Senin, 15 September 2014

AKU PASTI DATANG

AKU PASTI DATANG: janji?

Di luar angin begitu kencang menerpa tirai jendela. Mengirim ribuan butir debu, memburamkan kaca jendela. Dan pandang mataku pun ikut memburam ketika tanpa sengaja jatuh tepat pada fotomu yang tiba-tiba muncul di antara tumpukan buku-buku usang. Ada sesal yang tiba-tiba menyesakkan dada, jauh lebih kuat mendesak ketimbang debu-debu yang beterbangan itu. Menyesal sekali, mengapa pagi yang hangat ini kuisi dengan membongkar-bongkar rak buku yang mulai tak sanggup memuat beban tambahan.
Ah …mataku mendadak basah ketika kutemu selembar kertas usang di antara tumpukan buku-buku itu. Gemetar kupungut kertas using warna merah jambu itu.

Aku pasti datang, di ruang rindumu nanti malam. Lalu seperti biasa, menikmati secangkir kopi sambil menghitung rinai hujan yang mendesir. Akan kugenggam jemarimu ketika kau menatap samudera rindu di mataku. Ahai... bacalah, gemuruh di dadaku tak pernah berdusta, akulah lelaki paling romantis yang memujamu tanpa pernah kehabisan kata-kata.
Alangkah indahnya rangkaian kata-kata puitis itu dulu kau tulisan. Membuat aku merasa menjadi perempuan yang layak dirindukan. Sebuah perasaan yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri seorang perawan berusia empat puluhan. Perawan yang nyaris kehilangan kemudaan dan keceriaan. Sungguh, aku tak tahu, apakah engkau tahu bahwa setiap kata yang pernah kau ucapkan mampu menyihirku  melebihi mantra yang ditiupkan oleh seorang paranormal?

Sayangnya, kau tak pernah datang. Ruang rindu idi dadaku beku. Hingga petang berganti malam, dan hujan bersiap datang, tak ada tanda-tanda kau sungguh-sungguh akan datang. Bahkan hingga musim berganti, tahun berganti, dan usiaku nyaris setengah abad, engkau tak juga datang.

Sesekali memang kau lewat beranda rumahku, sambil menatap dingin pada kaca jendela tempatku kini tersedu. Tak ada apa-apa dalam tatapmu. Tak ada kenangan tentangku. Apalagi rindu. Kau bahkan seulas senyum yang sedikit saja tersisa di sudut bibirmu itu seolah mengirim pesa, “ Siapakah engkau duhai perawan malang? Mengapa tak jua kau tutup tirai jendelamu, kau matikan lampu selsarmu agar tak ada kunang-kunang yang akan mencuri mimpimu?”
Ya …. Ya. Kau berhak menghina ketololanku yang belasan tahun setia menungguimu. Menungguimu di selasar rumah yang atapnya mulai dimakan usia, mengundang rayap-rapay bergelantungan di sana. Bukankah seharunya penantianku, kepercayaanku, dan kerinduanku padamu juga termakan usia, digerogoti rayap keputusasaan karena ketiadaan kepastian kapan engkau akan datang?
***
Tapi beginilah aku. Aku terlalu percaya pada impian masa remajaku dulu. Mimpi pada suatu malam sebelum esok paginya kita berkenalan.

Bukankah aku sudah pernah menceritakan mimpiku itu padamu? Mimpi pertemuanku denganmu meski kita sama sekali belum pernah bertemu. Memang dalam mimpiku, kita berkenalan tanpa saling menyebutkan naman. Yang kuingat saat itu, kau berdiri di ujung sebuah lorong panjang dan gelap. Tanganmu menggapai-gapai seakan menunggu uluran tangan.

Dan ketika dengan tulus kuulur tangan itu, wajahmu yang pucat pasi itu menyembulkan sebuah senyuman.
“Terima kasih, Gadisku. Tuhan mengirimmu untukku. Dan inilah sumpahku, Kelak, engkaulah pendamping hidupku. Selamanya.”

Kau tentu saja tak akan ingat semuanya sebab itu hanya terjadi dalam mimpi. Tetapi aku mengingat setiap detailnya, tanpa terlewat sedikit pun. Usai kau ucapkan sumpah itu, kita saling menautkan jari kelingking. Simbol bahwa kita sepakat dengan perjanjian itu.

Bagaimana aku tak meyakini bahwa sumpah yang kau ucap itu adalah janji perjodohan suci yang dirancang Tuhan, bila keesokan harinya kita bertemu untuk pertama kalinya. Sebuah pertemuan agak sedikit tidak sederhana, mungkin malah sedikit agal luar biasa dibuat-buat, nyaris seperti sinetron picisan di layar televisi swasta.
Bagaimana tidak?

Sore itu, aku nyaris menabrakmu di ujung gang sempit menuju kampung tempat tinggalku. Kau berjalan smpoyongan sembari mendekap perutmu yang merah. Ada banyak darah merembes dari baju searagam abu-abu putihmu.

“To … long! Mereka … anak-anak SMK kompleks sebelah mengejarku,” suaramu lirih, lemas.
Tanpa piker panjang, kurengkuh tubuhmu. Dan agak kuseret segera kubawa kau masuk ke  rumahku yang halamannya cukup luas. Segera kubuka pintu pagar yang tak terkunci, dan langsung kududukkan engkau di kursi tamu.

Tanpa risih, tanpa jerih, kubersihkan luka-lukamu, kuobati, kemudian kuperban.
“Kita ke dokter sekarang!” ajakku setelah selesai menutup rapi lukamu.
“Tidak! Mereka pasti sedang mencariku. Kalau tidak, pasti polisi-polisi itu sedang melakukan razia. Aku tak mau membusuk di penjara!”

“Kau aneh. Kalau tak mau dipenjara ya jangan tawuran!” kataku mulai sebal dengan sikap keras kepalamu.
Matamu menatapku tajam.
“Menurutmu aku aneh?”
“Ya aneh. Sangat aneh. Lebih tepatnya sama sekali gak jantan! Berani tawuran tapi takut penjara!” rungutku sambil memunguti bekas kapas yang penuh darah.
“Tidak! Aku laki-laki tulen. Suatu hari akan kubuktikan sumpahku dalam hati tadi. Bahwa aku akan menjadikanmu seseorang yang paling berarti dalam hidupku nanti. Tapi nanti, tidak sekarang.”
“Hey … kau gila! Aku tidak tahu siapa kamu, begitu pun engkau tidak mengenalku! Jangan ngaco! Kamu mabuk ya?” tanyaku sebal.
“Tapi aku tahu siapa kamu,” katamu sambil tiba-tiba memegang lenganku.
“Siapa?” tanyaku sambil menatapnya keheranan.
“Kamu … kamu bidadari yang diturunkan Tuhan dari surge untuk menjemputku dari neraka,” jawabmu lalu tertawa ngakak.
“Kau….!”

Nyaris saja aku menamparmu bila tak segera kusadari ada suara berisik di luar rumah. Kau menatapku gelisah. Dan kita seperti sepakat untuk kemudian sama-sama diam.

Tatapan matamu cukup menjadi isyarat kecemasanmu, jangan-jangan suara gaduh di luar itu suara anak-anak SMK kompleks sebelah yang katamu sedang memburumu. Segera kututup tirai jendela, sambil menyempatkan diri mengintip da siapa di luar sana. Ternyata kau benar. Ada enam anak lelaki seusiamu sedang berjalan mengendap-endap. Menurutku sih tidak tampak sedang mencari seseorang. Barangkali mereka juga sepertimu, lari dan bersembunyi dari kejaran polisi.

“Kau bisa segera pulang kalau mereka sudah pergi,” kataku tiba-tiba tersadar untuk segera mengusirnya dari rumah.
Bagaimana pun aku tak mungkin menyembunyikannya lama-lama apalagi sampai menginap. Hm … apa kata warga sekitarku nanti bila mengetahui aku memassukkan cowok ke dalam rumah sementara di rumah ini ayah dan ibu sedang bepergian sampai tiga hari ke depan? Ah aku tak mau malu konyol diarak orang sekampung lalu dikawinkan paksa di balai desa? Haduuuh mau kutaruh dimana mukaku yang cuma satu-satunya ini?

Ah …. Tanpa sadar kututup mukaku. Tak sanggup membayangkan rasa malu tanpa batas itu akan menimpaku juga keluargaku.
“Kau pasti membayangkan kita akan diarak warga ke balai desa, trus…”
Dengan licik kau tertawa.
“Apa an sih?”
Sialan. Bagaimana mungkin kamu dengan tepat menebak apa yang sedang kupikirkan.
“Tak usah takut. Aku hanya butuh waktu beberapa jam lagi untuk memulihkan tenagaku,” katanya. Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya sudah kusahut.
“Beberapa jam? Maksudmu ….? Di rumah ini tak ada siapa-siapa, hanya aku, “protesku sambil mendelik tajam.
“Kau bohong. Kau tak sendirian!”
“Kau …. Ayah dan ibuku sedang ke Klaten.”
“Ya  … kau tidak sendirian. Ada aku.”

Lagi-lagi kau menjawab enteng sambil menatapku penuh kemenangan. Kau … hampir saja aku memukul perutmu jika tidak segera kulihat bekas-bekas darah yang masih merembes di seragam putihmu.
“Aku janji tak akan menyusahkanmu. Begitu tubuhku kuat, dan keadaan aman, aku akan segera pergi dari sini. Kalau pun terjadi sesuatu, pegang kata-kataku, aku lelaki tulen. Aku akan bertanggung jawab. Bila perku aku akan menjagamu selamanya.”

Ah kau. Aku kehabisan kata-kata.

Dan kau pasti ingat, sore itu lagi-lagi dengan tanpa syarat, tanpa kau minta aku mencuci, mengeringkan, dan menyetrika baju seragam putihmu hingga noda darah itu tak meninggalkan bekas sama sekali. Aku juga menyiapkan makan siang untukmu. Lebih gila lagi, aku bahkan nekad bolos dari bimbingan belajar hanya demi untuk menunggui dan merawatmu.

Oh, kegilaan macam apa yang sedang kulakukan? Apakah aku benar-benar mahluk berhati lembut yang demikian mudah dan murah hati menolong orang yang membutuhkan pertolongan? Berkali-kali kucoba memahami mengapa aku melakukan semua itu. Dan aku sama sekali tak menemukan jawabannya kecuali kutemukan kesamaan wajah, senyum, suara, hangat tangan dan semuanya tentangmu dengan wajah pria yang semalam dating dalam mimpiku.
Adakah suatu kebetulan seseorang bisa menemukan orang yang ditemui dalam mimpinya benar-benar ditemukannya dalam dunia nyata? Apakah ini bukan pertanda bahwa Tuhan sedang merencanakan perjodohan luar biasa untuk kita?

Hingga ketika menjelang tengah malam, sehabis kita menandaskan enam cangkir kopi pekat tanpa kata-kata, kau berpamitan pulang.

“Suatu hari aku akan menjemputmu, bidadariku,” bisikmu sambil menyentuh pundakku sebelum engkau menyelinap di balik kegelapan malam.

Dan sejak itu, aku tahu, ada ruang kosong yang selalu kusediakan untukmu. Aku tahu, engkau jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. Tak kubiarkan satu orang pun mengisinya. Tidak juga kedua orang tua ku, kerabatku, yang belasan tahun kemudian nyaris setiap waktu menyodor-nyodorkan wajah dan sosok pria mapan untuk jadi jodohku.
Bagaimana aku bisa menerima mereka bila tak ada sedikit pun pertanda bahwa di antara pria-pria yang disodorkan padaku itu adalah jodohku? Andai sedetik saja Tuhan menghapus semua pertanda bahwa engkaulah jodoh sejatiku, maka detik berikutnya, akan kubukakan pintu hatiku bagi siapa saja yang melamarku saat itu.

Tak peduli bagaimana rupa dan reka mereka. Di antara kesunyian panjangku sebagai perawan setia, aku percaya bahwa perempuan selalu memaafkan wajah lelaki yang dengan tulus mencintainya.

Entahlah … kenapa aku memercayai bahwa engkaulah itu lelaki yang sungguh0sungguh mencintaiku. Meski ….
***
Lalu, tiba-tiba engkau datang sore itu. Di antara gerimis hujan. Kali ini pucat pasimu jauh lebih sempurna dari saat dua puluh tiga tahun lalu aku menemukanmu.

“Rien … Aku datang.”
“Kau … kau?”

Aku menatapmu tak percaya. Tanganku menggigil. Kusentuh setiap inchi wajahmu yang tirus itu. Rambutmu masih tetap gondrong seperti dulu. Bedanya, kini jauh lebih panjang dan telah tumbuh beberapa helai uban di antaranya.
“Aku tahu aku punya janji padamu. Dan aku dating untuk memenuhinya. Semoga aku tak terlambat,” suaramu lemah, makin lemah, sebelum akhirnya engkau terjatuh lemah di pelukanmu.

Dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya, kuseret engkau sendirian. Kembali di kursi tua yang dua puluh tiga tahun lalu kugunakan untuk merawatmu.

“Brian… Briantika … bertahanlah. Aku menunggu puluhan tahun bukan untuk melihatmu terjatuh,” butir air mataku mengalir deras bersama doa-doa di hatiku.

Sekali lagi tubuh dan jiwaku digerakkan kekuatan aneh yang membimbingku kembali merawat Brian. Lelaki yang telah menawan urusan perjodohanku lewt mimpi. Barangkali memang demikianlah tafsir mimpi remajaku dulu. Aku akan menemukan jodohku dengan cara mengenaskan. Dia, lelakiku, jodohku, datang dengan tubuh tak berdaya. Dan akulah yang harus menolongnya.

“Rien … kamu benar-benar bidadariku,”katamu begitu matamu terbuka.
“Sudahlah.”

Aku jengah. Rasanya tiba-tiba seperti seorang gadis dipuji kekasihnya.
“Kau … kau masih sendiri Rien?” tanyamu sambil meraih jemariku.
Aku tahu kau melihat tak ada cincin kawin di jari manisku.
“Kenapa?”
“Kau sudah mengikatku dengan perjanjian kita.” Jawabku sambil tertunduk.
“Maksudmu?” tanyamu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Brian … Jangan berlagak tolol! Kau telah berjanji untuk menjadikanku pendampingmu, bukan? Dan puluhantahun aku memegang janji itu. Kau lupa?”
“Tapi Rien … Aku … “
“Kau apa? Kau lupa atau pura-pura lupa?”

Tangisku pecah. Rasanya sia-sia sekali apa yang kulakukan belaan tahun ini. Setiap hari menulis puisi tentang kerinduan, tentang kesepian, dan tentang kesetiaan.

“Kita tidak pernah saling mencintai, bukan?” tanyamu sambil menatapku lembut.

Nyaris saja amarah dan kekecewaanku luntur.  Tapi aku harus bertahan. Aku tak mau lagi jadi perempuan bodoh seperti selama ini kulakukan.

Perempuan bodoh? Ah … mendadak aku teringat kata-kata ibu yang selalu mengecapku bodoh, tak waras karena aku memercayai janji lelaki dalam mimpiku.

“Rien … beri aku waktu. Suatu hari, aku akan benar-benar menjemputmu,” janjimu.

Sore itu aku terlelap sampai pagi di sampingmu. Semua beban itu rasanya menghilang. Sama seperti hilangmu keesokan harinya tanpa pesan. Kemana lagi engkau menghilang? Tapi baiklah, kali ini aku takkan lagi ketakutan kau tak akan dating. Bukankah kau meminta waktu untuk bersungguh menjemputku?
***

Berbulan kemudian engkau tak kunjung dating. Lalu kutemukan fotomu di FB. Tanpa ragu kukirim pesan di inboksmu. Sebuah puisi rindu untukmu.

Sepekat apa pun mendung di luar, masih lebih kental rindu kita.
Sedingin apa pun hujan menderas masih lebih beku gigilku menunggumu.
Sebelum malam melintas batas, telah kau cairkan rindu ini jadi kepingan peluh yang memburai ke seluruh tubuh.
Senyummu melebihi tungku penghangat yang tak sempat kau buatkan untukku.

Alangkah bahagianya aku ketika kuterima blasan pesanku.

"Kita tak perlu tungku. Cinta kita lebih bara dari api.  Btw, kamu penyir ya? Makasih, puisimu bagus.

Andai saja kau tahu bagaimana aku menyimpan kenangan tentang indahmu, kau akan menyesal ribuan kali telah membuatku mati di sini. Ah … berkali-kali kutatap fotomu penuh kerinduan. Kau kini tampak lebih sehat dan matang. Semoga kau memang telah sukses dan segera siap meminangku.
Malam itu sebelum tidur kembali kukirim pesan di inboksmu.

Kekasih, kapan janji meminangku itu akan kau wujudkan?
***

Paginya mendadak kiamat itu datang. Ketika kubuka inboks darimu dan kutemukan sebuah pesan mematikan. Barangkali bahkan lebih maut dari kematian. Aku menemukan pesan santunmu yang demikian kejam mencekik leherku.

“ Maaf, Anda siapa?”
“Aku Rien, “ balasku.

 Tak puas dengan pesan singkat itu, kutambah lagi pesan inbokku.

“Bukankah kau telah berjanji akan segera meminagku? Kau lupa? Ah jangan bercanda. Lihat saja foto-fotoku. Aku memang mulai tua. Tapi wajah dan senyumku tak berubah. Senyumku pun tetap cerah. Sebab rindu pada janjimu adalah matahari yang menyinari hari-hari sepiku selama ini.”

Tak kusangka kau membalas dengan sangat sadis.

“Mbak salah orang. Saya enggak kenal Mbak.”
“Kamu jahaaaaaaaaaaat!” tulisku.

Lalu aku tak bisa menghubungimu. Kau memblokirku.
***
Kenangan dan aroma mawar yang pernah kau bawa mendadak ambyar. Menyesal, telah kuhabiskan berkaleng-kaleng cat minyak untuk melukis senyummu di ruang rinduku.

Kau hanya tertawa ketika mati-matian aku berteriak-teriak marah padamu.
Malam semakin jauh, tak ada suara tersisa, hanya sedu sedanku sesekali luruh. Namun, di kamarku tawa licikmu bergemuruh!

Andai kata-kata benar setajam keris Empu Gandring, hendak kukuliti tubuhmu dan kusayat-sayat senyummu dengan berjuta makian. Hingga sempurna lukaku jadi tangisan! Ahai.... telah sempurna luka itu dari ujung rambut hingga kakiku yang gemetar di atas rerumput.

Aku  tak sanggup melanjutkan perjalanan.

Angin dini hari, seperti kata-katamu, mencekikk. Sebelum kurebahkan impian-impian yang kini luruh jadi serpihan, hendak kudinginkan darah. Segalanya berakhir, sebelum kita melangkah.

YANG SALAH ADALAH PAHLAWAN (ati-ati, judulnya menjebak)

YANG SALAH ADALAH PAHLAWAN 

Sebagai gurui bahasa Indonesia, sejak awal jadi guru tahun 1997, saya memilih bersikap frontal dan menolak teori yang bertentangan dengan keyakinan saya. Salah satunya adalah slogan untuk menghindari mengucapkan atau mengomentasi "Salah." pada pekerjaan siswa. Bukankah sejak lama kita sering mendengar anjuran untuk memberi komentar, "Hampir betul," atau komentar lain yang senada. Artinya, memberi nilai negatif itu tidak baik. 

 Kalau tidak salah duluuu, saat kuliah S-1 itu saya terima saat kuliah psikologi pembelajaran. . Penolakan saya terhadap psikologi pembelajaran yang pernah saya terima saat kuliah dulu yaitu bahwa saat anak menjawab salah, maka guru tidak boleh mengatakan salah. Harus dikomentari, bagus, hampir betul, atau kurang sempurna. 

Menurut saya, komentar seprti itu sama halnya mendidik anak untuk menjadi munafik. Salah ya salah. Benar ya benar. Sejak 5 tahun terakhir, saya memutuskan untuk mengusung slogan "Yang salah adalah pahlawan". Demikianlah, maka setiap kali memberi pertanyaan atau tugas, saya selalu katakan pada anak didik saya, "Haram hukumnya malu menjawab atau mempresentasikan tugas." Awalnya, tentu saja, sikap saya ini membuat anak didik saya di awal-awal saya ajar ketakutan. Lha piye? Mata gurunya lebar, suaranya lantang, kalau marah dikit wuaaaa menakutkan.

Demikianlah, saya mencoba menjelaskan maksud slogan saya dengan cara sederhana. Pada saat saya menunjuk salah seorang siswa untuk membacakan tugasnya (misal menulis), lalu seperti biasa umumnya anak-anak, begitu pekerjaan temannya dianggap salah, mereka akan menertawakan anak tersebut.

Yang saya lakukan saat itu adalah membimbing siswa untuk menganalisis hasil kerja yang dipresentasikan tersebut. Setelah menemukan penyebab kesalahannya, kemudian saya ajukan pertanyaan. "Nah, sekarang, coba tukarkan tugasmu dengan teman sebangku. Apakah dalam pekerjaan kalian juga ada kesalahan yang sama?" Atau bisa juga, "Coba siapa yang pekerjaannya juga mengandung kesalahan yang sama seperti yang dilakukan teman kalian ini?"

Biasanya di awal-awal pertemuan, anak-anak tidak ada yang mengaku. Sehingga saya biasanya memberi ancaman agak tegas.
"Hayo... jangan bohong! Ingat, kunci kesuksesan 100 orang sukses sedunia nomor 1 adalah JUJUR. Coba bayangkan, kalau kalian tidak mau jujur, mengakui bahwa kalian masih salah, masih belum menguasai materi ini, bagaimana Ibu bisa membantu kalian untuk memahami materi ini? Ayo... Tidak boleh malu. Angkat tangan yang kesalahannya sama dengan teman kaian tadi!"

Alhamdulillah, biasanya dengan kalimat-kalimat yang isinya sama (tentu gak mungkin kan tiap tahun kalimat saya sama persis hehehe), anak-anak akan mengangkat tangan dan mengakui bahwa kesalahan tugas mereka sama dengan yang dibuat temannya yang presentasi. Saat itulah kemudian saya sampaikan pernyaataan. "Nah, coba renungkan. mengapa kalian menertawakan teman kalian sementara kalian pun membuat kesalahan yang sama?"

Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, menjadi lebih mudah bagi saya untuk menguatkan konsep "Yang salah adalah Pahlawan." Salah yang dimaksud di sini adalah salah mengerjakan tugas atau soal. Mengapa demikian? Kesalahan siswa dalam mengerjakan tugas biasanya bersifat general, biasanya beberapa orang atau bahkan bisa jadi lebih dari separoh siswa di kelas membuat kesalahan yang sama.

Begitulah akhirnya setelah pembelajaran berlangsung dua bulan lebih anak-anak akan terbiasa mendengar komentar saya "Salah." Ketika ada siswa mempresentasikan tugasnya, kemudian diberi tanggapan. Kalau presentasi dan tanggapan mereka salah, pada saat saya memberi komentar, saya akan dengan tegas menyatakan "Salah!"

Saya tidak ingin kelak ketika mereka dewasa nanti, apalagi saat menjadi pemimpin nanti mereka akan menjadi sosok yang "mudah memaklumi", menganggap hal yang salah sebagai "nbisa dimaafkan." Hal ini menurut saya tidak mendidik. Bagaimana pun salah itu ya salah. Jangan dikatakan hampir benar atau kurang sempurna.

Bisa jadi kan seorang anak akan mengulang kesalahan yang sama (tidak hanya dalam ulangan atau mengerjakan tugas), tetapi dalam kehidupan nyata, karena kita pernah mendapat komentar " Bagus, cuma kurang sempurna." Padahal sejatinya tugas mereka itu beneran salah.

Demikianlah biasanya setelah memasuki bulan kedua, anak didik saya bukannya menghindar untuk menjawab atau mempresentasikan tugasnya. Sebaliknya, mereka akan berebut mempresentaskan tugasnya. Mengapa? Setidaknya ada dua keuntungan yang akan didapatkannya. Pertama, mereka mendapat penghargaan sebagai pahlawan karena membantu saya mengetahui materi apa yang belum dikuasai. Berdasarkan kesalahan siswa inilah kemudian saya memberikan penjelasan ulang. Kedua, kepada mereka saya berikan reward, minimal untuk nilai afektif.

Oh iya .... hehehe ternyata masih kurang. Yang ketiga, yang mempersentasikan tugas akan mendapat keuntungan karena tugasnya dianalisis bareng-bareng. Tidak hanya analisis dari teman-temannya, tetapi juga dari saya. Tentu saja ini memudahkan bagi mereka untuk merevisi tugasnya.

Saya selalu ingat nasihat Pak Daniel Rasyid saat Konferensi Blogger Nasional di Unair tahun 2012 lalu. "Siswa boleh bersalah. Yang tidak boleh adalah berbuat dosa."

Semoga menginspirasi. (Lagi ingin menulis).

Minggu, 14 September 2014

MEREKA HANYA BELUM TAHU (Cerpen yang saya kembangkan dengan teknik Copy The master dari Cerpen "Juru Masak" karya Damhuri Muhammad)

Mereka Hanya Belum Tahu
Istiqomah, S.Pd. M.Pd
(Guru Bahasa Indonesia, SMA Negeri 1 Batu)

Dak! Dak! Dak!
Ambar memotong daging sapi di depannya kuat-kuat. Berharap bunyi pisaunya bisa menulikan telinganya sejenak saja. Suara-suara yang didengarnya terlalu menyakitkan. Gadis berambut panjang itu menggumam tak jelas. Dari sini, dari dapurnya, ia bisa mendengar suara-suara sumir itu menggunjing dirinya.
“Ambar itu kerjo opo se?” suara perempuan pertama.
 “Ora ngerti, Mbak. Mulihe bengi-bengi. Saya pernah lihat dia pulang diantar mobil kinclong, Mbak. Tengah wengi iku,” suara perempuan lainnya tak kalah memerahkan telinga Ambar.
Dak! Ambar semakin memperkuat ayunan pisaunya. Ia berharap suara benturan pisau, daging, dan kayu telenan mampu mengalahkan suara-suara yang menerobos lubang-lubang dinding bambu dapur rumahnya.
“Paling juga kerjanya nggak bener itu. Kalo kerja baik-baik itu yo nggae seragam dan tidak pulang tengah malam.”
Lek kerjo nggak bener yo laris, wong Amba kenes koyo ngono.”
Setetes air mata jatuh di pipi Ambar. Ia menjatuhkan pisaunya keras-keras di lantai semen dapurnya. Berharap mulut-mulut usil tetangganya takut dan terdiam.
Ia melangkah hendak membuka pintu dapur. Namun, sejurus kemudian ia melihat ibunya menatap dengan tatapan mata memohon.
“Sabar,Nduk.”
“Tapi, Bu ….”
“Biarkan waktu yang menjawab semua itu. Mereka hanya tidak tahu, Nduk,” nasihat ibuny seperti biasa. Selalu meneduhkan.
Andai saja tak ada ibu, Ambar pasti nekad. Suara-suara sumbang tentang dirinya itu sudah terlalu lama dibiarkan. Makin lama bukannya makin menghilang, tetapi malah makin membuat telinganya terbakar.
Demi ibunya, Ambar memilih diam. Ambar mencoba percaya bahwa mereka tidak tahu. Ya .. mereka hanya tidak tahu. Lebih tepatnya, tidak mau tahu.
Ambar tidak pernah ingin jadi penari. Tak ada darah seni mengalir dalam tubuhnya.  Tak pernah sekali pun ia membayangkan akan menekuni profesinya sekarang ini. Ia merasa sama sekali tak memiliki minat, apalagi bakat untuk menyelaraskan gerak tubuh nan rumit dengan iringan musik mendayu maupun rancak.
Ketika SMA, sekolah mewajibkan semua siswa mengikuti minimal satu ekstrakurikuler.  Kebijakan ini diambil untuk menyeimbangkan kemampuan siswa  bidang akademik dan nonakademik. Ambar yang saat itu belum mengetahui apa bakat dan minatnya, asal-asalan memilih tari tradisional — padahal ia tak pernah menari sebelumnya. Ia hanya ikut-ikutan teman sebangkunya, Nadia.
Sungguh, Amba tidak pernah berniat untuk jadi penari.
Untungnya Nadia dengan telaten selalu mengajarinya gerakan-gerakan dasar menari. Hingga akhirnya tak sampai empat bulan, gerak tubuh Ambar jauh lebih gemulai dari Nadia.  Bakat Ambar mulai terlihat.

***
Pelatihnya melihat bakat besar Ambar. Ambar mulai diberi kepercayaan untuk tampil dalam berbagai kegiatan sekolah mulai dari menyambut tamu, mewakili sekolah mengikuti festival seni di tingkat kota hingga mewakili ke tingkat provinsi, bahkan kadang-kadang diminta Pemkot Batu untuk tampil dalam berbagai acara resmi wali kota.
Ambar menurut saja. Ia merasa semuanya wajar, karena ia aktif mengikuti latihan. Tidak satu kali pun ia mangkir latihan. Baginya, tampil dalam berbagai kegiatan adalah termasuk latihan. Latihan untuk menjadi lebih luwes menari. Lagipula, ibunya selalu berpesan padanya agar selalu bersungguh-sungguh dalam menekuni suatu pekerjaan. Ambar berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengecewakan hati ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ia sama sekali tak mengira apa yang ia raih tersebut telah melukai hati seseorang.
Seminggu menjelang pelaksanaan festival seni di tingkat provinsi, Nadia menyapanya dengan tatapan sinis.
“Kamu hebat ya Mbar? Mampu mencuri hati pelatih.”
“Em …maksudmu apa?”
“Alaaaah, jangan pura-pura. Kamu itu kecentilan banget. Merebut kesempatan senior buat tampil di tingkat provinsi,” sahut Tania, kakak kelasnya.
“Aku … aku tidak bermaksud seperti itu,” jawab Ambar mencoba membela diri.
“Alah… alasan. Dasar kamunya yang kecentilan.”
 “Sungguh Mbak Tania. Aku gak bermaksud seperti itu. Bu Luky menunjukku.”
 “Alaaaah … jangan pura-pura kamu. Kamu itu anak kemarin sore sudah berani melangkahi senior. Harusnya kamu tahu diri. Tahun ini giliran kami yang berlomba di tingkat provinsi. Jatahmu tahun depan.”
Jantung Ambar berdetak lebih kencang. Rupanya itu ..
“Dasar tak tahu balas budi. Aku menyesal telah mengajakmu bergabung di sini,” sahut Nadia tanpa memedulikan air mata Ambar yang sudah mulai membasahi pipinya.
Hari itu Ambar berlatih dengan separoh hati. Beberapa kali Bu Luky mengingatkannya untuk berkonsentrasi.
“Sudah … sudah. Kita berhenti dulu. Kamu kenapa sih Ambar? Latihan hari ini kacau sekali.”
Bu Luky menghentikan latihan sambil memberondongAmbar dengan beberapa pertanyaan.
Ambar hanya bisa tertunduk pilu. Ia memutuskan untuk menyampaikan niatnya. Ambar sudah memutuskan untuk mengundurkan diri.
“Ambar … Kamu sakit?” kembali pertanyaan Bu Luky mengagetkan Ambar.
“Ti .. tidak, Bu. Saya .. saya hanya hendak menyampaikan permohonan maaf saya, Bu.”
Suara Ambar yang terbata-bata dan mengandungtangisan yang tertahan, membuat Bu Luky menatapnya tajam. Sejenak Bu Luky memandang wajah Ambar dengan pandangan menyelidik.
“Minta maaf? Untuk apa? Soal latihan tadi? Nggak apa-apa kalau kamu sedang ada masalah. Ibu ngerti kok,” kata Bu Luky seperti biasa dengan kata-kata yang lembut.
“Nganu Bu … saya mau mengundurkan diri dari festival ini.”
“Maksudnya?” Bu Luky terperanjat mendengar kata-kata Ambar.
“Saya … saya merasa belum pantas mewakili sekolah dan kota kita di tingkat provinsi.Mbak Tania dan kakak kelas lainnya yang berhak maju tahun ini, Bu. Saya belum waktunya.”
“Kata siapa kamu gak berhak? Kata siapa juga ada jatah-jatahan? Gak ada itu Ambar. Setiap tahun, siapa pun berhak bersaing untuk menjadi wakil kota ke tingkat provinsi. Kelas X atau kelas XI.”
“Tapi, Bu ….”
“Nggak pakai tapi-tapi. Kamu nggak usah merasa bersalah seperti itu. Yang penting sekarang tunjukkan pada mereka bahwa kamu memang layak mewakili Kota Batu. Ibu berharap bakat terpendammu serta kepekaan tubuhmu dalam mengikuti gending-gending Jawa akan mengantarkan kota kita meraih kemenangan. Catatkan sejarah itu, Ambar. Kita belum pernah menang di tingkat provinsi.”
Ambar terdiam beberapa saat. Wajah ibunya kembali terbayang bergantian dengan wajah almarhum bapaknya.
“Apa saya bisa, Bu?” Ambar bertanya dengan suara gemetar.
“Kenapa ragu? Kamu punya bakat. Tinggal berlatih sungguh-sungguh dan berdoa. Ibu yakin kamu bisa.”
Bu Luky menepuk-nepuk pundak Ambar dengan lembut. Setetes air mata jatuh di pipi Ambar.
“Insyaallah, Bu.”

***
Sore itu Ambar pulang dengan hati yang lega. Meski terpaksa harus menerima pandangan sinis dari Nadia dan teman-temannya, Ambar tahu ia akan membahagiakan ibu dan almarhum bapaknya.
Malahan, ia semakin bertekad untuk bisa meraih kemenangan di tingkat provinsi.
Wajah almarhum bapaknya terbayang jelas di mata Ambar. Kali ini bukan lagi wajah yang berdarah-darah karena gencetan truk gandeng yang dengan tanpa berperikemanusiaan telah menggilas hampir separoh tubuh bapaknya.
Ambar tak akan pernah melupakan saat itu. Ia menerima kabar kecelakaan yang menimpa bapaknya, tepat setelah wali kota menyerahkan piala dan piagam atas kemenangannya dalam festival seni di kota Batu.
Beruntung bagi Ambar. Ia masih sempat menemui bapaknya pada saat-saat terakhir sebelum kepergian ayahnya ke alam keabadian. Ambar membawa piala dan amplop beasiswanya. Ia ingin membagi kebahagiaan itu dengan bapaknya. Bapaknya adalah orang yang selalu memotivasi Ambar agar dapat meraih prestasi.
“Bapak …. Apa artinya semua ini? Apa artinya kemenangan ini kalau bapak tidak bisa melihatnya?” Ambar menangis histeris saat melihat tubuh ayahnya penuh darah.
“Sabar Nduk. Sabar. Doakan, Bapak,” bujuk ibunya.
Ibu bisa membujuk Ambar dengan kata-kata dan pelukan. Tapi ibu tak bisa menyembunyikan dukanya. Wajahnya penuh air mata. Suaranya serak, nyaris hilang.
“Bapak ingin aku menang, Bu. Tapi semua ini tak ada artinya bila bapak tak melihatnya. Bapak …”
Seperti mendengar tangisan Ambar, tiba-tiba keajaiban terjadi. Mata bapak terbuka. Bapak sadar. Di sudut matanya ada titik-titik air.
“Ambar … ,“ suara bapak lemah.
Ambar memeluk bapaknya. Tak peduli wajah bapaknya yang pucat pasi penuh luka itu dililit selang infus. Ambar hanya ingin memeluk bapaknya.
Degan suara terbata-bata dan nyaris tak terdengar, bapak mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Bapak bangga … padamu, Nduk.”
Setelah iti bapak memejamkan matanya untuk selamanya.
Ambar tidak akan pernah melupakan itu. Tidak akan pernah. Selamanya.
Kalimat terakhir bapak itulah yng membuat Ambar mampu tampil sebaik-baiknya dan meraih peringkat tiga di tingkat provinsi. Memang bukan yang terbaik, tetapi Ambar telah mampu membuktikan kemampuannya pada teman-temannya yang sempat meragukannya.
Namun, kemenangan Ambar di festival seni tingkat provinsi ternyata tidak lagi membawa kebahagiaan dan kebanggaan di hatinya. Ambar merasa sia-sia saja meraih semua itu. Tak ada lagi bapak. Tak ada lagi yang akan bangga bila ia meraih kemenangan.
Memang masih ada ibu. Ibu tak pernah mendoorongnya untuk meraih prestasi. Ibu hanya ingin Ambar lulus SMA dengan nilai bagus dan rajin membantunya membuat bakso setiap hari. Ambar tidak tahu atau bahkan tidak peduli bagaimana tiap malam ibunya selalu berdoa agar Ambar kembali bangkit . Ibu juga ingin Ambar menjadi gadis periang yang piawai menari.
Ibu tak sanggup mengungkapkan keinginannya. Ibu tahu meminta Ambar menari lagi sama artinya dengan membuka luka lama di hati Ambar. Ya … bagi Ambar, bapak adalah segalanya. Ambar hanya tak tahu keinginan ibu. Lebih tepatnya, Ambar tidak mau tahu bahwa ibu juga bangga bila Ambar jadi penari yang berprestasi.
Ambar benar-benar berhenti menari setelah festival seni itu. Ia tidak mau lagi berlatih menari apalagi ikut lomba menari. Setiap lomba selalu mengingatkannya akan hari tragis itu. Kematian bapak karena kecelaan saat menjemputnya dari lomba tari benar-benar membuatnya kehilangan.

***
Selepas SMA tiga bulan lalu, Ambar terpaksa mengubur seluruh impiannya untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas tidak mungkin lagi tercapai. Ibunya tidak mungkin sendirian berjualan bakso. Penghasilan mereka pun tidak sebanyak saat bapak masih ada. Ibu tak sepandai bapak dalam membuat bakso. Pelanggan lama semakin hari semakin berkurang. Keuntungan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itu sudah sangat disyukuri Ambar dan ibunya.
Sering Ambar diam-diam menangis dan meneteskan air matanya mengingat nasibnya yang malang. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin mencari pekerjaan. Beberapa kali ia mencoba melamar pekerjaan dan beberapa kali pula ia mendapat panggilan kerja. Sayang, gaji yang ditawarkan hanya sisa sedikit setelah dipotong ongkos angkutan yang ia keluarkan. Ia memilih membantu ibunya berjualan bakso.
Ambar tak ingin jadi penjual bakso. Ia ingin jadi guru. Sama seperti harapan bapak dan ibu dulu.
Ambar hanya bisa meneteskan air mata. Ia tahu tidak mungkin meraih cita-citanya. Ambar hanya belum tahu.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Bu Luky ketika sedang membeli daging (bahan bakso) di pasar.
“Ambar …?” Bu Luky nyaris tak mengenali wajah Ambar.
Bu Luky seperti biasa memeluk Ambar penuh saying. Sementara Ambar hanya biasa berdiri kaku. Perasaannya campur baur tak karuan. Ia malu bertemu Bu Luky dengan penampilan dekilnya saat itu. Tubuhnya pun bau daging dan bumbu-bumbu dapur.
“Kamu kurusan sekarang, Ambar?” Bu Luky melepas pelukannya dan menatap Ambar iba.
Bu Luky seakan tak peduli bagaimana sikapnya yang penuh perhatian itu sempat mencuri perhatian orang-orang yang sedang berbeanja di pasar itu. Tragisnya, penampilan Bu Luky yang cantik dan bersih jauh berbeda dengan penampilan Ambar yang dekil dan hanya bersandal jepit. Ambar tak bisa memungkiri perasaan rendah diri serta rasa malunya pada orang-orang di pasar itu sampai-sampai ia tak mendengar pertanyaan mantan pelatih tarinya itu.
“Sekarang kamu kuliah dimana?” Bu Luky masih belum menyadari bahwa Ambar yang ia temui hari itu adalah Ambar yang berbeda. Ambar yang sekarang adalah Ambar tanpa cita-cita.
“Saya … saya tidak kuliah Bu. Ya …,” Ambar menekan perasaan sedihnya. Suaranya parau. “Ya … begini ini Bu saya setiap hari, membantu ibu jualan bakso.”
Akhirnya Ambar mampu menyelesaikan kalimatnya. Bu Luky tergugu sejenak.
“Kamu ….,”
Hanya itu yang bisa diucapkan Bu Luky.
“Saya pamit duluan Bu. Adonan daging ini harus segera diolah jadi bakso.”
Ambir buru-buru pamitan. Setengah berlari ia meninggalkan Bu Luky. Ia tak ingin Bu Luky akan bertanya lebih banyak tentang kehidupannya. Ia tak mau berbagi kepedihan dengan siapa pun.
Sepulang dari pasar, ia melihat sebuah mobil sedan merah mengkilat parkir di halaman rumahnya. Menutupi warung bakso ibunya.  Ah, mungkin itu tamu yang akan memesan bakso untuk hajatan, pikirAmbar. Dulu semasa bapak masih ada seringkali ada pembeli yang memesan bakso dalam jumlah besar untuk hajatan. Semoga usaha ibu bakal laris seperti dulu. Sambil berdoa agar dugaannya benar, Ambar masuk rumah lewat pintu belakang.
“Nduk … ada tamu yang mencarimu,” kata ibu yang ternyata sedang sibuk menuang kopi di dapur.
“Tamu mencariku? Siapa?” Ambar tak percaya pada kata-kata ibunya.
“Temui saja sana. Bawa kopinya sekalian.”
Di ruang tamu, Ambar tertegun. Tamu yang mencarinya ternyata orang yang dihindarinya tadi. Bu Luky.
“Bu Luky?” Ambar menatap mantan pelatih tarinya itu tak percaya.
“Kok ibu sudah sampai di sini?” Ambar masih tak percaya bagaimana Bu Luky bisa dengan cepat sampai ke rumahnya. Setahunya Bu Luky tidak tahu rumahnya. Bu Luky juga tak pernah bertanya dimana rumahnya selama ini.
“Gampang saja. Ibu tinggal tanya pada tukang daging tadi dimana rumahmu.  Luar biasa … ternyata kamu terkenal sekali.”
“Maksud ibu?” Ambar semakin gelisah.
“Ternyata semua pedagang di pasar itu mengenal murid ibu yang cantik ini. Mereka yang memberi tahu rumahmu.” Bu Luky menatap Ambar seperti biasanya dengan pandangan penuh kasih.
Ambar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia rindu tatapan mata Bu Luky. Tiba-tiba rasa hangat memenuhi dadanya. Ia juga rindu dengan instruksi-instruksi Bu Luky saat melatihnya menari. Ia rindu pada alunan gending yang mengiringinya menari.
Ambar merasakan setiap sendi jari jemarinya memberontak ingin bergerak. Bergerak gemulai dalam sebuah tarian yang anggun. Tapi …
“Kamu pasti kaget  dengan kedatangan ibu?”
Ambar menganggguk.
“Begini Mbar, kamu masih ingat Mbak Firda, asisten ibu dulu?”
Lagi-lagi Ambar hanya mengangguk.Bagaimana mungkin Ambar bisa melupakan Mbak Firda yang juga ikut melatihnya bahkan mengajarinya tat arias dan tata busana. Mbak Firda mengajari Ambar mampu merias dirinya sendiri.
“Seminggu yang lalu Mbak Firda pindah ke Lampung. Mengikuti suaminya yang bertugas di sana. Ibu butuh asisten baru. Ibu yakin, kamu mampu menggantikan Mbak Firda.”
“Tapi Bu … saya … Saya …”
Ambar menelan kata-katanya. Kerongkongannya seperti tercekat. Membicarakan tari selalu membuatnya teringat bapak. Matanya berkaca-kaca.
“Ambar … Kamu tak boleh terus-menerus mengurung diri. Kamu harus bangkit lagi. Kasihan bapak. Beliau akan bersedih bila putri kesayangannya tidak mampu mewujudkan impiannya,” Bu Luky berbicara dengan suara yang lembut.
Ambar menatap Bu Luky dengan air mata berurai. Ia ingin berteriak. Ia ingin dunia tahu bahwa ia menyesal telah membuat bapak mati. Ya … bapak mati karena ia menari.
“Ibumu sudah banyak cerita. Sebelum berangkat menjemputmu dulu, bapak sempat menyampaikan harapannya. Beliau ingin kamu menjadi guru tari. Guru yang akan membimbing anak-anak melestarikan kesenian Jawa.”
“Benar,Bu? Benar begitu Bu? Bapak berkata begitu, Bu?” Ambar setengah tak percaya bertanya berkali-kali pada ibunya.
Ibu hanya mengangguk sambil mengelus pundak Ambar.
“Kamu bisa membantu ibu mengajar anak-anak menari di sanggar sore hari. Paginya kamu bisa kuliah. Ambil jurusan seni tari,” kata Bu Luky.
“Tapi .. bagaimana dengn ibu? Siapa yang akan membantunya?”
“Soal ibu tidak usah kamu pikirkan. Ibu masih kuat berjualan sendiri. Bukannya selama dua bulan menjelang kamu ujian,ibu juga berjualan sendiri. Ibu kuat, kan?”
Ibu tersenyum manis. Bu Luky memandangnya penuh harap.Ambar melihat potret ayah tersenyum dan menganggukkan kepala. Ya bapak, Aku akan mewujudkan impianmu. Aku akan menjadi guru tari seperti harapanmu, janji Ambar pada potret bapaknya.
Ambar melihat harapan besar untuk mewujudkan cita-citanya dengan menerima tawaran Bu Luky.
Ia memang tak pernah bercita-cita menjadi penari. Ia baru tahu dunia tari akan membuatnya sanggup meraih impian bapaknya.

***
Sejak itu, kehidupan Ambar berubah drastis. Ia kembali menjadi gadis ceria yang hari-harinya disibukkan dengan latihan dan latihan. Wajah kusutnya pelan-pelan menjadi segar kembali. Tulang-tulang tubuh mudanya yang dulu nyaris habis terperas untuk berbelanja ke pasar, mengolah bakso di dapur kini selalu lincah gemulai menari diiringi gending-gending Jawa yang lembut. Darahnya kembali mengalir sempurna.
Sambil menunggu tahun ajaran baru untuk mendaftar kuliah, Ambar tak hanya melatih anak-anak di sanggar tetapi juga menerima undangan menari untuk berbagai kegiatan resmi di instansi-instansi pemerintah. Karenanya ia harus sering berlatih sampai malam.
Ia beruntung bekerja di sanggar bu Luky. Tak hanya Bu Luky dan anak-anak didiknya yang menyayangi Ambar. Prasetyo, anak semata wayang Bu Luky, manajer Sanggar tari “Luky Dance” milik Bu Luky juga sangat baik padanya. Tak hanya sering bercerita tentang gending-gending Jawa, gamelan-gamelan yang banyak dikoleksi di sanggar, Prasetya ternyata seorang pemain gamelan, pencipta gending-gnding Jawa yang handal.
Berdua mereka berkolaborasi mencipta tarian kreasi baru bernuansa Jawa. Prasetya selalu telaten memberikan masukan-masukan pada gerakan tari yang dibuat Ambar. Seperti juga Ambar selalu memberikan masukan tentang gending yang dicipta Prasetya. Barangkali tak hanya tarian dan gending yang menyatukan hati mereka. Diam-diam Ambar selalu merasakan kebahagiaan setiap kali bersama Prasetya.
Ia menutup rapat perasaannya itu. Ia memilih menyerahkan semuanya padasang waktu.
Orang yang mengantar pulang Ambar malam-malam dan jadi bahan gunjingan tetangganya itulah Prasetya. Tetangganya tak tahu siapa Prasetya. Andaikata mereka tahu, tentu tak akan berpikiran buruk seperti itu, pikirAmbar. Tapi sudahlah. Mereka tidak tahu, mungkin tidak mau tahu, putus Ambar sama seperti mereka tidak tahu bahwa latihan menari tidak cukup hanya beberapa jam. Meskipun tampil hanya beberapa menit, latihan harus dilakukan secara maksimal. Kesalahan sekecil apapun tidak bisa dimaafkan. Siang sampai malam. Besoknya sore sampai malam lagi. Apalagi kalau tarian baru kreasi sendiri seperti yang saat ini sedang disiapkan Ambar dan Prasetya.
Minggu lalu Prasetya menerima permintaan walikota untuk menampilkan tarian yang menggambarkan kekhasan kota Batu untuk ditampilkan dalam pembukaan obyek wisata baru.
“Ini kesempatan kita, Ambar. Kesempatanmu juga.” Begitu cara Prasetya meyakinkan Ambar saat Ambar ragu akan mampu menerima tantangan itu. “Kamu boleh saja menolak tawaran menari di hotel-hotel, tetapi menolak tawaran bergengsi ini, rugi besar Ambar.”
Prasetya benar soal penolakan-penolakan Ambar itu. Beberapa kali ia menerima tawaran untuk tampil dalam berbagai kegiatan ceremonial di hotel, tempat wisata, bahkan hajatan para pengusaha dan pejabat. Tetapi Ambar selalu menolak. Ia merasa dirinya hanya guru tari, bukan penari. Meski ditawari honor hingga jutaan rupiah, Ambar bersikukuh menolaknya. Ia tak mau suara-suara tetangganya makin miring terhadap dirinya. Bagaimana pun ia harus menjaga perasaan ibunya. Ia yakin mampu menjaga diri. Tetapi ia tak yakin mampu menjaga mulut tetangganya yang usil.
Namun Prasetya berhasil meyakinkan dirinya hingga ia menerima tawaran itu. Ia ingin tetangganya tahu bahwa ia guru tari dan penari profesional. Bukan penari “nakal” seperti tudingan teman-temannya. Dan menari dalam acara resmi walikota akan menasbihkan dirinya menjadi penari handal yang bersih. Begitulah akhirnya Ambar menerima ajakan Prasetya.
Latihan-latihan intensif mulai dari mengolah gerakan dan menyelaraskan dengan gending-gending pengiring membuat Ambar semakin sering pulang malam. Semakin sering pulang malam dan diantar lelaki bermobil mewah, semakin membuat omongan miring tentang Ambar semakin santer terdengar.

***
Bila dulu Ambar tak sampai mendengar dengan telinganya sendiri, kini dengan terang-terangan tetangga kanan kirinya bersuara keras hingga menembus dinding bambu dapurnya. Apalagi ketika usai salat subuh ketika Ambar sedang membantu ibunya mengolah bakso.
Suara rerasan tetangganya itu seperti nyanyian sumbang setiap pagi. Seperti pagi itu.
“Dasar anak nakal. Bukannya membantu ibunya berjualan untuk mendapatkan uang yang halal, malah menjual diri tak karuan,” suara-suara miring itu terdengar lagi saatAmbar sedang mengupang bawang.
“Ia. Kasihan sekali bapaknya. Ia pasti menangis kalau tahu anak gadisnya tumbuh menjadi perempuan nggak bener,” timpal perempuan lainnya.
Prang!
Ambar tak sanggup lagi menahan diri. Ember tempat rendaman mie ia lemparkan mengenai pintu dapurnya.
“Ambar …”
Ibu hampir-hampir tak sanggup menahan teriakannya. Ia tak mengira Ambar sanggup melakukannya. Ibu paham Ambar terluka. Bukan hanya Ambar yang sakit hati, ia jauh lebih sakit hati. Ia tak pernah mengizinkan siapa pun menyakiti hati Ambar. Ia menginginkan Ambar selalu bahagia.
“Bu … mereka sudah keterlaluan menghinaku.” Ambar menangis dalam pelukan ibunya.
“Ibu tahu Nduk.Tapi, Gusti Allah nggak pernah sare. Percayalah,” kata ibu sambil mengelus rambut Ambar.
“Sampai kapan, Bu? Ambar nggak kuat lagi.”
“Ibu percaya kamu kuat, Nduk. Kamu tidak perlu membalas kata-kata mereka dengan amarah dan kebencian. Kamu hanya perlu menunjukkan prestasimu. Prestasimulah yang kelak akan membuka mata dan hati mereka. Percuma kita membela diri.”
Ambar melepaskan pelukan ibunya.
“Ibu yakin aku bisa?”
“Ibu selalu percaya kamu bisa. Sama seperti selama ini ibu bangga padamu.”
Ibu bangga padaku? Hati Ambar tergugu. Selama ini ia nyaris tak pernah berpikir ibunya bangga pada apa yang ia lakukan. Yang ia tahu, ibu tak pernah melakukan apa pun yang ia inginkan. Ambar hanya ingin berprestasi untuk membuat bapaknya bangga. Tidak pernah sekali pun ia ingin mempersembahkan kebanggaan buat ibunya. Ia salah. Ia salah besar selama ini tak mau tahu perasaan ibunya.
“Ambar berjanji akan menjadi penari terbaik untuk ibu. Ambar juga akan menjadi guru tari untuk bapak dan ibu,” janji Ambar sambil memegang tangan ibunya.
Ambar melihat senyum ibu mengembang. Cahaya mata ibu berbinar-binar.

***
Seminggu lagi perhelatan akbar dalam rangka pembukaan obyek wisata baru di Kota Batu di helat. Poster dan spanduk dipasang dimana-mana.
Foto Ambar dalam balutan busana tari yang anggun terpampang di depan wajah walikota dan wakilnya. Wajah ayu Ambar mendadak akrab bagi warga Kota Batu. Bahkan setiap wisatawan yang datang ke Kota Apel itu setidaknya, pasti pernah sekilas melihat wajah Ambar yang terpampang di Baliho pada setiap pintu masuk obyek wisata.
Ambar tersenyum manis ketika pagi itu Bu Bainah, tetangganya menyapa ramah. Ambar berhenti menyapu halaman rumahnya demi mendengar suara ramah Bu Bainah. Keramahan yang sempat hilang.
“Wah … Mbak Ambar bakalan tampil dalam pembukaan wisata bunga ya hari Minggu?” begitu Bu bainah bertanya ramah.
Enggih, Bu. Mohon doanya agar saya mampu tampil sebaik-baiknya,” jawab Ambar  sopan.
Ia masih menyalami tetangganya itu dengan santun seperti  yang ia lakukan sejak kecil dulu. Bersalaman sambil mencium tangan orang yang lebih tua dari dirinya.
“Hebat ya Mbak Ambar, Bu,” suara kecil Lauren, cucu Bu Bainah membuat hati Ambar berbunga-bunga. “Lauren mau belajar nari sama Mbak Ambar ya Mbah,” kata Lauren lagi.
“Mbak Ambar mana mau. Mbak Ambar pasti sangat sibuk,” jawab Bu Bainah sambil menahan rasa malu saat ia ingat kata-kata keji yang sering ia lontarkan pada Ambar.
“Pasti Mbak Ambar mau. Kapan saja Lauren mau?” Ambar menjawab pertanyaan Lauren tanpa memedulikan Bu Bainah yang tiba-tiba menjadi serba salah.
“Benar, Mbak?” Lauren bertanya setengah tak percaya.
Ambar tak menjawab. Ia hanya memeluk dan mencium Lauren. Bocah kecil yang beberapa bulan lalu menjadi temannya bermain, mengisi kesepian. Lauren tertawa riang, merasa geli pipinya dicium Ambar berulang-ulang.
Dari balik jendela kamarnya, ibu tersenyum melihat kebahagiaan Ambar. Setetes air mata ia biarkan jatuh di pipinya.

Pagi itu Ambar dan ibunya menemukan kunci untuk meraih kembali kehangatan persaudaraan dari tetangganya. Ambar mengambil kunci itu dari tawa ceria Lauren.