Jumat, 29 November 2013

MENCERMATI RPP BISA JADI LANGKAH AWAL MENULIS PTK


 
MENCERMATI RPP
BISA JADI LANGKAH AWAL MENULIS PTK

Benarkah mencermati RPP bisa menjadi langkah awal menulis PTK?  Barangkali pertanyaan itu terlintas di benak bapak dan ibu guru ketika membaca judul tulisan ini. Bagaimana mungkin? Bukankah, langkah awal menulis PTK adalah menemukan masalah?
Coba kita ingat-ingat kembali kegiatan apa yang kita lakukan padaawal tahun pembelajaran. Kita pasti satu jawaban: membuat, atau tepatnya, membenahi perangkat  pembelajaran untun tahun ajaran yang baru. Yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita benar-benar mau mencermati kemudian membenahi perangkat kita, termasuk RPP-nya? Jadi, bukan hanya mengubah penghitungan alokasi waktu, distribusi alokasi waktu, prota, promes, dan mengganti tanggal, bulan, dan tahunnya.
Baiklah, kali ini saya berprasangka,  bapak ibu melakukan hal yang sama dengan saya yaitu mencermati kelemahan  perangkat kita,  seterusnya kita hanya akan fokus pada RPP, kemudian kita benahi. Begitu selalu kita lakukan setiap tahun ajaran berganti. Mari kita renungkan kembali, apa yang bapak ibu pikirkan saat membenahinya? Tidak hanya mencermati kelemahan sistematika, penggunaan bahasanya, atau yang lainnya, otak kita selalu aktif mengingat kembali bagaimana kita mengajar dengan RPP tersebut di kelas.
Pada tahapan inilah sebenarnya, otak kita secara tidak sadar sedang mengidentifikasi masalah. Bisa jadi saat itu kita teringat suasana kelas yang membosankan, anak-anak mengantuk, bahkan ada yang berbincang-bincang dengan temannya. Apalagi pelajaran tersebut berlangsung pada siang hari musim panas. Ampun deh. Di samping panas, mengantuk, dan lelah, siswa juga sering tidak peduli dengan pembelajaran yang kita sampaikan. Akibatnya, kita menjadi terbawa arus, menjadi ogah-ogahan mengajar dan bahkan terbawa emosi. Awaaas, penyakit manula mengintai! Hehehe.
Refleksi
Berikutnya, mari merefleksi diri dengan beberapa pertanyaan ini. Jawab dengan jujur. Tidak usah ditulis. Cukup diakui saja dalam hati. Kan bukan ujian.
Apa yang terjadi pada saat bapak dan ibu mengenang kembali pembelajaran materi dengan RPP yang sedang bapak dan ibu cermati? Apakah bapak dan ibu menerapkan RPP tersebut dalam pembelajaran? Bila tidak, jangan-jangan RPP bapak ibu hasil kopi paste dan sekedar untuk memenuhi tanggungan administrasi kurikulum sekolah? Yuk ah, segera bertaubat, mumpung masih sempat.
Baiklah, saya balik husnudhon saja dech. Bapak dan ibu menggunakan RPP tersebut tetapi pembelajaran tetap berlangsung tidak menyenangkan dan hasil belajar siswa juga belum maksimal. Mari kita renungkan.  Sebuah RPP idealnya ditulis sebagai rencana pembelajaran yang baik karena kita telah merancang kegiatan pembelajaran, media, bahkan mungkin juga posisi duduk siswa dengan baik.  Kalau pembelajaran berlangsung dan hasilnya tidak sesuai dengan harapan kita, apa sebabnya?
1.      Kita mengajar dengan tahapan kegiatan pembelajaran yang tidak sesuai dengan yang tertuang di RPP. Kalau itu yang terjadi, berari pembelajaran yang kita lakukan yang salah. Tanpa pedoman. Ibarat berperang, kita hanya mempunyai senapan, tetapi ketika kita maju perang kita tidak membawanya apalagi menggunakannya. Bisa mati kan? Hehehe Maaf, bisa gugur kita jadi pahlawan. Hehehe
2.       Kita sudah mengajar menggunakan media dan langkah pembelajaran sesuai RPP tetapi proses belajar dan hasilnya tetap belum maksimal.
Ketika kita sampai pada jawaban kedua inilah sesungguhnya pintu untuk “mengidentifikasi masalah” sudah kita temukan. Selanjutnya, kita cba melihat apakah metode pembelajaran (yang terejawantahkan dalam lengkah-langkah pembelajaran)  dan media pembelajaran yang kita rencanakan memungkinkan terciptanya pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan?
Saya coba sajikan penggalan RPP mata pelajaran PKn SMP (yang saya kopas dari internet, sengaja tidak saya sebut sumbernya), berikut ini!

Materi Pembelajaran
1.      Pengertian HAM
2.      Dasar hukum penegakan HAM di Indonesia
3.      Lembaga-lembaga perlindungan HAM di Indonesia
C. Metode
      Tanya jawab, diskusi, ceramah bervariasi, dan penugasan.
D. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran (Strategi Pembelajaran/Kegiatan Belajar)
1. Pertemuan I
Pendahuluan
a.   Apersepsi
Mempersiapkan kelas dalam pembelajaran (absensi, kebersihan kelas, dan lain-lain)
b.   Memotivasi
Melakukan penjajakan kesiapan belajar siswa dengan memberikan pertanyaan tentang materi yang akan diajarkan.
 c. Memberikan informasi tentang kompetensi yang akan dicapai.
Kegiatan  Inti
1). Eksplorasi
§  Penjelasan konsep secara umum tentang arti/pengertian HAM yang ada dalam NKRI dikaitkan dengan HAM yang ada di sekitar tempat tinggal siswa.
2).  Elaborasi
§  Melakukan kajian pustaka dengan menelaah UUD 1945 pada Pasal 28A sampai 28J.
§  Membagi siswa dalam 8 kelompok.
§  Menginstruksikan siswa untuk berdiskusi setelah mendengar dan menelaah tentang UUD 1945 pasal 28A sampai dengan 28J.
3) Konfirmasi
§  Guru meminta pendapat siswa tentang pengertian HAM dan UUD 1945 pada pasal 28A.
§  Setelah selesai, masing-masing kelompok melakukan presentasi hasil diskusi.       
Penutup
a.      Dengan bimbingan guru, siswa menyimpulkan hasil diskusi.
b.     Memberikan post test sebagai umpan balik.
c.      Melakukan tindak lanjut dengan memberi tugas untuk mempersiapkan diskusi minggu berikutnya dengan membuat resume tentang pengertian HAM, UUD 1945, dan UU No. 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002.
E.   Sumber Pembelajaran
  • Buku teks Pendidikan Kewarganegaraan: untuk SMP dan MTs Kelas VII
  • Buku UUD 1945
  • UU No. 39 Tahun 1999

Terlepas dari kesalahan bentuk kegiatan apersepsi di bagian pendahuluan maupun konfirmasi di kegiatan inti, mari kita cermati materi,  metode pembelajaran, langkah pembelajaran, dan sumber pembelajaran.
1.        Dari sisi materi kita sepakat bahwa materi dalam RPP ini berupa uraian-uraian panjang, naratif, sejarah yang menuntut banyak ingatan.
2.        Dari sisi metode kita tidak menemukan suatu model pembelajaran “yang beda”. Yang terbayang adalah guru menerangkan, menugaskan siswa mengerjakan tugas secara berkelompok, lalu presentasi. 
3.        Bayangan pelasanaan metode pembelajaran yang “tidak beda, cenderung hambar” semakin tampak pada langkah-langkah pembelajaran (pada bagian inti).
(a)    Pada bagian eksplorasi jelas sekali bahwa guru menerapkan metode ceramah.
(b)    Pada tahap elaborasi bagian “Melakukan kajian pustaka dengan menelaah UUD 1945 pada Pasal 28A sampai 28J” tidak menggambarkan secara jelas apa yang harus dilakukan siswa. Bagaimana cara mengkajinya? Bahan kajian disajikan dengan apa? Teks? Film? Foto? Atau hanya buku teks?  Kalau jawabannya buku teks apalagi hanya LKS, sudah terbayang jelas betapa membosankan pembelajaran yang harus dijalani siswa.
(c)    Pada tahapan “Menginstruksikan untuk berdiskusi setelah mendengar dan menelaah tentang UUD 1945 pasal 28A sampai dengan 28J”  kegiatan diskusi yang diinstruksikan tidak jelas. Pembentukan kelompoknya seperti apa? Posisi duduknya bagaimana? Bisa jadi ini hanya diskusi untuk mengerjakan soal yang disediakan guru.
4.        Pada bagian sumber pembelajaran kita hanya menemukan buku, buku, dan buku.
Nah bapak dan ibu, bila RPP yang kita rancang seperti di atas, kemudian benar kita laksanakan akan berjalan menyenangkan anak didik? Barangkali bapak dan ibu bisa beragumentasi bahwa pembelajaran di kelas berlangsung menarik karena bapak menggunakan kartu permainan, menggunakan kuis, dan sebagainya. Kalau begitu jawabannya berarti RPP yang kita buat tidak kita gunakan.
Kalau benar kita sudah mengajar dengan cara yang baik, mengapa tidak kita benahi RPP kita?
Penemuan Masalah
Kalau ternyata, pembelajaran bapak berlangsung sesuai dengan RPP dan pembelajaran berangsung kurang menyenangkan dan hasil belajar siswa kurang maksimal, kita telah menemukan permasalahan.
Apa? Ya itu tadi proses pembelajaran tidak menyenangkan dan hasil belajar tidak menyenangkan. Mengapa terjadi? Karena siswa tidak tertarik, tidak termotivasi untuk mengikuti pelajaran bahkan mengantuk. Kalau begitu kita harus meningkatkan motivasi belajar siswa.
Bagaimana cara meningkatkan semua itu? Jawabannya sebenarnya terletak pada faktor penentu hasil belajar “yang bisa direkayasa”. Faktor penentu hasil belajar ada yang alami dan ada yang bisa direkayasa. Yang alami itu seperti minat, bakat, dan kecerdasan. Faktor yang bisa direkayasa itu seperti pendekatan, metode, model pembelajaran, media pembelajaran, dan posisi duduk siswa.
Bila melihat penggalan RPP di atas, kita coba berasumsi bahwa anak-anak tidak termotivasi belajar karena pembelajarannya tidak menyenangkan dan media pembelajarannya pun tidak menarik. Akibatnya hasil belajarnya pun rendah.
Nah, setelah menemuan masalahnya, kita lanjut dengan mencari pemecah (alat/ cara) untuk memecahkan permasalahan tersebut. Bisa jadi menggunakan media pembelajaran yang menarik seperti film atau foto-foto dokumenter. Bisa juga kita lakukan dengan memilih model pembelajaran TGT yang menuntut adanya unsure berlomba dalam diskusi. Jadi proses diskusi dalam kelompok akan lebih muncul karena adanya keinginan alami setiap individu menjadi yang terbaik.
Jadi, tidak salah kan kalau saya nyatakan bahwa membenahi RPP bisa menjadi langkah pertama menulis PTK?
(Tunggu lanjutannya ya. Sudah nguantuk) 






























Terlepas dari kesalahan bentuk kegiatan apersepsi di bagian pendahuluan maupun konfirmasi di kegiatan inti, mari kita cermati materi,  metode pembelajaran, langkah pembelajaran, dan sumber pembelajaran.
1.        Dari sisi materi kita sepakat bahwa materi dalam RPP ini berupa uraian-uraian panjang, naratif, sejarah yang menuntut banyak ingatan.
2.        Dari sisi metode kita tidak menemukan suatu model pembelajaran “yang beda”. Yang terbayang adalah guru menerangkan, menugaskan siswa mengerjakan tugas secara berkelompok, lalu presentasi. 
3.        Bayangan pelasanaan metode pembelajaran yang “tidak beda, cenderung hambar” semakin tampak pada langkah-langkah pembelajaran (pada bagian inti).
(a)    Pada bagian eksplorasi jelas sekali bahwa guru menerapkan metode ceramah.
(b)    Pada tahap elaborasi bagian “Melakukan kajian pustaka dengan menelaah UUD 1945 pada Pasal 28A sampai 28J” tidak menggambarkan secara jelas apa yang harus dilakukan siswa. Bagaimana cara mengkajinya? Bahan kajian disajikan dengan apa? Teks? Film? Foto? Atau hanya buku teks?  Kalau jawabannya buku teks apalagi hanya LKS, sudah terbayang jelas betapa membosankan pembelajaran yang harus dijalani siswa.
(c)    Pada tahapan “Menginstruksikan untuk berdiskusi setelah mendengar dan menelaah tentang UUD 1945 pasal 28A sampai dengan 28J”  kegiatan diskusi yang diinstruksikan tidak jelas. Pembentukan kelompoknya seperti apa? Posisi duduknya bagaimana? Bisa jadi ini hanya diskusi untuk mengerjakan soal yang disediakan guru.
4.        Pada bagian sumber pembelajaran kita hanya menemukan buku, buku, dan buku.
Nah bapak dan ibu, bila RPP yang kita rancang seperti di atas, kemudian benar kita laksanakan akan berjalan menyenangkan anak didik? Barangkali bapak dan ibu bisa beragumentasi bahwa pembelajaran di kelas berlangsung menarik karena bapak menggunakan kartu permainan, menggunakan kuis, dan sebagainya. Kalau begitu jawabannya berarti RPP yang kita buat tidak kita gunakan.
Kalau benar kita sudah mengajar dengan cara yang baik, mengapa tidak kita benahi RPP kita?
Penemuan Masalah
Kalau ternyata, pembelajaran bapak berlangsung sesuai dengan RPP dan pembelajaran berangsung kurang menyenangkan dan hasil belajar siswa kurang maksimal, kita telah menemukan permasalahan.
Apa? Ya itu tadi proses pembelajaran tidak menyenangkan dan hasil belajar tidak menyenangkan. Mengapa terjadi? Karena siswa tidak tertarik, tidak termotivasi untuk mengikuti pelajaran bahkan mengantuk. Kalau begitu kita harus meningkatkan motivasi belajar siswa.
Bagaimana cara meningkatkan semua itu? Jawabannya sebenarnya terletak pada faktor penentu hasil belajar “yang bisa direkayasa”. Faktor penentu hasil belajar ada yang alami dan ada yang bisa direkayasa. Yang alami itu seperti minat, bakat, dan kecerdasan. Faktor yang bisa direkayasa itu seperti pendekatan, metode, model pembelajaran, media pembelajaran, dan posisi duduk siswa.
Bila melihat penggalan RPP di atas, kita coba berasumsi bahwa anak-anak tidak termotivasi belajar karena pembelajarannya tidak menyenangkan dan media pembelajarannya pun tidak menarik. Akibatnya hasil belajarnya pun rendah.
Nah, setelah menemuan masalahnya, kita lanjut dengan mencari pemecah (alat/ cara) untuk memecahkan permasalahan tersebut. Bisa jadi menggunakan media pembelajaran yang menarik seperti film atau foto-foto dokumenter. Bisa juga kita lakukan dengan memilih model pembelajaran TGT yang menuntut adanya unsure berlomba dalam diskusi. Jadi proses diskusi dalam kelompok akan lebih muncul karena adanya keinginan alami setiap individu menjadi yang terbaik.
Jadi, tidak salah kan kalau saya nyatakan bahwa membenahi RPP bisa menjadi langkah pertama menulis PTK?

(Tunggu lanjutannya ya. Sudah nguantuk)

Selasa, 19 November 2013

JANGAN CUMA BISA MENCELA POLANTAS, TUNJUKKAN BAHWA ANDA JUGA BAIK

Sungguh, kali ini saya ingin benar-benar mengumpat. Maafkanlah saya. 

"Loe punya mata gak sih? Lampu merah di depan mata nekad saja loe terobos! Jalan ini bukan punya moyangmu! Berapa besar sih kerugian yang bakal kau tanggung hanya dengan menunda satu sampai satu setengah menit! Loe boleh saja ganteng, gagah, berduit! Tapi, kalau di depan umum, di jalanan bahkan ketika polisi berpeluh mengatur lalu lintas yang macet di antara rinai gerimis, seenaknya saja loes langgar aturan, bagi gue LOE SAMPAH!"

Maaf, maaf. Saya benar-benar hanya ingin meluapkan kegelisahan saya terhadap para pengendara (terutama motor) yang sering melanggar lampu merah. Beberapa minggu ini (sekitar 2 bulanan mungkin) di perempatan Arhanud Pendem Batu dipasang lampu lalu lintas. Namun, nyaris setiap hari, aya menemui para pengendara yang tak tahu aturan. Mereka tidak memedulikan lampun lalu lintas yang terpasang di sana. Tanpa mikir perasaan keselamatan pengemudi lainnya, mereka tetap menerobos lampu merah seakan-akan lampu lalu lintas tak terpasang di sana. Gila. Mata mereka ditaruh dimana?

Dan baru saja, saya dibuat mangkel semangkel-mangkelnya. Apa pasal? Di antara hujan gerimis, maghrib-maghrib saya menjemput putri saya pulang les. Di pertigaan Dinoyo, seorang pemuda yang gagah, tampilannya OK, naik motor apa ya (motor cowok pokoknya), saat lampu merah ke arah belokan ke kanan (arah Betek) menyala nekad menerobos. Padahal saat itu, jelas-jelas tak sampai 2 meter, ada Polantas yang mengatur lalu lintas. Alhasil tuh pemuda langsung diberhentikan dan ditegur.

Serius. Saya muak pada pemuda itu. Sama muaknya saya dengan pengemudi lainnya yang tidak memedulikan lampu lalu lintas.

Dalam hati saya pengin teriak, "Kalau Loe dah gak punya hati, paling tidak tunjukkan kalau Loe beneran masih layak disebut manusia. Pakai otak Loe!"

Hhhh  Daripada saya memendam kejengkelan ini, mendingan saya menuliskannya di blog. Setidaknya, saya bisa menumpahkan uneg-uneg saya dan saya tidak lagi menyimpan amarah. Bisa gak produktif dan bikin jantungan.

Nah, sekarang, izinkanlah saya menuliskan yang sedikit agak halus, karena sudah sedikit reda amarah saya.

Bagi saya, para pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas itu DERAJATNYA LEBIH RENDAH DARI KORUPTOR!

Mengapa? Mereka melanggar aturan, membahayakan keselamatan orang lain di tempat umum, terang-terangan! kalau di tempat umum, dilihat banyak orang saja mereka tidak punya malu melanggar aturan, apalagi kalau tidak ada yang melihat! Sakit hati saya melihat anak-anak muda berperilaku seperti ini.  Bisa-bisa ketika mereka mendapatkan jabatan atau posisi, mereka akan lebih korup daripada pendahulunya (Koruptor saat ini).

Pernahkah mereka berpikir bahwa selain membahayakan keselamatan orang lain, mereka telah berbuat dosa pada banyak orang, dalam hal ini adalah pengendara lainnya. Saya yakin, para pengendara lainnya akan mangkel melihat perilaku para pengendara yang tak tahu aturan ini. Bagaimana coba mereka akan meminta maaf kpada orang yang disakiti hatinya itu? Gak kebayang kalau sampai ada orang yang menyumpahi mereka dengan kata-kata atau doa buruk.

Berikutnya, mari kita renungkan. Selama ini, kita, masyarakat umum terlalu larut dalam euphoria menjelek-jelekkan polisi, terutama Polantas. Sekali ditilang (atau diajak "berdamai" dengan beberapa lembar puluhan ribu rupiah saja, sudah mampu menggeneralisasikan bahwa Polantas itu doyan suap. Mbokyao mikir. kalau Anda, kita tidak melanggar, insyaallah kita tidak akan ditilang atau ditawari damai. Kalau pun Anda sampai terlibat dalam aksi damai (suap), itu bukti bahwa Anda memang salah. kalau Anda benar dan tidak melanggar, tidak mungkin ada alasan bagi oknum polisi untuk memaksa Anda bayar uang suap Bro. Dan ingat, Nabi pernah bersabda "Yang menyuap dan yang disuap sama-sama masuk neraka." Jadi Anda dan oknum polisi yang menerima suap itu sama-sama rendahnya! Sadar!

Alangkah piciknya kita selama ini. Hanya banyak mencela keburukan para polisi dan nyaris melupakan jasa-jasanya yang luar biasa. Kita seperti melihat selembar kertas putih yang ternoda setitik tinta. pandangan mata kita hanya tertuju pada nodanya, dan sama sekali tak melihat masih banyak bagian yang putih dan bisa kita gunakan. Barangkali, memang begitulah sikap kita. Hanya mampu melihat keburukan orang lain dan melupakan kebaikannya yang sejatinya jauh lebih besar.

Mengkritik boleh saja, tapi tunjukkan dulu bahwa kita juga baik. Artinya, kalau kita mau mengkritik kelakuan buruk beberapa oknum polisi, tunjukkan bahwa kita warga negara yang taat hukum tunjukkan bahwa kita pengendara yang taat peraturan lalu lintas. Mosok bisanya cuma mencela dan tidak bisa melihat keburukan diri sendiri.

Sebagai seorang ibu, seorang guru, dari lubuk hati saya yang terdalam ingin mengucapkan rasa terima kasih pada Polisi lalu lintas. Tak sanggup saya membalas bakti mereka menyeberangkan anak-anak kandung saya saat di SD dulu, membantu saya dan para perempuan lainnya menyeberang saat jalanan macet, dan lainnya lagi.

Benar memang mereka dibayar untuk melaksanakan tugas itu. Tapi, seandainya mereka tidak bekerja sungguh-sungguh, tidak disiplin, apa yang akan terjadi? Keselamatan kita semua para pengendara jalan taruhannya.

Para polisi itu telah bekerja keras, di bawah tekanan stress yang berat, dan terkadang masih dicaci oleh para pengguna jalan. Kalau mau jalanan tertib dan aman, mari bersikap adil. Kita taati peraturan lalu lintas, insyaallah tak akan ada pintu terbuka bagi oknum polisi yang mau bertindak buruk.

Setiap kali melihat Bapak-bapak Polisi (terkadang juga Ibu polisi) sibuk beketrja di jalanan saat panas terik atau hujan turun, hati saya selalu tergetar. dan akhirnya, hanya doa yang sanggup saya berikan sebagai bentuk terima kasih saya. Semoga para polisi itu diberi kesehatan, kekuatan lahir batin, keberkahan dan kecukupan rezekinya.

Terim kasih ya Pak Polisi.






Senin, 18 November 2013

HUJAN DAN PERAWAN TUA

HUJAN DAN PERAWAN TUA

11 April 2011 pukul 18:46
"Hhhh, Bagaimana harus kukatakan resah ini padamu? Hujan selalu menenggelamkanku dalam bajir kenangan paling muram."

Rien mendekap jemarinya, menyusur jauh ke dalam dadanya. Sendirian ia mencari hangat pada tubuhnya yang menggigil. Sejak usai subuh tadi, hujan tak henti menderas. Barangkali hanya ketika ia menyempatkan diri mampir ke toilet sebuah POM bensin tadi, sekira pukul dua siang, hujan berhenti sejenak.

"Barangkali rintiknya malu bersaing dengan deras air yang mengalir di selokan toilet yang bau pete," rutuk Rien ketika ia terpaksa harus menahan nafas dalam toilet.

Hingga senja ketika ia kembali ke rumah, dengan setumpuk lelah dan gerah, hujan masih juga mendesah. Hujan menyisakan tanda keriput pada jemari, pada buku-buku jemari, dan memayatkan ruas-ruas kukunya. Rien menghabiskan sore dengan gigil tubuhnya yang jauh lebih dari sekedar guncangan tubuh saat tangis membuncah.

Dari jendela kamarnya, ia menatap selasar rumahnya. Seluruh daun-daun menunduk lelah diterpa air tanpa henti. Bebatang pohon membeku, menciptakan kegamangan dan kesenduan yang tiba-tiba merejam perasaan Rien.

Hujan senja hari selalu menacapkan luka di hati perawan yang bulan depan menggenapkan usiapaling rawan. 40 tahun. Telah empat lelaki memutuskan berbalik ketika telah sampai di serambi rumahnya tanpa pernah sempat mengucapkan rangkaian kata-kata manis pinangan untuknya. Lelaki-lelaki itu, berjatuhan di atas pangkuannya saat matahari menghangat, lalu menghilang seperti daun-daun terbawa arus hujan.

Yang tinggal adalah kenangan paling menenggelamkan.

Rien mengutuki hujan yang telah menenggelamkannya dalam dingin paling beku.

"Bukankah telah kusiapkan ranjang dan slimut paling hangat yang kurajut dari kesetiaan dan pengabdian untuk lelakiku, meski kau meminangku dalam hujan tanpa tepian. Ataukah harus kugadaikan lembar-lembar nafasku, kujahit dengan hela-hela nafasku, agar kau datang menjemputku? Apakah kesediaanku untuk kaubakar hingga mengabu masih belum cukup untuk membuatmu tak berpaling ketika sampai di serambi rumahku?"

Rien menatap serambi hatinya pada wajah sederhana. Sebiji kacang jerawat menyembul tepat di ujung hidungnya. Ia umpama simbol kesepian, rindunya pada lelaki yang akan menghapus kata perawan di depan namanya. 

BIJAK MEMILAIH DAN MEMILAH DONGENG ANAK

BIJAK MEMILAH DAN MEMILIH DONGENG UNTUK ANAK

Tulisan lama di FB ku biar tersimpan rapi, saya pindah di blog ini. 

12 Mei 2011 pukul 23:35
Sebuah refleksi saat jadi juri lomba menulis adn mendongeng HIMPAUDI Kota Batu, hari ini

Rasa bangga dan bahagia jujur mengalir ke dada saya saat menyimak peserta pertama lomba menulis dan membacakan dongeng tadi pagi. Para wali murid anak-anak PAUD yang rata-rata masih sangat muda (layak jadi mantan murid saya yang lulus sekitar 5 tahun atau lebih itu) dengan lancar dan atraktif membacakan dongeng seolah-olah benar-benar sedang bercerita sungguhan.

Saya bangga dan menjadi sangat optimis bahwa di tangan ibu-ibu muda ini kelak akan tercetak generasi penerus bangsa yang kreatif, penuh ide, cerdas, dan hidup dengan memegang teguh nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya dengan baik. Mengapa?

Melalui dongeng yang menarik, yang dikemas dengan kreatifitas tinggi, dan bahsa yang indah tidak saja imajinasi dan kreatifitas anak dapat dikembangkan. Namun, anak juga diberi pendidikan moral dan budi pekerti yang baik. HUbungan batin anak dan ibu pun semakin dekat. Kedekatan ini akan menjadi gerbang yang baik bagi penciptaan hubungan orang tua dan anak yang pada gilirannya akan memudahkan proses pendidikan anak dalam keluarga. Tanpa kedekatan hubungan, saling terbuka, kiranya sulit bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, budi pekerti, atau nilai agama. Dongeng mampu mengover semua itu dalam kemasan menarik yang tidak terkesan menggurui.

Sayangnya, di antara rasa bangga itu saya merasa miris menemui beberapa cerita peserta. Mengapa? Setidaknya saya mencatat dua hal yang harus disikapi dengan bijak dan perlu kemauan dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk mengubah. Berikut penjelasan lengkapnya.

1. Penanaman kebaikan/moralitas "hitamVS putih" yang salah kaprah
Kita tentu masih ingat bagaimana saat kecil kita didongengi "kancil nyolong timun". Kancil dalam dongeng lama selalu digambarkan sebagai sosok yang cerdas. Dalam banyak versi cerita kancil, ia selalu digambarkan cerdas dan berada pada posisi tokoh protagonis yang dikagumi. Padahal, bila kita cermati, kancil tak jarang ditampilkan sebagai tokoh yang licik dan menghalakan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan.

Hal ini saya temukan pada beberapa dongeng yang ditampilkan. Satu contoh dalamn dongeng "Kera yang Serakah". Dalam dongeng ini diceritakan tentang seekor kera yang sangat serakah. Suatu hari ia mengajak burung kutilang untuk pindah tempayt tinggal. maka ia meminta bantuan kutilang untuk memasukkan semua bahan makanan yang dimilikinya ke atas perahu. Selanjutnya, ia bersama burung kutilang menyeberangi sungai. Di tengah perjalanan kutilang merasa haus dan lapar. Ia meminta makanan kepada kera. Kera tak memberinya sedikit pun meski kutilang telah membantunya. Karena marah pada kera yang pelit, kutilang mematuk-matuk dasar sungai hingga berlubang. Akibatnya, perahu tenggelam beserta bahan makanan.Burung kutilang terbang dan tersenyum penuh kemenangan melihat kera berenang dengan susah payah sampai akhirnya selamat sampai di pinggir kali.

Singkat cerita, akhirnya kera menemukan sebatang pohon pisang yang berbuah lebat dan matang. Kera makan dengan lahap. ketika kutilang dan teman-teman burung lainnya meminta, kera tak memberinya. Ketika akhirnya sang kera terjatuh dari pohon, kakinya patah, kutilang dan burung-burung lainnya tak menolong kera. Mereka bahkan menertawakan si kera, dan kemudian bersama-sama menghabiskan pisang tadi.

Bayangkan dalam penggalan singkat ini saja saya menemukan penanaman moral yang bias. Dalam cerita ini jelas terlihat bahwa pengarang ingin menyampaikan ajakannya agar anak-anak PAUD (usia 2-4 tahun) tidak serakah dan tidak pelit karena akan dibenci teman dan akan celaka. Namun, dalam cerita ini secara tersurat jelas tersampaikan bahwa kita boleh berlaku kasar yang jelas-jelas merugikan orang lain yaitu membocorkan perahu bahkan hampir merengut nyawa kera. Lalu, ketika si kera jatuh dan terluka jelas tersampaikan contoh bahwa apabila seorang penjehata menderita maka kita boleh berbuat aniaya: menertatawakn, membiarkannya (tidak segera memberi bantuan), bahkan menjarah makanan.

Lebih menyedihkan lagi, ternyata peserta yang membawakan cerita ini tidak hanya menjadi wali murid, namun ia juga seorang guru PAUD. wih, ngeri.

Meski saya masih yunior dibanding beberapa peserta (sebagian sih memang jauh lebih muda dari saya), maka saya sampaikan hal tersebut. Mengapa? Bila sebuah dongeng ditujukan untuk anak-anak dini usia, tak hanya harus menarik, bahasanya singka dan sederhana; seharusnya dengat tegas mengajarkan dan menyajikan bahwa yang putih itu putih dan yang hitam itu hitam. Anak-anak PAUD masih terlalu polos. Mereka masih kesulitan untuk berpikir abstrak atau konsep.

Maka dengan rendah hati saya mohon maaf dan memberi masukan pada para peserta baik orang tua wali atau guru PAUD terutama memperhatikan betul isi dongengnya. jangan bias!

2. Logika yang salah
Benar bahwa dunia anak penuh imajinatif, namun hendaknya dalam menulis cerita tetap kritis, analitis, dan logis. Anak-anak jaman sekarang cenderung kritis. Maka ketika saya menemukan dongeng "Kehebatan Buah dan Sayur" kembali naluri keguruan saya terpanggil. Dan... haduh muncullah beberapa kalimat penjelasan.

Dalam dongeng "Kehebatan Buah dan Sayur" menceritakan seorang anak kecil yang tidak suka makan buah dan sayur meski sudah dirayu. Hingga suatu malam si anak ini bermimpi menyeramkan. dalam mimpinya, karena ia tersesat ia berteriak-teriak minta tolong. Muncullah wortel dan buah. Tak ada yang mau menolongnya malahan wortel dan apel mengejalnya. Ia terbangun dan berteriak-teriak. Ketika ibu akhirnya datang dan menenagkannya dia menceritakan mimpinya.
Kata sang ibu "Itu karena Mas gak suka makan buah dan sayur." Nah, sejak saat itu sang anak menjadi suka buah dan sayur.

Sesimple itu? Saya yakin meski diam tetap saja akan banyak anak yang tak tersentuh untuk kemudian menjadi terbiasa karena konsumsi makanan itu.

Lha, mengapa tidak mengangkat hal yang logis. Misalnya karena malas makan buah, anak akan jatuh sakit. Saat dokter memeriksa, dikatakan bahwa bila anak mau makan buah dan sayur, mungkin tokoh aku akat sehat.

Alhamdulillah meski sedikit saya bisa memberikan sumbangsih saya buat duni pendidikan.

TEMPAT TERINDAH (Cerpenku yang menang dalam LMCR Diknas tahun 2011 lalu)

Pengantar: Entahlah .... setelah kubaca-baca lagi, kenapa ya, cerpen-cerpenku selalu kelam? penuh amarah dan dendam. Apalagi pada lelaki yang seenak udele memperlakukan perempuan. 
Seorang teman malah sempat bertanya, "Apa kamu punya trauma, misal ayah, suami, atau saudara?" Jelas tidak. Bapakku dan suamiku adalah  orang-orang baik yang sangat baik memperlakukan wanita. Wes lah embuuuh. heheheh Saat mempresentasikan cerpen ini di hadapan juri, seorang juri Bu Rayani mengatakan pada saya, "Saat baca cerpen ini, yang terlintas di pikiran saya, "Ini guru sakit jiwa! Berkepribadian ganda. masak guru nulis seperti ini." 
heheheheh Entahlah ...

Malam ini dingin seperti biasa. Warung Mpok Minah masih sepi. Hanya ada dua orang laki dan perempuan, mungkin sepasang kekasih, mungkin suami istri. Atau mungkin… Sudahlah, untuk apa memedulikan keduanya. Kuhisap lebih dalam rokokku, dan kuhembuskan kuat-kuat asapnya seperti hendak kuenyahkan dingin yang menusuk tulangku.
Kulihat jarum jam di tanganku menunjuk ke angka 9 lewat 10 menit. Belum ada satu pelanggan pun yang menyapaku. Kutelan ludahku yang mendadak terasa pahit. Bang Madi sejak tadi mengawasiku seakan-akan takut aku memasukkan sebatang dua batang rokok ke dalam saku celanaku. Sialan. Di saku celanaku sama sekali sudah tak tertinggal duit sekeping atau selembar pun. Beras di dapur habis, susu Reihan dan Lilian habis. Rudi merengek minta sekolah.
Kepalaku mendadak pusing. Tangisan Reihan dan Lilian sore tadi saat kutitipkan kepada Mbak Tarni terasa mengiris-ngiris dadaku. Darah yang tercecer di lantai dari lengan kanan Rudi tadi sore seperti belati yang mengiris jantungku. O, ibu macam apakah aku ini? Saat anak-anakku menggigil kedinginan dan kelaparan aku kelayapan malam-malam, menunggu malaikat mengantarkan impian.
Tiba-tiba beberapa orang polisi mengepung warung Mpok Minah, tempatku kini sedang menenggak sisa anggur kolesomku. Gelas terakhir. Sayup-sayup kudengar Mpok Minah memintaku segera bersembunyi. Ada razia, teriaknya.
Aku tak bergeming. Dengan angkuh kuselesaikan tenggakan terakhirku, hingga seorang polisi berteriak padaku sambil mengacungkan senjatanya.
“Angkat tangan!”
Kesadaranku yang tak utuh membuatku tertawa.
“Tangkap saja saya, Pak! Saya lelah. Tak ada pelanggan untuk saya malam ini. Tak ada beras dan susu esok hari untuk anak-anakku,’ kataku dengan suara parau.
“Ibu kami tangkap dengan….,’ entah apa lanjutan kalimat polisi itu.
Aku tak terlalu paham benar. Yang kutahu mereka kemudian memborgol tanganku.
Aku tersenyum  dan pasrah saja. Bahkan, aku hampir saja tertawa ngakak saat kusadari bahwa ada 12 orang berseragam polisi dan 4 orang berpakaian sipil beramai-ramai menangkapku. Seakan-akan aku ini penjahat kelas kakap. Mereka tidak tahu bahwa aku sungguh-sungguh menunggu saat ini. Saat mereka mengambil kebebasanku dan memasukkanku ke penjara. Tempat terindah yang kuimpikan. Tanpa nafsu, tanpa arak.Tak lagi tersiksa udara malam. Tak lagi ketakutan memikirkan susu dan makan anak-anakku.
Aku tak peduli dengan tatapan penuh kebencian dari orang-orang yang berkerumun melihat penangkapanku.
**
Polisi berwajah dingin, berambut cepak itu menanyakan nama, alamat, dan tempat tanggal lahirku. Saat ia menanyakan pekerjaanku, kujawab dengan tenang.
“Pelacur.”
Petugas itu mendelik. Aku cuek saja.
“Ibu tahu mengapa Ibu ditangkap?”tanyanya lagi.
Aku menggeleng, masih tak yakin dengan dugaanku. Sebab, sebagai pelacur tertangkap saat razia kemudian ditahan adalah hal biasa. Resiko pekerjaan.
“Anak terkecil Ibu sekarang masuk rumah sakit,” jelas seorang petugas yang sejak tadi berdiri tepat di sampingku.
Dheg! jantungku berdebum rasanya. Namun, aku masih diam. Terbayang wajah Raehan, anak ketigaku yang masih berusia lima bulan sedang tergolek di rumah sakit dengan kaki dan tangan dibebat kain putih. Pasti ia seperti mumi. Membayangkan kondisi Raehan membuatku ingin tertawa. Tentu saja kutahan.
“Bu… Tolong dijawab dengan jujur, apa yang telah Ibu lakukan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Bu, jawab dengan jujur!” kata petugas yang berdiri di sampingku dengan suara keras. Aku hampir terloncat karena kaget. Namanya Adi Abdiawan.
“Ti.. tidak ada. Saya tidak melakukan apa-apa pada mereka. Saya mencarikan nafkah untuk menghidupi mereka,” jawabku dengan suara gemetar.
“Menganiaya anak sendiri hingga tangan dan kakinya patah, Ibu katakan tidak melakukan apa-apa?” tanya Adi lagi dengan suara tetap keras.
“Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu pada anak-anaknya,” akhirnya sanggup juga aku menjawab dengan kalimat panjang.
“Saya tidak mengerti. Sungguh. Ibu macam apa Ibu ini? Tanpa malu-malu mengakui pelacur sebagai pekerjaan, dan sekarang menganiaya anak sendiri Ibu katakan melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang Ibu?”dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kutundukkan kepalaku. Aku tak sanggup menatap kemarahan dan kepedihan yang jelas tergambar di wajahnya.
“Dimana Reihan dan kedua kakaknya sekarang?”tanyaku tak sanggup menahan rasa ingin tahu.
“Untuk apa Ibu menanyakan mereka? Bukankah Ibu juga telah melukai putri Ibu?” kata Adi balik bertanya padaku.
“Tolong katakan, di mana anak-anak saya?”tanyaku lagi.
“Reihan dan Lilian keduanya di rawat di rumah sakit, sedang Rudi hingga saat ini masih kami cari,” jawab petugas yang tadi menanyaiku.
“Oh… syukurlah,” seruku bahagia.
Kedua petugas itu berpandangan tak mengerti. Aku tersenyum dalam hati. Separoh rencanaku berhasil dengan baik.
“Pemeriksaan hari ini cukup! Bawa Bu Siswati ke tahanan kembali!”perintah Adi pada dua orang polisi yang sejak tadi duduk tak jauh dari tempat kami.
***
Di balik jeruji besi aku sendirian membayangkan wajah ketiga anak-anakku yang kurus. Anak-anak yang malang. Dua tahun lalu kuputuskan untuk menjalani profesi ini setelah tak ada satupun lowongan pekerjaan terbuka untuk perempuan malang sepertiku. Berijazah SMP dan dibuntuti dua orang anak yang masih kecil. Dua tahun setelah bencana demi bencana merengut kebahagiaan dan harapan hidup kami, hidupku bersama suami dan anak-anakku.
Empat tahun lalu Lilian masih berumur satu tahun, masih baru belajar berjalan. Ia masih membutuhkan asupan susu formula sebab sejak melahirkan Rudi, anak pertamaku, payudaraku tak mau menghasilkan setetes susu pun. Untunglah usaha Kang Jarwo, suamiku mulai berkembang. Dari usaha tambal ban dan bensin literan, pelan-pelan Kang Jarwo menambah dagangannya dengan menjual ban sepeda, motor, bahkan ban mobil. Suku cadang sepeda dan motor pun melengkapi etalase toko dan bengkel Kang Jarwo.
Betapa bahagianya masa-masa itu. Di pinggir jalan besar di kota kecil kami, Sidoarjo, hidup kami pelan-pelan mulai tertata. Anak pertama kami, Rudi, lahir setahun setelah kami menikah. Dua tahun kemudian lahir Lilian. Bengkel Kang Jarwo makin berkembang. Kami membangun rumah persis di belakang bengkel kami.
Di rumah mungil itu, ibuku, satu-satunya orang tua kami yang masih hidup menjadi tempat kami meminta restu dan doa.
Namun, kebahagiaan kami tiba-tiba saja direngutkan. Subuh itu luapan lumpur menenggelamkan bengkel kami, rumah kami, seluruh harta benda kami. Bahkan, lumpur itu pun mencabut nyawa ibuku yang tak sanggup lari saat lumpur bercampur gas itu meledakkan kompor minyak di dapur kami.
Tak hanya tak mampu menyelamatkan selembar kain pun, kami juga tak mampu menyelamatkan jasad ibu. Lumpur itu menguapkan kebahagiaan kami.
Masih kuingat bagaimana Kang Jarwo berteriak-teriak putus asa.
Gusti…. Nopo dosa kawula?”
Jeritan yang tak dipedulikan oleh tetangga maupun saudara. Sebab, kami menangis dan menjerit sendiri-sendiri. Menangisi kebahagiaan dan harapan kami yang direngut paksa tiba-tiba. Aku pun menangis sambil memeluk kedua anakku yang mengigil ketakutaan sambil menyaksikan pelan-pelan luapan lumpur celaka itu menenggelamkan semua harta benda kami, hidup kami.
Gusti, nyuwun pangapunten,” tangisku kelu.
Setahun kami tinggal di pengungsian. Tinggal di tenda-tenda plastik tanpa harapan kapan semua akan berakhir. Anak-anakku semakin kurus dan tak terurus. Janji pembayaran ganti rugi semakin menguap. Lenyap. Seperti bayangan kampung kami yang tak lagi tersisa.  Pekerjaan Kang Jarwo sehari-hari hanya melamun atau ikut demo menuntut ganti rugi asal ada yang membiayai.
Hingga suatu hari, kami diajak berdemo ke ibu kota ini. Puluhan keluarga ikut dalam rombongan itu beserta anak-anak kami. Sebenarnya aku enggan ikut demo, capek. Belum lagi bila nanti kami ditangkap karena menimbulkan huru-hara. Tapi suamiku memaksa.
“Kamu ikut, Dik. Juga  Lilian, dan Rudi. Siapa tahu saat melihat anak-anak kita yang tak berdosa jadi korban, kurus kering dan tanpa masa depan, Bapak-bapak yang terhormat di Jakarta lebih mudah kasihan dan segera memberi ganti rugi,” bujuk Kang Jarwo setengah memaksa.
Ternyata semua pendemo membawa serta semua keluarganya. Demi kekompakan dan keberhasilan tujuan kami semua: mendapatkan ganti rugi yang memadai dan secepatnya, kuputuskan ikut ke ibu kota.
Tapi nyatanya? Hingga serak suara kami, hingga kering peluh kami, hingga habis uang saku kami, harapan yang kami gantungkan itu tak segera menjadi kenyataan. Kami putus asa. Sebagian di antara kami memilih pulang. Sebagian nekad bertahan di ibu kota. Sekalian cari kerjaan, putus mereka yang memilih tinggal. Bukankah tak ada lagi harapan kami di kampung halaman? Harta benda serta pekerjaan kami telah tenggelam sia-sia.
Kang Jarwo pun memilih bertahan.
“Setiap seminggu sekali kita akan berdemo menuntut hak kita. Kita berkumpul lagi di sini. Sekarang kita berpisah. Berjuang demi nasib kita sendiri-sendiri,” begitu pesan Kang Durrohim, mantan ketua RT di lingkungan kami tinggal dulu.
Singkat kata, kami nekad hidup menggelandang dari emperan toko satu ke toko lainnya, hingga di kolong-kolong jembatan. Kang Jarwo tak juga mendapat pekerjaan yang mapan. Menjadi kuli angkut di pasar Jatinegara, hanya itu pekerjaan yang tersedia. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa sebab Reihan dan  Lilian masih belum bisa ditinggalkan, begitupun Rudi. Tak ada siapa pun yang bisa kumintai bantuan untuk menjaga kedua anakku bila aku nekad bekerja. Jadilah aku hanya mengandalkan upah suami yang tak menentu.
Untunglah pada akhirnya kami mendapat tempat tinggal yang lebih nyaman. Di bawah kolong jembatan. Itu pun atas kebaikan Pak Hasan, teman Kang Jarwo sesama kuli angkut.
“Kita harus bersyukur, Dik. Meski hanya gubuk kecil, namun kita bisa berlindung dari panas dan hujan,” hibur Kang Jarwo saat pertama kali kami menghuni gubuk mungil kami.
Aku mengangguk. Mensyukuri pemberian Tuhan yang besar ini. Sebuah gubuk berdinding kardus bekas, beratap jembatan. Untung masih berpintu triplek meski mulai berlobang di sana-sini. Di gubuk itulah hingga kini kami tinggal.
Ternyata Tuhan belum juga membukakan jalan bagi kehidupan kami yang semakin tak berpengharapan. Atau mungkin juga Tuhan telah menenggelamkan hak kebahagiaan pada kami bersama-sama seluruh harta kami dulu hingga tak ada sisanya untuk kami nikmati di hari-hari mendatang? Gusti, kaningaya temen takdir ingkang kedah kawulo lampahi, selalu begitu kutangiskan penderitaanku.
Bagaimana tidak? Tak hanya kehilangan ibu, rumah dan semua harta benda kami, dua bulan kemudian, di ibu kota yang kejam ini, aku kehilangan kewarasan suamiku. Kang Jarwo gendheng!
Aku masih ingat awal nasib tragis yang menimpa Kang Jarwo. Hari itu, seperti biasanya selama kami di Jakarta, setiap Senin pagi, Kang Jarwo pasti ke bundaran HI. Menepati janjinya bertemu dengan teman-teman dari kampung halaman. Membicarakan langkah selanjutnya agar tuntutan ganti rugi kami segera mendapat perhatian. Hari itu dia pulang sambil ngomel-ngomel tak karuwan. Katanya, teman-teman tak lagi setia kawan.
Mosok wis ra ono sing peduli memperjuangkan nasib!” begitu berkali-kali Kang Jarwo menggerutu.
Sejak pagi itu, Kang Jarwo tak lagi pergi ke pasar. Ia lebih banyak duduk, merenung, lalu berdiri sambil berteriak-teriak sambil mengacungkan kepalan tangannya. Pandangannya memerah menatap langit!
“Kembalikan tanah kami! Kembalikan rumah kami!”
Ia tak lagi peduli pada keluhanku tentang beras yang tak bersisa di dapur, tentang susu Lilian yang tak berbekas, tentang tetangga yang protes keras. Kang Jarwo lebih memilih melempar piring dan panci-panci. Harta paling berharga yang sanggup kami beli. Sambil tetap berteriak-teriak, “Kembalikan rumah dan harta kami! Kembalikan!”
Aku bisa saja bersabar menunggu Kang Jarwo sadar, tapi perut anak-anakku tak mungkin menunggu. Seperti kesabaran tetangga-tetanggaku yang telah tandas mendengar kegilaan Kang Jarwo. Mereka melaporkan Kang Jarwo, entah kemana. Yang kutahu, beberapa orang petugas berseragam putih-putih menjemput Kang Jarwo.
“Kami akan membantu penyembuhannya, Bu,” kata salah seorang di antara mereka sebelum membawa pergi Kang jarwo dengan mobil ambulan.
Sejak itu, aku kehilangan Kang Jarwo.
Demi perut anak-anakku kuikuti saran tetangga: menjual satu-satunya harta yang tersisa. Harga diriku. Bukankah tanpa harga diri aku masih bisa hidup?
Kudengar dentang jam satu kali. Tanpa sadar aku telah tenggelam dalam kenangan pahit yang telah lama kuhapus dalam kehidupanku. Sungguh, sejak kuputuskan bergelut dengan nafsu dan arak saat dingin mendekap malam, aku tak sudi mengingat masa laluku. Kepedihan hanya akan menggerogoti sinar ayu di wajahku. Dan itu membuatku dijauhi pelanggan.
Kupaksa memejamkan mata. Berharap bisa kutemui anak-anakku dalam mimpi.
***
Hari ini genap 36 hari aku di tahanan. Selama itu pula aku merasakan siksaan: merindukan anak-anakku, dan merindukan keputusan hukuman untukku. Namun, aku tak ingin seorang pun tahu tentang kerinduanku itu. Tak boleh. Atau segala pengorbananku akan sia-sia saja?
“Hari ini akan ada seorang psikolog yang mewawancarai Ibu, sebelum minggu depan kasus Ibu disidangkan,” kata sipir saat menjemputku dari kamar tahanan.
Aku mengangguk. Aku tahu hal ini sudah pasti akan terjadi. Dulu, sebelum bencana itu menenggelamkan kebahagiaan hidupku, aku sering melihat di TV atau membaca koran tentang perlakuan terhadap para ibu yang menganiaya anaknya. Mereka pasti disangka sakit jiwa dan akan diperiksa oleh seorang psikolog. Anak-anak mereka akan diambil alih oleh negara sebab ibunya atau orang tuanya dianggap tidak mampu dan tidak bisa bertanggung jawab memelihara anak-anaknya.
Beda sekali nasibnya dengan bayi yang dibuang di tempat sampah. Mereka akan menjadi santapan anjing liar atau membusuk dan dikerubungi lalat-lalat hijau. Meninggalkan rasa jijik.
Beda pula nasibnya dengan anak-anak yang dibuang atau ditelantarkan orang tuanya di terminal atau stasiun. Kehidupan jalanan akan merengut masa kanak-kanaknya. Dan anak-anak itu secara langsung diterima di sekolah alam. Sekolah yang memberinya dua pilihan: jadi preman bagi laki-laki atau pelacur bagi perempuan.
Aku sungguh tak ingin melihat nasib anak-anakku tragis seperti itu.
Di ruang tunggu, kulihat seorang perempuan berjas warna hitam dengan kemeja putih dan celana lurus hitam yang rapi telah menungguku.
“Bu Siswati?”tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kenalkan, saya Herawati. Psikolog yang akan mendampingi Ibu,”katanya memperkenalkan diri.
Perkenalan yang biasa saja. Tak berkesan. Selanjutnya tanpa basa-basi, psikolog itu mengajukan padaku pertanyaan-pertanyaan yang hampir sebagian telah pernah ditanyakan padaku oleh para polisi.
“Apakah Ibu sadar saat menganiaya anak-anak Ibu?” tanyanya.
Aku mengangguk. Mantap.
“Ibu tahu bahwa tindakan itu sangat membahayakan nyawa anak-anak ibu?” tanyanya lagi.
Beberapa saat aku terdiam. Aku harus mampu menjawab setiap pertanyaan ini dengan baik. Salah sedikit saja aku menjawab mereka akan mengira akau gila dan membebaskan aku dari segala tuduhan.
Itu akan menggagalkan rencanaku.
“Ya. Saya sadar!” jawabku tegas.
Kutelan sisa air mata yang menetes hingga mengalir di dadaku.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu?”
Aku menggeleng.
“Mengapa Ibu melakukan semua itu?” tanyanya lagi.
“Saya hanya tidak ingin lagi mereka merepotkan saya, mengganggu hidup dan kebahagiaan saya,” jawabku dingin.
“Ibu tidak kasihan pada anak-anak Ibu? Ibu tidak menyesal telah menyebabkan kedua tangan dan kaki Reihan yang masih lima bulan itu patah, dan sekujur tubuh Lilian lebam bekas cubitan?” tanyanya memberondongku.
“Tidak!”jawabku lebih dingin.
“Biadab,” kudengar suara lelaki, ternyata petugas yang mengawasiku dari balik pintu mengumpat.
“Ibu macam apa Ibu ini? Di luar sana, ratusan bahkan mungkin ribuan perempuan mati-matian berusaha mendapatkan keturunan, sedang ibu yang telah dianugerahi anak-anak yang lucu itu tega menyia-nyiakan bahkan menyiksa mereka!” suara laki-laki itu gemetar.
Siswati, kuatkan hatimu. Jangan sampai air matamu runtuh di hadapan orang-orang ini, atau kamu akan menerima kegagalan tas semua kegagalan itu, alarm di hatiku menyala-nyala saat air mata hampir saja menitik di mataku.
“Apakah penghasilan Ibu cukup untuk menghidupi ketiga anak ibu?” tanyanya.
“Cukup! Saya masih muda. Semalam saya bisa melayani tiga hingga empat orang, “ aku menjawab sambil tersenyum genit.
Hhhhh, psikolog itu mengepalkan tangannya seperti menahan kegeraman.
“Lilian dan Reihan anak-anak yang cakep dan lucu-lucu, Bu,” katanya menggantung kalimatnya yang tak selesai. Aku mengangguk. “Ibu tahu, sekarang ini banyak sekali orang yang berniat hendak mengadopsi anak-anak Ibu. Bagaimana pendapat Ibu?”
Aku diam saja. Menahan kegembiraan yang tiba-tiba menguntum di dadaku.
“Bu…?” psikolog itu memaksaku menjawab pertanyaannya.
“Ya?” jawabku dingin.
“Apa pendapat Ibu bila anak-anak Ibu diadopsi orang lain? Mereka akan menyediakan kehidupan yang layak untuk anak-anak Ibu, menyekolahkan, dan memenuhi semua kebutuhan mereka. Bagaimana, Bu?”
“Saya tidak peduli!” kupaksa mengucapkan tiga kata itu dengan wajah ketus sambil menahan air mata yang terus mengalir sampai jantungku.
Kemana orang-orang itu saat dulu aku membutuhkan bantuan untuk membeli beras dan susu anak-anakku? Kemana mereka saat aku bersama suamiku, anak-anakku, bahkan ratusan orang dari desaku dan tetangga desaku berteriak-teriak meminta keadilan karena rumah kami, seluruh harta kami, beberapa orang keluarga kami, bahkan kuburan moyang kami ditenggelamkan lumpur? Apakah mereka tak mendengar jeritan kami saat satu persatu harapan masa depan, harapan hidup yang bertahun-tahun kami tiup dengan nafas kami itu tercerabut dari mimpi kami? Kemana mereka saat perempuan yang lemah ini kelabakan mendengar tangis haus dan lapar anak-anaknya? Oh, kutuk macam apa yang aku terima? Dosa moyangku yang mana yang membuat hidupku dan anak-anakku menjadi seperti di neraka. Tak ada lagi yang dapat kumintai pertolongan. Sanak ,saudaraku, tetangga , dan kerabat yang kumiliki pun kehilangan masa depannya. Kami mati pelan-pelan, dikubur paksa dalam kubangan lumpur .
Katakan, apakah salah bila untuk anak-anakku aku memutuskan menjual satu-satunya harta yang tersisa: harga diri. Bukankah orang takkan mati tanpa harga diri? Aku pun takkan bisa makan hanya dengan harga diri.
Atau memang harus seperti ini: kuaniaya anak-anakku hingga sekarat, baru Kalian sadar dan tergerak untuk mengulurkan tangan?
“Bu….?”psikolog itu mengagetkan lamunanku. “Ibu sehat?”
“Saya lelah.”
“Baiklah, kalau begitu saya pamit. Besok saya akan datang lagi. Jaga kesehatan Ibu baik-baik. Anak-anak membutuhkan Ibu,” katanya berpamitan.
***
Seperti janjinya, psikolog itu akan datang hari ini. Maka sejak pagi telah kusiapkan masak-masak jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin akan ia ajukan.
Aku sudah menunggu hampir lima belas menit hingga psikolog itu datang dan menyalamiku.
“Bagaimana, Bu kabarnya? Sehat kan?”tanyanya sok akrab.
Aku mengangguk.
“Ibu tahu siapa yang saya ajak kemari?”tanyanya menatapku penuh arti.
“Tidak!”jawabku dingin.
Tiba-tiba pintu terbuka. Kulihat seorang perempuan cantik, berbaju bagus menggendong Reihanku. Ia tampak lebih sehat dan makin gemuk. Tangan dan kakinya tak lagi digips seperti yang kulihat dari layar televisi di tahanan. Lilian, gadis kecilku yang masih berumur 3 tahun digandeng seorang laki-laki berseragam polisi yang berjalan di samping perempuan itu.
“Reihan, Lilian…. Kasih salim sama Ibu,” psikolog itu meminta Reihan dan Lilian menjabat tanganku.
Aku diam. Kaku. Kutatap kedua anakku bergantian dengan sorot penuh kebencian. Penuh kemarahan seperti saat malam itu kuhajar mereka. Meski hatiku menangis, meraung-raung. Masih sering terdengar tangis mereka yang melengking, juga teriakan-teriakan Rudi yang memintaku menghentikan kekasaranku. Bukannya berhenti, aku malah melempar Rudi dengan sebuah gelas. Aku tahu  pasti tangan kanannya terkena pecahan beling sebab kulihat darah menetes di telapak tangannya.
Reihan meringkuk dalam pelukan perempuan itu. Lilian gemetar dan bersembunyi di belakang tubuh lelaki yang sejak tadi menggandeng tangannya.
“Bu Siswati tidak ingin memeluk mereka?”tanya psikolog itu.
“Tidak! Saya benci mereka! Mereka telah membuat hidup saya menderita!”teriakku histeris.
Reihan menangis menjerit-jerit mendengar suaraku. Lilian semakin gemetar. Lelaki itu kemudian menggendongnya dan menarik tangan perempuan yang mengendong Reihan. Mereka pergi meninggalkanku. Membawa serta anak-anakku.
Ruangan mendadak senyap. Hanya nafasku yang memburu menahan emosiku. Psikolog itu menatapku iba.
“Ibu rela anak-anak Ibu menjadi anak suami istri yang tadi membawa mereka berdua?”tanyanya lagi.
Aku diam. Sementara hatiku bersorak. Inilah yang sesungguhnya kuharapkan. Uluran tangan bagi anak-anakku. Meski untuk itu aku harus mebuat anak-anakku membenciku seumur hidup.
“Nak, mengertilah. Ibu bahagia Kalian berada di tangan yang benar. Sungguh, Ibu rela membayar dengan hukuman seumur hidup, bahkan hukum mati asal Kalian bahagia,” doaku dalam hati.
Tapi dimana Rudi? Kengerian menyergapku. Aku tak ingin Rudi menjadi korban para preman jalanan atau menjadi preman. Terlebih lagi aku tak ingin Rudi menjadi bajingan seperti lelaki yang menyebabkan kelahiran Reihan.
“Dimana Rudi, Bu?”tanyaku tak sanggup menahan keingintahuanku.
“Dia sehat. Sekarang dia dirawat pasangan suami istri yang sangat menyayanginya. Tadi ia menolak saat hendak kami ajak menemui Ibu,” kata psikolog itu.
“Hahahaahahaha,” mendengar jawaban itu tak sanggup kutahan tawa bahagiaku. Tawaku meledak.
Aku menari, aku melonjak kegirangan. Telah sempurna strategiku. Tinggal menunggu waktu merajam kerinduanku pada anak-anakku.
Kutelan air mataku. Aku tersedak!
Catatan:
Gusti…. Nopo dosa kawula?”  (Jawa, kromo inggil) = “Tuhan, apa dosa hamba?”
Gusti, nyuwun pangapunten,” (Jawa, kromo inggil) = “Tuhan, mohon ampun,”
“Mosok wis ra ono …..(Jawa, kromo inggil) = “Apakah benar sudah tak ada…”
Gendheng  (JW, ngoko kasar)= edan, gila, hilang akal
Salim (Jawa) = menjabat tangan.