Sabtu, 24 Juni 2017

ANGREK BULAN DAN KENANGAN TENTANGMU, YO

Anggrek Bulan Ungu dan Mimpi-mimpi Kita Dulu .... Yo

....
Kalian takkan pernah tahu bahwa luka yang ditorehkan Yo itu membuatku punya mimpi besar. Sebuah mimpi dari seorang perempuan yang meyakini bahwa menjadi perempuan kedua, ketiga, bahkan ke empat alias menjadi istri muda itu bukan sebuah kesalahan apalagi dosa.
Andai saja Yo tahu, bila perasaan cinta dan harapan masa depan bahagia dalam mahligai rumah tangga adalah sebuah ladang dengan tanaman yang selalu dirawat pemiliknya, ia telah membuat ladangku sekarat. Ya, ketika istrinya mendamprat ibuku dan Yo mengaminkan perintahnya untuk meninggalkanku, hari itu seluruh tanaman yang disemaikannya di ladangku ia cabut beserta akar-akarnya. Sikapnya yang tak bertanggung jawab, tanpa mengucap maaf sedikit pun, begitu saja meninggalkanku seolah-olah ia menggelontorkan berjuta-juta galon insektisida di ladang bunga yang ia taburi benih, ia semaikan, lalu ia rawat selama ini. Teracuni semua zat hara di ladangku. Ya, ladangku, hatiku, tempat seharusnya cinta bersemai, bertumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah itu telah lama mati. Setiap butir cinta yang coba kusemaikan di sana selalu mati meski lelaki yang silih berganti menawarkan rasa cinta itu menyiraminya dengan kasih sayang dan perhatian melebihi yang kubutuhkan.
Adakah para lelaki mengerti bahwa ketika mereka melukai hati seorang perempuan, sesungguhnya ia telah mematikan ladang cinta seorang anak manusia?
Sejatinya, telah lama kuputuskan untuk melupakan Yo. Otak warasku jelas-jelas menyadari bahwa Yo bukan lelaki yang layak kurindukan apalagi kujadikan imam dalam kehidupan. Ia tak layak untuk mendapat predikat terhormat itu di hatiku. Kini, aku tak segan dan tak malu mengaku pada dunia bahwa aku sedang berburu seorang perwira.
Ya, seorang Jenderal di negeri ini telah membuat mata hatiku begitu terpesona dengan pidato dan pandangan-pandangannya tentang cinta tanah air. Sebuah temuan yang barangkali tak pernah kuniatkan karena dalam hidupku yang namanya tentara atau polisi itu bukanlah sosok yang menawan. Alih-alih membuatku merasa aman di sampingnya, membayangkan tubuh mereka yang gagah dan sorot mata mereka yang tajam, aku selalu gemetar. Laki-laki dengan dua profesi itu membuatku yang bertubuh mungil ketakutan. Alasannya? Ya tak ada alasan. Takut saja. Seperti alasanku memuja Yo tanpa tepian sedang dia jelas-jelas telah menyakiti hatiku. Tapi, pidato Sang Jenderal membuat hatiku terpesona. Ternyata, seorang tentara mengorbankan jiwa dan raganya untuk bangsanya. Bagi mereka, keselamatan dan keutuhan bangsa di atas segalanya. Dari situlah aku secara intens mencoba mencari informasi bagaimana sejatinya hidup dan kehidupan para serdadu itu?
Hasilnya, aku jatuh cinta pada kesetiaan mereka pada bangsanya. Mereka yang bersungguh-sungguh menjalani kehidupan sebagai seorang tentara, pastilah ksatria sesungguhnya. Benarlah kata-kata dalam meme yang banyak bertebaran di media sosial, tanah airnya saja ia jaga, apalagi hatimu. Hem ... kesetiaan dan pengorbanan mereka pada bangsanya sungguh sebuah pribadi yang memesona.
Berburu Perwira

Di usiaku yang ke 29 tahun, memang agak sulit untuk mendapatkan seorang pendamping seusiaku. Rata-rata lelaki di bawah 30 tahun akan memilih gadis yang berusia 20 - 25 tahun yang masih muda dan cantik. Namun, bukan karena alasan iitu kalau aku memilih mencari seorang Perwira Menengah. Dalam pikiranku, para Pamen itu pastilah sudah berusia 40 tahun ke atas. usia yang cukup matang yang biasanya pun selaras dengan kedudukan dan penghasilan yang menjanjikan juga. Tentu saja, mengharapkan Pamen seperti ini yang masih bujangan seperti mencari jarum di antara butiran beras, bukan tumpukan jerami. Karena, bisa jadi aku bisa menemukan duda di antara mereka. Namun, sungguh, kalau tak dapat kutemukan Pamen bujangan atau duda, selama aku benar-benar yakin dia pria yang dapat membahagiakan dunia akhiratku, tak apa bagiku menjadi yang kedua, bahkan ketiga atau ke empat dalam kehidupannya. Asalkan, ia menikahiku syah secara agama. Tak peduli meski aku hanya menjadi istri syirrinya.
Kalian boleh mengecapku sakit atau gila. Aku takkan pernah peduli. Ini soal pilihan. Aku hanya ingin bahagia dan membuktikan pada dunia bahwa menjadi yang kedua, ketiga, atau ke empat pun bisa bahagia tanpa harus menyakiti yang pertama. Bagaimana mungkin? Tak perlu kau tanyakan caranya atau kemungkinannya. Bukankah untuk membuat sesuatu yang tidak mungkin atau impossible itu gampang sekali. CEO-ku bahkan pernah menyampaikan caranya, Ïnjak saja huruf IM, habis urusan. Segala yang impossible menjadi possible.
untuk setiap kegilaanku kini
semua karena Yo
dia yang salah, dia yang berdosa
maka, jangan kalian caci maki aku
Dua hari lalu, hampir saja kupastikan untuk meletakkan sosok seorang Pamen di hatiku. Ia yang kukenal saat sama-sama terdampar di bandara gara-gara delay itu seorang letnan kolonel Angkatan Laut. Gagah? Pastilah. Hitam? Tidak. Kali ini aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dan berkenalan dengan Pamen berkulit bersih. Mungkin bila ia bukan seorang tentara, warna kulitnya pasti lebih terang dari kulitku. Sorot matanya tajam? Pasti. Tapi sorot mata tajam itu tak menyiratkan kekejaman, sebaliknya ia menandai kecerdasan pemiliknya. Tak hanya itu, cara memandangku pun teduh dan menjanjikan kedamaian. Tak ada kegenitan dalam pendar matanya. Bibirnya? Gusti, bibir itu tak menandakan kekerasan hati apalagi kesombongan. Bibir yang jelas-jelas terbebas dari rokok itu begitu ringan untuk tersenyum. Tawanya yang renyah terlalu sulit kulupakan. Ketika ia bicara, suaranya berat, tetapi tegas dan berwibawa. Ah... Aku sungguh jatuh cinta pada pandangan pertama. Lebih tepat, saat mendengar suara beratnya untuk pertama kalinya.
"Saya Tyo," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Saya... Ehm.. Saya Reysa. "
"Delay selalu membuat kita semua dirugikan. Tetapi marah-marah tidak akan mengubah keadaan, " katanya sambil menempati kursi tepat di depanku.
Aku cuma mengangguk.
.........
Lima bulan aku dekat dengan Tyo. Pamen berusia 45 tahun itu benar-benar mampu membuatku terpesona. Sayang kedekatan kami lebih banyak kami lakukan melalui WA dan telepon. Hanya tiga kali kami bertemu, itu pun singkat dan seolah-olah ia lakukan dengan sangat tergesa-gesa, seperti seorang prajurit mencuri waktu untuk menemui kekasihnya. Eh, bukannya memang seperti itu?
Seperti minggu kemarin, Tyo berjanji menemuiku. Aku memang memintanya mengantarku belanja oleh-oleh buat Kang Adjar dan istrinya. Meski sudah tiga tahun tinggal di Jakarta tapi aku nyaris tak paham tempat-tempat belanja. Tyo setuju untuk mengantarku.
Seharian itu nyaris setiap detik kurapal doa-doa yang kubisa. Aku berdoa agar hari ini Tyo bisa memenuhi janjinya. Ingin sekali aku memohon pada Tuhan agar mewujudkan pertemuan itu. Namun, di sisi lain aku tahu semua ini tak benar. Tyo lelaki orang. Dia seorang perwira yang punya jabatan cukup terhormat di kantornya. Terlalu berisiko. Dosa. Mempertaruhkan kehormatan dan jabatan Tyo. Tetapi egoku, keinginanku untuk bertemu dan menatap wajahnya yang tampan, tatapan matanya ..., suaranya, dan semua yang ada pada dirinya membuatku kehilangan kewarasan. Aku tahu, bila hubungan ini berlanjut, bakal ada hati yang terluka. Namun, bukankah aku bahagia? Ataukah memang selamanya aku tak boleh merasa bahagia?
Hingga malam Tyo belum juga datang. HP-nya tak dapat kuhubungi. Sepertinya yang sudah-sudah, janjimu menemuiku tak terbukti. Jam 19.00 tepat saat aku sudah benar-benar siap bepergian dan berdandan secantik mungkin, HP ku berdering. Bukan panggilan, hanya sebuah pesan masuk. Benar, dari Tyo. Pesannya singkat.

"Maafkan aku, Jeng. Mamanya anak-anak minta diantar belanja."

Seperti biasa, aku pun tak pernah memprotesnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, lagi-lagi janjinya untuk menemuiku tak bisa ia tepati. Entah untuk yang ke berapa kali. Herannya, aku pun seperti biasa, selalu memercayainya. Selalu memaafkannya. Aku sadar dan tahu posisiku.
Doaku cuma satu, semoga ia bersegera menikahiku, meski hanya menikah syirri. Aku tak peduli meski kelak statusku tak dilindungi hukum negara. Cukuplah hukum Allah yang akan melindungiku. Agar halal rindu ini, agar ..
Adzan isya menggema dari masjid sebelah rumah.
"Astaghfirullahal adhiem," pelan kutuntun hatiku beristighfar karena terlalu berpanjang angan-angan.
........
Pulang
Pagi, ini, H-4 lebaran, kuputuskan untuk mudik, setelah 3 lebaran aku tak pulang. Pengkhianatan Yo atas janjinya sendiri untuk menikahiku secara sirri, 3 tahun lalu itu, membawa langkah kakiku ke ibu kota hingga kini. Yo, istrinya, bahkan dunia boleh saja mengatakan aku kalah dan terluka karena cinta. Katakanlah, bahkan kalian boleh mengumumkan pada seluruh dunia bahwa aku perempuan yang kalah dan terluka karena cinta.
Bandara 3 Soekarno Hatta seperti juga Bandara 1 dan 2 selalu membuat hatiku terasa hangat. Ada banyak anggrek ditanam di berbagai sudut dan hampir di sepanjang lorong bandara. Yang membuatku selalu merasa di awan adalah warna anggrek bulannya, putih dan ungu. Dua warna anggrek bulan kesayanganku. Paduan anggrek putih dan ungu selalu menghadirkan kehangatan tersendiri di hatiku.
Dulu, ketika aku masih sering berkunjung ke rumah tinggal Yo di perkebunan, aku suka sekali menatap anggrek putih dan ungu yang ditanam Yo di pinggir kolam. Kolam ikan yang terletak persis di depan ruang makan dan terpisahkan oleh kaca bening itu selalu membuatku betah berlama-lama di sana. Kalau tak lagi hujan atau udara tak terlalu dingin, aku suka duduk di pinggiran kolam sambil menatap kelopak-kelopak anggrek itu.
Suatu sore, entah kenapa rasanya tak tahan aku melihat bening air kolam dan warna merah kuning dan putih ikan-ikan koi di dalamnya; kumasukkan kedua kakiku di kolam sambil tetap duduk di pinggiran kolam.
"Kau suka?" tanya Yo tiba-tiba sudah berjongkok di dekatku, sama-sama di tepi kolam. Kedua tangannya ia celupkan di kolam. Lalu ia memercikkan sedikit air ke mukaku. Kujawab pertanyaannya sambil mengangguk dan tersenyum. Aku suka saat-saat ia usil dan mencandaiku seperti itu.
"Kalau kit sudah menikah nanti, akan aku buatkan kebun anggrek khusus untukmu di sebelah sana," katanya sambil menunjuk ke arah perkebunan miliknya dekat bukit di ujung desa.
"Jangan memberi mimpi, Yo. Bagiku, memilikimu adalah kebahagiaan yang paling besar setelah ayah dan ibu.
"Hm ... ini yang paling kusuka darimu, Rey. Kau selalu menempatkan aku sebagai yang utama, bukan hartaku, bukan kedudukanku."
"Ye ... jangan salah. Aku tak sebaik itu Yo. Ini hanya strategiku saja," jawabku sambil mengerling. Aku suka juga membuatnya penasaran.
"Maksudmu?"
"Maksudku, kau tertipu Yo. Aku tak sebaik itu. Kebaikan yang kau sangka itu hanya strategiku. Begitu aku bisa memilikimu, semua milikmu akan jadi milikku juga, kan?" jawabku sambil mengerling (sedikit nakal).
"Terserahlah apa katamu. Mau itu strategi, elegi, apalagi, atau gi gi yang lainnya aku tak peduli. Yang penting bagiu adalah cintamu. Caramu mencintaiku membuatku jatuh cinta, cintamu padaku membuat hidupku sangat bahagia. Itu saja."
Yo berdiri, memetik satu kelopak anggrek ungu lalu ia letakkan di genggamanku. Aku terpesona. Hatiku menghangat. Tubuhku meleleh. Perempuan mana yang takkan berguguran jantungnya diperlakukan sedemikian mesra oleh lelaki yang dipujanya?
"Di kebun itu nanti akan kubuat rumah seperti mimpi-mimpimu. Sebuah rumah besar untuk kelima anak kita kelak. Di halaman depan akan kita tanami kelengkeng, duku, manggis, mangga, jeruk, dan jambu jamaika. Di kiri kanan tetap kita biarkan tanaman aslinya. Di belakang rumah, akan kubuat sebuah kolam renang yang di kanan kirinya akan kupenuhi dengan segala anggrek kesukaanmu. Di pojok-pojoknya akan kutanami sawo kecik kesukaanmu," Yo menggenggam tanganku sambil menatapku lembut.
Aku meleleh nyaris tanpa sisa. Tak ada sedikit pun tenagaku. Ingin sekali kusandarkan tubuhku dan bergelung di dadanya. Ah ... kapankah saat itu tiba? Saat Tuhan meridai kami melakukannya.
Yo, jangan tunda lagi janjimu menikahiku, aku hanya mampu mengucapkan permohonan itu dalam hatiku.
"Kau suka?" tanya Yo.
"Ya." Hanya dua huruf itu saja yang sanggup kuucapkan.
"Kau tahu Rey, aku suka membayangkan ... kalau suatu saat sawo kecik itu berbuah, dan kau sedang berenang di kolam, aku akan melemparimu dengan sawo-sawo itu. Kubayangkan kau akan berteriak-teriak berusaha menangkap sawo-sawo itu. Hm ...," tatapan mata Yo jauh ke arah perkebunan seolah sedang membayangkan semua yang ia katakan tadi. "Karena tak tahan, aku pun akan menyusulmu berenang ... dan kita sama-sama menikmati sawo kecik itu di sana. Tidak satu-satu. Tetapi, aku akan menggigit sawo itu di ujung dan kau di ujung satunya."
"Mbak ... panggilan boarding," sebuah suara perempuan menyadarkanku dari lamunan.
Ya Tuhan ... ternyata 3 tahun tetap tak ada sanggupku menghapus kenangan tentang Yo. Bergegas aku melangkah menuju pintu boarding.
"Kuatkanlah aku menghadapi segala kenangan yang nyaris seperti pisau. Setiap saat, setiap ingat, selalu mengiris tipis-tipis sisa hatiku. Meninggalkan kepedihan yang tak pernah tahu kapan berakhirnya."
Yo, tak ada cinta semawar yang kau tanam di dadaku
tak ada luka senganga rindu padamu

1 komentar: