak, Bu. Saya .. saya hanya hendak menyampaikan permohonan maaf saya, Bu.”
Suara
Ambar yang terbata-bata dan mengandungtangisan yang tertahan, membuat Bu Luky
menatapnya tajam. Sejenak Bu Luky memandang wajah Ambar dengan pandangan
menyelidik.
“Minta
maaf? Untuk apa? Soal latihan tadi? Nggak apa-apa kalau kamu sedang ada
masalah. Ibu ngerti kok,” kata Bu Luky seperti biasa dengan kata-kata yang
lembut.
“Nganu
Bu … saya mau mengundurkan diri dari festival ini.”
“Maksudnya?”
Bu Luky terperanjat mendengar kata-kata Ambar.
“Saya
… saya merasa belum pantas mewakili sekolah dan kota kita di tingkat
provinsi.Mbak Tania dan kakak kelas lainnya yang berhak maju tahun ini, Bu.
Saya belum waktunya.”
“Kata
siapa kamu gak berhak? Kata siapa juga ada jatah-jatahan? Gak ada itu Ambar.
Setiap tahun, siapa pun berhak bersaing untuk menjadi wakil kota ke tingkat
provinsi. Kelas X atau kelas XI.”
“Tapi,
Bu ….”
“Nggak
pakai tapi-tapi. Kamu nggak usah merasa bersalah seperti itu. Yang penting
sekarang tunjukkan pada mereka bahwa kamu memang layak mewakili Kota Batu. Ibu
berharap bakat terpendammu serta kepekaan tubuhmu dalam mengikuti
gending-gending Jawa akan mengantarkan kota kita meraih kemenangan. Catatkan
sejarah itu, Ambar. Kita belum pernah menang di tingkat provinsi.”
Ambar
terdiam beberapa saat. Wajah ibunya kembali terbayang bergantian dengan wajah
almarhum bapaknya.
“Apa
saya bisa, Bu?” Ambar bertanya dengan suara gemetar.
“Kenapa
ragu? Kamu punya bakat. Tinggal berlatih sungguh-sungguh dan berdoa. Ibu yakin
kamu bisa.”
Bu
Luky menepuk-nepuk pundak Ambar dengan lembut. Setetes air mata jatuh di pipi
Ambar.
“Insyaallah,
Bu.”
***
Sore
itu Ambar pulang dengan hati yang lega. Meski terpaksa harus menerima pandangan
sinis dari Nadia dan teman-temannya, Ambar tahu ia akan membahagiakan ibu dan
almarhum bapaknya.
Malahan,
ia semakin bertekad untuk bisa meraih kemenangan di tingkat provinsi.
Wajah
almarhum bapaknya terbayang jelas di mata Ambar. Kali ini bukan lagi wajah yang
berdarah-darah karena gencetan truk gandeng yang dengan tanpa
berperikemanusiaan telah menggilas hampir separoh tubuh bapaknya.
Ambar
tak akan pernah melupakan saat itu. Ia menerima kabar kecelakaan yang menimpa
bapaknya, tepat setelah wali kota menyerahkan piala dan piagam atas
kemenangannya dalam festival seni di kota Batu.
Beruntung
bagi Ambar. Ia masih sempat menemui bapaknya pada saat-saat terakhir sebelum
kepergian ayahnya ke alam keabadian. Ambar membawa piala dan amplop
beasiswanya. Ia ingin membagi kebahagiaan itu dengan bapaknya. Bapaknya adalah
orang yang selalu memotivasi Ambar agar dapat meraih prestasi.
“Bapak
…. Apa artinya semua ini? Apa artinya kemenangan ini kalau bapak tidak bisa
melihatnya?” Ambar menangis histeris saat melihat tubuh ayahnya penuh darah.
“Sabar
Nduk. Sabar. Doakan, Bapak,” bujuk ibunya.
Ibu
bisa membujuk Ambar dengan kata-kata dan pelukan. Tapi ibu tak bisa
menyembunyikan dukanya. Wajahnya penuh air mata. Suaranya serak, nyaris hilang.
“Bapak
ingin aku menang, Bu. Tapi semua ini tak ada artinya bila bapak tak melihatnya.
Bapak …”
Seperti
mendengar tangisan Ambar, tiba-tiba keajaiban terjadi. Mata bapak terbuka.
Bapak sadar. Di sudut matanya ada titik-titik air.
“Ambar
… ,“ suara bapak lemah.
Ambar
memeluk bapaknya. Tak peduli wajah bapaknya yang pucat pasi penuh luka itu
dililit selang infus. Ambar hanya ingin memeluk bapaknya.
Degan
suara terbata-bata dan nyaris tak terdengar, bapak mengucapkan kalimat
terakhirnya.
“Bapak
bangga … padamu, Nduk.”
Setelah
iti bapak memejamkan matanya untuk selamanya.
Ambar
tidak akan pernah melupakan itu. Tidak akan pernah. Selamanya.
Kalimat
terakhir bapak itulah yng membuat Ambar mampu tampil sebaik-baiknya dan meraih
peringkat tiga di tingkat provinsi. Memang bukan yang terbaik, tetapi Ambar
telah mampu membuktikan kemampuannya pada teman-temannya yang sempat
meragukannya.
Namun,
kemenangan Ambar di festival seni tingkat provinsi ternyata tidak lagi membawa
kebahagiaan dan kebanggaan di hatinya. Ambar merasa sia-sia saja meraih semua
itu. Tak ada lagi bapak. Tak ada lagi yang akan bangga bila ia meraih
kemenangan.
Memang
masih ada ibu. Ibu tak pernah mendoorongnya untuk meraih prestasi. Ibu hanya
ingin Ambar lulus SMA dengan nilai bagus dan rajin membantunya membuat bakso
setiap hari. Ambar tidak tahu atau bahkan tidak peduli bagaimana tiap malam
ibunya selalu berdoa agar Ambar kembali bangkit . Ibu juga ingin Ambar menjadi
gadis periang yang piawai menari.
Ibu
tak sanggup mengungkapkan keinginannya. Ibu tahu meminta Ambar menari lagi sama
artinya dengan membuka luka lama di hati Ambar. Ya … bagi Ambar, bapak adalah
segalanya. Ambar hanya tak tahu keinginan ibu. Lebih tepatnya, Ambar tidak mau tahu
bahwa ibu juga bangga bila Ambar jadi penari yang berprestasi.
Ambar
benar-benar berhenti menari setelah festival seni itu. Ia tidak mau lagi
berlatih menari apalagi ikut lomba menari. Setiap lomba selalu mengingatkannya
akan hari tragis itu. Kematian bapak karena kecelaan saat menjemputnya dari
lomba tari benar-benar membuatnya kehilangan.
***
Selepas
SMA tiga bulan lalu, Ambar terpaksa mengubur seluruh impiannya untuk menempuh
pendidikan tinggi di universitas tidak mungkin lagi tercapai. Ibunya tidak
mungkin sendirian berjualan bakso. Penghasilan mereka pun tidak sebanyak saat
bapak masih ada. Ibu tak sepandai bapak dalam membuat bakso. Pelanggan lama
semakin hari semakin berkurang. Keuntungan yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari itu sudah sangat disyukuri Ambar dan ibunya.
Sering
Ambar diam-diam menangis dan meneteskan air matanya mengingat nasibnya yang
malang. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin mencari pekerjaan. Beberapa
kali ia mencoba melamar pekerjaan dan beberapa kali pula ia mendapat panggilan
kerja. Sayang, gaji yang ditawarkan hanya sisa sedikit setelah dipotong ongkos
angkutan yang ia keluarkan. Ia memilih membantu ibunya berjualan bakso.
Ambar
tak ingin jadi penjual bakso. Ia ingin jadi guru. Sama seperti harapan bapak
dan ibu dulu.
Ambar
hanya bisa meneteskan air mata. Ia tahu tidak mungkin meraih cita-citanya.
Ambar hanya belum tahu.
Hingga
suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Bu Luky ketika sedang membeli daging (bahan
bakso) di pasar.
“Ambar
…?” Bu Luky nyaris tak mengenali wajah Ambar.
Bu
Luky seperti biasa memeluk Ambar penuh saying. Sementara Ambar hanya biasa
berdiri kaku. Perasaannya campur baur tak karuan. Ia malu bertemu Bu Luky
dengan penampilan dekilnya saat itu. Tubuhnya pun bau daging dan bumbu-bumbu
dapur.
“Kamu
kurusan sekarang, Ambar?” Bu Luky melepas pelukannya dan menatap Ambar iba.
Bu
Luky seakan tak peduli bagaimana sikapnya yang penuh perhatian itu sempat
mencuri perhatian orang-orang yang sedang berbeanja di pasar itu. Tragisnya,
penampilan Bu Luky yang cantik dan bersih jauh berbeda dengan penampilan Ambar
yang dekil dan hanya bersandal jepit. Ambar tak bisa memungkiri perasaan rendah
diri serta rasa malunya pada orang-orang di pasar itu sampai-sampai ia tak
mendengar pertanyaan mantan pelatih tarinya itu.
“Sekarang
kamu kuliah dimana?” Bu Luky masih belum menyadari bahwa Ambar yang ia temui
hari itu adalah Ambar yang berbeda. Ambar yang sekarang adalah Ambar tanpa
cita-cita.
“Saya
… saya tidak kuliah Bu. Ya …,” Ambar menekan perasaan sedihnya. Suaranya parau.
“Ya … begini ini Bu saya setiap hari, membantu ibu jualan bakso.”
Akhirnya
Ambar mampu menyelesaikan kalimatnya. Bu Luky tergugu sejenak.
“Kamu
….,”
Hanya
itu yang bisa diucapkan Bu Luky.
“Saya
pamit duluan Bu. Adonan daging ini harus segera diolah jadi bakso.”
Ambir
buru-buru pamitan. Setengah berlari ia meninggalkan Bu Luky. Ia tak ingin Bu
Luky akan bertanya lebih banyak tentang kehidupannya. Ia tak mau berbagi
kepedihan dengan siapa pun.
Sepulang
dari pasar, ia melihat sebuah mobil sedan merah mengkilat parkir di halaman
rumahnya. Menutupi warung bakso ibunya.
Ah, mungkin itu tamu yang akan memesan bakso untuk hajatan, pikirAmbar.
Dulu semasa bapak masih ada seringkali ada pembeli yang memesan bakso dalam
jumlah besar untuk hajatan. Semoga usaha ibu bakal laris seperti dulu. Sambil
berdoa agar dugaannya benar, Ambar masuk rumah lewat pintu belakang.
“Nduk
… ada tamu yang mencarimu,” kata ibu yang ternyata sedang sibuk menuang kopi di
dapur.
“Tamu
mencariku? Siapa?” Ambar tak percaya pada kata-kata ibunya.
“Temui
saja sana. Bawa kopinya sekalian.”
Di
ruang tamu, Ambar tertegun. Tamu yang mencarinya ternyata orang yang
dihindarinya tadi. Bu Luky.
“Bu
Luky?” Ambar menatap mantan pelatih tarinya itu tak percaya.
“Kok
ibu sudah sampai di sini?” Ambar masih tak percaya bagaimana Bu Luky bisa
dengan cepat sampai ke rumahnya. Setahunya Bu Luky tidak tahu rumahnya. Bu Luky
juga tak pernah bertanya dimana rumahnya selama ini.
“Gampang
saja. Ibu tinggal tanya pada tukang daging tadi dimana rumahmu. Luar biasa … ternyata kamu terkenal sekali.”
“Maksud
ibu?” Ambar semakin gelisah.
“Ternyata
semua pedagang di pasar itu mengenal murid ibu yang cantik ini. Mereka yang
memberi tahu rumahmu.” Bu Luky menatap Ambar seperti biasanya dengan pandangan
penuh kasih.
Ambar
hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia rindu tatapan mata Bu Luky. Tiba-tiba rasa
hangat memenuhi dadanya. Ia juga rindu dengan instruksi-instruksi Bu Luky saat
melatihnya menari. Ia rindu pada alunan gending yang mengiringinya menari.
Ambar
merasakan setiap sendi jari jemarinya memberontak ingin bergerak. Bergerak
gemulai dalam sebuah tarian yang anggun. Tapi …
“Kamu
pasti kaget dengan kedatangan ibu?”
Ambar
menganggguk.
“Begini
Mbar, kamu masih ingat Mbak Firda, asisten ibu dulu?”
Lagi-lagi
Ambar hanya mengangguk.Bagaimana mungkin Ambar bisa melupakan Mbak Firda yang
juga ikut melatihnya bahkan mengajarinya tat arias dan tata busana. Mbak Firda
mengajari Ambar mampu merias dirinya sendiri.
“Seminggu
yang lalu Mbak Firda pindah ke Lampung. Mengikuti suaminya yang bertugas di
sana. Ibu butuh asisten baru. Ibu yakin, kamu mampu menggantikan Mbak Firda.”
“Tapi
Bu … saya … Saya …”
Ambar
menelan kata-katanya. Kerongkongannya seperti tercekat. Membicarakan tari
selalu membuatnya teringat bapak. Matanya berkaca-kaca.
“Ambar
… Kamu tak boleh terus-menerus mengurung diri. Kamu harus bangkit lagi. Kasihan
bapak. Beliau akan bersedih bila putri kesayangannya tidak mampu mewujudkan impiannya,”
Bu Luky berbicara dengan suara yang lembut.
Ambar
menatap Bu Luky dengan air mata berurai. Ia ingin berteriak. Ia ingin dunia
tahu bahwa ia menyesal telah membuat bapak mati. Ya … bapak mati karena ia
menari.
“Ibumu
sudah banyak cerita. Sebelum berangkat menjemputmu dulu, bapak sempat
menyampaikan harapannya. Beliau ingin kamu menjadi guru tari. Guru yang akan
membimbing anak-anak melestarikan kesenian Jawa.”
“Benar,Bu?
Benar begitu Bu? Bapak berkata begitu, Bu?” Ambar setengah tak percaya bertanya
berkali-kali pada ibunya.
Ibu
hanya mengangguk sambil mengelus pundak Ambar.
“Kamu
bisa membantu ibu mengajar anak-anak menari di sanggar sore hari. Paginya kamu
bisa kuliah. Ambil jurusan seni tari,” kata Bu Luky.
“Tapi
.. bagaimana dengn ibu? Siapa yang akan membantunya?”
“Soal
ibu tidak usah kamu pikirkan. Ibu masih kuat berjualan sendiri. Bukannya selama
dua bulan menjelang kamu ujian,ibu juga berjualan sendiri. Ibu kuat, kan?”
Ibu
tersenyum manis. Bu Luky memandangnya penuh harap.Ambar melihat potret ayah
tersenyum dan menganggukkan kepala. Ya bapak, Aku akan mewujudkan impianmu. Aku
akan menjadi guru tari seperti harapanmu, janji Ambar pada potret bapaknya.
Ambar
melihat harapan besar untuk mewujudkan cita-citanya dengan menerima tawaran Bu Luky.
Ia
memang tak pernah bercita-cita menjadi penari. Ia baru tahu dunia tari akan
membuatnya sanggup meraih impian bapaknya.
***
Sejak
itu, kehidupan Ambar berubah drastis. Ia kembali menjadi gadis ceria yang
hari-harinya disibukkan dengan latihan dan latihan. Wajah kusutnya pelan-pelan
menjadi segar kembali. Tulang-tulang tubuh mudanya yang dulu nyaris habis
terperas untuk berbelanja ke pasar, mengolah bakso di dapur kini selalu lincah
gemulai menari diiringi gending-gending Jawa yang lembut. Darahnya kembali
mengalir sempurna.
Sambil
menunggu tahun ajaran baru untuk mendaftar kuliah, Ambar tak hanya melatih
anak-anak di sanggar tetapi juga menerima undangan menari untuk berbagai
kegiatan resmi di instansi-instansi pemerintah. Karenanya ia harus sering
berlatih sampai malam.
Ia
beruntung bekerja di sanggar bu Luky. Tak hanya Bu Luky dan anak-anak didiknya
yang menyayangi Ambar. Prasetyo, anak semata wayang Bu Luky, manajer Sanggar
tari “Luky Dance” milik Bu Luky juga sangat baik padanya. Tak hanya sering
bercerita tentang gending-gending Jawa, gamelan-gamelan yang banyak dikoleksi
di sanggar, Prasetya ternyata seorang pemain gamelan, pencipta gending-gnding
Jawa yang handal.
Berdua
mereka berkolaborasi mencipta tarian kreasi baru bernuansa Jawa. Prasetya
selalu telaten memberikan masukan-masukan pada gerakan tari yang dibuat Ambar.
Seperti juga Ambar selalu memberikan masukan tentang gending yang dicipta
Prasetya. Barangkali tak hanya tarian dan gending yang menyatukan hati mereka.
Diam-diam Ambar selalu merasakan kebahagiaan setiap kali bersama Prasetya.
Ia
menutup rapat perasaannya itu. Ia memilih menyerahkan semuanya padasang waktu.
Orang
yang mengantar pulang Ambar malam-malam dan jadi bahan gunjingan tetangganya
itulah Prasetya. Tetangganya tak tahu siapa Prasetya. Andaikata mereka tahu,
tentu tak akan berpikiran buruk seperti itu, pikirAmbar. Tapi sudahlah. Mereka
tidak tahu, mungkin tidak mau tahu, putus Ambar sama seperti mereka tidak tahu
bahwa latihan menari tidak cukup hanya beberapa jam. Meskipun tampil hanya
beberapa menit, latihan harus dilakukan secara maksimal. Kesalahan sekecil
apapun tidak bisa dimaafkan. Siang sampai malam. Besoknya sore sampai malam
lagi. Apalagi kalau tarian baru kreasi sendiri seperti yang saat ini sedang
disiapkan Ambar dan Prasetya.
Minggu
lalu Prasetya menerima permintaan walikota untuk menampilkan tarian yang
menggambarkan kekhasan kota Batu untuk ditampilkan dalam pembukaan obyek wisata
baru.
“Ini
kesempatan kita, Ambar. Kesempatanmu juga.” Begitu cara Prasetya meyakinkan
Ambar saat Ambar ragu akan mampu menerima tantangan itu. “Kamu boleh saja
menolak tawaran menari di hotel-hotel, tetapi menolak tawaran bergengsi ini,
rugi besar Ambar.”
Prasetya
benar soal penolakan-penolakan Ambar itu. Beberapa kali ia menerima tawaran
untuk tampil dalam berbagai kegiatan ceremonial di hotel, tempat wisata, bahkan
hajatan para pengusaha dan pejabat. Tetapi Ambar selalu menolak. Ia merasa
dirinya hanya guru tari, bukan penari. Meski ditawari honor hingga jutaan
rupiah, Ambar bersikukuh menolaknya. Ia tak mau suara-suara tetangganya makin
miring terhadap dirinya. Bagaimana pun ia harus menjaga perasaan ibunya. Ia
yakin mampu menjaga diri. Tetapi ia tak yakin mampu menjaga mulut tetangganya
yang usil.
Namun
Prasetya berhasil meyakinkan dirinya hingga ia menerima tawaran itu. Ia ingin
tetangganya tahu bahwa ia guru tari dan penari profesional. Bukan penari
“nakal” seperti tudingan teman-temannya. Dan menari dalam acara resmi walikota
akan menasbihkan dirinya menjadi penari handal yang bersih. Begitulah akhirnya
Ambar menerima ajakan Prasetya.
Latihan-latihan
intensif mulai dari mengolah gerakan dan menyelaraskan dengan gending-gending
pengiring membuat Ambar semakin sering pulang malam. Semakin sering pulang
malam dan diantar lelaki bermobil mewah, semakin membuat omongan miring tentang
Ambar semakin santer terdengar.
***
Bila dulu Ambar
tak sampai mendengar dengan telinganya sendiri, kini dengan terang-terangan
tetangga kanan kirinya bersuara keras hingga menembus dinding bambu dapurnya.
Apalagi ketika usai salat subuh ketika Ambar sedang membantu ibunya mengolah
bakso.
Suara rerasan
tetangganya itu seperti nyanyian sumbang setiap pagi. Seperti pagi itu.
“Dasar anak
nakal. Bukannya membantu ibunya berjualan untuk mendapatkan uang yang halal,
malah menjual diri tak karuan,” suara-suara miring itu terdengar lagi saatAmbar
sedang mengupang bawang.
“Ia. Kasihan
sekali bapaknya. Ia pasti menangis kalau tahu anak gadisnya tumbuh menjadi
perempuan nggak bener,” timpal
perempuan lainnya.
Prang!
Ambar tak
sanggup lagi menahan diri. Ember tempat rendaman mie ia lemparkan mengenai
pintu dapurnya.
“Ambar …”
Ibu
hampir-hampir tak sanggup menahan teriakannya. Ia tak mengira Ambar sanggup
melakukannya. Ibu paham Ambar terluka. Bukan hanya Ambar yang sakit hati, ia
jauh lebih sakit hati. Ia tak pernah mengizinkan siapa pun menyakiti hati
Ambar. Ia menginginkan Ambar selalu bahagia.
“Bu … mereka
sudah keterlaluan menghinaku.” Ambar menangis dalam pelukan ibunya.
“Ibu tahu
Nduk.Tapi, Gusti Allah nggak pernah sare.
Percayalah,” kata ibu sambil mengelus rambut Ambar.
“Sampai kapan,
Bu? Ambar nggak kuat lagi.”
“Ibu percaya
kamu kuat, Nduk. Kamu tidak perlu membalas kata-kata mereka dengan amarah dan
kebencian. Kamu hanya perlu menunjukkan prestasimu. Prestasimulah yang kelak
akan membuka mata dan hati mereka. Percuma kita membela diri.”
Ambar melepaskan
pelukan ibunya.
“Ibu yakin aku
bisa?”
“Ibu selalu
percaya kamu bisa. Sama seperti selama ini ibu bangga padamu.”
Ibu bangga
padaku? Hati Ambar tergugu. Selama ini ia nyaris tak pernah berpikir ibunya
bangga pada apa yang ia lakukan. Yang ia tahu, ibu tak pernah melakukan apa pun
yang ia inginkan. Ambar hanya ingin berprestasi untuk membuat bapaknya bangga.
Tidak pernah sekali pun ia ingin mempersembahkan kebanggaan buat ibunya. Ia
salah. Ia salah besar selama ini tak mau tahu perasaan ibunya.
“Ambar berjanji
akan menjadi penari terbaik untuk ibu. Ambar juga akan menjadi guru tari untuk
bapak dan ibu,” janji Ambar sambil memegang tangan ibunya.
Ambar
melihat senyum ibu mengembang. Cahaya mata ibu berbinar-binar.
***
Seminggu
lagi perhelatan akbar dalam rangka pembukaan obyek wisata baru di Kota Batu di
helat. Poster dan spanduk dipasang dimana-mana.
Foto
Ambar dalam balutan busana tari yang anggun terpampang di depan wajah walikota
dan wakilnya. Wajah ayu Ambar mendadak akrab bagi warga Kota Batu. Bahkan
setiap wisatawan yang datang ke Kota Apel itu setidaknya, pasti pernah sekilas
melihat wajah Ambar yang terpampang di Baliho pada setiap pintu masuk obyek
wisata.
Ambar
tersenyum manis ketika pagi itu Bu Bainah, tetangganya menyapa ramah. Ambar
berhenti menyapu halaman rumahnya demi mendengar suara ramah Bu Bainah.
Keramahan yang sempat hilang.
“Wah
… Mbak Ambar bakalan tampil dalam
pembukaan wisata bunga ya hari Minggu?” begitu Bu bainah bertanya ramah.
“Enggih, Bu. Mohon doanya agar saya mampu tampil sebaik-baiknya,” jawab
Ambar sopan.
Ia
masih menyalami tetangganya itu dengan santun seperti yang ia lakukan sejak kecil dulu. Bersalaman
sambil mencium tangan orang yang lebih tua dari dirinya.
“Hebat
ya Mbak Ambar, Bu,” suara kecil Lauren, cucu Bu Bainah membuat hati Ambar
berbunga-bunga. “Lauren mau belajar nari sama Mbak Ambar ya Mbah,” kata Lauren
lagi.
“Mbak
Ambar mana mau. Mbak Ambar pasti sangat sibuk,” jawab Bu Bainah sambil menahan
rasa malu saat ia ingat kata-kata keji yang sering ia lontarkan pada Ambar.
“Pasti
Mbak Ambar mau. Kapan saja Lauren mau?” Ambar menjawab pertanyaan Lauren tanpa
memedulikan Bu Bainah yang tiba-tiba menjadi serba salah.
“Benar,
Mbak?” Lauren bertanya setengah tak percaya.
Ambar
tak menjawab. Ia hanya memeluk dan mencium Lauren. Bocah kecil yang beberapa
bulan lalu menjadi temannya bermain, mengisi kesepian. Lauren tertawa riang,
merasa geli pipinya dicium Ambar berulang-ulang.
Dari
balik jendela kamarnya, ibu tersenyum melihat kebahagiaan Ambar. Setetes air
mata ia biarkan jatuh di pipinya.
Pagi
itu Ambar dan ibunya menemukan kunci untuk meraih kembali kehangatan
persaudaraan dari tetangganya. Ambar mengambil kunci itu dari tawa ceria
Lauren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar