Minggu, 20 Oktober 2013

JANJI

(Hanya lintasan ide)

AKU PASTI DATANG: janji?

Di luar angin begitu kencang menerpa tirai jendela. Mengirim ribuan butir debu, memburamkan kaca jendela. Dan pandang mataku pun ikut memburam ketika tanpa sengaja jatuh tepat pada fotomu yang tiba-tiba muncul di antara tumpukan buku-buku usang. Ada sesal yang tiba-tiba menyesakkan dada, jauh lebih kuat mendesak ketimbang debu-debu yang beterbangan itu. Menyesal sekali, mengapa pagi yang hangat ini kuisi dengan membongkar-bongkar rak buku yang mulai tak sanggup memuat beban tambahan.
Ah …mataku mendadak basah ketika kutemu selembar kertas usang di antara tumpukan buku-buku itu. Gemetar kupungut kertas using warna merah jambu itu.

Aku pasti datang, di ruang rindumu nanti malam. Lalu seperti biasa, menikmati secangkir kopi sambil menghitung rinai hujan yang mendesir. Akan kugenggam jemarimu ketika kau menatap samudera rindu di mataku. Ahai... bacalah, gemuruh di dadaku tak pernah berdusta, akulah lelaki paling romantis yang memujamu tanpa pernah kehabisan kata-kata.

Alangkah indahnya rangkaian kata-kata puitis itu dulu kau tulisan. Membuat aku merasa menjadi perempuan yang layak dirindukan. Sebuah perasaan yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri seorang perawan berusia empat puluhan. Perawan yang nyaris kehilangan kemudaan dan keceriaan. Sungguh, aku tak tahu, apakah engkau tahu bahwa setiap kata yang pernah kau ucapkan mampu menyihirku  melebihi mantra yang ditiupkan oleh seorang paranormal?

Sayangnya, kau tak pernah datang. Ruang rindu idi dadaku beku. Hingga petang berganti malam, dan hujan bersiap datang, tak ada tanda-tanda kau sungguh-sungguh akan datang. Bahkan hingga musim berganti, tahun berganti, dan usiaku nyaris setengah abad, engkau tak juga datang.

Sesekali memang kau lewat beranda rumahku, sambil menatap dingin pada kaca jendela tempatku kini tersedu. Tak ada apa-apa dalam tatapmu. Tak ada kenangan tentangku. Apalagi rindu. Kau bahkan seulas senyum yang sedikit saja tersisa di sudut bibirmu itu seolah mengirim pesa, “ Siapakah engkau duhai perawan malang? Mengapa tak jua kau tutup tirai jendelamu, kau matikan lampu selsarmu agar tak ada kunang-kunang yang akan mencuri mimpimu?”
Ya …. Ya. Kau berhak menghina ketololanku yang belasan tahun setia menungguimu. Menungguimu di selasar rumah yang atapnya mulai dimakan usia, mengundang rayap-rapay bergelantungan di sana. Bukankah seharunya penantianku, kepercayaanku, dan kerinduanku padamu juga termakan usia, digerogoti rayap keputusasaan karena ketiadaan kepastian kapan engkau akan datang?
***
Tapi beginilah aku. Aku terlalu percaya pada impian masa remajaku dulu. Mimpi pada suatu malam sebelum esok paginya kita berkenalan.

Bukankah aku sudah pernah menceritakan mimpiku itu padamu? Mimpi pertemuanku denganmu meski kita sama sekali belum pernah bertemu. Memang dalam mimpiku, kita berkenalan tanpa saling menyebutkan naman. Yang kuingat saat itu, kau berdiri di ujung sebuah lorong panjang dan gelap. Tanganmu menggapai-gapai seakan menunggu uluran tangan.

Dan ketika dengan tulus kuulur tangan itu, wajahmu yang pucat pasi itu menyembulkan sebuah senyuman.
“Terima kasih, Gadisku. Tuhan mengirimmu untukku. Dan inilah sumpahku, Kelak, engkaulah pendamping hidupku. Selamanya.”

Kau tentu saja tak akan ingat semuanya sebab itu hanya terjadi dalam mimpi. Tetapi aku mengingat setiap detailnya, tanpa terlewat sedikit pun. Usai kau ucapkan sumpah itu, kita saling menautkan jari kelingking. Simbol bahwa kita sepakat dengan perjanjian itu.

Bagaimana aku tak meyakini bahwa sumpah yang kau ucap itu adalah janji perjodohan suci yang dirancang Tuhan, bila keesokan harinya kita bertemu untuk pertama kalinya. Sebuah pertemuan agak sedikit tidak sederhana, mungkin malah sedikit agal luar biasa dibuat-buat, nyaris seperti sinetron picisan di layar televisi swasta.
Bagaimana tidak?

Sore itu, aku nyaris menabrakmu di ujung gang sempit menuju kampung tempat tinggalku. Kau berjalan smpoyongan sembari mendekap perutmu yang merah. Ada banyak darah merembes dari baju searagam abu-abu putihmu.

“To … long! Mereka … anak-anak SMK kompleks sebelah mengejarku,” suaramu lirih, lemas.
Tanpa piker panjang, kurengkuh tubuhmu. Dan agak kuseret segera kubawa kau masuk ke  rumahku yang halamannya cukup luas. Segera kubuka pintu pagar yang tak terkunci, dan langsung kududukkan engkau di kursi tamu.

Tanpa risih, tanpa jerih, kubersihkan luka-lukamu, kuobati, kemudian kuperban.
“Kita ke dokter sekarang!” ajakku setelah selesai menutup rapi lukamu.
“Tidak! Mereka pasti sedang mencariku. Kalau tidak, pasti polisi-polisi itu sedang melakukan razia. Aku tak mau membusuk di penjara!”

“Kau aneh. Kalau tak mau dipenjara ya jangan tawuran!” kataku mulai sebal dengan sikap keras kepalamu.
Matamu menatapku tajam.
“Menurutmu aku aneh?”
“Ya aneh. Sangat aneh. Lebih tepatnya sama sekali gak jantan! Berani tawuran tapi takut penjara!” rungutku sambil memunguti bekas kapas yang penuh darah.
“Tidak! Aku laki-laki tulen. Suatu hari akan kubuktikan sumpahku dalam hati tadi. Bahwa aku akan menjadikanmu seseorang yang paling berarti dalam hidupku nanti. Tapi nanti, tidak sekarang.”
“Hey … kau gila! Aku tidak tahu siapa kamu, begitu pun engkau tidak mengenalku! Jangan ngaco! Kamu mabuk ya?” tanyaku sebal.
“Tapi aku tahu siapa kamu,” katamu sambil tiba-tiba memegang lenganku.
“Siapa?” tanyaku sambil menatapnya keheranan.
“Kamu … kamu bidadari yang diturunkan Tuhan dari surge untuk menjemputku dari neraka,” jawabmu lalu tertawa ngakak.
“Kau….!”

Nyaris saja aku menamparmu bila tak segera kusadari ada suara berisik di luar rumah. Kau menatapku gelisah. Dan kita seperti sepakat untuk kemudian sama-sama diam.

Tatapan matamu cukup menjadi isyarat kecemasanmu, jangan-jangan suara gaduh di luar itu suara anak-anak SMK kompleks sebelah yang katamu sedang memburumu. Segera kututup tirai jendela, sambil menyempatkan diri mengintip da siapa di luar sana. Ternyata kau benar. Ada enam anak lelaki seusiamu sedang berjalan mengendap-endap. Menurutku sih tidak tampak sedang mencari seseorang. Barangkali mereka juga sepertimu, lari dan bersembunyi dari kejaran polisi.

“Kau bisa segera pulang kalau mereka sudah pergi,” kataku tiba-tiba tersadar untuk segera mengusirnya dari rumah.
Bagaimana pun aku tak mungkin menyembunyikannya lama-lama apalagi sampai menginap. Hm … apa kata warga sekitarku nanti bila mengetahui aku memassukkan cowok ke dalam rumah sementara di rumah ini ayah dan ibu sedang bepergian sampai tiga hari ke depan? Ah aku tak mau malu konyol diarak orang sekampung lalu dikawinkan paksa di balai desa? Haduuuh mau kutaruh dimana mukaku yang cuma satu-satunya ini?

Ah …. Tanpa sadar kututup mukaku. Tak sanggup membayangkan rasa malu tanpa batas itu akan menimpaku juga keluargaku.
“Kau pasti membayangkan kita akan diarak warga ke balai desa, trus…”
Dengan licik kau tertawa.
“Apa an sih?”
Sialan. Bagaimana mungkin kamu dengan tepat menebak apa yang sedang kupikirkan.
“Tak usah takut. Aku hanya butuh waktu beberapa jam lagi untuk memulihkan tenagaku,” katanya. Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya sudah kusahut.
“Beberapa jam? Maksudmu ….? Di rumah ini tak ada siapa-siapa, hanya aku, “protesku sambil mendelik tajam.
“Kau bohong. Kau tak sendirian!”
“Kau …. Ayah dan ibuku sedang ke Klaten.”
“Ya  … kau tidak sendirian. Ada aku.”

Lagi-lagi kau menjawab enteng sambil menatapku penuh kemenangan. Kau … hampir saja aku memukul perutmu jika tidak segera kulihat bekas-bekas darah yang masih merembes di seragam putihmu.
“Aku janji tak akan menyusahkanmu. Begitu tubuhku kuat, dan keadaan aman, aku akan segera pergi dari sini. Kalau pun terjadi sesuatu, pegang kata-kataku, aku lelaki tulen. Aku akan bertanggung jawab. Bila perku aku akan menjagamu selamanya.”

Ah kau. Aku kehabisan kata-kata.

Dan kau pasti ingat, sore itu lagi-lagi dengan tanpa syarat, tanpa kau minta aku mencuci, mengeringkan, dan menyetrika baju seragam putihmu hingga noda darah itu tak meninggalkan bekas sama sekali. Aku juga menyiapkan makan siang untukmu. Lebih gila lagi, aku bahkan nekad bolos dari bimbingan belajar hanya demi untuk menunggui dan merawatmu.

Oh, kegilaan macam apa yang sedang kulakukan? Apakah aku benar-benar mahluk berhati lembut yang demikian mudah dan murah hati menolong orang yang membutuhkan pertolongan? Berkali-kali kucoba memahami mengapa aku melakukan semua itu. Dan aku sama sekali tak menemukan jawabannya kecuali kutemukan kesamaan wajah, senyum, suara, hangat tangan dan semuanya tentangmu dengan wajah pria yang semalam dating dalam mimpiku.
Adakah suatu kebetulan seseorang bisa menemukan orang yang ditemui dalam mimpinya benar-benar ditemukannya dalam dunia nyata? Apakah ini bukan pertanda bahwa Tuhan sedang merencanakan perjodohan luar biasa untuk kita?

Hingga ketika menjelang tengah malam, sehabis kita menandaskan enam cangkir kopi pekat tanpa kata-kata, kau berpamitan pulang.

“Suatu hari aku akan menjemputmu, bidadariku,” bisikmu sambil menyentuh pundakku sebelum engkau menyelinap di balik kegelapan malam.

Dan sejak itu, aku tahu, ada ruang kosong yang selalu kusediakan untukmu. Aku tahu, engkau jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. Tak kubiarkan satu orang pun mengisinya. Tidak juga kedua orang tua ku, kerabatku, yang belasan tahun kemudian nyaris setiap waktu menyodor-nyodorkan wajah dan sosok pria mapan untuk jadi jodohku.
Bagaimana aku bisa menerima mereka bila tak ada sedikit pun pertanda bahwa di antara pria-pria yang disodorkan padaku itu adalah jodohku? Andai sedetik saja Tuhan menghapus semua pertanda bahwa engkaulah jodoh sejatiku, maka detik berikutnya, akan kubukakan pintu hatiku bagi siapa saja yang melamarku saat itu.

Tak peduli bagaimana rupa dan reka mereka. Di antara kesunyian panjangku sebagai perawan setia, aku percaya bahwa perempuan selalu memaafkan wajah lelaki yang dengan tulus mencintainya.

Entahlah … kenapa aku memercayai bahwa engkaulah itu lelaki yang sungguh0sungguh mencintaiku. Meski ….
***
Lalu, tiba-tiba engkau datang sore itu. Di antara gerimis hujan. Kali ini pucat pasimu jauh lebih sempurna dari saat dua puluh tiga tahun lalu aku menemukanmu.

“Rien … Aku datang.”
“Kau … kau?”

Aku menatapmu tak percaya. Tanganku menggigil. Kusentuh setiap inchi wajahmu yang tirus itu. Rambutmu masih tetap gondrong seperti dulu. Bedanya, kini jauh lebih panjang dan telah tumbuh beberapa helai uban di antaranya.
“Aku tahu aku punya janji padamu. Dan aku dating untuk memenuhinya. Semoga aku tak terlambat,” suaramu lemah, makin lemah, sebelum akhirnya engkau terjatuh lemah di pelukanmu.

Dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya, kuseret engkau sendirian. Kembali di kursi tua yang dua puluh tiga tahun lalu kugunakan untuk merawatmu.

“Brian… Briantika … bertahanlah. Aku menunggu puluhan tahun bukan untuk melihatmu terjatuh,” butir air mataku mengalir deras bersama doa-doa di hatiku.

Sekali lagi tubuh dan jiwaku digerakkan kekuatan aneh yang membimbingku kembali merawat Brian. Lelaki yang telah menawan urusan perjodohanku lewt mimpi. Barangkali memang demikianlah tafsir mimpi remajaku dulu. Aku akan menemukan jodohku dengan cara mengenaskan. Dia, lelakiku, jodohku, datang dengan tubuh tak berdaya. Dan akulah yang harus menolongnya.

“Rien … kamu benar-benar bidadariku,”katamu begitu matamu terbuka.
“Sudahlah.”

Aku jengah. Rasanya tiba-tiba seperti seorang gadis dipuji kekasihnya.
“Kau … kau masih sendiri Rien?” tanyamu sambil meraih jemariku.
Aku tahu kau melihat tak ada cincin kawin di jari manisku.
“Kenapa?”
“Kau sudah mengikatku dengan perjanjian kita.” Jawabku sambil tertunduk.
“Maksudmu?” tanyamu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Brian … Jangan berlagak tolol! Kau telah berjanji untuk menjadikanku pendampingmu, bukan? Dan puluhantahun aku memegang janji itu. Kau lupa?”
“Tapi Rien … Aku … “
“Kau apa? Kau lupa atau pura-pura lupa?”

Tangisku pecah. Rasanya sia-sia sekali apa yang kulakukan belaan tahun ini. Setiap hari menulis puisi tentang kerinduan, tentang kesepian, dan tentang kesetiaan.

“Kita tidak pernah saling mencintai, bukan?” tanyamu sambil menatapku lembut.

Nyaris saja amarah dan kekecewaanku luntur.  Tapi aku harus bertahan. Aku tak mau lagi jadi perempuan bodoh seperti selama ini kulakukan.

Perempuan bodoh? Ah … mendadak aku teringat kata-kata ibu yang selalu mengecapku bodoh, tak waras karena aku memercayai janji lelaki dalam mimpiku.

“Rien … beri aku waktu. Suatu hari, aku akan benar-benar menjemputmu,” janjimu.

Sore itu aku terlelap sampai pagi di sampingmu. Semua beban itu rasanya menghilang. Sama seperti hilangmu keesokan harinya tanpa pesan. Kemana lagi engkau menghilang? Tapi baiklah, kali ini aku takkan lagi ketakutan kau tak akan dating. Bukankah kau meminta waktu untuk bersungguh menjemputku?
***

Berbulan kemudian engkau tak kunjung dating. Lalu kutemukan fotomu di FB. Tanpa ragu kukirim pesan di inboksmu. Sebuah puisi rindu untukmu.

Sepekat apa pun mendung di luar, masih lebih kental rindu kita.
Sedingin apa pun hujan menderas masih lebih beku gigilku menunggumu.
Sebelum malam melintas batas, telah kau cairkan rindu ini jadi kepingan peluh yang memburai ke seluruh tubuh.
Senyummu melebihi tungku penghangat yang tak sempat kau buatkan untukku.

Alangkah bahagianya aku ketika kuterima blasan pesanku.

"Kita tak perlu tungku. Cinta kita lebih bara dari api.  Btw, kamu penyir ya? Makasih, puisimu bagus.

Andai saja kau tahu bagaimana aku menyimpan kenangan tentang indahmu, kau akan menyesal ribuan kali telah membuatku mati di sini. Ah … berkali-kali kutatap fotomu penuh kerinduan. Kau kini tampak lebih sehat dan matang. Semoga kau memang telah sukses dan segera siap meminangku.
Malam itu sebelum tidur kembali kukirim pesan di inboksmu.

Kekasih, kapan janji meminangku itu akan kau wujudkan?
***

Paginya mendadak kiamat itu datang. Ketika kubuka inboks darimu dan kutemukan sebuah pesan mematikan. Barangkali bahkan lebih maut dari kematian. Aku menemukan pesan santunmu yang demikian kejam mencekik leherku.

“ Maaf, Anda siapa?”
“Aku Rien, “ balasku.

 Tak puas dengan pesan singkat itu, kutambah lagi pesan inbokku.

“Bukankah kau telah berjanji akan segera meminagku? Kau lupa? Ah jangan bercanda. Lihat saja foto-fotoku. Aku memang mulai tua. Tapi wajah dan senyumku tak berubah. Senyumku pun tetap cerah. Sebab rindu pada janjimu adalah matahari yang menyinari hari-hari sepiku selama ini.”

Tak kusangka kau membalas dengan sangat sadis.

“Mbak salah orang. Saya enggak kenal Mbak.”
“Kamu jahaaaaaaaaaaat!” tulisku.

Lalu aku tak bisa menghubungimu. Kau memblokirku.
***
Kenangan dan aroma mawar yang pernah kau bawa mendadak ambyar. Menyesal, telah kuhabiskan berkaleng-kaleng cat minyak untuk melukis senyummu di ruang rinduku.

Kau hanya tertawa ketika mati-matian aku berteriak-teriak marah padamu.
Malam semakin jauh, tak ada suara tersisa, hanya sedu sedanku sesekali luruh. Namun, di kamarku tawa licikmu bergemuruh!

Andai kata-kata benar setajam keris Empu Gandring, hendak kukuliti tubuhmu dan kusayat-sayat senyummu dengan berjuta makian. Hingga sempurna lukaku jadi tangisan! Ahai.... telah sempurna luka itu dari ujung rambut hingga kakiku yang gemetar di atas rerumput.

Aku  tak sanggup melanjutkan perjalanan.

Angin dini hari, seperti kata-katamu, mencekikk. Sebelum kurebahkan impian-impian yang kini luruh jadi serpihan, hendak kudinginkan darah. Segalanya berakhir, sebelum kita melangkah.

USAI ORASI

Ketika mereka usai berorasi, kita terpesona pada janji-janji
segala atribut kejujuran dibentangkan untuk beribu niat busuk
kita tengadahkan tangan berharap segala kebaikan.
Mengapa masih ternganga ketika segala kebusukkan terkuakkan?
bukankah segalanya telah dimulai
pada detik berikutnya ketika kita usai menyerahkan kepercayaan
juga pengharapan yang bertahun terus kita tumbuhkembangkan?
Entah ... tahun depan
ketika segala janji disuarakan
di antara keras suara lagu dangdut dan joget para biduan
benih asa itu masihkah tersisa?
ataukah banjir dan panas kering bermusim telah memusnahkannya?
hingga segala tak bersisa, harap tinggal kenang
dan Indonesia semakin menjauh dari harapan? 


Entah ... aku melihat air mataku,
aku mendengar jerit kelaparanku
pada sosok yang tiap hari ditayangkan
dalam "Orang-orang Pinggiran"
Hari ini mereka, esok mungkin kita, anak kita, bahkan mungkin
semua anak cucu kita .
Sebab, keserakahan telah menandastuntaskan segala sumber daya
hingga tulang-tulangnya pun tak bersisa.

Ah koruptor, srigala yang kau piara dalam lakon busukmu
adalah neraka masa depan
bagi anak cucuku, anak cucu mereka, juga anak cucumu.
Bahkan mungkin, anak cucumu berada di lapis terbawah.
Karena mereka tak hanya tersiksa,
tapi juga terhina sebab kakek moyangnya
penyebab segala derita anak bangsa.

PESTA MUSIM HUJAN

Sebentar lagi musim hujan datang
tidak hanya mendung, angin, dan air yang menyapa
tetapi banjir dan bencana akan menyertainya.

Barangkali kita bakal bersujud syukur dan menari di awan
sebab panas tak lagi berkepanjangan.
Tak kan ada lagi teriakan "Gerah!"
Atau amarah yang tumpah bersama keringat yang basah. 
hujan membasuh resah. 

Tetapi, sempatkah kita berpikir
tentang mereka yang rumahnya tak beratap,
bahkan mungkin tak berumah.
Kemana mereka berteduh ketika hujan dan geledek menyerbu riuh?

Bersediakah kita berbagi tempat meski hanya sebatas
cukup bagi mereka menitipkan kering kepala
agar tak basah, tak resah, tak lelah, dan tak gundah
isi otaknya yang telah penat
dihimpit beban hidup yang tak bersahabat.

Atau justru kita, berlomba meninggikan pagar
mengunci rapat-rapat
agar tak sedikit pun kita dengar ratap
agar tak seujung kuku pun jemari ringkih itu menadah
sebab kita telanjur percaya:
masing-masing mendapat bagian dari hasil usahanya.

Sering kita lupa, di atas istana sana
beribu srigala telah menandastuntaskan tanpa sisa
jatah untuk mereka, saudara-saudara kita
yang banyak kita temui di pelosok desa,
bawah jembatan, di jalan-jalan di jantung kota
bahkan di pusat ibu kota.

Sempatkah kita membaca gurat telapak tangan yang menadah
Itu bukan mengemis, kawan!
Mereka menuntut hak
yang telah dimangsa para srigala yang mengaku saudara.

#musimhujanantaraduka dan luka#